Rabu, 15 September 2010

Percakapan Diam

Percakapan Diam

bahasapun lesap sudah
katakata lenyap begitu saja
diamku dalam mu adalah sepenuh simbol
kau sanggup mengerti maknanya tanpa ucapan
dipercakapan maya kita dipertemukan
dan bagian manalagi yang harus kuterjemahkan menjadi diam?

Minggu, 05 September 2010

Pertemuan

Pertemuan

Setelah pekik pilu itu berlalu. Sesaat guntur menyambarku di pucuk ingatan masa lalu. Hanya seleret kilat saja gemuruh itu mengganggu. Menyeringai liat di lautan langit abu. Sujudsujud terakhir ini mulai demikian gagu. Membiarakan ingatan itu berdiam sendirian. Menemukan semainya di pesanggrahan jiwa paling dalam.

Luap haru terkubur di pasarehan waktu. Sekian purnama berlalu, kau belum juga bisa menerjemahkan rancangan hidup dan kematian yang bergantian datang. Sakit ini semakin parah saja. Membangkitkan lamunan dari bangkaibangkai masa silam.

Demikianlah aku menemukanmu kembali di zaman ini. Tapi kau malah menghitung mundur mencoba meledakkan kenangan. Kau, bukankah kita telah benarbenar saling mengenal. Terasa begitu karib mata itu, gaya bicara dan solah bawamu. Dari sini, pertemuan singkat kita dimulai. Dan berakhirlah di redup petang. Sepertinya, kau sengaja melupa memang. Pun ingatan tak bisa sengaja dijejalkan, dipaksakan.

Kamis, 02 September 2010

Hujan Bualan dari Para Pembual

Hujan Bualan dari Para Pembual

Pembual I : Biar aku memunguti remah-remah hatiku setelah sepasang mata menelanjanginya hingga tercecer dihadapanmu.. kususun lagi, ah mana tau besok kau yang mau membeli

Pembual II : Hei, kau ini penyair darimana?

Pembual I : Aku cuma sekedar membual, bukan menyair

Pembual II : Ah, seperti tak tau saja. Aku suka kau buali, lagi

Pembual I : Sontak kurangkai bualan dan kau mengaggapnya syair semalam. Ah, apa lagi kubuat bahwa inilah sekarang sudut pandang “aku”

Pembual II : Dari planet maya itukah kau? Entah syair atau bualan. Aku butuh sajak untuk kuhirup tiap malam

Pembual I : Dari malam-malam bualanku tercipta, membentuk senyawa-senyawa kesepian, partikel-partikel kedinginan, jadi kata, jadi rindu, jadi sajak dalam setiap malammu.., ah, kau pura-pura melupa zat dan malam-malam yang kita tiduri dulu

Pembual II : Siapakah? Kaukah itu? Ah, entahlah. Ingatanku penuh sesak oleh tumpukan utang, buku-buku kuliah dan detak-detak kedinginan

Pembual I : Tak perlu sesak hidupmu jadi ragu untuk kembali mengingat namaku, hutangmu pada dunia, buku-buku kehidupan, lebih bisa mengajari betapa kita tetap beruntung dengan nafas ini,
Ini memang aku

Pembual II : Ternyata ingatanku tak terlalu lapuk untuk membuka kembali brankas yang berisi namamu. Kawan, pekabaranmu tak pernah sampai padaku. Kemana saja puisi kau bawa lari?

Pembual I : Aku tengah duduk-duduk dengan puisi suatu malam dan tiba-tiba “yang seperti aku” mengajak bercinta dengan dunia. Kutanggalkan malam makai topeng hingga kuingat sebait kata. Malam, kau dan bualanku

Pembual II : “Yang seperti aku” lagi kebingungan nyari topengnya. Hei, jangan-jangan sedang kau pakai. Tapi wajahku bukan itu. Bukan topengmu. Bukan wajah yang itu. Hei, aku telanjang tanpa topeng itu? Dimana?

Pembual I : Di sini, dengan malam lagi. Bergumul mencumbui puisi..mencari topeng baru agar kau tak begitu sesak melihatku. Mencari topeng baruku di laci lama, laci tua aku lahir dan menetes mata
Hiruplah setiap bualanku. Topengku tinggal satu untuk nyamar menyebar sendu. Begitu kuat hasratku menetes mata, lagi dan lagi.. tapi ku tau cuma ada puisi, jadi biarlah kau kubohongi

Pembual II : Aku suka setiap kebohongan. Aku suka setiap bualan. Jadi, terus saja pakai topengmu. Terus saja buali dan bohongi aku. Sampai mabuk sama sajak-sajak terkutuk. Sampai takluk sama puisi-puisi tak punya bentuk

Pembual I : Akan kutusukkan pedang ke ulu hati agar tak lagi aku memiliki kebosanan membohong dan membual. Terus dan terus, lagi dan lagi, hingga tersisa labirin hampa hanya aku dan bualanku

Pembual II : Aku yang mau mati dengan pedang menancap di ulu hati. Bosan juga lama-lama dengar bualan. Para penyair lahir dari kata-kata tak berakhir. Bawa aku. Bawalah aku. Ke tempat dimana tak lagi ada bualan dan kebohongan

Pembual I : Di lorong hitam masih aku memijak kaki, sunyi dari siul panggilmu. Gelap dari suar rayumu. Di lorong dan dinding-dinding menatihku ini, aku baru melahirkan bualan, belum kata-kata perawan
Seperti apa tempat tanpa bualan dan kebohongan itu? Jika mampu, biar kupintal mulai dari sekarang

Pembual II : Entah seperti apa. Aku pun tak pernah tau. Barangkali seperti kau tanpa topengmu. Seperti hening dini hari. Tempat itu tak perlu kau pintal. Temukan kau tanpa. Tanpa dalam segala ada

Pembual I : Aku tanpa topengku akan seperti benang-benang transparan hingga semua luka dan nanahku bisa memilukanmu, tempat tanpa bualan apakah itu? Aku masih meraba

Pembual II : Jangan lagi kau pusingkan tempat macam itu. Tempat itu mungkin juga hanya bualanku

Pembual I : Ah kau... aku terlanjur bermimpi tentang tempat tanpa bualan itu. Ah, mimpiku bualanku

Pembual II : Siapa bilang bualanku tak benar. Siapa bilang mimpi-mimpi pasti jadi samar. Bisa jadi bualanku benar-benar samar. Bisa jadi tempat itu nyata-nyata benar

Pembual I : Ada tira-tirai kegalauan masih menutupiku. Mungkin dua kali punama, atau tiga. Aku bisa menyibak samar-samar tempat itu

Pembual II : Malam-malam bikin galau. Dua tiga purnama aku menjelma gila. Aku mau pinjam jam sepuluh lewat sembilan belas menit ini. Boleh kutukar sama sekeranjang bualan puisi

Pembual I : Beranjaklah dahulu memejam mata. Jam sepuluh belasan menit ini usah kau lewatkan. Berhentilah dengan waktu dan terbuai mimpi di situ. Boleh kuiringi bualanku untuk menemanimu

Pembual II : Mataku terpejam, tapi tidak dengan mimpi di balik jam. Tersungkur oleh dengkur manusia-manusia lupa tukang tidur. Mendongkrak-dongkrak mimpi sampai tinggi. Ketinggian, bahkan. Sampai lupa cara menjejak bumi. Biarkan saja. Nada teratur dari nafas berhembus keras itu itu membuatku tersaruk kembali. Hei, sampai aku pada pintumu?

Pembual I : Biar kukatakan, aku menipumu berkali. Tak wujud pintu kecuali hayalanmu, bisa kau buka. Tapi ada di dalamnya tiada rupa. Payah oleh usia, tua oleh kata-kata

Kembali tersaji bualan dari hasil saling berbalas pesan. Para pembual sedang menyiapkan bualannya untuk dijual kepada Anda. Maka, jangan sampai ditipu, dibuali, dibohongi seperti selalu aku. Suka dibuali sama Pembuai I itu. Masih lagi kunantikan bualanmu.

Pembual I : Ah, lama rasa tak kau kirim kata, sepertinya baru semalam... Atau dua atau tiga kata tak bersapa

Pembual II : Kau mau kubuali lagi? Ah, ini malam awal-awal ramadhan. Orang-orang lagi sibuk melawan kantuk dan kekenyangan. Huruf-huruf tak terpahami dibca merdu. Bergelantungan dimana-mana. Di ujung lidah, tertelan kerongkongan. Juga di ceruk wajahmu yang masih bertopeng itu. Kau tak ikutan mereka rebutan tuhan?

Pembual I : Au ah helap.. Mending bual merdumu nyenyak di telingaku. Toh tuhan tak tidur. Mana mau menjadi rebutan
Malam belum sepenuhnya terlelap, jadi jeda bualanku kunjungimu

Pembual II : Gelap juga harus membual apa lagi. Rasanya ini otak butuh direnovasi. Kau tak balik ke kampung halaman? Kunjungi kota kita yang sunyi. Bacai lagi catatan dan malam-malam yang kita buat bersama sepi

Pembual I : Terperangkap kesendirian di kamar kecil ini, tau mau meraba sunyi kampungku. Menikmati sunyi tiap malam, merangkai syair-syair rindu pada seseorang. Rindu setengah mati. Rindu yang tak jadi

Pembual II : Kenapa selalu sunyi dan rindu yang membaluti setiap puisi. Aku, kau, sama sama kita memerangkap malam. Rindu selalu indah. Tapi rindu malah jadi tak indah. Dalam pertemuan membuncah ruah

Pembual I : Enggan aku menitik mata lagi. Jangan sesali rinduku terobati tiap merayu mesra sunyi. Tak lagi, tak lagi, tapi lagi lagi, datang lagi. Aku, kau, juga malam mereka. Mau apa?

Pembual II : Kita membunuhi saja sunyi. Kita siksai saja rindu. Sampai belur. Sampai tak bisa mengoyakiku lagi. Hancur enggan lagi bertutur. Aku lagi kalah main catur soal cinta

Pembual I : Tak kau letak bidak bidak catur cintamu pada kotak yang tepat? Peluncur rindumu? Kemana kau arahkan? Benteng cemburumu, pion pion rayumu? Ah, bahkan aku belum memiliki ratu untuk bertaruh. Keburu permainanku disidak malam. Jadi tuli lagi aku. Jadi bisu lagi. Kembali hanya bernarasi. Tak henti, tak henti, tak henti

Sekian saja bualan dari kami. Terimakasih bagi saudara-saudara yang sudah berkenan membaca.

Ps: Pembual I adalah teman saya berpuisi sejak SMA. Semoga tak keberatan secuil karyanya nampang di sini.


Awal Ramadhan, Yogyakarta, Agustus 2010

Malam di Sebuah Beranda

Malam di Sebuah Beranda

Tambah penuh saja. Sajak-sajak saling menyapa. Di beranda ini. Para penyair tak pernah mati. Menyalaki setiap pagi sampai malam hari. Pada paruh pergantian hari. Beranda penuh dengan romantisme dan lirisisme puisi-puisi.

Merekalah para pecandu kata. Aku mengenal kalian hanya lewat ini beranda. Lewat novel dan kumpulan puisi tak terbaca. Menembusi jarak dan udara. Kalian nampang dengan beragam status, gaya foto dan nama-nama. Mengumbar ruh sajak-sajak mengembara. Membiarkan keliaran imaji berlari kemana-mana. Setiap doa setiap cinta. Setiap perjalanan setiap kenangan. Setiap realita setiap mimpi belaka. Para penyair menyeruput hidup lewat syairnya.

Yang tak pernah lepas dari layar. Sajak-sajak bergetar karena rerangkai komentar. Lembar-lembar catatan telah ditandai. Para puisi haus minta ditetesi secangkir apresiasi. Aku akan menunggu panah itu. Menancap di ujung ulu. Ketika takdir sebagai penyair. Perlahan memburu. Menyambutku di depan pintumu.

Di Balik Sebuah Dinding Ruang Lengang*

Di Balik Sebuah Dinding Ruang Lengang*

Inilah ruang lengang ujian. Skripsi dan pendadaran. Ada yang berdetakan, berguncangan, berdegupan. Kemeja putih dan rok hitam. Menunggu bapak dan ibu dosen datang. Keletak sepatu hak tinggi, terdengar berirama ngeri. Waktu perlahan melambat. Meningkahi setiap detik yang tak mau berlari cepat. Hmm, bikin kaget saja. Setiap kali pintu terbuka berderit mengajak bercanda. Perut jadi mules. Serasa kepingin sembunyi di balik meja. Bayangan pun melayang. Di dadar di atas kawah candradimuka. Memang harus melewati satu anak tangga ini. Keluar dari ruang yang hampir empat tahun mengunci. Dan ketika dipanggil masuk, waktu serasa berhenti.

Ah, ternyata hanya begini. Kami ditanyai, dikritik, digelitik, diberi saran tentang yang kurang dan kelebihan. Bapak dan ibu dosen ternyata baik sekali. Pada akhir sebelum meninggalkan kami, tak lupa memperingatkan. Harus mengubah attitude dan sifat kekanak-kanakan. Jangan lupa belajar lagi tata bahasa. Apakah ‘di’ harus dipisah dan disambung dengan kata berikutnya. Jangan asal menggunakan istilah. Hanya biar dianggap ilmiah. Modal sosial, anatomi konflik, entah.

Rasanya sudah lega. Seperti bisa membongkar batu penutup gua. Kami akan segera diwisuda. Jadi sarjana. Kebanggaan orang tua. Jadi sarjana ilmu politik. Ngurusi negeri dengan masalah serba pelik. Jadi tukang jadi seniman. Ah, sejenak lupakan. Kami mau makan-makan.


*Buat yang tadi siang ujian pendadaran. Selamat teman-teman...

Juli, 2010

Surat dari Cempluk Buat Si Mboknya

“Udaraning rasa iki tansah nonjok, kudu kawetu,” kata Cempluk mengawali permintaannya kepada saya.

Saya dititipi Cempluk untuk menuliskan pesannya kepada Si Mbok. Cempluk tak pernah berani mengatakannya secara langsung. Bingung, katanya. Semoga saja dengan menuliskan surat ini, Si Mbok bisa mengerti keinginan Cempluk. Buat Si Mboknya Cempluk, saya pribadi ingin bertitip pesan. Mbok ya jangan memaksakan mimpi pada anakmu. Hanya karena tak ingin anakmu mengulang getir kehidupanmu dulu. Si Mbok mesti sadar, kalau Cempluk itu sedang dikejar takdirnya sendiri.

Sebelum tengah malam. Langit berhias gumpalan awan. Selintas berbentuk jamur tak jelas. Selintas kemudian seperti kepala raksasa lapar yang ingin menelan bulan. Begitu samar dalam terang separuh purnama dan beberapa titik bintang. Beberapa helai angin berkelebat sesaat. Daun belimbing di depan kamar Cempluk bergerak perlahan. Ikut mendengarkan. Dan Cempluk pun mulai bercerita dengan kepala menunduk.

“Mbok, apalah yang bisa kulakukan tiap malam selain bertopang dagu. Mendengar kata-katamu yang mendengung di seberang itu. Aku tak pernah ingin menyakitimu. Apalagi ketika kuputar kembali ingatan tentang ajaran bu guru. Dari es de sampai es em a, mereka mengharuskan tiap murid untuk menghormati ibunya, tak membantah kata-katanya, tak boleh bilang ‘ah’ ketika dengar suruhannya, bla bla bla. Anakmu ini tak pernah bisa. Aku ingin punya mimpi dan hidupku sendiri. Kau turuti semua mauku, tapi kau tak memberi pilihan agar aku memilih hidupku.

Mbok, mimpi anakmu ini sangat sederhana. Hidup di kaki bukit dengan seseorang yang dicintainya. Entah dengan Kang Bedjo atau siapapun itu. Rumah mungil berpagar bambu dengan halaman tak begitu luas dikelilingi beragam tanaman. Menghijau seindah taman. Selalu terbuka sebuah jendela besar di samping pintu untuk melihat cucu-cucumu berlarian berkejaran. Jendela yang akan memperlihatkan ketika ia pulang meladang. Aku menyambutnya dengan segenggam cinta dan sebaris lambaian tangan. Sepanjang sore akan kami habiskan dalam cangkir-cangkir teh dan pisang goreng hangat. Betapa akan ada kebahagiaan teramat sangat. Di sana akan kutuliskan kisah-kisah manusia, peradaban, sejarah dan cinta. Bercengkrama membakar penat. Di bawah atap yang menampung embun, panas, garis-garis gerimis, badai maupun hujan lebat.

Mbok, aku tak pernah ingin menjadi orang pinunjul seperti kau harapkan itu. Kau bilang impianku hanya igauan orang mabuk. Kau tak pernah bisa mengerti kalau kami akan hidup sederhana penuh cinta. Kau bilang itu khayalan belaka. Kau bilang kami tak akan pernah bisa bahagia. Kau bilang pertengkaran-pertengkaran kecil itu akan menjadi kerikil, lalu membatu, lalu menggunung dan melindas kami sampai tandas. Kau bilang juga, kami akan ribut soal perut. Dia tak akan bisa membahagiakanku, katamu. Membelikanku baju-baju, bedak dan gincu. Dan tanganku pun akan menjadi kasar karena terlalu banyak menumbuk padi dengan alu. Kau bilang juga, Kang Bedjoku akan pulang tiap malam dengan mulut bau ciu. Putus asa karena pekerjaan tak menentu. Tak membawa apapun ke rumah selain gerutu. Taruhannya di meja judi tak pernah menang. Pulang dengan membawa lubang galian baru. Sementara utang kami, sudah tiga bulan lalu jatuh waktu. Dan kau akan sia-sia menyelokahkanku. Tak ada artinya membesarkanku. Lalu kau akan mulai menyesali. Ketika aku tak bisa merawatmu saat senja mulai menyambangi usiamu.

Mbok, barangkali kau memang punya mimpi sendiri untukku. Impian yang kau rajut setiap malam. Di tengah redup lampu kamarmu, dalam setiap doa dan permohonan. Kau ingin aku membanggakanmu. Kau kembali tersenyum ketika bukan Kang Bedjo yang mendampingiku melainkan seseorang yang sederajat denganku. Ah, darimanakah kau mengukur cinta, Mbok. Dan dia yang pilihanmu itu. Akan menyiksaku dalam kelu. Sepah sudah tanpa cinta yang telah rebah. Aku mengerti Si Mbok ingin yang terbaik. Peta perjalanan dengan jelas telah kau gambarkan. Gambaran masa depan berulang kau putarkan dalam ingatan. Tapi, aku tak sedang beringin itu.”
Yah, dan beginilah Cempluk mengakhiri suratnya buat Si Mbok. Cempluk sedang ingin menuliskan sejarahnya sendiri. Cempluk akan mengutuki diri ketika ia tak bisa menjadi Cempluk. Kusut bertekuk lutut dalam angan-angan Si Mboknya sampai lunglai, takluk.

“Mbok, maafkan anakmu,” kata Cempluk sendu. Butiran bening meleleh membelah pipi Cempluk. Dari jauh, saya dititipi cium dan peluk dari anakmu, Cempluk. Bagaimanapun, Cempluk tetap ingin membahagiakan Si Mboknya. Seandainya saja kalian bisa untuk tidak meributkan masa depan sekarang. Karena selalu ada yang setia pada tugasnya. Membisikkan ketentuan-ketentuan itu di atas ubun-ubun kalian tiap malam.
Segera kemudian saya meraih, merengkuh tubuh Cempluk. Di atas sajadah doa pada ibunya, Cempluk memikul isak yang bertumpuk. Tubuhnya tergungcang karena tangis yang mencincang. Di perbatasan jarak, Si Mboknya Cempluk yang sedang hening dalam sila pun tergetar bersama getir yang tiba-tiba merasuk. Dalam duduk, ia pun terguguk.

Yogyakarta, Juli 2010

Dari Sepi Menjelma Puisi

Dari Sepi Menjelma Puisi
Diceritakanlah sebuah percakapan di tengah malam. Antara gadis dan pria yang sama-sama kesepian. Persahabatan mereka menjelma kata-kata. Dalam sepi lewat pesan-pesan pendek, sejenak melepaskan buntalan kata yang terpenjara. Mungkin ini tak bisa disebut sebagai puisi. Hanya ungkapan-ungkapan yang terdengar klise dari para pecandu malam dan penikmat kesepian. Selamat menikmati saja, semoga Anda menyukainya...

Sebelumnya, mereka bercakap tentang acara humor di televisi, ditayangkan hampir tiap hari. Dua manusia itu tak ada yang tertawa menatap layar kaca di depan mereka. Sama-sama bosan melewati malam, terasa sangat biasa. Si Gadis Sepi kemudian menjajal kemampuan Si Pria Sepi mencipta puisi.

Gadis Sepi : “Coba we gawe puisi, in English, maybe...hehe..”

Pria Sepi : “Lagi gak enek inspirasi. Kamu ae yang bikin.”

Meskipun mengaku sedang tak ada inspirasi, Pria Kesepian beberapa saat kemudian mengirimkan pesan pendek puitis pertamanya kepada Si Gadis Kesepian

Pria Sepi : “Lonely season in this night. Banyak orang menyanyikan kesepian. Try to sing but silent. Musim ini telah menyelimuti diri setiap insan. The moon try to give a joke, but not fun. Hanya bisa diam dan terpaku berteman sepi.”

Gadis Sepi : “Cieehhh...selamat datang pujangga baru.”

Pria Sep : “Time for you to make the great words.”

Gadis Sepi : “Ngko sik, rung metu kie..”

Pria Sepi : “Okay..antrian huruf demi huruf telah menanti kau ajak berbaris menuju lantunan keindahan.”

Gadis Sepi : “Wah, ternyata kau berbakat juga.”

Pria Sepi : “Bakat terpendam paling, hehe...”

Tak lama, Pria Kesepian pun beraksi lagi dengan kata-katanya.

Pria Sepi : “Mencoba menerawang tapi tak tampak. Mencoba berpikir tapi tak bisa terpikirkan. Mencoba menulis tapi tak muncul. Mencoba menunggu tapi tak datang-datang. Inspirasi..oh...inspirasi. Kemanakah dirimu kini bersandar. Seorang penyair telah menantimu. Datanglah kepadanya. Supaya dia bisa mengajak anak-anak kata bernyanyi dengan keindahan.”

Gadis Sepi : “Si Gadis tak sedang menunggu pesan angin itu datang. Barangkali, pada sebuah detik beku. Angan memang sengaja tak mau mengetuk pintu kamarnya. Barangkali, dia tak mau lagi meminjamkan malam untuk menampung bualan puisi. Barangkali, dia akan datang nanti. Membawa sekeranjang kata untuk menuliskan catatan kesepian. Betapa panjang sebuah penantian...never feel sure, waiting for something blur.”

Pria Sepi : “Seorang gadis menanti di ujung malam. Dia selalu menanti dan menanti sampai kapan malam yang sepi ini bisa bernyanyi untuknya. Sampai lelah jiwanya berharap kapan penantian itu akan berakhir. Oh, malam...temanilah dirinya dan bernyanyilah untuknya. Ajaklah bintang berdansa dengannya.

Gadis Sepi : “Si Gadis tak ingin ditemani malam. Ia tak mau menari bersama bintang. Ia berharap ada yang meruapkan separuh nyawa untuknya. Menjadikan beku ini kembali menganak sungai. Mengaliri kering nadi. Memuara pada lelana jiwa-jiwa tanpa pegangan. Mencari pasak di tengah isak yang sesak.”

Pria Sepi : “Dan dia pun berharap ada separuh jiwa anak manusia dipersembahkan untuknya. Dia terdiam dan bernyayi dalam hati. Sampai kapankah hatinya membeku?”

Gadis Sepi : “Sampai ada yang mengembunkan uap nyawa untukknya. Sampai ada sebuah pertemuan tak disengaja. Barangkali di sebuah stasiun kereta. Dia akan melanjutkan perjalanan yang tertunda. Pun ketika apa yang ditunggunya tak juga menyambangi bilik mimpi.”

Pria Sepi : “Di stasiun kereta itu dia berdiri. Kereta itu telah berlalu tetapi dia tetap berdiri. Di tengah keramain itu dia merasa sepi. Di tengah antrian itu dia tetap menanti.

Gadis Sepi : “Dia menjelmakan diri menjadi stasiun itu. Orang-orang lalu lalang dalam perjalanan. Kereta-kereta menampakkan selintas bayangan samar tertahan. Di tengah keramaian itu, dia mencari dirinya sendiri. Luput dari perhatian, menghilang dalam lekuk pertemuan dan perpisahan. Gadis itu tetap saja dirajam sendu. Menanti lambaian tangan. Memanggilnya pulang.”

Pria Sepi : “Gadis itu pun mengajak untaian huruf untuk bernyanyi. Mereka menyanyikan suara kesepian. Huruf-huruf itu berbaris menari indah menghibur si gadis. Hanya untaian kata yang indah itu yang selama ini bisa merubah kesepian menjadi pesta hati yang terbelenggu.”

Gadis Sepi : “Si Gadis tetap bernyanyi sumbang. Membiakkan rintih pada hatinya yang gamang. Si Gadis tak bahagia dengan tipu dan gombalan kata. Si Gadis merengut, lalu menggantungkan larut sepinya pada selintas kabut. Ini waktu sedang bermuka dua. Membelai dan mencekiknya bersama-sama.”

Pria Sepi : “Great words..”

Gadis Sepi : “Juga untuk kata-katamu..”

Pria Sepi : “:-)”

Pria Sepi : “Kapan-kapan pinjemi novel yang maknane dalem, hehe..po ngerti aq nduwe bakat terpendam.”

Gadis Sepi : “Okay..”

Pria Sepi : “Ndang merangkai kata-kata neh, ben kamu ndang bisa buat buku sendiri..hehe..judule “Lantunan Kidung Keheningan Jiwa”...

Gadis Sepi : “Kadang aku memang butuh pancingan kayak tadi, meskipun jadinya agak klise begini. Seru juga lho, bagaimana kalau tak publikasi untuk kalangan sendiri?”

Pria Sepi : “Sip...tapi namaku gak usah terlalu tampak, hehe..ntar nek karyaku dijiplak orang gimana?hehehe...”

Gadis Sepi : “Kamu mau inisial apa untuk namamu?”

Pria Sepi : “LM: Lonely Man, hehe....”

Malam berlalu begitu saja. Percakapan mereka usai. Masing-masing sibuk melantunkan lamunan ke negara awang-uwung. Nun jauh dengan segala imajinasi dan bayang-bayang. Enggan mereka beranjak dari malam dan sepi. Sudah terlanjur menikmati.

Pagi datang tiba-tiba. Tak terasa seperti menyentuh ubun-ubun mereka. Matahari menampakkan diri di tengah kerumunan dan sisa kantuk orang-orang. Jari-jari cahaya bertengger di pucuk reranting. Menegak embun. Mengeringkan lembab tanah dan awan semalam yang tak jadi hujan.

Puisi kembali menyapa mereka lewat sepenggal percakapan pendek.

Pria Sepi : “Mencoba bersanding dengan hangatnya terik matahari. Selamat pagi jiwa-jiwa yang bersemangat. Sandingkanlah hangatnya jiwa sejajar dengan hangatnya sang surya.”

Gadis Sepi : “Matahari baru saja akan merangkak. Tapi awan menelannya begitu saja. Keping-keping cahaya itu mulai surut. Tak mampu lagi menyusup di sela rimbun dedaun. Seperti hujan anak panah yang sekejap menghilang sebelum menusuki pori-pori. Siang meredup. Mengungsikan hangat. Menebarkan penat.”

Operator seluler akan tetap menjadi Pak Pos setia. Mengirimkan setiap kata untuk manusia-manusia kesepian di seluruh dunia. Kalian tentu bisa membayangkan, berapa juta pesan yang sedang beterbangan di udara. Betapa sesak langit dan musim.

Percakapan ini akan selalu diteruskan. Kepada lain orang yang sama-sama sedang butuh teman. Ada Si Gadis Sepi di sini. Barangkali, diantara kalian ada yang berminat menghiburnya dengan puisi. Bagi orang yang dikutuk sepi macam begini, puisi tak perlu indah atau menyayat hati. Hanya sesuatu yang bisa sekadar mengisi. Kawan, tak bosan menanti denting kata dan puisi terkirimkan untuk kami.

catatan:
Perkenalkan, Pria Sepi ini tampaknya sedang mencoba menjadi penyair. Meskipun, hanya bisa terilhami dan merangkai kata ketika merasa sepi. Karya hasil kolaborasinya dengan Gadis Sepi ini bisa dibilang merupakan karya perdana. Pria berinisial A asal Kota Ngawi ini sedang gencar mengejar pujaan hati yang tak tahu masih berlari kemana. Sedangkan gadis yang dicintainya sejak es em a itu masih saja enggan menjawab harapannya. Aktifitasnya saat ini masih menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Kota M. Anggota Laskar Senja ini masih aktif nongkrong di angkringan, bercakap soal cinta dan hidup. Meski sayang, intensitas pertemuannya semakin jarang karena kesibukan masing-masing. Kita nantikan saja karya-karya selanjutnya dari Sang Pria Sepi.

Beberapa malam berikutnya.....
Seorang teman (HD) mengirimkan pesan,
“Bila aku tidak menyukai kehidupanku, siapakah yang harus aku salahkan tentang semua ini? Apakah aku harus menyalahkan ibuku, karena telah melahirkanku sebagai anaknya. Atau aku harus menyalahkan Sesuatu yang tak memberiku kepandaian agar aku dapat menang dalam berperang dengan kehidupan. Atau diriku hanya orang bodoh yang menanyakan hal yang bodoh. Mungkin ini hanya pemikiran khilaf sesaat, dimana setan sedang menghampiri hati yang sesat.”

Gadis Sepi pun menjawab,
“Pun halnya aku sempat berpikir sesat. Tapi akupun tak bisa menyalahkan siapapun. Ini hidup seperti mimpi. Siapa yang bisa menyalahkan mimpi. Hah, memang susah mengalahkan diri sendiri. Yang sesat, yang selalu terikat dengan keinginan-keinginan, yang tak bisa lepas dari lekat nafsu, yang selalu ingin memburu. Tak pernah ada yang salah. Bukankah salah pun bagian dari yang benar? Sebagian diri kita memang diciptakan untuk menjadi hitam. Tak pernah ada yang salah. Berbuat, bersyukur, nrima, pasrah dan nikmatilah.”

Dan Pria Sepi pun ikut menjawab,
“Hidup itu aneh tapi nyata, gak ada yang gak mungkin. Hidup itu misteri dan kejutan. Jadi, misteri kehidupan akan lebih mengejutkan.”

Demikianlah setiap pesan memaknai kehidupan. Seperti inilah kekuatan kata-kata yang dituliskan. Tak akan sampai bila hanya dengan lisan. Dan beginilah kami biasa mengeja malam.

Pada suatu malam di Jogja, Juli 2010