Kamis, 27 Mei 2010

Guneman Suwung

Kagem Bapak sumawana Ibu ingkang gadhah putra kakung
Kula badhe ndherek langkung

Kagem ingkang sami wuyung
Menika namung guneme tiyang suwung

Kula pengen dipek mantu
Si Mbok mestine mboten sarujuk maringi pangestu
Kulo mboten badhe sedya ala
Ugi marakke kuciwa
Namung karep ndherekake manggih mulya

Kagem sedaya marasepuh
Ingkang sampun katulis jroning pupuh

Mbok nggih kula dipek mantu
Mboten badhe nyengsarakne,
Purun nedhi watu, lugu, sregep, tur ayu
Kula saged nyambut damel
Nadyan mung nguleg sambel

Menawi sampun kepanggih,
Mboten badhe pisah
Kajaba segara tawar tanpa asine uyah
Mboten badhe saged uwal
Kula menika balung rusuke ingkang sempal
Bilih sampun kebacut tresna
Urip seneng, lara lan lapa tansah lila

Kadi redi kang subur murakabi
Kula menika mantu kang gemi, titi lan ngati-ati
Menawi sampun kepengin nggendhong putu
Mbok kula dipek mantu

Sakderenge, urip tansah sepi nyenyet
Nandhang tresna ingkang saged gawe greget
Kamajaya ratih menclok jroning ati
Maksih gadhah pengarep enggal kepanggih ingkang kula padosi

Wengi-wengi tansah rerepen
Mugi kepanggih senadyan mung ning impen

Nuwun

Minggu, 23 Mei 2010

Cerita Juwanti Menegur Hati

Seperti tak bisa mengelak. Semacam ada kekuatan yang berusaha menggerakkan jari-jari untuk menuliskan cerita ini. Semua berhenti dan hanya cerita inilah yang sedari tadi meledak-ledak minta dituliskan. Dalam keadaan begini, ceritalah yang menjadi subyek sedangkan penulis hanya menjadi obyek dari keinginan cerita untuk dituliskan. Tak kuasa menahan desakan, memacu malam.

Pernah saya menceritakan tentang Juwanti sebelumnya. Seorang janda beranak satu yang ditinggal mati suaminya karena penyakit menggerogoti paru-paru. Juwanti menjadi pembantu rumah tangga dengan upah empat ratus lima puluh ribu rupiah per bulan. Tiga ratus ribu harus dikirimkannya ke kampung dan sisanya menjadi biaya makannya sehari-hari. Kalau dipikir memang terasa muskil dan tak mungkin cukup. Nyatanya, Juwanti tetap bertahan di sini. Sampai episode ini datang dalam hidupnya. Kisah yang sepertinya telah digariskan dan tinggallah Juwanti sebagai seseorang yang pasrah menjalani.

Wajah memelas anaknya itulah yang tak bisa terusir dari ingatan. Wajah itu pula yang sepertinya memaksa untuk menuliskan cerita, ketika seorang anak bernama Candra itu hadir di rumah ini. Seorang bocah hampir empat tahun umurnya. Kulitnya gelap. Kedua bola matanya menonjol keluar. Kepala lonjongnya dibiarkan tanpa rambut. Kata Juwanti, ia sengaja mencukur habis rambut anaknya karena selalu tumbuh seperti kembang Lamtoro. Rambut-rambut kaku yang menjulang menembusi langit. Bocah kecil yang selalu memakai kaos kebesaran itu tak bisa pergi dari ingatan. Bajunya sebagian besar adalah pemberian orang, cucu dari si tuan rumah. Karena itu, salah satu pundaknya selalu kelihatan karena bagian leher kaos yang berdimeter terlalu besar tak sepandan dengan badannya. Sudah dua malam ia di sini. Bocah yang tak pernah bisa bersuara pelan. Selalu berbicara dengan teriakan yang mengalun dengan nada khas anak desa dari Gunung Kidul. Wajah itu pula yang selalu menggantung di pikiran. Ketika Juwanti menyuapinya dengan telur dadar, anak yang tak mau duduk. Ia mengunyah makannya sambil nongkrong. Sementara kunyahan perlahan itu diperjuangkan oleh gigi-gigi geripis yang sebentar lagi tanggal.

Juwanti memandangi anaknya dengan tatapan kasih. Baru saja anaknya bisa tak rewel lagi. Sejak datang di rumah ini, Candra belum buang air besar. Inilah yang membuatnya menangis semalaman karena sakit perut. Candra kecil tak terbiasa untuk buang air besar di WC. Biasanya, Juwanti hanya membuat lubang di tanah halaman belakang. Di situlah Candra buang air besar. Lubang tinggal ditutup dan sekalian Candra menyenangkan si tanah dan si rumput. Di rumah ini, Juwanti tak mengerti bagaimana anaknya bisa buang air besar. Kami menyarani untuk melakukan hal yang sama di halaman belakang tapi Candra menolak. Akhirnya, Juwanti bisa bernafas lega. Candra bisa buang ir besar di kali Code. Malam itu juga, seorang tukang becak berkenan mengantarkan Juwanti dan anaknya turun ke kali. Setelah melewati jalan berkelok naik turun, lega sudah perut Candra membuang sisa makanan yang tertumpuk diusus besarnya.

Ia terpaksa ikut mamaknya karena tak mau ditinggal. Juwanti sempat pulang karena Candra sakit, kata dokter setempat, ia hanya terlalu lelah. Tapi, entah kenapa sampai muntah darah. Sempat juga salah obat karena sang nenek memberi tahu dokter bahwa cucunya hanya muntah biasa. Saat Juwanti mau meninggalkannya untuk kembali bekerja, Candra tak ingin lepas dari gendongannya. Terpaksalah Juwanti membawa anak semata wayang yang sangat dicintainya ke rumah tempatnya bekerja. Rumah ini.

Anak ini tak terurus karena hanya tinggal dengan neneknya. Tak pernah Candra menikmati suapan dari neneknya. Ketika makan, neneknya hanya mengambilkan. Apakah Candra akan memakannya atau tidak, neneknya tak peduli lagi. Saat Juwanti pulang, barulah Candra bisa menikmati makanan dari tangan mamaknya. Apapun keinginannya selalu dituruti oleh Juwanti. Baru merasakan mendapat perhatian, maka Candra tak akan membiarkan orang yang memperhatikan dan menyayanginya terlepas dari genggamannya. Perhatian Juwanti yang berlebihan juga tak bisa disalahkan. Ia merasa sangat bersalah karena harus menelantarkan anaknya demi pekerjaan. Tapi kalau berdiam di desa, tak ada juga yang bisa dikerjakannya. Para tetangga juga banyak yang menekannya, “Kowe ki mbok yo mesakne anakmu. Ra diurus kaya ngono. Kowe ki abot duit apa abot anak to?,”1 seperti itulah sindiran para tetanngga menghujaninya.

Candra harus masuk TK tahun ini. Inilah yang menjadi masalah bagi Juwanti. Ibunya telah mewanti-wanti, “Nek Kowe tetep kerja, aja salahne aku nek anamu dadi goblok.”2 Si nenek tak sanggup kalau harus mengantar dan menjemput Candra setiap hari. Sementara ia harus tetap mencari rumput untuk kambing-kambingnya yang juga tak seberapa banyak. Juwanti terpaksa membawanya. Nyonya di rumah ini belum mengizinkan Juwanti untuk keluar karena belum ada penggantinya. Rumah ini juga akan kedatangan tamu dalam jumlah banyak dan Juwanti harus ikut membantu kerepotan si nyonya rumah mengurusi tamu-tamunya.

Semakin repot saja Juwanti di rumah ini. Si nyonya rumah seperti tak mengizinkannya untuk berisitirahan barang sebentar. Sementara Candra juga suka bandel dan rewel. Segala kemauannya harus diikuti. Candra selalu mengekor keman juwanti pergi, bakhan sering minta digendong. Si nyonya rumah malah jadi ikut pusing karena Juwanti memang harus mendahulukan anaknya daripada pekerjaannya. Tak mungkin juga ia bekerja sementara anaknya sedang menangis. “Nek anakmu melu neng kene, wis Kowe metu wae, Ti,”3 kata si nyonya rumah. Juwanti memberanikan diri untuk mengajukan penawaran. Ia mau tetap tinggal asal gajinya dinaikkan. Terbersit juga dipikiran Juwanti untuk menyekolahkan anaknya di sini. Tentu saja tak akan cukup dengan gajinya yang sekarang. Semua juga tahu tabiat si nyonya rumah. Sampai mati pun, si nyonya tak akan mau untuk menaikkan gajinya.

Juwanti semakin pusing. Di tengah kerepotannya, Candra semakin bandel saja. Sebentar-sebentar menangis. Wajah Juwanti sudah tak bisa digambarkan. Antara kelelahan, sebel, jenes, sekaligus juga tak mau menyakiti anaknya. Sekali waktu, Juwanti pernah menyiwel anaknya yang tak mau berhenti menangis. Tangis anaknya semakin keras. Candra kecil duduk di lantai. Sedangkan Juwanti memandangi anaknya dari kursi lebih tinggi. Diam-diam, air matanya pun leleh. Candra kecil dan Juwanti sama-sama menangis.

Malam ini, Juwanti telah memutuskan. Ia akan kembali ke desa dan bertani, menjaga anaknya, dan hidup hanya demi Candra. Malam ini, tamu-tamu masih saja ribut meski telah larut. Candra kecil tak mau segara tidur. Di depan hingar bingar televisi, Juwanti meletakkan lelahnya dengan berbaring di atas karpet. Candra kecil berbaring pula di samping mamaknya. Mereka terbaring berhadapan. Saling memeluk. Juwanti telah memejamkan mata meski belum lelap. Candra yang berbaring di sampingnya tak juga bisa terpejam. Mata besarnya berkedip-kedip. Dahinya yang menonjol tampak mengilat terkena siratan lampu neon di atasnya. Juwanti membalik badannya, membelakangi dan Candra kecil justru menciumi punggung mamaknya dengan kasih. Ibu dan anak ini telah lekat tak terpisah. Candra kecil mungkin bandel tapi itu hanya karena ia tak ingin berpisah lagi dengan Juwanti. Wajah Juwanti mengeras. Badannya yang gempal seperti mencuatkan kekuatan untuk terus berjuang demi anaknya. Candra kecil berkata pelan dengan nada khasnya yang mengalun, “Mamak, endi tanganmu,”4 Juwanti menjulurkan tangannya. Candra kecil lalu mengusap-usapkan tangan mamaknya di depan hidung mungil itu.

Catatan:
1. Kamu itu sebaiknya kasihan sama anakmu. Tak terurus begitu. Kamu itu lebih milih anak atau uang?
2. Kalau kamu tetap bekerja, maka jang an salahkan saya kalau anakmu jadi bodoh.
3. Kalau anakmu ikut di sini, lebih baik kamu keluar saja.
4. Ibu, mana tanganmu.
Yogyakarta, 21 Mei 2010

Pesan Rahasia dari Pak Guru

Tidak sengaja ketika saya pulang menuju kampung halaman, seorang laki-laki naik dari Terminal Tirtonadi, Solo. Tiba-tiba saja obrolan terjadi. Penumpang dalam bus ini hanya segelintir orang saja. Seperti layaknya sebuah perkenalan biasa antar penumpang, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan seputar darimana dan mau kemana. Seorang laki-laki duduk dibangku sebelah kanan dengan tiga kursi. Sedangkan saya duduk di bangku sebelah kiri dengan dua kursi. Percakapan lalu berlanjut dengan,

“Kuliah dimana?”, tanyanya.

“UGM.”

“Jurusan?”

Ilmu Pemerintahan.”

“Bapak, darimana?,” tanyaku balik sekadar basa-basi.

“Saya mau pulang ke Sragen. Ikut kuliah S1 pendidikan olahraga di UNS,” jawabnya.

“Oh.” Jawabku singkat sambil menunjukkan wajah tanda mengerti, juga sedikit memberi kesan untuk tak melanjutkan percapakan. Tampaknya ini yang tak tertangkap olehnya.

Mendengar kata Ilmu Pemerintahan, Pak Guru itu menunjukkan mimik ingin tahu lebih banyak tentang apa yang saya pelajari. Ia kemudian menanyakan sekitar kalau sudah lulus mau kerja apa? Nanti bisa jadi apa saja? Apakah sama dengan IPDN? Apa saja yang dipejari? Dan pada puncaknya, pertanyaannya mengerucut pada bahasan tentang otonomi daerah.

Pak Guru memulai menjelaskan analisisnya tentang politik Indonesia. Bahasannya dibuka dengan kritik terhadap kepemimpinan SBY. Baginya, pemimpin yang satu ini kurang tegas dalam mengambil sikap. Terlalu banyak perhitungan dan tentu saja memperhitungakan banyak kepentingan, termasuk kepentingan asing yang baginya tampak lebih diutamakan. Pak Guru juga berkomentar tentang otonomi daerah di Indonesia. Sistem ini bukannya menjadikan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik, namun justru cenderung banyak menimbulkan masalah.

Sedari tadi mendengarkan Pak Guru bicara, selayaknya murid yang baik, saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan perkataannya. Tak satu kalimatnya pun saya sela. Dalam hati saya merasa ketar-ketir kalau Pak Guru akhirnya meminta pendapat saya tentang semua itu. Meskipun saya seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan, jujur saya mengaku tak banyak tahu tentang pokok bahasan ini. Politik lokal, otonomi daerah dan teman-temannya cenderung menjadi sesuatu yang tak manarik minat saya semasa kuliah. Mungkin ini yang menjadikan saya belum diperkenankan untuk lulus menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan.

Percakapan terhenti. Seorang perempuan muda duduk menyebelahi saya setelah naik dari sekitaran kampus UNS. Perempuan muda yang juga seorang guru itu kemudian turun di daerah Pungkruk, Sragen. Seperti terjadi secara spontan, Pak Guru duduk di samping saya.

Pada puncaknya, Pak Guru akhirnya menyuruh saya untuk menerangkan perihal otonomi daerah sekaligus implementasinya di Indonesia. Dengan pengetahuan yang serba sempit, saya mencoba percaya diri untuk menjelaskan. Tak yakin juga apa yang saya katakan adalah benar. Namun, perkataan seorang mahasiswa tingkat akhir dari UGM terasa lebih manis, dan Pak Guru mencecapnya tanpa ragu. Sekali lagi saya benar-benar tak bermaksud mengumbar pengetahuan yang salah.

Serba sedikit saya mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang untuk urusan-urusan tertentu dari pusat ke daerah. Dalam hal ini, daerah memiliki kewenangan untuk mengurusi daerahnya sendiri dalam bidang-bidang tertentu.

“Kalau masalah keuangan bagaimana? Apakah kalau otonomi itu, daerah sudah tak berhak menerima uang dari pusat?,” tanya Pak Guru.

Apalagi yang saya tahu tentang pengaturan kebijakan fiskal, Pajak, Bagi Hasil, DAU, DAK, dan sebangsanya itu? Serba sedikit pula saya menjelaskan mengenai hal ini.

“Soalnya begini, Mbak, di Sragen saat ini kan sedang ramai demo. Selain soal ijazah palsu itu, pegawai negeri mau demo juga soal uang lauk pauk yang tak pernah turun. Padahal, itu sudah ada dalam SK Menteri,” lanjut Pak Guru.

“Wah, kalau itu ya di demo saja Pak,” jawab saya singkat sambil tersenyum.

Pak Guru juga ikut tersenyum. Percakapan kemudian dilanjutkan seputar ceritanya tentang keluarga dan anak-anaknya. Barangkali sebuah kehidupan yang bahagia. Tak lebih baik pula dengan kehidupan saya dan keluarga. Pak Guru segera beranjak dari tempat duduknya ketika tujuannya telah dekat. Sebelum pergi, tergambar selintas senyum seorang abdi negara. Saya pun menunduk sambil membalas senyumnya.

Beberapa hari kemudian, saya sadar bahwa ini adalah sebuah rancangan kejadian, runtutan jalinan peristiwa yang sangat indah. Memang saya diharuskan untuk belajar banyak tentang desentralisasi dan otonomi daerah, tak boleh asal bicara kepada orang lain tanpa basis pengetahuan. Sebuah kesempatan yang tidak terduga ketika bisa terlibat dalam pembuatan buku tentang hal itu. Salam hangat buat Pak Guru.

Jogja. 20 Mei 2010

Dilema dalam Bilik Suara

Pilkada selalu menyisakan cerita yang menarik. Salah satunya adalah cerita tentang pemilihan Bupati di Kota N. Sebut saja namanya Melati. Gadis ini memiliki idealisme tertentu dalam berpolitik. Sebagai seseorang yang tak aneh lagi dengan teori-teori politik, Melati justru cenderung apatis dengan praktik demokrasi tingkat lokal macam begini. Di Kota N, struktur birokrasi dan politiknya memang sudah terkenal sakit. Banyak praktik korupsi dilakukan. Soal penerimana pegawai misanya, orang bisa membayar 150-180 juta hanya untuk menjadi pegawai negeri. Ke kantong siapa sajakah uang ini mengalir? Tak pernah ada yang berhasil menangkap siapa si ikan kakap meski sudah sama-sama tahu. Kebanyakan yang tertangkap dan sebenatar juga dilepaskan hanya para teri.

Di Kota N, ongkos untuk menjadi Bupati sepertinnya sangat mahal. Hingga pemimpin yang jadi akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan. Pilkada di Kota N sepertinya akan berlangsung adem ayem saja. Tampak beragam para calon yang mau jadi pemimpin kota ini. Mulai dari trah bupati terdahulu sebagai elit kuat, calon independen yang mati-matian mencari dukungan, sampai artis yang selalu bisa menjadi pemanis dalam setiap pemilihan. Menurut Melati, tak ada calon yang benar-benar kompeten untuk membangun dan memimpin Kota N. Baginya, Kota N memang tak perlu menjadi maju. Biar saja tetap begini asal adem, ayem, tentrem, kerta raharja. Meskipun demikian, Melati sedikit respek terhadap wakil dari sang artis. Kebetulan Melati pernah melakukan wawancara singkat dengannya. Orang ini cukup memiliki visi yang kuat untuk Kota N, terutama dalam memanfaatkan potensi yang terdapat di Ngawi seperti bahan galian C.

Calon kuat lain adalah wakil bupati yang mencalonkan diri sebagai bupati, dan wakilnya adalah anak laki-laki dari bupati yang lama. Calon ini memang tampak lebih kuat memiliki basis massa. Selain didukung oleh beberapa partai besar sebagai koalisi pragmatis, calon ini juga merangkul tetua-tetua organisasi pencak silat yang ada di Kota N. Hampir semua pemuda menjadi anggota organiasasi pencak silat ini. Bapaknya Melati adalah salah satu dari tetua organiasasi ini. Setiap kali Si Calon X mengadakan doa bersama, para tetua organisasi pencak silat selalu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Entah selembar atau dua lembar uang berwarna merah segar itu selalu diselipkan di saku mereka. Kalau dihitung-hitung, hampir lima ratus ribu yang diberikannya kepada Bapaknya Melati. Tinggal mengalikan saja berapa tetua yang diundang.

Demikian Bapaknya Melati secara tidak langsung ikut menjadi pendukung Si Calon X. Ia juga berusaha untuk merangkul keluarganya agar memilih Si Calon X. Melati bukanlah orang bodoh. Ia mencela politik uang dalam ruang-ruang kuliah. Tapi kalau dalam situasi seperti ini, membusuklah teori-teori. Menguaplah semua idealisme. Tawaran uang dari bapaknya cukup menggiurkan, meskipun uang itu tidak secara langsung didapatkan dari Si Calon X. Tetap saja, Bapaknya Melati mencoba untuk membeli suaranya. Melati semula memang tak ingin memilih. Kalau pun akhirnya memilih, ia akan memilih calon yang sesuai dengan kehendak hatinya. Lembaran berwarna merah segar itu terselip dipikirannya sesaat sebelum pemilihan. Bapaknya Melati sebelumnya sudah mengancam, akan berdosa kalau tak memilih Si Calon X. Tentu akan lebih berdosa lagi jika akhirnya setelah jadi, Si Calon semakin menggerogoti kota tercintanya.

Melati berangkat menuju tempat pemungutan suara. Dalam bilik suara itu, Melati sesaat memejamkan mata. Berdosakah kalau ia tak memilih? Benarkah suaranya bisa dibeli? Benar-benar baru kali ini Melati mengalami dilema hanya kerena hal begini. Idealismenya berubah menjadi pragmatisme. Setidaknya suara melati masih dihargai lebih tinggi. Penduduk sekitar mendapat amplop berisi sepuluh ribu. Dan di hari itu, diketahui bahwa Si Calon hampir menang di semua daerah di kota N.

Apabila terjadi sesuatu pada kotanya dikemudian hari, maka Melati akan sangat merasa ikut bertanggungjawab terhadapnya.

Kota N, 13 Mei 2010

Rabu, 19 Mei 2010

Dialog Sajak

/1/
RD:
dari yang nyenyak terlarut mimpi sampai yang gelisah dalam repih sunyi. Manusia selalu ingin memenangkan keinginan. Hingga buta mata jiwa dan tuli suara nurani. Dan kereta angin malam ini akan sampaikan resah kepada semua saja yang lagi jengah.

HD:
Seiring bergulir roda kereta hantu melaju di atas lintasan fajar, tuk kembali bersemanyam usai kunjungan malam. Penentu waktu bermata satu berdendang rayuan setan dibalik letupan terik awan. Coba dampingi perjalanan siang hari kota mati, tempat ku menanamkan mimpi-mimpi. Kadang cerita siang tak untuk dikenang,dan bayangan pagi berwarna merah darah!


/2/
HD:
Mereka bertajuk kalbu yang bisu akan waktu
menghiasi alam dengan sebuah langit yang kelam
dirinya menangis seakan kisahnya paling tragis
dirinya menunduk paku seakan tiada teman di situ

hanya teriakan-teriakan segelincir halilintar,
yang hambarkan jeritan adzan
hujanku kelabu
tiada pelangi untuk esok hari
tiada pula matahari di malam hari

kala tangis langit ini berhenti,
kulihat kemilau warna di wajah mellow rupa semesta
tunggu di situ, ku akan mengumpulkan warna di kantong saku ku

RD:
dan aku berada di bawah langit seusai hujan
melihatmu memunguti warna-warna pelangi
merah, hijau, ungu
tak pernah ada lagi warna untuk ku
aku yang selalu terdiam dalam hitam

HD:
akan kusisakan merah mawar yang menyelubungi mentari senja
sehingga kau tak lagi hanya memiliki hitam,
tak lagi diam
akan kulukis maha jiwa di pelipismu,
dengan warna-warna yang tak ternoda
kala itu kuingin kau tersenyum untukku
hanya untukku
dan tak ada yang boleh mencuri senyummu itu
kala aku tertidur

RD:
merah senja pun akan terlihat hitam
kegelisahan dan ketakutan akan matahari, selalu meninggalkan hari
mataku membangkang melihat warna-warna
karena warna hanya tipuan
dan hanya hitam yang berada dalam keabadian

HD:
matahari tak akan keji pada hari
layaknya bumi yang terdiri dari belahan hati
mentari itu pun mencoba untuk berbagi
ah..
bukan pada permukaan warna, tapi hal yang terdalam dari kelam
meski tak tercium oleh sendu
meski tak terlukis oleh pena, bila terjerat dalam penat
mungkin hitam pun tak akan berani meludah pada merah


RD:
telah semakin menjadi pasti
kapan ia akan meninggalkan hari
tanpa permisi, tanpa kembali melihat keindahan pagi
selalu begitu matahari
meninggalkan untuk kemudian kembali
dan meninggalkan lagi
dan kembali kesekian kali
aku gagal mengitung
telah berapa kali senja merah itu meninggalkanku
mengisi derap gerimis di tepi langit


/3/
HD:
Kurangkai seruan adzan kala fajar berdansa gembira
Bersama kabut serabut
Terbangun mimpi sang tidur meraba mentari di balik serambi.
Ah..
Aku seperti mengenal nyanyian-nyanyian yang berkumandang di antara suara kokok ayam,
Itu lagu Tuhan, perintahkan kita untuk sembahyang akhir dari malam...

RD:
Tak kuhiraukan seruan dan nyanyi itu
Tubuh ini serasa mati
Tertimbun lelah
Tak kuhiraukan sapaan pagi ini
Tubuh ini tak mau bergerak lagi
Terkunci detik-detik hari


/4/
HD:
Berliuk-liuk menjalar nadi hidup di pematang larang dunia. Melilit tangga takdir yang lapuk akan kata cinta. Aku yang terlara akan pesona pelangi pagi, tak akan lagi bangun berdulang matahari. Serebah asmara nan merdu untukku, hambur meruah di puing-puing kenistaan lara. Dan kini...dia simponi hati pergi tak menoleh kembali.
RD:
Bahkan belatung pun mengenal cinta antara lapuk kayu dan serasah sampah. Sementara sendu puisimu mengingatkanku pada kuning daun musim gugur, sendu angin musim dingin. Ketika dia akan kembali pada kau yang sepasang sayap senyum mengalun. Kau yang arah begitu jelas. dan genggamnya telah kau bekali sebuah kompas. Jarumnya akan selalu menunjuk kau yang tak pernah layu menunggu.

HD:
Dan kala dia kembali...Hati tak lagi bersimpuh pada denting lonceng sang waktu yang setia, belatung itupun telah bermetamorfosa menjadi cacing rasa yang telah dikebiri asmaranya. Aku tak punya alasan untuk menunggu...Ku tatap jam dinding tua di lorong perapian itu terus berdetak lara, meski tubuhku berjeda mesra.

RD:
Bilakah dia yang menunggumu? Dengan isyarat tanpa tanda. Dari kangen yang tertelan, tak terucapkan. Nyanyinya hanya la..la..la..kau yang ciptakan makna. Si belatung khusyuk bertapa. Mentahtakan mutiara pada sepasang calon sayapnya. Kembali menunggu sayap yang engkau, merajut engkau yang andai..

/5/
MPH:
Nyak, aku lapar, tolong suapi aku semangkuk sajak
Nyak, aku haus, tuangi segelas makna kehidupan
Nyak, aku lelah, pinjami kehangatanmu buat alas tidurku
Nyak, aku tak ingat siapa kamu…

RD:
Nyak mu lagi sibuk dengan dunia. Muak dengan sajak yang tak bisa bikin kenyang perut. Nyak mu juga lagi kehilangan makna. Tak mau di ganggu. Bahkan dengan tangismu di tong sampah depan rumah ku

MPH:
galak amat, Nyak jangan galak-galak, si anak takut, Nyak, ia hanya minta didongeng sampai ngimpi

RD:
dongeng bikin orang cuma suka ngimpi. Nyak mu tak mau kau jadi pemimpi. Kau harus tidur dalam keras malam dan realitas. Biar besok bisa ngurus dunia. Dunia Nyak mu.

MPH:
Nyak, bangunin anakmu. Terlanjur lama ngimpi. Matanya wis melar, Nyak, kebanyakan ngimpi nangis. Nyak, aku capek dihujani gerah ati. Wis lah wis, aku melu Nyak biar gak mbrebes lagi.

RD:
Nyak mu ini malah pengen lari. Ninggal anaknya. Kowe gak bakal tumbuh jadi manusia kalau cuma tak kasih makan remah-remah sajak. Nyak mu tambah gelisah. Kowe bangun lagi malam ini. popokmu basah ngimpi kencing di bawah trembesi.


*kawan, kapan kita berdialog lagi dengan sajak?