Minggu, 21 Desember 2008

Imajinasi tentang Posisi Ideal Pemerintahan Desa

Imajinasi tentang Posisi Ideal Pemerintahan Desa

Beberapa studi menempatkan Desa pada tiga bentuk posisi yang terdiri dari self governing community, local self government dan local state government. Posisi pertama merujuk pada pada komunitas lokal yang membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom, tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal dan tidak terikat secara struktural dengan organisasi eksternal seperti negara. Posisi kedua menempatkan Desa sebagai bentuk pemerintahan lokal yang otonom sebagai konsekuensi dari desentralisasi politik. Sedangkan posisi yang ketiga menempatkan Desa hanya sebagai bentuk pemerintahan negara di tingkat lokal, sehingga Desa hanya menjadi kepanjangan tangan negara di tingkat lokal.[1]

Ketiga konsep tentang posisi desa tersebut sebenarnya harus dapat dipisahkan dengan jelas dalam implementasinya. Dalam konteks Indonesia, kesatuan masyarakat adat semakin tergerus dengan kehadiran negara. Model self governing community sudah menjadi romantisme karena kuatnya pengaruh negara maupun pasar yang masuk dalam komunitas-komunitas adat tersebut. Posisi-posisi tersebut seakan hanya menjadi modelling sedangkan dalam kenyataan di lapangan, implementasi antara ketiganya seringkali terjadi peleburan sehingga semakin mengaburkan posisi dan kewenangan Desa.

Keberagaman Desa atau nama lain di Indonesia menuntut adanya pengaturan yang jelas dan tegas menyangkut posisi dan kewenangannya selama ini. Namun peraturan yang ada sekarang, yaitu UU No. 22 tahun 1999 justru mencampuradukkan konsep self governing community dan model local self government secara terbatas untuk mengakomodasi keragaman dan keunikan kultur masyarakat. Sedangkan UU No. 32 tahun 2004 menempatkan Desa sebagai subsistem dari kabupaten sehingga sangat membatasi kewenangan Desa. Secara substantif, UU ini menganut pendekatan Desa baku (default village) yang diterapkan secara nasional ke seluruh Indonesia. UU ini tidak mengenal konsep optional village untuk mengakomodasi dan melembagakan keragaman Desa, misalnya opsi Desa adat di banyak daerah.[2]

Kompleksitas persoalan tentang desa tidak hanya berhenti pada masalah kedudukan dan kewenangannya dalam negara. Permasalahan juga terkait dengan bagaimana negara dapat mengakomodasi setiap keberagaman bentuk komunitas adat tanpa merusaknya. Persoalan juga sampai pada bagaimana desa mengambil tempat sebagai suatu entitas politik yang penting dalam struktur negara dan mempertahankan keberadaannnya. Pilihan tentang penataan politik dan pemerintahan desa di Indonesia ke depan menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Berbagai pilihan tersebut sangat tergantung pada pengaruh adat pada pemerintahan desa modern dan kapasitas desa beradaptasi dengan nilai-nilai dan perangkat modern dalam pemerintahan desa. Relasi antara tradisionalisme dan modernisme yang terus berlangsung akan sangat mempengaruhi model dan posisi pemerintahan desa.

Konsep yang memungkinkan untuk diadopsi dalam rangka penataan politik dan pemerintahan Desa adalah adanya integrasi antara desa dan adat. Self governing community tidak dapat secara murni dijalankan karena desa sudah menjadi bagian dari struktur negara. Oleh karena itu, perlu adanya pengintegrasian konsep antara self governing community dan local self government. Dengan pengintegrasin konsep tersebut, masyarakat adat yang telah terbiasa hidup dengan hukum adat yang kuat tetap dapat mempertahan nilai-nilai lokal dengan tidak menegasikan kehadiran negara. Kekuatan kultural dan adat istiadat tarkadang justru bisa menjadi jawaban yang fleksibel atas adanya perubahan tatanan sosial dan politik seiring dengan perkembangan zaman. Proses integrasi antara desa dan adat sangat terlihat pada pemerintahan nagari di Sumatta Barat. Terjadi kompromi antara adat dalam konteks tradisional dengan hukum positif negara yang menghadirkan struktur pemerintahan Desa.

Integrasi Antara Adat dan Desa di Nagari Kinari[3]

Era otonomi yang sedang berlangsung membawa angin segar bagi perubahan tatanan sistem pemerintahan nagari yang semula dirusak oleh pengaturan rezim Orde Baru. Banyak nilai-nilai lokal dan kewenangan politik pemerintahan yang tergerus akibat adanya penyeragaman pengaturan UU tentang Desa dengan instrumen UU No. 5 tahun 1979. Semangat otonomi daerah ingin mengembalikan nagari sebagai satuan pemerintahan lokal di Sumatra Barat. UU No. 22 tahun 1999 disikapi dengan Perda Propinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000. Peraturan ini menempatkan nagari sebagai satuan pemerintahan terendah, yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola nagari.

Dalam hukum adat nagari dikenal konsep babaliek ba nagari, mengandung arti ingin menerapkan sistem adat nagari secara komprehensif dan konsisten. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan secara keseluruhan. Setidaknya, yang terjadi kemudian adalah diberlakukannya konsep babaliek ka nagari, yaitu kembali menggunakan nagari untuk menyebut pemerintahan terendah Sumatra Barat. Sistem nilai-nilai adat asli tidak secara penuh dilaksanakan karena adanya perubahan zaman. Hanya sebagian dari nilai-nilai asli nagari yang bisa diadaptasi sedangkan beberapa nilai lain dinilai sudah tidak relevan lagi digunakan. Hukum adat di Minangkabau memiliki prinsip “Adat Basyandi Syarak, Syarak Basyandi Kitabullah” prinsip ini menjadi tuntunan dan pandangan hidup bagi anak nagari. Prinsip tersebut menjadi modal sosial yang sangat kuat untuk menentukan masa depan nagari. Meskipun sudah terjadi pergeseran nilai moral bagi sebagian anak nagari yang terpengaruh oleh modernisme, prinsip ini tetap bisa menhasilkan trust untuk menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan nagari.

Otonomi yang dimiliki oleh nagari mendorong pengembangan peran serta potensi nagari untuk mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan tidak meninggalkan ikatan kultural yang masih sangat kental. Perda tersebut membawa dampak pada pengelolaan pemerintahan di nagari. Secara kelembagaan, nagari memiliki beberapa institusi seperti; Pemerintah Nagari sebagai eksekutif, Badan Permusyawaratan Nagari (BPN) sebagai legislatif, dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai yudikatif. Sedangkan secara formal, nagari tetap menjadi bagian dari pemerintah kabupaten, sehingga tidak lepas dari pengaturannya.

Nagari Kinari merupakan nagari terbaik dalam pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Solok. Secara sosial, peran adat sangat dominan di nagari Kinari, dalam hal ini ninik-mamak sebagai tetua adat memiliki peran strategis dan kontrol yang kuat terhadap anak nagari. Otoritas dan kewenangan nagari cukup besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Nagari diberi kewenangan untuk mengeluarkan surat resmi tanpa pengesahan kantor kecamatan, seperti KTP dan beberapa surat resmi lainnya. Proses penyususnan renstra dilakukan secara bottom-up mulai dari pelibatan seluruh unsur masyarakat, musyawarah dengan lembaga-lembaga adat dan lembaga formal pemerintah sampai dibuatnya aturan yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Nagari (Perna) oleh BPN.

Penyelenggaraan pemerintahan di Nagari Kinari didasarkan pada tiga sumber hukum yaitu; hukum adat, hukum syariat agama yang bersumber pada kitabulloh dan peraturan perundangan formal. Penyelesaian masalah juga dilakukan secara berjenjang dengan mengutamakan penyelenggaraan hukum adat. Penyelesaian masalah diutamakan di tingkat kaum, kemudian tingkat adat (ninik mamak), dan apabila belum terselesaikan baru oleh Lembaga Kerapatan Adat. Di samping itu, baru kemudian melibatkan Pemda, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Terkait dengan penyelesaian masalah, pentingnya peran adat lebih dikarenakan ketakutan anak nagari terhadap ninik mamak, daripada musyawarah yang menempatkan kesetaraan antara elite dan warga.

Dari segi pengelolaan keuangan, Nagari Kinari mendapatkan sumber pendapatan dari Pendapatan asli nagari, Dana alokasi umum nagari (DAUN), dana partisipatif, dana perimbangan dan dana bantuan tambahan. Namun, sumber pendapatan terbesar berasal dari DAUN yang dianggarkan oleh pemerintah kabupaten dan disertai dengan ketentuan-ketentuan pembelanjaan.

Dinamika Politik dan Berbagai Persoalan

Kewenangan kabupaten tampak diserahkan pada nagari, namun secara teknis kabupaten tetap banyak memberikan petunjuk teknis pada nagari. Nagari tetap tidak bisa mandiri secara utuh dalam mengelola kewenangan tersebut, bahkan dalam prakteknya banyak kewenangan yang belum dapat dijalankan oleh nagari. Dukungan finansial yang cukup besar dari kabupaten menyebabkan nagari menjadi ketergantungan. Dampak lebih jauhnya, nagari lebih banyak mengikuti kebijakan kabupaten daripada berkreasi secara mandiri. Eksistensi otonomi nagari kembali dipertaruhkan karena besaran DAUN cukup mengikat. Nagari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kabupaten. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, banyak hal yang menunjukkan nagari hanya menjadi kepanjangan tangan dari kabupaten.

Dari segi pengelolaan nagari, secara formal kelembagaan, peran lembaga-lembaga adat telah berjalan dengan baik. Baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif telah menjalankan fungsinya masing-masing dengan mekanisme saling kontrol. Namun jika dilihat dari substansi partisipasi warga masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan masih menimbulkan pertanyaan. Keterlibatan warga dalam berbagai proses politik nagari selalu termanipulasi oleh kepentingan elite, baik itu tokoh adat maupun tokoh formal pemerintahan. Proses partisipasi anak nagari seakan dibatasi oleh peran ninik mamak yang sangat dominan dalam mengontrol aspirasi mereka. Oligharki politik terbentuk dari tokoh-tokoh adat. Partisipasi anak nagari hanya disalurkan melalui ninik mamak yang telah tergabung dalam oligharki politik tersebut.

Partisipasi yang berjalan tersumbat memunculkan adanya fenomena DRP-lapau atau DPR jalanan yang muncul di kedai-kedai, pojok jalan, untuk membentuk opini publik dan menyalurkan kegelisahan dalam penyaluran aspirasi. Adanya DPR-lapau mengarah pada oposisi terhadap pemerintah nagari. Namun hal ini hanya menjadi isu-isu yang akhirnya juga tunduk pada kemauan para pemangku adat.

Hubungan antar aktor dalam pengembangan nagari dapat dikatakan tidak banyak menimbulkan persoalan. Meskipun terjadi kontestasi, hal ini tidak sampai berujung pada konflik. Misalnya, hubungan antara Wali Nagari dan BPN yang saling mendukung secara institusional, meskipun persaingan secara individual tetap hadir sebagai riak-riak dinamika politik. Transparansi sangat dijaga di Nagari. BPN juga menjalankan fungsi pengawasan, sehingga terkait dengan proyek pembangunan dapat mempertanyakan ke Wali Nagari atau melaporkan ke kabupaten apabila dirasa ada penyimpangan. Kontrol adat cukup efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari. Disamping ada KAN, masih ada Lembaga Tungku Sajarangan Nagari (MTSN) yang dimanfaatkan oleh pemerintah nagari untuk mengendalikan aspirasi sehingga setiap pengambilan keputusan mudah mencapai kompromi.

Penataan pemerintahan desa dengan konsep pengintegrasian antara self governing community dan local self government membutuhkan wajah negara sebagai pengadaptasi yang tetap mempertimbangkan konteks lokal. Nagari atau desa dengan nama lain dipandang sebagai sesuatu yang unik dan khas. Negara dituntut untuk memiliki piranti yang bisa menempatkan desa dengan masyarakat adat yang kuat.[4]

Terlepas dari semua masalah. Integrasi antara adat dan desa memiliki berbagai kelebihan antara lain nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari.[5] Bentuk pengintegrasian antara adat dan desa juga tidak mengkhianati cita-cita founding fathers yang berusaha menempatkan nagari, desa dan segala persekutuan hukum adat sebagai kaki susunan negara bagian bawah.

“Tak Lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.” Pepatah nagari tersebut menyiratkan bahwa kekuatan adat dan agama bisa menjadi jawaban terhadap tantangan perubahan. Nilai-nilai lokal perlu tetap diakomodasi meskipun negara hadir sebagai suprastruktur Desa. Kehidupan politik dan pemerintahan Desa akan lebih mudah ditata dengan nilai lokal yang telah diyakini dan mengakar sebagai pandangan hidup masyarakat.

Posisi desa dengan konsep pengintegrasian antara self governing community dan local self government mungkin bisa diterapkan di banyak wilayah di Indonesia yang masih mempunyai struktur masyarakat adat yang kuat. Demikian juga dengan wilayah-wilayah yang memiliki karakter sosial yang kurang kuat. Hal ini perlu dihidupkan kembali sebagai kontrol atas modernisme dan globalisasi yang banyak menggerus konsep-konsep masyarakat adat di Indonesia.

Budaya elitis dan patron-klien yang banyak menjadi ciri dari kehidupan masyarakat adat kemungkinan akan melebur akibat pengaruh demokratisasi yang semakin masif. Untuk menghindari kuatnya kontrol pemerintah kabupaten, desa memerlukan kapasitas dan posisi tawar, baik itu fiskal maupun sumber daya manusia agar penataan politik dan pemerintahan desa dapat berjalan dengan lancar. Saat ini telah banyak dikembangkan model-model pembangunan desa berbasis organisasi masyarakat yang difasilitasi oleh berbagai NGO. Keberhasilan penataan politik dan pemerintahan desa juga tidak bisa lepas dari partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif mulai dari perencanaan pembangunan sampai pelaksanaannya. Hal ini sangat tergantung pada adanya entitas desa yang kuat, namun mampu merespon perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal.

Referensi:

Eko, Sutoro. Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa

Krisdyatmiko dan AAGN. Ari Dwipayana (ed). 2006. Pembangunan yang Meminggirkan Desa. Yogyakarta:IRE

Krisdyatmoko dan Sutoro Eko (ed). 2006. Kaya Proyek Miskin Kebijakan; Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa. Yogyakarta: IRE

Naskah Akademik RUU Desa



[1] Catatan Kuliah Politik Pemerintahan Desa. Nanang Indra Kurniawan, Mendefinisikan tentang Desa, pertemuan ke-2 tanggal 2 September 2008

[2] Naskah Akademik RUU Desa, Bab 3

[3] Contoh kasus disarikan dari, Supardal. Bukan Pembaharuan Nagari, Melainkan Korporasi Nagari. dalam Krisdyatmiko, AAGN. Ari Dwipayana (ed). Pembangunan yang Meminggirkan Desa. IRE. Yogyakarta: 2006

[4] Diskusi kuliah Politik Pemerintahan Desa tanggal 16 September 2008. Dalam menempatkan desa, negara memiliki tiga wajah yaitu penghapus (pemerintah Orde Baru), penyerap (proses negaraisasi desa. Memasukkan struktur informal ke forrmal), pengadaptasi.

[5] Sutoro Eko dalam makalah Mempertegas Posisi Politik dan Kewenangan Desa

Rabu, 17 Desember 2008

Perbandingan Dua Metode Penelitian Kualitatif:

Perbandingan Dua Metode Penelitian Kualitatif:

Studi Kasus dan Etnografi

Metode penelitian kualitatif memiliki banyak sekali varian. Dua diantara adalah studi kasus dan etnografi. Meskipun kedua metode ini memiliki sedikit kemiripan, keduanya tetap memiliki kekhasan tersendiri. Tulisan ini bermaksud untuk mencoba menguaraikan persamaan dan perbedaan antara metode penelitian studi kasus dan etnografi. Berbagai kemiripan dalam metode penelitian kualitatif tarkadang menimbulkan kesulitan dalam operasional penelitian. Perbandingan antara kedua metode ini diharapkan mampu memberi penjelasan sederhana agar dapat ditemukan perbedaan paling mendasar dari kedua metide tersebut. Perbandingan antara kedua metode ini akan dibatasi pada uraian tentang; bagaimana kedua metode ini memahami realitas, substansi metode, kelebihan dan kekurangan, serta prosedur risetnya.

Memahami realitas

Realitas dapat dipahami dengan mencontohkan suatu peristiwa. Contoh ini bercerita tentang kerumuanan orang yang menyerang polisi karena salah memahami upaya pertolongan. Pada suatu siang, beberapa petugas keamanan menemukan seseorang yang sekarat di tengah jalan. Badannya berlumuran darah dan terdapat sebilah pisau yang menancap di perutnya. Secara spontan, petugas kemanan yang pada saat tidak mengenakan seragam berusaha untuk mencabut pisau tersebut. Ia juga berusaha memberikan pertolongan pertama seperti pemberian nafas buatan dan berusaha untuk menghentikan aliran darah di perutnya.

Ketika petugas tersebut sedang memegang pisau, sekumpulan pemuda setempat melihat kejadian itu. dengan spontan pula mereka menyerang petugas kemanan yang telah berusaha menyelamatkan jiwa orang itu. beberapa petugas keamanan lain datang untuk membantu kawannya dan menghadang sekumpulan pemuda tadi sampai ambulan datang. Petugas kemanan tersebut telah berusaha untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya, namun para pemuda tadi tetap tidak percaya. Usaha keras para petugas kamanan juga sia-sia karena orang tersebut akhirnya meniggal dunia.

Dari contoh kasus di atas, metode etnografi digunakan untuk melihat orang menggunakan kebudayaannya. Kedua kelompok anggota masyarakat melihat realitas yang sama, namun menginterpretasikannya dengan berbeda. Kelompok pemuda menggunakan kebudayaan mereka untuk menginterpretasikan bahwa petugas kemanan telah melakukan tindakan yang jahat. Sedangkan petugas kemanan menginterpretasikan tindakan mereka sebagai upaya penyelamatan. Etnografi menjadi metode untuk menggali pemaknaan terhadap suatu realitas. Etnografer tidak hanya berhenti pada mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari itu dia juga menyelidiki makna dari tingkah laku itu.

Seorang etnografer berada dalam penjara obyektifitas. Obyektifitas tersebut dicapai dari proses intersubyektifitas. Etnografer mendapatkan data dengan menggunakan informan-informan, sedangkan informan tersebut memandang realitas dalam subyektifitasnya sendiri. etnografi menjadi metode untuk mendokumentasikan masyarakat yang mendefinisikan dirinya sendiri. metode ini membiarkan data untuk berbicara sendiri, mengekang peneliti supaya tidak subyektif. Seorang etnografer hanya menjadi semacam spon yang hanya berfungsi sebagai penyerap.

Seorang etnografer berusaha untuk melihat obyek sebagai obyek, meskipun obyek tersebut dapat dilihat secara lebih dalam—tidak hanya realitas yang tampak dipermukaan. Dalam memahami realitas, peneliti bisa meleburkan dirinya menjadi subyek. Ia mempelajari interpretasi-interpretasi yang timbul dari obyek-obyek penelitiannya, dalam kasus ini adalah sekelompok pemuda dan petugas kemanan. Peneliti berusaha untuk sedekat mungkin dengan obyek dalam mencari kebenaran, namun ia tetap berada di luar obyek tersebut.

Pemahaman tentang realitas dari contoh kasus di atas sekaligus telah menembus berbagai pandangan etnografi tradisional. Stigma yang melekat pada etnografi biasanya dipahami sebagai suatu metode untuk melihat kebudayaan atau cara hidup dari suku-suku bangsa yang eksotik. Padahal, realitas sebagai obyek etnografi tidak hanya sebatas pada suku-suku bangsa tertentu tetapi lebih membatasi kebudayaan sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama. Sehingga realitas sebagai kajian etnografi lebih luas cakupannya, melihat kebudayaan orang lain di luar kita. Misalnya, kehidupan hedonis para remaja zaman sekarang. Hal ini cukup bisa dijadikan sebagai realitas obyek studi etnografi.

Sama halnya dengan metode penelitian etnografi, studi kasus memahami realitas sebagai suatu yang obyektif. Suatu realitas dipandang dari berbagai sisi untuk lebih dapat mencapai kebenaran. Studi kasus sering dikatakan sebagai turunan dari positivisme sehingga peneliti dituntut untuk tidak campur tangan terhadap realitas yang akan diteliti. Di sisi lain, studi kasus berusaha untuk melampaui positivisme dengan melihat realitas-realitas yang tidak dapat dikuantifikasi dengan angka. Sama halnya dengan etnografi, realitas dalam metode studi kasus dikaji secara lebih dalam dan tidak hanya apa yang tampak dipermukaan.

Kedua metode tersebut memiliki perbedaan dalam menentukan obyek yang akan dikaji. Etnografi dalam contoh kasus di atas berusaha untuk memahami realitas dari sisi tindakan-tindakan para aktornya, perkataan mereka dan artefak yang digunakan. kesemuanya hadir dalam pengaruh kebudayaan yang membentuknya. Namun studi kasus melihat realitas di atas berdasarkan keseluruhan peristiwa yang dikaji secara lengkap dan detail. Studi kasus berusaha untuk mengungkap sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Kebenaran dari realitas dilihat tidak hanya dari satu titik pandangan, tetapi dari berbagai sisi. Metode ini menggambarkan realitas dengan sebenar-benarnya secara utuh.

Substansi Metode

Secara umun, etnografi merupakan suatu metode yang menyajikan studi diskriptif tentang masyarakat dan kebudayaannya. Metode ini sangat kental diwarnai cara berpikir studi anthropologi. Etnografi juga bisa dimaknai sebagai produk hasil kerja anthropolog, yaitu sebagai sebuah tulisan.

Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa; dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan. Sekalipun demikian, di dalam setiap masyarakat, orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain, serta untuk memahami dunia tempat mereka hidup. Sistem makna ini merupakan kebudayaan mereka: dan etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan.[1]

Seorang etnografer tidak hanya melihat berbagai artefak dan obyek alam, tetapi lebih dari itu, dia juga menyelidiki makna yang diberikan oleh orang-orang terhadap obyek itu. konsep kebudayaan ini (sebagai suatu sistem simbol yang mempunyai makna) banyak memiliki persamaan dengan pandangan interaksionalisme simbolik, suatu teori yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna.[2]

Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya berdasarkan pada tiga sumber: (1) dari yang dikatakan orang. (2) dari cara orang bertindak; dan (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Mulanya, masing-masing kesimpulan budaya hanya merupakan suatu hipotesis mengenai hal yang diketahui orang. Hipotesis ini harus diuji secara berulang-ulang sampai etnografer itu merasa relatif pasti bahwa orang-orang itu sama-sama memiliki sistem makna budaya yang khusus.[3]

Etnografi selalu menggunakan apa yang dikatakan orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan orang tersebut. Kebudayaan yang implisit maupun ekplisit, terungkap melalui perkataan, baik dalam komentar sederhana maupun dalam wawancara panjang. Kerena bahasa merupakan alat utama untuk mneyebarkan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, kebanyakan kebudayaan dituliskan dalam bentuk linguistik. Penelitian ini biasanya dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan melalui metode pengamatan partisipatif. Etnografi tidak mendefinisikan variabel-variabel sebelum penelitian. Pertanyaan penelitian semakin lama akan semakin jelas saat penelitian berlangsung.

Substansi penelitian etnografi memiliki sedikit perbedaan dengan metode penelitian studi kasus. Definisi umum dari Studi Kasus sebagai sebuah model metode penelitian kualitatif dituliskan oleh Robert K. Yin. Dalam hal ini, Yin mengatakan bahwa Studi Kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas–batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan.[4]

Dari definisi tersebut bahwa pada dasarnya Studi Kasus merupakan sebuah bentuk penyelidikan persoalan tertentu secara empiris yang mana seorang peneliti diutamakan untuk dapat terjun langsung untuk mendekati objek yang hendak ditelitinya. Cara untuk mencapai objek penelitian dapat dilakukan secara langsung, yakni dilakukan dengan observasi maupun wawancara, dan secara tidak langsung dengan menelusuri sejumlah literatur yang sekiranya dapat mendukung untuk memecahkan persoalan yang hendak dikaji. Guna mendukung validitas hasil penelitian yang dicapai, akan lebih baik apabila proses mencapai objek penelitian dilakukan secara langsung yakni dengan melakukan observasi maupun wawancara mengingat bahwa sifat kebenaran dari sebuah penelitian dengan logika induktif tidak dapat digeneralisasikan secara cepat seperti yang terdapat dalam penelitian dengan menggunakan logika deduktif dimana data yang diperoleh sebagian besar cenderung berbasiskan kepada angka yang dapat digeneraliasikan secara luas.[5]

Sebagaimana etnografi, kemunculan Studi Kasus berusaha untuk lepas dari positivisme meskipun metode ini berangkat dari pemikiran positivis. Kemunculan studi kasus juga tidak terlepas dari persoalan bahwa untuk sejumlah permasalahan penelitian tidak serta merta dapat diselesaikan apabila hanya menggunakan konsep–konsep statistik. Sejumlah kasus tertentu seperti penelitian mengenai perilaku seseorang tidak dapat diukur apabila hanya menggunakan instrumen statistik. Logika positivisme yang mempengaruhi metode ini menganggap bahwa peristiwa yang terjadi di lapangam adalah naratif sehingga studi kasus lebih cenderung bersifat naratif. Metode ini tidak memperbolehkan adanya interpretasi lebih lanjut dari subyektifitas peneliti.

Masing-masing metode tersebut juga tidak terlalu mementingnya pertanyaan dan proporsisi awal. Permasalahan akan ditemukan secara menggelindhing dalam proses penelitian.

Sebagai langkah awal, ada beberapa hal yang harus digarisbawahi bagi seorang peneliti yang hendak melakukan penelitian dengan menggunakan Studi Kasus bahwa pertanyaan penelitian tidak dapat ditentukan dengan bebas seperti yang terdapat dalam model–model penelitian yang lainnya. Karena sifatnya yang berusaha untuk mengungkapkan makna terdalam dari fenomena kasus tertentu yang hendak dikaji, maka akan lebih tepat apabila pertanyaan penelitian yang digunakan adalah “ Mengapa dan Bagaimana “.[6]

Perbedaan metode penelitian studi kasus dengan metode survey, eksperimen dan historis terletak pada: (1) tipe pertanyaan yang diajukan ( bagaimana, mengapa); (2) luas kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa perilaku yang akan diteliti. (tidak membutuhkan kontrol atas peristiwa); (3) fokusnya terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari peristiwa historis (fokus terhadap peristiwa kontemporer)

Studi kasus sebagai sebuah metode banyak menimbulkan prasangka tradisional antara lain; peneliti studi kasus tidak rapi dan mengizinkan bukti yang samar-samar atau pandangan bias mempengaruhi arah temuan-temuan dan konklusinya, studi kasus terlalu sedikit memberikan landasan bagi generalisasi ilmiah, penyelenggaraannya memakan waktu lama serta menghasilkan dokumen yang sangat banyak, sehingga melelahkan untuk dibaca.

Prosedur dan Analisis Riset

Secara umum, teknis penelitian etnografi dilakukan dengan wawancara dan observasi langsung. Lebih detailnya etnografi sebagian besar dilakukan dengan teknik-teknik di bawah ini:

  1. dilakukan secara langsung oleh peneliti untuk mengamati kehidupan sehari-hari, hal ini termasuk observasi partisipatif.
  2. pembicaraan dengan level yang berbeda, baik secara formal mapun informal—mulai dari percakapan kecil sampai wawancara yang panjang.
  3. menggunakan metode genealogis. Metode ini merupakan suatu prosedur dimana seorang etnografer berusaha untuk menemukan dan merekam hubungan kekeluargaan, pohon keluarga atau perkawinan dengan penggunaan digram dan simbol-simbol.
  4. penelitian yang mendetail dengan menggunakan informan kunci kehidupan masyarakat pada suatu wilayah tertentu.
  5. wawancara dilakukan dengan sangat mendalam.
  6. penemuan tentang kepercayaan dan persepsi lokal.
  7. penelitian dilakukan dengan menfokuskan pada suatu permasalahan.
  8. penlitian dilakukan secara berkelanjutan dalam waktu yang lama pada suatu daerah tertentu.
  9. merupakan penelitian yang melibatkan kerja tim.
  10. dapat juga dilakukan dengan metode studi kasus.[7] Studi kasus dapat digunakan pada penelitian etnografi. Misalnya, berkaitan dengan sejarah kelahiran sistem Subak di Bali. Selain terkait dengan kebudayaan masyarakat lokal, permasalahan ini sangat kompleks dan dapat dilihat dari berbagai sisi.

Tahapan penelitian dalam etnografi terdiri dari alur penelitian maju dan bertahap.[8]

  • Menentukan informan.
  • Melakukan wawancara terhadap informan.
  • Membuat catatan etnografis.
  • Mengajukan pertanyaan deskriptif. Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk membangun proses hubungan seperti bagaimana menimbulkan simpati, penjajagan, kerja sama dan akhirnya dapat mulai untuk berpartisipasi secara langsung dengan obyek kajian. Proses ini juga bertujuan untuk mengumpulkan sampel dari percakapan informan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif. Pertanyaan deskriptif bersifat umum, memberikan contoh-contoh, berusaha menggali pengalaman informan, penggunaan bahasa-bahasa asli dalam pertanyaan untuk meminimalisir pengaruh kemampuan informan untuk menerjemahkannya.
  • Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini bertujuan untuk memahami bagaimana makna tercipta dengan simbol-simbol budaya. Analisis juga digunakan untuk mencari suatu domain pendahuluan yang dapat mengantarkan peneliti pada permasalahan tertentu. domain merupakan suatu kategori kebudayaan yang diidentifikasikan oleh anggota masyarakat tertentu. domain menjadi unit analisis pertama dan terpenting dalam penelitian etnografis. Mengidentifikasi domain dan menganalisisnya merupakan bagian tersulit. Hal ini terjadi karena informan tidak berbicara dalam domain atau menyusun kata dalam kategori-kategori yang didasarkan pada hubungan pencakupan tertentu.
  • Membuat analisis domain, dapat dilakukan dengan melihat hubungan semantik dan hubungan universal.
  • Mengajukan pertanyaan struktural. Pertanyaan ini disesuaikan dengan informan, dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lain dan terus diulang-ulang secara baik.
  • Membuat analisis taksonomik. Mengarahkan perhatian pada struktur internal domain. Memilih fokus sementara, taksonomi penduduk asli.
  • Mengajukan pertanyaan kontras.
  • Membuat analisis komponen. Analisis komponan merupakan pencarian sistemik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya.
  • Menemukan tema-tema budaya
  • Menulis suatu etnografi. Tahap ini termasuk pada proses penerjemahan. Penerjemahan meliputi keseluruhan proses penemuan makna suatu kebudayaan dan menyampaikan makna-makna ini kepada orang-orang dalam kebudayaan lain. Proses penerjemahan ini sangat rawan terhadap adanya struktur makna yang diciptakan peneliti itu sendiri dan bukan berdasarkan struktur makna obyek penelitian. Salah satu penyebab dari ketidaktepatan penerjemahan budaya terletak pada kegagalan etnografer untuk memahami dan menggunakan beberapa tahapan dalam menulis yang berbeda. Selama penulisan deskripsi etnografis apapun, etnografer harus menggunakan berbagi tahapan prosedur penulisan yang ketat dan menggunakan secara sadar untuk meningkatkan kekuatan komunikatif hasil terjemahan.

Tahapan Penelitian dan Analisis Studi Kasus[9]

  • Melakukan desain penelitian studi kasus yang terdisi dari studi kasus tunggal dan multikasus. Masing-masing memiliki varian yaitu holistik dan terjalin.

Peneliti studi kasus harus memaksimalkan empat aspek kualitas desainnya, yaitu; validitas konstruk (menetapkan ukuran operasional yang benar untuk konsep-konsep yang akan diteliti); validitas internal (hanya untuk studi kasus eksplanatoris dan kausal, dan tidak untuk peneelitian deskriptif dan eksploratoris): menetapkan hubungan kausal, di mana kondisi-kondisi tertentu diperlihatkan guna mengarahkan kondisi-kondisi lain, sebagaimana dibedakan dari hubungan semu; validitas eksternal (menetapkan ranah di mana temuan suatu penelitian dapat divisualisasikan); reliabilitas (menunjukkan bahwa pelaksanaan suatu penelitian – seperti prosedur pengumpulan data – dapat diinterpretasikan, dengan hasil yang sama).

Desain Studi kasus memiliki komponen-komponen antara lain: pertanyaan-pertanyaan penelitian (apa dan bagaimana); proposisinya, jika ada (mengarahkan perhatian peneliti kepada sesuatu yang harus diselidiki); unit-unit analisisnya (berkaitan dengan masalah penentuan apa yang dimaksud dengan “kasus” dalam penelitian yang bersangkutan—problema yang mengganggu peneliti di awal studi kasusnya); logika yang mengaitkan data dengan proposisi tersebut (tahap-tahap analisi data. Misal dengn penjodohan pola: mengaitkan beberapa informasi kasus yang sama dengan beberapa proposisi teoritis); kriteria untuk menginterpretasi temuan

  • Persiapan pengumpulan data.
  • Mempersiapkan protokol studi kasus. Protokol studi kasus merupakan taktik umum dalam meningkatkan reliabilitas penelitian studi kasus dan dimaksudkan untuk membimbing peneliti dalam menyelenggarakan studi kasus. Protokol ini berisi tinjauan umum proyek studi kasus, prosedur-prosedur lapangan, pertanyaan-pertanyaan studi kasus, dan petunjuk untuk laporan studi kasus.
  • Pelaksanaan Pengumpulan data.

Sumber Data . Penelitian studi kasus dapat menggunakan sumber data berupa:

§ dokumen

§ rekaman arsip

§ wawancara

§ observasi langsung

§ observasi partisipan

§ perangkat-perangkat fisik

  • Masing-masing sumber data memiliki kelebihan dan kekuatan masing-masing yang disesuaikan dengan obyek penelitian. Penggunaannya sangat ditentukan oleh kemampuan peneliti untuk menggunakannya secara tepat dengan prosedur penggunaan yang telah ditentukan

Tiga Prinsip dalam pengumpulan data

  • Menggunakan berbagai sumber bukti – yaitu bukti dari dua atau lebih sumber, tetapi menyatu dengan serangkaian fakta atau temuan yang sama.
  • Membuat data dasar – yaitu kumpulan formal bukti yang berlainan dari laporan akhir studi kasus yang bersangkutan.
  • Membuat rangkaian dari bukti-bukti yang telah dikumpulkan – yaitu keterkaitan yang eksplisit antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, data yang terkumpul, dan konklusi-konklusi yang ditarik.

  • Analisis Data Studi Kasus

Analisis data terdiri atas pengujian, pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjukkan proposi awal suatu penelitian. Setiap penelitian hendaknya dimulai dengan strategi analisis yang umum, yang mengandung prioritas tentang apa yang akan dianalisis dan mengapa.

- Strategi Umum

  1. Mendasarkan pada proposisi teoritis
  2. Mengembangkan deskripsi kasus

- Strategi Khusus

Bentuk-bentuk analisis khusus yang dominan:

  1. Penjodohan pola. Membandingkan pola yang didasarkan empirisitas dengan pola yang diprediksi.
  2. Pembuatan penjelasan. Membuat eksplanasi tentang kasus yang bersangkutan.
  3. Analisis deret waktu

Bentuk-bentuk analisis kurang dominan / sekunder

  1. Menganalisis unit-unit terjalin
  2. Membuat observasi berulang
  3. Mengerjakan survei kasus: analisis sekunder lintas kasus

Menulis Laporan Studi Kasus

- Audiens-audiens studi kaus

  1. lingkup calon audiens
  2. berkomunikasi melalui studi kasus
  3. mengorientasikan laporan studi kasus pada kebutuhan audiens

- Jenis-jenis laporan studi kasus

  1. laporan tertulis
  2. jenis-jenis laporan tertulis
    1. studi kasus tunggal klasik
    2. multikasus dari kasus tunggal klasik/ multi narasi
    3. studi kasus tanpa narasi tetapi dengan format tanya jawab
    4. studi multikasus analisis lintaskasus

- Struktur laporan studi kasus

  1. analitis linear
  2. komparatif
  3. kronologis
  4. pembangunan teori
  5. ketegangan
  6. tak beraturan

- Prosedur pengerjaan laporan studi kasus

  1. Kapan dan bagaimana memulai penulisan
  2. Identifikasi kasus nyata atau tersamar
  3. Tinjauan ulang naskah studi kasus: suatu prosedur validasi

- Hal-hal penting dalam pembuatan laporan studi kasus

  1. signifikan
  2. lengkap
  3. mempertimbangkan perspektif alternatif
  4. menampilkan bukti/data yang memadai
  5. ditulis dengan cara yang menarik

Kelebihan dan Kekurangan

Studi kasus mempunyai keunggulan yaitu kemampuan metodenya untuk mengungkapkan hal-hal yang tersembunyi dari suatu obyek penelitian. Studi kasus tidak hanya bisa digunakan untuk membuktikan teori tapi metode ini juga bisa digunakan untuk membangun teori baru.

Metode etnografi memiliki kelebihan antara lain dalam mengungkap dengan sangat dalam suatu bentuk kebudayaan dengan bangunan makna di dalamnya. Etnografi sangat berperan dalam memahami kehidupan manusia melalui kebudayaannya.

Etnografi dan studi kasus memiliki kekurangan yaitu kedua metode tersebut seringkali diragukan hasil penelitiannya. Persoalan seperti validitas, reliabilitas, dan penarikan generalisasi secara umum layaknya penelitian kuantitatif menjadi isu utama yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan.

Terkait dengan validitas, yang menjadi pertanyaan mendasar dari studi kasus maupun etnografi sebagai sebuah metode penelitian adalah obyek studinya. Hal ini terkait dengan apakah representatif atau tidak obyek studi yang digunakan. Studi kasus yang menggunakan obyek studi secara tunggal seringkali dinilai tidak representatif sehingga banyak diragukan keabsahan hasil penelitiannya.[10] Sebuah studi yang baik dengan menggunakan metode tertentu haruslah dapat direplikasi atau dapat dilakukan kembali oleh peneliti yang lain dengan cara yang sama. Metode studi kasus kembali menimbulkan pertanyaan apakah dapat digunakan oleh peneliti lain dalam mengungkap suatu kasus yang serupa dengan memakai metode tersebut. [11]

Kedua metode tersebut juga bermasalah terkait dengan obyektifitas hasil penelitian. Prosedur riset yang mengharuskan peneliti untuk terjun langsung mapun melakukan wawancara tentu saja tidak bisa melepaskan unsrus subyektifitas peneliti begitu saja. meskipun demikian, prosedur dan analisis yang sangat ketat pada kedua metode ini bisa mengurangi unsur subyektifitas tersebut. Penelitian denga kedua metode tersebut juga memerlukan waktu yang lama dan memakan biaya yang tidak sedikit.

Kesulitan seorang etnografer dengan metode yang dipakainya adalah bagaimana menjaga jarak antara subyek dan obyek penelitian. Seorang etnografer yang terlalu jauh dengan obyek akan menimbulkan stereotyping sedangkan ketika etnografer terlalu dekat dengan obyek maka cenderung akan menimbulkan gloryfikasi. Penulis bisa terlalu menganggap baik semua obyek penelitiannya.[12] Selain itu, permasalahan dalam etnografi terletak pada bagaimana menentukan informan yang tepat. Timbul adanya rasa ketidak percayaan terhadap informan karena belum tentu ia menceritakan hal yang sebenarnya.

Penggunaan kedua metode yaitu etnogrfai dan studi kasus membutuhkan kehati-hatian peneliti dalam mengumpulkan sumber bukti. Pentingnya penggunaan multi sumber bukti akan dapat mengurangi bias sehingga hasil pnelitian dapat mencapai validitas dan reliabilitas yang diharapkan.

Dari uraian perbandingan antara metode penelitian studi kasus dan etnografi, tampak bahwa keduanya banyak memiliki persamaan. Dalam penggunaan kedua metode tersebut, dalam kenyataan tarkadang terjadi peeleburan. Keduanya memang tidak memiliki batasan yang sangat jelas. Misalnya, metode studi kasus dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam penelitian etnografi. Kebudayaan manusia tidak hanya terbatasa pada pola perilaku atau tindakan, perkataan dan sistem kebudayaan yang dibangun. Kebudayaan juga terdiri dari serangkian peristiwa yang saling jalin-menjalin secara utuh. Sehingga, kemungkinan penggunaan metode studi kasus dalam penelitian etnografi tetap ada.



[1] Dikutip utuh dari Spradley, James P, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta: 2006, hal 5.

[2] Ibid. hal 7.

[3] Ibid. hal 11.

[4] Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus: Desain & Metode. Jakarta: Hal 18.

[5] Disarikan dari makalah kelompok Metode penelitian kualitatif yang disusun oleh Rachman, Susilo, Ratna, Bagus Wibisono, Bagus Purbananda dan Zaid Makruf.

[6] Yin, Robert K. 1996. Op Cit: Hal 01.

[7] Download dari http://en.wikipedia.org/wiki/ethnography.

[8] Untuk lebih detainya, lihat Spradley, Op.Cit. hal 61-306.

[9] Yin, Robert K. 1996. Op Cit

[10] Baedhowi dalam Agus Salim. 006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Penelusuran Paradigma. Yogyakarta: Hal 124-125

[11] ibid.hal 118.

[12] Kris Budiman (anthropolog) dalam catatan dialog; Menulis Novel Ethnografi bersama Putu Fajar Arcana. Tanggal 10 Mei 2008 di Kedai Kopi-Kopi, Jalan Kartini No. 14A, Sagan, Yogyakarta.

Kamis, 11 Desember 2008

Definisi dan Klasifikasi Kebijakan Publik

Definisi dan Klasifikasi Kebijakan Publik

Dalam kuliah kebijakan publik, disampaikan bahwa kebijakan publik merupakan proses penggunaan kewenangan negara yang bereksperimen terhadap nasib orang banyak. Dari pemaknaan tersebut, para ilmuwan cenderung melakukan simplifikasi terhadap teori kebijakan publik sehingga mengakibatkan permasalahan di level implementasi. Para ilmuwan telah banyak melakukan pemaknaan terhadap kebijakan publik tersebut namun sebagian besar proses itu bias ilmuwan dan justru dimanfaatkan sebagai instrumen bagi kenyamanan penguasa.

Setidaknya terdapat empat lapis pemaknaan dari kebijakan publik. Yang pertama adalah memahami kebijakan publik sebagai decision making. Kedua, kebijakan dimaknai sebagai serangkaian fase kerja pejabat publik. Ketiga, kebijakan publik bisa berupa ‘intervensi’ sosio kultural dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Sedangkan lapis pemaknaan yang paling dalam adalah bagaimana memahami kebijakan publik sebagai interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.[1]

Melalui keempat lapis pemaknaan di atas, tulisan ini akan mencoba melakukan klasifikasi terhadap pemaknaan yang telah banyak dilakukan para ilmuwan dalam teori-teori kebijakan publiknya. Klasifikasi tersebut akan menunjukkan bahwa sebagian besar ilmuwan masih banyak yang justru mereduksi esensi kebijakan publik sebatas pada lapis pemaknaan yang sempit.

A. Kebijakan Publik sebagai Suatu bentuk Decision Making

Thomas R. Dye : “public policy is whatever governments choose to do or not to do[2], atau definisi yang lebih kongkret seperti yang dikatakan oleh Peters, “Public policy is the sum of activities of governments, whatever acting directly or through agents, as it has on influence on the lives of citizen.[3]

Erwan Agus purwanto (1997) dalam tesisnya berpendapat bahwa kebijakan publik selalu berhubungan dengan keputusan-keputusan pemerintah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat melalui instrumen-instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah berupa hukum, pelayanan, transfer dana, pajak dan anggaran-anggaran.[4]

Graham Allison(1971) dalam Lele (1999), Kebijakan publik merupakan hasil kompetisi dari berbagai entitas atau departemen yang ada dalam suatu negara dengan lembaga-lembaga pemerintahan sebagai aktor utamanya yang terikat oleh konteks, peran, kepentingan, dan kapasitas organisasionalnya.[5]

Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.[6] Dalam hal ini, pemerintah berhak memberi hambatan dan kesempatan terhadap kebijakan tersebut. Pemerintah masih bisa dikatakan otoritatif meskipun kebijakan tersebut memiliki tujuan dan sasaran demi kepentingan masyarakat.

Kebijakan publik merupakan arahan-arahan yang bersifat otoritatif untuk melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan di dalam yurisdiksi nasional, regional, dan local.[7]

Edwards dan Sharkansky mengatakan bahwa kebijaksanaan negara adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah atau apa yang tidak dilakukannya……ia adalah tujuan-tujuan sasaran-sasaran dari program-program……pelaksanaan niat dan peraturan-peraturan.[8]

William N. Dunn merumuskan kebijaksanaan publik sebagai berikut: Kebijaksanaan Publik (Public Policy) adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya.9

Konsep kebijaksanaan publik menurut David Easton sebagai berikut: Alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut.[9] Meskipun definisi ini bisa juga diklasifikasikan dalam pemaknaan kebijakan sebagai bentuk intervensi, namun nuansa kebijakan yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan masih kental dalam definisi ini.

B. Kebijakan Publik sebagai Serangkaian Fase Kerja Pejabat Publik

Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar aktor dan interaksi yang terjadi di dalamnya.[10]

James, A. Anderson, “…….a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter concern.” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah.[11] Dalam konteks definisi ini, seorang atau sekelompok pelaku bisa disamakan dengan pemerintah atau pejabat publik.

Selanjutnya, Anderson mengatakan bahwa public policies are those policies developed by governmental bodies and official (kebijakan negara adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan dan pejabat-pejabat pemerintah).

Charles O’Jones, istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), standard, proposal, dan grand design.[12]

William Jenkins, kebijakan publik adalah sebuah rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan daripada aktor tersebut.[13]

Woll (1966), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.[14]

Nakamura dan Smallwood mengemukakan pendapat bahwa kebijaksanaan negara adalah serentetan instruksi atau pemerintah dari para pembuat kebijaksanaan yang ditujukan kepada para pelaksana kebijaksanaan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[15]

Menurut Parker, kebijakan publik adalah suatu atau tindakan yang dilakukan oleh suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip, atau tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintahan pada periode tertentu ketika terjadi suatu subyek atau krisis.[16]

Guy Peters mengatakan bahwa kebijakan publik adalah, The sum of activities of governments, wether acting directly or through agents, as it has an influence the lives of citizens.[17]

C. Kebijakan Publik sebagai Proses Intervensi Sosio Kultural

Sulit mengklasifikasikan beberapa definisi dalam kelompok ini karena proses intervensi yang dilakukan pemerintah dalam pemecahan masalah sosial yang terlihat dari kata kunci dalam beberapa definisi dan teori masih sangat tergantung pada keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan. Proses intervensi lebih banyak menjadi salah satu bentuk pemaknaan kebijakan dalam klasifikasi administratif atau berbentuk decision making. Seperti halnya definisi dari Easton, kebijakan publik dimaknai sebagai alokasi nilai unutk seluruh masyarakat, namun dalam hal ini, pemerintah masih bersifat otoritatif terhadap kebijakan tersebut.

D. Kebijakan Publik sebagai Interaksi Negara dan Rakyatnya

John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi status quo. (3) model rasional. (4) model garbage can dan (5) model collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan kebijakan. [18] Pendekatan dalam memahami kebijakan publik yang diungkapkan di sini, selain memaknai kebijakan publik sebagai mekanisme dan proses yang bersifat teknokratis, pendekatan tersebut juga berusaha unutk menjelaskan relasi atau kombinasi faktor internal, dalam arti pemerintah dan faktor eksternal yaitu masyarakat. Dari pendekatan tersebut, bisa dilihat bagaimana pemerintah mencoba keluar dari sifat otoritatifnya dan berusaha untuk berinteraksi dengan masyarakat.

Fauzi Ismail, dkk dalam bukunya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah bentuk menyatu dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara dengan rakyatnya. Kebijakan publik yang transparan dan partisipatif akan menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula. [19]

E. Definisi yang cenderung bias dan tidak dapat dikelompokkan dalam keempat lapis pemaknaan.

Robert Eyestone memberi makna kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.[20] Definisi ini cenderung bias karena Robert dalam definisinya tidak memberikan penjelasan tentang pengertian “hubungan” dan lingkungan yang dimaksud. Hubungan tersebut bisa dimaknai sebagai hubungan yang interventif atau hubungan yang bersifat interaktif dengan lingkungan, yaitu masyarakat. Definisi ini sangat luas cakupannya sehingga apa yang dimaksud dengan kebijakan publik tersebut bisa meliputi banyak hal.

Chief J. O Udoji (1981), kebijakan publik merupakan suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.[21] Tindakan bersanksi di sini bisa dilakukan pemerintah dengan otoritas dan kewenangannya, namun definisi ini tidak dengan konkret menjelaskan baik aktor maupun proses dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Kebijakan publik adalah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan (doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middle van machtsuitoefening).[22] Definisi ini tidak menjelaskan bagaimana membangun masyarakat yang terarah apakah dengan intervensi atau dengan interaksi antara penerintah dengan masyarakat.

Dari klasifikasi beberapa definisi yang dikemukaan para ilmuwan di atas, terlihat bahwa pemaknaan kebijakan publik masih didominasi dan terbatas pada pemaknaan dalam level administratif dan teknokrtis. Kebijakan publik masih berada dalam lingkup otoritas negara. Beberapa definisi di atas tidak ada yang bisa dikelompokkan dalam lapis pemaknaan ketiga yang memaknai kebijakan publik sebagai intervensi soaio kultural dengan mendayagunakan berbagai instrumen unutk mengatasi persoalan publik. Selain itu, terdapat beberapa definisi yang bias sehingga sulit unutk menentukan tujuan dan sasaran di level implementasi.

Permasalahan kebijakan publik ternyata tidak hanya berada dalam level implementasi tetapi juga pada level teori. Pemerintah cenderung masih menggunakan kewenangannya secara penuh dalam menentukan kebijakan publik tanpa adanya interaksi dan proses diagnosis terhadap permasalahn-permasalahan dan konflik dalam masyarakat.

Referensi:

Skripsi:

Agomo, Moh. Ilyas Purwo, 2006, Jaringan Pesantren dan Kebijakan Publik. Studi terhadap Peran Jaringan Pesantren dalam Proses Kebijakan Publik di Kota Solo. Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM.

Astuti, Ari Dwi, 2004, Selamat Pagi Bupati: Studi Tentang Efektifitas Sosialisasi Kebijakan Pemda Kebumen Melalui Siaran Radio, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM.

Hernani, 1997, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijaksanaan Pengendalian dan Penertiban Peredaran Minuman Keras : Suatu Penelitian Deskriptif Terhadap Keberhasilan Implementasi Kebijaksanaan Minuman Keras di Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM.

Putri H, Indriani, 2005, Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Kota dalam Kerangka Pembangunan Perkotaan. Studi Kasus: Penataan Penyelenggaraan Media Reklame Luar Ruang Kota Yogyakarta. Jurusan Administrasi Negara, Universitas Gadjah Mada.

Safrina, Dian. 2003, Studi Formulasi Kebijakan. Studi Kasus: Penentuan Harga Crude Palm Oil di Sumatra Utara. Jurusan Administrasi Negara, UGM.

Sundari Yudhiani, Titi, 2005, Kebijakan yang Tidak Partisipatif, Studi Kasus: Kebijakan Relokasi Pasar Wage, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jurusan Administrasi Negara, UGM.

Utami, Inggit. 2004, Implementasi Kebijakan Pajak Restoran Berdasarkan Perda No.8 Tahun 2001 Dalam Rangka Meningkatkan PAD Kabupaten Sleman. Jurusan Administrasi Negara, UGM.

Widiastuti, Prastiwi, 2006, Dinamika Kebijakan Bus Perkotaan di Yogyakarta. Jurusan Ilmu Administrasi, UGM.

Yudita, Diah Rachma, 2004, Implementasi Kebijakan Biaya Operasional Pendidikan Dalam Kerangka Otonomi Kampus (Kasus SK Rektor UGM No.109/P/SK/PD/2002), Jurusan Administrasi Negara, UGM.

Buku:

Santoso, Amir dan Riza Sihbudi, 1993, Politik, Kebijakan dan Pembangunan, Jakarta: Dian Lestari Grafika.

Tangkilisan, Drs Hessel Nogi S, 2003, Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI.

Laporan Penelitian:

Purwanto, Erwan Agus, 1998, Kebijakan Publik: Perkembangan Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jurusan Administrasi Negara. UGM

Website:

http://www.balitbangjatim.com/jurnal_mainIsi_detail.asp?id_jurnal=12&id_isi=13&hal=3



[1]Purwo Santoso dalam Catatan Kuliah Kebijakan Publik, tanggal 19 Februari 2008.

[2] Thomas R. Dye dalam Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal.. 31 dalam skripsi Hernani, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijaksanaan Pengendalian dan Penertiban Peredaran Minuman Keras : Suatu Penelitian Deskriptif Terhadap Keberhasilan Implementasi Kebijaksanaan Minuman Keras di Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM:1997, hal. 26

[3] Safrina, Dian. Skripsi: Studi Formulasi Kebijakan.Studi Kasus: Penentuan Harga Crude Palm Oil di Sumatra Utara. Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2003. hal.19

[4] Safrina, Loc.cit

[5] Safrina, ibid,. hal .22

[6] Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta: 2002 dalam Skripsi Putri H, Indriani, Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Kota dalam Kerangka Pembangunan Perkotaan. Studi Kasus: Penataan Penyelenggaraan Media Reklame Luar Ruang Kota Yogyakarta. Jurusan Administrasi Negara, Universitas Gadjah mada: 2005. hal 36.

[7] Santoso, Amir dan Riza Sihbudi. 1993, Politik, Kebijakan dan Pembangunan. Dian Lestari Grafika, Jakarta: 1993.

[8] Edwards dan Sharkansky dalam Wahab, Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 31dalam skripsi Hernani, op.cit, hal. 25.

[9] David Easton dalam Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992, h. 59-60 dalam skripsi Hernani, op.cit, hal. 29.

[10] Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Nelson-Hall Publisher, Chicago:1985 dalam Skipsi Safrina, Dian, op.cit, hal 19.

[11] Anderson, James, Public Policy-making, Second edition, Holt, Rinehart and Winston: 1979 dalam Islamy, Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan 12, Bumi Aksara, Jakarta:2003. dalam Putri H, Indriani, op.cit, hal 37

[12] Utami, Inggit dalam Skripsi Implementasi Kebijakan Pajak Restoran Berdasarkan Perda No.8 Tahun 2001 Dalam Rangka Meningkatkan PAD Kabupaten Sleman. Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2004.

[13]Yudita, Diah Rachma dalam Skripsi Implementasi Kebijakan Biaya Operasional Pendidikan Dalam Kerangka Otonomi Kampus (Kasus SK Rektor UGM No.109/P/SK/PD/2002), Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2004. hal 18.

[14]Tangkilisan, Drs Hessel Nogi S,Kebijakan Publik yang Membumi.Lukman Offset YPAPI, Yogyakarta: 2003, hal.2

[15] Amir Santoso, Analisa Kebijakan Publik : Suatu Pengantar, Jurnal Ilmu Politik No. 3, Gramedia, Jakarta, 1992, h. 4 dalam skripsi Hernani, op.cit, hal. 26.

[17] Peter, Guy. American Public Policy, NY: Franklin Watts, 1982 dalam Purwanto, Erwan Agus, Laporan Penelitian “Kebijakan Publik: Perkembangan Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jurusan Administrasi Negara. UGM: 1998. hal 17

[18] Lele, Gabriel, Post Modernisme dalam Pengembangan Wacana Formulasi Kebijakan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta: 1999 dalam skripsi Safrina, Dian, op.cit, hal 22.

[19] Ismail, Fauzi. Libatkan Rakyat dalam Pengambilan Kebijakan, Forum LSM DIY, Yogyakarta: 2005 dalam Sundari Yudhiani, Titi, Kebijakan yang Tidak Partisipatif, Studi Kasus: Kebijakan Relokasi Pasar Wage, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2005, hal 18

[20]Agomo, Moh. Ilyas Purwo. Skripsi dengan judul Jaringan pesantren dan kebijakan publik. Studi terhadap Peran Jaringan Pesantren dalam Proses Kebijakan Publik di Kota Solo. Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM: 2006.

[21] Widiastuti, Prastiwi dalam Skripsi Dinamika Kebijakan Bus Perkotaan di Yogyakarta. Jurusan Ilmu Administrasi, UGM: 2006.

[22] A. Hoogerwerf, Politicologie : Begrippen en Problemen (Alpen aan den Rijn, Samson Uitgeverij, 1972), hal.. 3 8-39 dalam skripsi Ari Dwi Astuti, ”Selamat Pagi Bupati”: Studi Tentang Efektifitas Sosialisasi Kebijakan Pemda Kebumen Melalui Siaran Radio, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM, 2004