Selasa, 19 Mei 2009

Nemu coretan di antara catatan kuliah: Nalika ngalamun, ngambara ing awang-awang

Dalam pertemuan pertama kuliah Sosiologi Perkotaan

Telah senja usianya. Sayang saya bukan si penulis kematian sebagaimana yang tercerita dalam salah satu prosa Puthut EA. Kalaupun saya adalah dia, tentu saya tak akan menulis tentang dia. Tak sopan memang membicarakan beliau begini. Ilmunya masih sangat dibutuhkan untuk perbaikan perkotaan di negeri ini. Saat ini belum juga saya mengenalnya, hanya sekadar nama. Barangkali ia tak seperti apa yang saya dan mungkin teman-teman kira. Usia senjanya masih dipenuhi semangat untuk mengajar kami. Sedang kami hanya ngantuk-ngantuk atau malah mengobrol tentang hal lain. Sudah empat puluh lima menit dihabiskan hanya untuk menyampaikan teknis kuliah. Tersirat meminta kami untuk memaklumi keterbatasannya dalam semangatnya yang masih luar biasa. Baru kemudian beliau menyampaikan substansi kuliah ini. Tentang sosiologi perkotaan sebagai disiplin ilmu, banyak permasalahan, bukan hanya asal ngomong tentang kota, dan seterusnya.

.......salam pada pucuk daun merah jambu. Yang tampak malu menantang garangnya matahi pagi ini. Salam pada riang burung pucuk reranting. Sedikit menggoyangkan tempatnya berpijak, lalu terbang kembali. Salam kepada aku yang angin, salam pada kepak sayap kupu kuning semu. Salam pada aku yang langit. Salam pada aku yang awan, aku yang menjelma dedaunan, aku yang menjadi zat asam dan segala unsur dalam udara, aku yang segalanya.......

Sosiologi perkotaan dipengaruhi oleh mahzab Chicago, lahir dan berkembangnya tidak lepas dari sosiologi pedesaan. Saat desa dan kota masih dikotomik, memiliki perbedaan ekstrem hitam dan putih. Terdapat isolasi fisik dimana terdapat keterpisahan secara signifikan.......

...............................

Bagaimana aku bisa kembali mencipta puisi

Kita pernah menghayat dalam pekat

Mencair bersama pedih mendidih

Dan waktu mulai menjadikanmu lain

Tak lagi nangkring di tingkap jendelaku

Pada pagi membatu

Menjual senyummu

Dan kubeli dengan secangkir kopi susu

Hilangmu mengada kembali

Lalu kembali kau menjejakkan kakimu pada bumi

Aku mengada kembali tanpa kau

...........................

Telah kupadamkan matahari dengan selarik hujan

Aspal jalanan menguapkan panasnya

Menjadi segantang asap kenangan

............................

Tembok-tembok kota telah lelah menyerap suara

Kau katupkan kelopak matamu sesaat lalu

Membayangkan tulang-tulang kerontang

Sedang aku

Masih setia menghabiskan sisa nafasmu menjelang petang

...........................

Untuk hari ini, akan kutitipkan kedua mataku kepadamu. Kau bisa memakainya untuk hiasan kemeja. Dan kau bisa memakainya untuk melihat lebih jelas dengan dua pasang mata. Betapa gemerlap gelap dunia. Dalam sehari tanpa sepasang mata.

...........................

Kadang pikiran bisa terlalu ekstrem kalau dibiarkan. Ketika aku merasa ingin mengumpatmu sejadi-jadinya. Karena membenci adalah makna dari kedalaman kasih. Lalu perlahan, kebencian ini akan membunuhku dan membunuhmu. Perlahan dan sangat perlahan. Sampai kau merasakan batas dari kesakitanmu. Dan inilah waktu ketika kenikmatan yang sebenarnya bisa terasakan. Tertawalah kau membaca tulisan ini. Sampai pecah petala langit. tuhan bisa mendengar aku tertawa. tuhan bisa pula melihat kejahatanku saat aku membunuhmu dan membunuhku sekaligus. Pembunuhanmu dan ku adalah secuil dari kejahatan yang pernah kuceritakan kepada orang. kau telah mati. Tapi aku tetap saja tak pernah berhenti meneleponmu setiap hari di tengah malam.
.......................................
Beberapa tercipta waktu kuliah Kapita Selekta Pemerintahan, juga Sosiologi Perkotaan. Maafkan kalau saya terlalu ngelantur dan tak pernah serius mendengarkan..