Senin, 05 Juli 2010

Sepasang Kekasih yang Tak Pernah Lepas Bergandengan Tangan

Kepada kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Memang bukan salah kalian
Begitu saja melintas memangkas renjana
Membekukan nadi
Memaku waktu
Pada lukisan-lukisan usang masa lalu
Menarikku untuk memburu
Mengikuti diam-diam

Kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Di kegelapan itu
Menaiki anak tangga satu demi satu
Memandangi kertip gemintang
Tanpa melepaskan ikatan tangan
Kau suntingkan awan berbentuk kembang untuk perempuanmu
Membalikkan ingatan
Pada riwayat senja di atas sepeda tua

Memandangi matanya
Dalam cerita seribu kitab peradaban
Dan kalian tak pernah lepas bergandengan tangan
Dari sejarah ke sejarah
Dari masa lampau sampai entah
Perempuanmu menggelayut manja dipundakmu
Aku mematung
Menebarkan serpih abu

Kalian,
Sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan
Jaket coklat tua dan sepasang kacamata
Membubuhi malam lewat kekal dingin
Perempuanmu merapatkan badannya
Gigil ini menari begitu saja

Nyala kembang api seperti tetaburan bintang tanpa lintasan
Menguapkan romantisme sepasang raja dan permaisuri
Percikannya mirip sekali dengan sinar mata itu
Ketika kau sering tanpa sadar
Mengikatkan dua tangan di belakang punggungmu
Aku masih mengingatnya, kau tahu

Menjadi koma tanpa jeda
Menjadi titik tanpa penghentian
Menjadi seru, menjadi tanya
Aku meninggalkan kalian
Ketika bulan kutanggalkan dari gantungan langit
Lalu mengeratnya sedikit demi sedikit
Tak lagi legit
Pahit

Kalian, sepasang kekasih yang tak pernah lepas bergandengan tangan

Surat Buat Kang Bedjo

Kang, bukankah aku masih seperti dulu, ketika pertama kali matamu menawarkan sabit bulan dikalang awan. Waktu semakin mendekatkan kita. Nadi yang berdenyut bersama. Detak hati yang mengetuk-ngetuk setiap lekuk. Desir nafas meranggas, menjadikan pagi berwarna merah hati. Mengenangkannya memang menghibur sekaligus menyesakkan. Aku mengais setiap detik waktu kala itu. Ketika kita asyik bercakap menghirup pengap, dalam kepul asap semangkuk mie ayam dan segelas es teh manis. Dan puisi pun mengembara disekeliling kita.

Kang, aku masih akan seperti yang dulu. Meski kambingmu tak jadi beranak. Hanya kau jual dua ratus lima puluh ribu untuk membayar utang padaku. Aku tahu betapa kau selalu bermimpi menjadi kaya raya, lalu membalas hinaan mereka. Atau menjadi anggota densus 88, mengancam para teroris cinta kita dengan mengacungkan senapan.

Kang, aku tau sejak lama kau mulai lelah berjalan bersamaku. Diantara pertentangan dan belukar liar dihadapmu. Tebing terjal dan licin jalan berbatu menantangmu. Kita tetap berjalan diantara ragu. Barangkali, kita memang tak ditakdirkan untuk bersama. Genangan hujan masih basah menembus bongkah kemarau. Menyebut namaku, aku tahu suaramu semakin saja parau. Tak pernah ada yang salah diantara langit dan awan. Keduanya sama-sama hanya beringin sederhana. Menyajikan senja ketika airmata menjadi sebuah kebahagiaan yang salah tempat.

Kang, malam ini kau kembali menepuk pundakku. Lengang merayapi tubuhku. Sekian gamang dan sesak kenang tak pernah bisa tersingkir sepenuhnya. Akankah aku akan meninggalkanmu? Atau kaukah yang akan meninggalakanku? Kita tak pernah tahu. Barangkali juga kita tak akan pernah saling meninggalkan.

Kang, aku telah mencoba berjingkat ke satu hati. Tapak kaki ini tetap saja tak beranjak pergi. Aku berlari menjauh, tapi kita semakin mendekat. Erat dalam dekap. Sejenak senyap ketika binatang malam berhenti menggetarkan sayap.

Kang, aku tahu suratku ini tak akan pernah kau mengerti.

Kang, kita memang tak pernah sama
Ketika kulagukan sendu puisi Sapardi, kau nyanyikan dangdut koplo dan campursari. Ketika kita bicarakan sedikit saja sesuatu yang butuh pemikiran, kau beranjak ke soal harga-harga telepon genggam yang kau jual belikan. Ketika aku bermimpi disibukkan dengan ragam pekerjaan dan segudang tulisan, kau impikan bagaimana memasak, meracik bumbu dan memandikan anak-anak. Ketika dikepalaku bergelayut soal-soal pelik negeri ini, kau pusingkan naiknnya harga cabe dan gerundelan pedagang pasar karena pembeli yang semakin sepi.

Kang, kau karus percaya, kita tetap sama dalam rindu. Kita tetap manusia dalam cinta. Si Mbok menentang kita untuk kebaikanku, katanya. Kau tahu, aku masih seperti dulu ketika teduhmu membuatku kembali menatap bumi. Tak pedulikan berapa bentang waktu yang telah mengubahku dan kau. Berapa rentang peristiwa yang menjadikan kita semakin menjauh dan mendekat dalam waktu yang sama. Kau tak lagi mau kupanggil dengan sebutan itu. Ada yang mulai memudar dihatimu. Jengah yang terus saja mengikis sisa-sisa ini dengan sadis.

Kang, akan kuikuti maumu. Kita tak akan lagi bertemu untuk waktu yang lama. Sama-sama kembara. Sampai ini sampai, kembara ini tak juga sampai. Telah lelah kulauti jiwa-jiwa. Ku selami hati demi hati. Berlari kemana pun tak juga meninggalkan sejengkalpun aku dari hatimu. Ini menyiksa. Sampai kapan Kang Bedjo akan terus memancung kewarasanku.

Kang, semakin sering kau menjelma hantu
Di mimpi ujung ubun-ubunku tiap malam kau datang
Diantara dadamu yang bidang
Kupastikan peluru ini akan bersarang

Kang, kita tak pernah bisa mengintip takdir
Aku bisa menjadi kau, dan kau pun sebaliknya