Rabu, 25 Maret 2009

Ilmu Pemberdayaan

18 Maret 2009

Ilmu Pemberdayaan

Sore yang panas, melebihi cuaca pada umumnya. Suara gareng pung (sejenis serangga pohon) menjadi penanda Indonesia mulai memasuki musim panas tahun ini. Apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia di musim ini? Semua masih seperti biasanya. Mereka menjalani kehidupan dengan biasa-biasa saja. Sebagaimana adanya. Saat mereka merasa merdeka dan gembira dalam ketertindasan.

Masyarakat yang sudah dijajah, kalau sudah lama tak dijajah lagi, maka mereka akan mengingatkan sang penjajah, “Kok, kami tak dijajah lagi ya?” analogi ini bisa digunakan untuk menjelaskan konsep pemberdayaan.

Jika Anda menjadi seorang pemimpin, lalu ditanya rakyat, “Saya tak butuh demokrasi, saya tak butuh kemerdekaan, tapi saya hanya butuh makan,” lalu apa jawaban Anda?

Orang paling tertindas, terjajah di negeri ini sebenarnya adalah buruh dan karyawan. Tapi uniknya, orang Indonesia banyak yang antri untuk jadi buruh dan karyawan. Konsep pemberdayaan sebernarnya dekat dengan konsep kemerdekaan. Ruh dari pemberdayaan adalah keinginan untuk merdeka. Tapi asal tahu saja kalau ditindas itu lebih nyaman dari merdeka. Lihat saja, jumlah orang yang antri untuk ditindas lebih banyak daripada orang yang antri untuk merdeka. Ironisnya lagi, orang yang menindas itu lebih sedikit dari pada yang mau ditindas. Celakanya, mau ditindas saja harus pakai syarat dan orang Indonesia justru banyak yang tidak memenuhi syarat untuk prosesi penindasan itu.

Orang yang makmur tapi tak merdeka, sebagaimana seekor burung peliharaan orang kaya. Hidup dalam sangkar emas memang bisa makmur. Bayangkan saja berapa biaya yang dikeluarkan orang kaya untuk merawat burung kesayangannya. Mulai dari asupan makanan terbaik, kebersihan sangkar, sampai pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan. Namun, yang punya burung ini tak pernah bertanya sekalipun apa keinginan burungnya. Mau makan apa dia? Si tuan tak pernah pedulikan.

Oleh karena itu, ada beberapa indikator untuk mengetahui orang yang berdaya. Pertama, bisa memenuhi kebutuhan dasarnya: sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan. Kebutuhan fisik dan sosial yang bisa terpenuhi dalam indikator pertama ini masih diklasifikasikan sebagai kebutuhan dasar setingkat hewan. Kebutuhan ini bisa terpenuhi apabila menjadi ‘monyetnya orang kaya’ atau ‘kucingnya orang kaya’. Indikator orang berdaya dalam hal ini masih menganut teori sosial lama.

Teori sosial lama kemudian mulai surut dengan kehadiran Gerakan Sosial Baru (GSB). The New Social Movement ini menganut ideologi post-materialisme. Orang tidak lagi cukup dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya secara fisik. Manusia hidup butuh cinta, pengakuan, keadilan, dan rasa aman. Setiap orang memerlukan pengakuan atas hak-hak dasarnya. Hal ini mendasari disahkannya 10 Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Konfensi Genewa.

Sebuah cerita dari Madura pada masa Orde Baru bisa menggambarkan ironi ketertindasan manusia saat tak bisa menggunakan hak pilihnya. Saat itu pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi nilai-nilai luhur Pancasila melalui penataran P4. Tempat penataran telah dipersiapkan, dengan penjagaan ketat dari Babinsa. Waktu berlangsungnya penataran telah tiba. Ditunggu lama, tak satu pun warga yang muncul. Para Babinsa akhirnya mengalah untuk mendatangi beberapa rumah warga. Salah satu warga mengatakan dengan logat Maduranya yang khas, “Buk-abuk. Lha wong nyoblos PPP (baca:P3) saja tak boleh, kok malah disuruh P4 (baca: datang penataran P4).” Tugas seorang pemimpin adalah membangun pendidikan kewargaan. Dan inilah yang banyak dilupakan pemimpin negeri kita saat ini. Meskipun, caranya tidak harus se-ekstrim apa yang dilakukan pada masa Orde Baru. Dampaknya, jangankan untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan dasarnya, masyarakat sekarang bahkan ada yang tak tahu apa haknya.

Kedua, indikator orang yang berdaya adalah mampu berpikir kritis. Ia tahu siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan. Dalam kebijakan publik misalnya, memang tak bisa menguntungkan semua pihak. Tapi setidaknya, kembali kita tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan implementasi kebijakan tersebut.

Ketiga, indikator orang yang berdaya adalah mampu mengakses pusat-pusat sumberdaya. Sebagaimana sebuah radio, ia mempunyai antena yang tinggi, mampu menangkap sinyal dengan jangkauan tinggi. Ia mempunyai jangkauan informasi yang luas, dan instrumen untuk memilikinya adalah dengan penguasaan bahasa.

Keempat, be a part of organisasi rakyat. Dalam rangka menyelesaikan masalah HAM, seseorang harus tergabung dalam organisasi sosial. Ia tak bisa memperjuangkan nasibnya sendiri. Misalnya, seorang pedagang Malioboro yang selalu diganggu preman. Akan lebih mudah melakukan perlawanan atau melaporkan ke pihak berwenang apabila mengatasnamakan Persatuan Pedagang Malioboro.

Kelima, memiliki kontrol sosial, kontrol terhadap kebijakan yang merugikan.
Konsep pemberdayaan di Indonesia ini tidak jelas. Indikator yang terdapat pada nomor satu sampai lima tidak mencantumkan kata modal di dalamnya. Tapi, wacana yang berkembang adalah setiap pemberdayaan dapat dilakukan apabila mempunyai modal. Padahal, modal sebenarnya hanya dipikirkan oleh ‘tulang miskin’. Sedangkan orang yang berdaya adalah orang yang mempunyai semangat untuk berprestasi, bukan semangat untuk mendapat untung.

Anak muda tetangganya orang yang ngomong tentang pemberdayaan ini, suatu hari menghampirinya. Ia lalu berkata, “Mas, Anda kan punya kenalan di bengkelnya Anu to? Mbok, saya dititipkan di sana. Tak dibayar pun tak apa-apa. Yang penting saya bisa bekerja dan mendapat pengalaman.” Enam tahun berikutnya, anak muda itu sudah bisa mendirikan bengkelnya sendiri. Ia menggunakan kesempatan yang dimilikinya untuk belajar sebaik-baiknya. Membuka bengkel pun ia tak butuh modal. Ia hanya mengelola aset bengkel yang sudah bangkrut milik seseorang. Segala fasilitas yyang ada ia kelola dengan baik hingga bengkelnya ramai dikunjungi. Dari cerita ini, dapat disimpulkan bahwa modal adalah pembunuh utama bagi sang pemberdaya. Orang Indonesia selalu berpikir tentang aset dan investasi tanpa bisa dengan baik mengelolanya, hingga para pegawainya pun diimpor dari luar negeri semua. Sementara orang Indonesianya cuma jadi buruh belaka.

Ilmu pemberdayaan orang Indonesia sebenarnya masih bid’ah. Sesuatu yang tidak ada tapi di-ada-adakan sendiri. Bid’ahnya orang Indonesia adalah aset dan modal itu tadi. Padahal, apabila ditilik lebih lanjut, aset dan modal sebenarnya hanya menjadi beban. Lihat saja, berapa orang pengusaha yang mati bunuh diri karena modal mencekik dirinya.

Mindset pemberdayaan adalah menuju pada prestasi dan bukan kekayaan. Usaha orang bodoh sampai sekarang masih dijalankan oleh orang-orang kaya di negeri ini seperti membeli pom bensin. Ini bukan masalah untungnya, bila dikalkulasi, berapa keuntungan orang yang punya pom bensin? Mereka berlomba-lomba membangun pom bensin paling megah dengan segala fasilitasnya. Bukan untungnya yang dipikirkan, tapi ada kesan ‘wah’ saat seseorang bisa mempunyai aset. Sepertihalnya orang jual pulsa, sebenarnya mereka tidak butuh toko. Lagi-lagi ini masalah aset.

(Lha piye, wong kita hidup juga tetap butuh materi. Tak bisa hidup hanya dengan semangat. Bukannya saya materialis. Tapi ini realita. Meskipun itu hanya sekadar konstruksi sosial, tapi memang tak satu pun dari kita yang bisa keluar dari itu. Tak usahlah hidup di tataran ide. Kita ini hidup di dunia. Kalaupun ada yang bisa menjalaninya, paling cuma satu dua orang saja. Dan barangkali saya tak termasuk dalam golongan itu.)

Agak melenceng sedikit, meskipun masih relevan. Kontrak negara dengan warganya terkait dengan dua hal: yang berhubungan dengan eksistensi negara dan kontrak ideologi. Orang sejahtera di negeri ini urusan siapa? Kalau urusan negara (sosialis), memiliki konsekuensi bahwa warga negara harus ikut apa kata negara. Kalau kesejahteraan adalah urusan masing-masing, maka pengaturannya juga berada di tangan masing-masing (liberal). Lha, negeri kita ini tanggung, tidak mau dibatasi oleh negara tapi kalau ada apa-apa, negara yang menaggung. Slenco. Negara juga jadi bilang, “Emang gua pikirin.” Negara maunya A, rakyat maunya B. Lagi-lagi Slenco. Pertalian mesra antara negara dan rakyatnya entah kapan bisa terwujudkan.

Kamis, 12 Maret 2009

kiat menulis skripsi

Mengidentifikasi Hal-Hal Penting dalam Penulisan Skripsi,
utamanya Penulisan Proposal :

Masalah substantif:
Permasalahan substantif sebenarnya lebih mudah diatasi daripada permasalahan non-substantif. Permasalahan ini biasanya terkait dengan pemilihan tema, proses penelitian, teknik analisa data, metodologi, dan sebagainya.

Masalah non-substantif:
Penulisan skripsi lebih banyak terkendala oleh permasalahan yang non substantif. Permasalahan itu bisa timbul dari keluarga, permasalahan dana, masalahan psikologi, masalah teknis terkait dengan proses pembimbingan, dan sebagainya. Namun, permasalahan non-substantif tersebut juga bisa mendorong percepatan menulis skripsi. Misalnya, ketika banyak teman yang sudah menyelesaikan skripsi. Beban moral kepada orang tua yang sudah bersusah payah memeras keringat demi membiayai kita juga bisa menjadi dorongan tersendiri.

Terkait dengan prosedur izin, sebenarnya hanya bisa menjamin informasi yang bersifat permukaan. Penggalian data dari narasumber membutuhkan keterampilan. Apabila mengahadirkan sebuah pro dan kontra maka kajian tersebut harus seimbang alias cover both side. Hal ini membutuhkan seni, menimbulkan kesan imperatif dengan penggunaan analogi-analogi—menyampaikan kebenaran dengan seni. Kiat lainnya, penyampaian data bisa juga dengan re-frame melalui wacana disekitarnya.

Kiat Pribadi Nara Sumber:
Menulis skripsi sebaiknya tidak dilakukan sendirian. Teman dan komunitas salah satunya bisa sangat membantu kita menemukan insprirasi melalui berbagai diskusi. Meskipun dalam hal ini skripsi tetap menjadi sebuah karya yang mandiri.

Bersemangat dalam menulis skripsi didahului dengan suatu pemikiran bahwa skripsi adalah sesuatu yang berharga bagi kita. Kita menulisnya sekali seumur hidup. Sebuah perjuagan yang dibayar dengan ongkos emosional yang berat hingga dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah mandiri. Skripsi dapat memutus ketergantungan dalam salah satu fase kehidupan kita. Skripsi menjadi semacam proses bertapa yang bersifat kontemplatif. Mahasiswa diharuskan untuk mulai berpikir bahwa lingkungan tidak lagi menjadi pusat. Kita harus menjaga jarak dengan lingkungan hingga dapat melihat atau bahkan mempermainkan realita. Proses ini memungkinkan kita untuk melihat hal yang sebelumnya tidak tampak.

Tema yang menarik adalah tema yang mungkin dianggap remeh-temeh bagi orang lain, tetapi itu justru menarik bagi kita. Newton bisa menciptakan teori besar hanya karena apel yang jatuh—hal yang sangat remeh bagi orang lain. Pemilihan tema yang unik berkaitan dengan keinginan untuk menjelaskan sesuatu yang besar, tetapi dengan cara yang sederhana. Kajian tentang musik dan politik, misalnya. Tema ini berusaha untuk membongkar tradisi ilmu politik yang pada saat itu banyak berisi kajian-kajian normatif. Tugas penulis adalah mencari tali antara musik dan politik—dua ranah kajian yang sebenarnya sangat luas tapi harus bisa menjelaskan sesuatu. Maka, menulis skripsi membutuhkan selektifitas terhadap data-data yang ada. Segudang data yang ditemukan perlu untuk dipilah dan dipilih mana yang relevan digunakan. Tantangan yang biasa dihadapi dalam proses ini adalah karakter sembarangan yang biasanya melekat pada mahasiswa. Dalam penulisan skripsi, kita dituntut untuk melepaskan karakter tersebut dan berusaha untuk lebih bertanggung jawab.

Masih terkait dengan tema, pengalaman Mbak Nova bisa menjadi salah satu referensi. Pada masanya, kajian akademis mayoritas merujuk pada Islam. Menarik kiranya ketika bisa mengambil hal yang minoritas. Mbak Nova akhirnya mengambil tema tentang Gereja (Khatolik) dan parpol. Proses penulisan skripsi merupakan refleksi dari keseluran kuliah yang telah diterima selaman ini. Proses ini merupakan hal yang unpredictable. Bisa jadi seseorang menuai keraguan di tengah jalan. Kesetiaan pada tema tampaknya menjadi hal penting yang harus diperhatikan.

Pemilihan tema hendaknya juga memperhitungkan keamanan—aman bagi akademis dan aman untuk dikonsumsi publik. Skripsi merupakan karya yang bebas nilai. Ia tidak menyerang atau mendiskreditkan sesuatu. Hal ini membutuhkan kelihaian dalam mengelola argumen, menyajikan data, memilih responden, yang tidak bisa diperlakukan secara sembarangan. Permasalahan ini juga menyangkut porsi, bagaimana sesuatu yang berbahaya itu bisa dijinakkan, bermain sesuatu yang berbahaya tapi bisa berakhir dengan indah.

Pemilihan tema bisa berangkat dari apa yang kita punya. Hal sederhana yang biasa berada di sekitar kita dan biasa kita akrabi dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan tema bisa juga berangkat dari apa yang menyenangkan bagi kita. “Inspirasi bisa muncul kapan saja. Maka, saat ini mulailah dengan memperhatikan setiap realitas. Catatlah hal yang sekiranya menarik. Rangkai catatan tersebut dan baca ulang. Temukan sejuta inspirasi di dalamnya.” Kata Utan menambahkan.

Skripsi pada dasarnya adalah menyusun kepingan realitas dengan alur berpikir tertentu. Penulis diharuskan untuk membuat batasan-batasan terhadap realitas sehingga kajian tersebut tidak terlalu luas dan menghasilkan banyak kesimpulan. Dalam proses penulisannya, permasalahan non-substansi yang biasanya peling menghambat.

Secara teknis menulis skripsi harus disertai dengan prinsip efisiensi. Apabila bisa dijelaskan dengan satu kata, maka tidak perlu dijelaskan dengan satu kalimat. Intinya adalah to the point dan tidak bertele-tele. Efisiensi sekaligus merupakan cara untuk mengasihani dosen yang sudah banyak kesibukan ditambah dengan keharusan untuk membaca skripsi kita.

Pengerjaan skripsi membutuhkan intensitas yang luar biasa. Ia juga membutuhkan pengorbanan besar. Sebagaimana merawat bayi yang membutuhkan intensitas dan konsistensi ekstra. Cara percepatan pengerjaannya, seperti yang diungkapan para nara sumber adalah dengan mengurung diri dalam kamar. Meluangkan waktu sekitar tiga bulan, khusus untuk mengerjakannya. Penulisan skripsi menuntut skala prioritas, disamping harus tetap menjaga komunikasi dengan dosen pembimbing, juga berkomunikasi dengan yang lebih ahli.

Strategi:
- Mulai fokus pada tema yang telah dipilih
- Mulai membangun jaringan dengan nara sumber dan responden, juga dengan orang-orang yang berpengetahuan lebih
- Mulai mengumpulkan data dan bacaan yang terkait dengan tema
- Membuat ¬time line
- Konsisten terhadap pilihan dan apa yang kita kerjakan
- Menjaga komunikasi dan hubungan dengan dosen pembimbing. Semoga beliau sanggup meluangkan waktu untuk kami, disela kesibukannya.
- Terus berdoa, perbanyak ibadah dan tetap berusaha. Meski katanya, skripsi ku bakal susah buat nyari data.

Jumat, 06 Maret 2009

nyata-nyata bohong-kebohongan nyata-apa??

23 Februari 2009, Dari seorang teman

“Kenyataan yang Berbohong”
Lihatlah...
Mentari itu tersenyum mesra
Dipagi dengan dunia tak bermahkota
Budak-budak bahagiapun tertawa bersama majikannya
Selongsong peluru tipu bunuh peraduan canda itu
Kala kaki ini injak bayang-bayang
Kala terang jadi musuh untuk petang
Dan...
Cahaya tanpa bintang itu cekik kulit ari,
Matahari dengan bendera siang hambarkan kenyataan
......................................................................
Adalah sebuah keniscayaan bahwa kau adalah sahabatku. Sekarang dan untuk selamanya. Barangkali memang tak banyak yang terceritakan kepadamu. Tentang kehidupan, cinta dan segala rahasia. Aku tak bisa bercerita, Kawan. Saat seseorang itu datang dan berbicara, aku tau raut mukamu akan berubah saat itu. Seraut kekecewaan yang tersirat. Sedikit kegalauan dan berpikir apakah apa yang dikatakannya tentangku adalah benar. Kenyataan yang berbicara, Kawan. Kenyataan tak pernah berbohong kecuali saat kenyataan itu menjadi kata-kata yang keluar dari mulut manusia. Tak mudah bagiku untuk menangkap maksud dari puisimu. Kadang memang kau terlalu menggunakan pilihan kata yang tak senada. Tapi aku suka. Kawan, kenyataan telah berbicara padamu dan aku tak lagi bisa menyembunyikannya darimu. Aku mengerti apa yang berada dalam hatimu. Kuharap tak akan mengubah kita. Satu kalimat yang kau dengar tentu tak akan bisa menggambarkan cerita utuhnya. Atau aku memang yang telah salah. Kita memang tak pernah jujur, bukankah begitu, Kawan? Selamat malam.
.................................................................
6 Maret 2008
# Kurangkai seruan adzan kala fajar berdansa gembira
Bersama kabut serabut
Terbangun mimpi sang tidur meraba mentari di balik serambi.
Ah..
Aku seperti mengenal nyanyian-nyanyian yang berkumandang di antara suara kokok ayam,
Itu lagu Tuhan, perintahkan kita untuk sembahyang akhir dari malam...

## Tak kuhiraukan seruan dan nyanyi itu
Tubuh ini serasa mati
Tertimbun lelah
Tak kuhiraukan sapaan pagi ini
Tubuh ini tak mau bergerak lagi
Terkunci detik-detik hari

Saat bertemu Sapardi Djoko Damono

21 Februari 2009 at Momento Cafe

Menulis Puisi Cinta Bersama Sapardi Djoko Damono

Obrolan kali ini mengalir bersama seteguk kopi pahit. Glek..glek..glek..kopi pahit pun menjadi manis dengan cinta dalam jiwa. Sebuah sajak kembali diterbangkan angin. Masuk lewat celah jendela dan bersemilah setangkai cinta yang tertinggal di sudut mata.

Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Baru kali ini waktu mempertemukan saya dengan Sapardi. Beliau terlihat sebagai seorang tua yang penuh cinta. Itulah kesan pertama yang tertangkap. Mengenakan jas sederhana berwarna coklat muda dan sebuah topi khas para pujangga, seperti yang sering dikenakan Putu Wijaya. Caranya berbicara sederhana, demikian juga dengan berbagai pilihan kata dalam puisi-puisinya. Tampak gampang ditangkap sebagai sebuah gambar visual. Beginilah cinta diterjemahkan. Beginilah berbagai kegelisahan akan terjawab. Beginilah ketika seorang penyair mulai melisankan kembali puisi-puisinya.

Sedikit cerita pembuka. Seorang sahabatnya yang bernama Bakdi Soemanto akhir-akhir ini sering mengirimanya pesan singkat. Bercerita bahwa puisi “Aku Ingin” sering dibacakan dan dilagukan di berbagai acara pernikahan, juga di gereja. Membuat banyak orang menangis karena tersentuh oleh keindahan bahasanya. Banyak juga orang yang menyangka kalau beberapa puisinya adalah karya Kahlil Gibran. Rasanya tak banyak orang yang percaya kalau puisi cinta seindah itu adalah buatan orang asli Indonesia, Solo tepatnya. Puisinya menjadi dikenal karena dilakukan, dimusikalisasikan dan kembali dengan mudah dapat ditangkap sebagai sebuah gambar yang begitu mempesonakan.

Bagi Sapardi, seorang seniman harus selalu bereksperimen. Orang yang hanya meniru suatu gaya pasti akhirnya akan mati. Eksperimen dalam puisi adalah bagian dari proses belajar mengenal bahasa. Penyair yang baik harus bisa menjadi pencuri yang baik. Sastra, puisi sejatinya adalah pengenalan terhadap bahasa. Dan belajar bahasa salah satunya dapat dilakukan dengan meniru banyak gaya dari orang lain. Tak perlu teori yang bermacam macam. “Untuk bisa menulis ya harus membaca, sebagaimana orang yang ingin bisa bicara ya harus belajar untuk mendengar.” Demikian katanya. Sekitar tiga minggu yang lalu, Sapardi menulis sebuah soneta di Kompas. Hal ini dilakukan untuk mengetes dirinya sendiri. Bentuk sajaknya tak pernah seragam. Bermacam-macam, bahkan ada yang sangat berlainan. Karena sekali lagi, orang yang bertahan di satu titik adalah mati.

Sejarahnya, sastra merupakan bentuk pengungkapan lisan. Hal ini kemudian mengalami perubahan hingga sekarang bisa dinikmati dalam bentuk tulisan. Tulisan dapat dikembangkan melalui membaca karya banyak orang. Tulisan Sapardi sendiri sebenarnya adalah curian bahasa dari sana sini. Membuat puisi yang baik terkait dengan bagaimana seorang penulis bisa menjadi maling yang baik agar tidak ketahuan telah mencuri. Dan hal inilah sebenarnya yang susah dilakukan. Sapardi sendiri mengaku kalau ia banyak mencuri untuk kemudian diolah sedemikian rupa sehingga dapat diakui menjadi hasil karyanya.

Banyak orang yang tak yakin bahwa ia adalah penyair. Oleh karena itu, penting untuk meyakinkan diri sebagai bahwa kita adalah penyair. “Jangan sekali-kali men-cap diri kita sebagai penyair remaja. Karena selama-lamanya kita hanya akan menjadi remaja.” Pesannya singkat. Sapardi sendiri tak pernah mengirimkan hasil karyanya ke majalah-majalah remaja. Ia langsung mengirimkannya ke media cetak nasional dengan penuh percaya diri. Berikutnya, “Jangan bertanya atau meminta orang lain berkomentar atau mengkritik karya kita. Hal ini akan membuat kita menjadi bingung sendiri terhadap banyak pendapat yang didengarnya.” Tambahnya.

Hal yang lebik dilakukan adalah berusaha untuk ngonceki—mengupas karya, menjadi kritikus dari karya yang kita baca. Seperti halnya wayang yang diadaptasi dari India. Orang Jawa memiliki versinya sendiri yang disesuaikan dengan pemahaman, pendalaman filsafat Jawa, juga kondisi pada saat itu. Dan hasil karya baru itupun akan tetap bisa diterima. Memiliki keyakinan bahwa kita suka, mampu dan mau melakukannya menjadi kunci penting dalam menghasilkan karya.

Sapardi dalam proses kreatifnya juga tak kenal dengan penyair manapun. Seorang penyair memang harus bekerja di kamar, bukan di komunitas. Beliau tak percaya bahwa komunitas dapat meningkatkan kretifitas. Kreatifitas murni berasal dari pergumulan penyair dengan relitas yang mengelilinginya. Inspirasi tidak hanya berasal dari kejadian yang dialami oleh penyair tetapi bisa dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Terciptanya sebuah sajak bisa dikarenakan adanya rangsangan dari luar. Apapun itu, sebenarnya bisa menjadi bagian dari proses kreatif kita.

Seorang dari kami bertanya tentang mengapa ada banyak sekali hujan dalam puisi Sapardi. Bingung juga ia menjawab pertanyaan ini. Tak ingat lagi hujan yang mana yang dituliskan dalam ribuan puisinya. Kata itu seakan tertulis begitu saja. Dan memang hanya ada dua musim di negeri ini. Sebenarnya banyak juga kata kemarau, hanya saja itu berada dalam bait-bait puisinya yang tak banyak dikenal. Hujan memiliki kesan tersendiri baginya, terutama masa kecilnya. Sebagaimana anak-anak lain, Sapardi kecil sangat suka bermain di tengah hujan dengan bertelanjang. Berlarian bersama teman-teman. Hujan pun menjadi benda yang banyak dinanti orang untuk menumbuhkan benih-benih yang terlelap di bawah lapisan tanah. Hujan hanya menjadi semacam imaji atau citraan. Bisa saja ia menuliskan tentang keindahan salju. Hanya saja itu bukan menjadi bagian dalam hidupnya, meskipun ia juga pernah melihat salju.
Sementara bagi sebagian penyair, bagaimana mereka bisa menulis tentang salju apabila hanya melihat gambarnya tanpa pernah mengalami dan merasakan secara langsung. Bisa saja, hanya saja..

Ditanya tentang pengaruh situasi akademis, sapardi menjawab, “Begitu menulis sastra, saya tak ingat lagi segala macam teori yang saya pelajari maupun saya ajarkan. Tapi kalau bicara teori, tentu saja harus menggunakan karya sastra untuk menjelaskannya. Teori bagi saya hanya memberi nama bagi hal yang sudah ada.”

Seorang lagi bertanya apakah ia pernah merasa malu saat membaca ulang sajaknya. Seakan menjadi sajak yang tak layak untuk dipublikasikan. Hal ini memang wajar saja terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana Sapardi menulis sajak cinta waktu SMA. Seorang remaja yang jatuh cinta kemudian menghasilkan puisi. Mengerikan sekali. Bisa dibandingkan dengan hasil karyanya sekarang. Tentu itu akan terlihat sebagai fase perubahan hasil karya seseorang apabila ia terus menulis dari waktu ka waktu. Sajak yang terbaik bagi Sapardi adalah sajak yang akan ditulisnya. Itulah mengapa ia tak pernah puas dengan karya yang telah dihasilkannya. Selalu bereksperiman dengan puisi-puisi.

Bagaimana kalau Sapardi macet dalam menulis puisi?
“Rasanya saya tak pernah mengalami kemacetan dalam menulis puisi. Saya hanya menulis kalau ada keingingan. Gak perlu nunggu datangnya inspirasi. Dalam satu malam, saya pernah menulis sampai delapan belas sajak dan tak ada coretannya. Mengalir begitu saja sampai tepar di subuh hari. Tetapi ada juga sajak yang saya tulis sampai dua tahun tak selesai. Dan bagi saya itu adalah hal yang wajar untuk seorang penyair.”

Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka
Ketika jari-jari bunga terbuka
Mendadak terasa: betapa sengit cinta kita
Cahaya bagai kabut, kabut cahaya
Di langit menyisih awan hari ini
Di bumi meriap sepi nan purba
Ketika kemarau terasa di bulu-bulu mata
Suatu pagi di sayap kupu-kupu
Di sayap warna, suara burung di ranting-ranting cuaca
Bulu-bulu cahaya: betapa parah cinta kita
Mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga rekah


Bagian berikutnya barangkali tak beralur karena berasal dari pertanyaan-pertanyaan.
Bagaimana memilih kata?
“Ya, harus mengusai bahasa. Seperti halnya kalimat ‘Betapa sengit cinta kita’, lha ini mung ngapusi. Cinta kok sengit. Penyair harus mahir membuat metafor. Imaji itu sebenarnya hanya bohong-bohongan belaka. Inilah pekerjaan saya, mengutak-atik bahasa. Apabila orang tak mengusai bahasa, maka ia akan gamang, ragu menggunakan bahasa itu. Puisi itu tak bisa dipercaya, hanya akal-akalan si penyairnya saja.”

Puisi itu memang dekat dengan sekali dengan musik. Bahkan puisi seringkali dibuat untuk dinyanyikan. Puisi yang ditulis mempunyai karakter yang berbeda dengan puisi yang diciptakan secara lisan. Dulu, Ranggawarsita menulis puisi untuk ditembangkan. Puisi memiliki unsur orality—ketika dibaca akan terdengar seperti memiliki musik. Dalam puisi memang mengandung unsur musik yang tercermin dalam rima setiap barisnya. Mendengarkan sebuah puisi dibaca sama halnya seperti mendengarkan sebuah irama atau bunyi.

Sekitar tahun 70-an muncul sebuah aliran puisi yang dikenal sebagai aliran puisi mbeling¬. Penggagasnya termasuk Remisilado. Ia membuat puisi-puisi nyleneh karena jagad puisi pada saat itu dikuasai oleh Goenawan Mohammad, Sapardi, Rendra, dan lain-lain. Puisi mbeling diciptakan sebagai gerakan perlawanan terhadap bentuk-bentuk puisi yang bisa dibilang mapan. Beberapa bentuk baru tersebut seperti; sajak ‘tuhantuhantuhantuhantuhantu....’. Sajak yang lain adalah diambil dari terjemahan sajaknya penyair Perancis terkenal, Apoliner.
Dibawah jembatan mirabo, mengalir sungai sein
Lalu ditulis,
Ing sangisore jembatan asemka, akeh umbele China
Sajak ini tampaknya ingin mengontraskan sajak romantis Apoliner dengan kenyataan sosial yang terjadi pada saat itu.

Kemudian, dibacakan sajak berjudul ‘Metamorfosis’ salah satu dari kami menafsirkannya sajak itu bercerita tentang orang hamil. Menggelikan sekali. Sapardi lalu menjelaskan dengan memvisualkan sajak itu dihadapan kami. Tapi, jangan percaya apa yang dikatakan penyair tentang sajaknya karena ia pasti bohong. Tentang hakikat cinta, barangkali bisa dilihat dalam sajak ‘Hujan Bulan Juni’. Dasyat! Sebuah puisi itu multi-tafsir. Saying one thing, meaning another.

Sapardi mengaku kalau ia adalah pencuri terbesar sajak-sajak T.S. Elliot. Seorang Inggris yang puisinya kemudian banyak diikuti Sapardi. Ia juga pencinta Shakespeare, Amir Hamzah, Toto Sudarto Bachtiar, dan sebagainya. Sajak cinta Sapardi kemudian lebih banyak dikenal orang. Padahal ia tak hanya menulis sajak cinta. Banyak nuansa lain, ada sajak protes, tentang kehidupan sosial, politik dan sebagainya. Sajak cintanya lebih banyak dikenal karena dilagukan.

Puisi Sapardi dapat diibaratkan sebagai gambar dari kata-kata. Membuat puisi yang mudah diterima berarti mempunyai gambar yang jelas terlebih dahulu. Alih warna karya sastra memang banyak dilakukan pada masa sekarang. Banyak novel menjadi film, puisi menjadi lagu, film menjadi novel dan sebagainya. Bentuk-bentuk baru yang tercipta tentu saja akan sangat berbeda dengan bentuk sebelumnya, tidak akan bisa utuh. Sehingga, bentuk baru yang tercipta tak perlu dikaitkan lagi dengan bentuknya yang lama.

Tradisi yang sebelumnya lisan, bergantung pada bunyi, kemudian beralih ke tradisi aksara. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan. Siapa bilang pantun itu terdiri dari empat larik. Penulisan itu hanya memudahkan tradisi lisan agar lebih enak untuk dibaca. Perubahan tradisi lisan ke aksara tersebut dilakukan dengan memotong-motong karya menjadi larik-larik tertentu, menjadi kelompok kata. Bunyi-bunyian tersebut ditangkap kemudian dipenjarakan dalam larik-larik. Pembagian itu jelas dilakukan dengan berbagai maksud tertentu. Kalau dilanjutkan bisa jadi tak indah di pandang, persoalan teknis semata. Kita dipaksa berbikir secara visual padahal hakikatnya adalah oral. Sebuah peralihan dari orality menuju literacy.

Senja melarutkan kami dalam obrolan tentang cinta. Bila diteruskan, tak akan pernah ada kunjung usainya. Berakhirlah kisah cinta di senja ini. Kapan-kapan pasti kita bisa ketemu lagi.

Sajak Kecil tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
MencintaiMu(mu) harus menjelma aku


Kekuatan dalam proses kreatif Sapardi sesaat menjadi sangat menginspirasi. Sampai kapankah ini?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------