Kamis, 16 Desember 2010

Gerakan Civil Society dalam Diskursus Penetapan Sultan DIY

Revitalisasi civil society menjadi prakondisi untuk menguatkan demokrasi di Indonesia. Sejak Orde Baru, gerakan masyarakat sipil muncul sebagai ekpresi dari otoritarianisme negara. Gerakan ini sebagian besar merupakan resistensi terhadap berbagai kebijakan negara. Pemerintah menjadi common enemy bagi gerakan masyarakat sipil sehingga di satu sisi hal ini menjadi hal yang bisa menjadi arah tujuan bagi gerakan-gerakan tersebut. Pasca Orde Baru, pintu demokrasi mulai terbuka. Pemilu sebagai salah satu tiang demokrasi prosedural dapat dilaksanakan dengan lebih demokratis. Gerakan masyarakat sipil kembali mencari bentuk ketika kehilangan common enemy-nya. Beberapa diantaranya bergerak untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan advokasi. Beberapa lagi masih setia sebagai gerakan untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Sedangkan yang lainnya, terfokus pada isu-isu seperti lingkungan, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.

Dalam hubungan dialektika antara negara dan masyarakat, civil society menempati suatu posisi yang menentukan. Ketika masyarakat mampu melampaui pengawasan dominasi negara dan menjadi lebih mandiri, maka prospek demokratisasi dapat lebih terbuka. Dalam situasi saat ini, hubungan antara negara dan masyarakat cenderung lebih simetris. Bahkan, untuk beberapa kasus menunjukkan bahwa hubungan antara weak state and strong society, negara lemah dan masyarakat lebih kuat. Hal ini membuka peluang masyarakat untuk mengontrol persoalan-persoalan politik mereka. Negara pada saat ini telah mengalami krisis legitimasi sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang tidak dapat mengakomodasi kepentingan rakyat banyak. Negara selalu mendapat kritikan untuk banyak masalah yang berhubungan dengan hak-hal asasi, partisipasi masyarakat, perwakilan, keadilan, pemerataan ekonomi dan sebagainya. Semakin jauh negara mengabaikan permasalahn-permasalahn tersebut, keabsahannya akan dipertanyakan dari waktu ke waktu (Hikam, 1996:123).


Diskursus penetapan Sultan di DIY sebagai runtutan dari tahapan pembahasan RUUK menjadi salah satu kasus menarik untuk melihat bagaimana perkembangan civil society dalam pembangunan demokrasi. Eksistensi Yogyakarta sebagai daerah istimewa salah satunya disimbolkan dengan Sultan yang sekaligus ditetapkan sebagai Gubernur. Wacana mekanisme pemilihan Gubernur DIY sebagai salah satu bagian dari RUUK menuai protes dibanyak kalangan. Tensi politik cenderung memanas di DIY dengan banyaknya gerakan demontrasi dari berbagai elemen masyarakat yang mendukung penetapan.

Kasus ini dapat dibaca sebagai bentuk menguatakan civil society di aras lokal. Pisau analisis Chandoke terkait dengan persyaratan munculnya civil society pada saat ini relatif sudah terpenuhi. Keterkaitan fungsional antar elemen yang menyusun sistem politik di aras lokal sudah mulai tampak. Forum-forum representatif dari civil society yang menjadi ajang diskursus kritis yang bersifat sebagai counter balance terhadap negara telah ada (Suwondo, 2003: 182).

Isu penetapan Sultan sebagai gubernur DIY merupakan suatu pemantik bagi kebangkitan civil society di Yogyakarta. Lingkungan Kraton dengan pola-pola kekuasaan patront-klien di dalamnya ternyata justru bisa membangkitkan model demokrasi yang partisipatif di kalangan masyarakat. Nilai dan kesetiaan masyarakat Jogja terhadap eksistensi Kraton dalam hal ini dapat membentuk suatu gerakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini memberikan suatu nilai positif bagi perkembangan dan pembangunan demokrasi di lingkungan Kraton Yogyakarta.

Aksi masyarakat Jogja untuk mendukung Penetapan Sultan didukungg oleh berbagai elemen masyarakat. Berbagai elemen yang mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur antara lain adalah Paguyuban Kepala Desa se-Yogyakarta, Paguyuban Kepala Dusun se Yogyakarta, Paguyuban Tukang Becak dan Wisata se Yogyakarta, Forum Komunikasi Seniman se-DIY. Paguyuban Tri Dharma, Pemalni, Komunitas Juru Parkir, Patma, Handayani, Pamarta, Paguyuban Pedagang Lesehan Maliboro (PPLM), Paguyuban Pengusaha Malioboro (PPM), dan Paguyuban Pengusaha Ahmad Yani (PPAY) tak mau ketinggalan beraksi. Para pedagang, tukang becak, juru parkir hingga mahasiswa juga akan memenuhi kantor DPRD. Bahkan, janda-janda yang tergabung dalam Persaudaraan Janda-janda Indonesia (PJJI) pun berdemonstrasi.

Selebihnya, apabila menilik berbagai unsur masyarakat yang terlibat dalam aksi menuntut penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY, dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari mereka adalah elemen masyarakat di aras lokal. Sebut saja Paguyuban Kepala Desa dan Dusun se-DIY. Munculnya dua paguyuban tersebut dapat menjadi refleksi bahwa sistem politik di tingkat lokal dapat berjalan secara fungsional. Meskipun belum dilacak lebih jauh bagaimana pengorganisasian dua bentuk paguyuban ini, setidaknya aspirasi masyarakat di aras lokal sudah berani muncul dipermukaan. Sangat memungkinkan masih adanya elite capture dalam pengorganisasian dua paguyuban tersebut. Namun, ketatnya kontrol dari masyarakat dapat membuka peluang peluang mekanisme pengorganisasian yang lebih terbuka dan partisipatif.

Salah satu kasus yang tampak adalah bentuk dukungan berupa pengibaran sekitar kurang lebih 15.000 bendera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikibarkan di sepanjang ruas jalan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendera tersebut dikibarkan oleh masyarakat setempat sebagai dukungan klausal penetapan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendera tersebut berlatar kain warna putih dengan lambang kraton `Hanggobo berwarna kuning yang pada bagian bawahnya tertera tulisan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ukuran sekitar 70 centimeter kali 40 centimeter yang dipasang diujung bambu runcing sebagai tiang pengibarnya.

Ketua Paguyuban Lurah Gunung Kidul, Suparno menyampaikan bahwa bendera-bendera tersebut berasal dari swadaya masyarakat dan sudah mulai didistribusikan untuk dipasang sejak Senin, 12 Desember 2010. Suparno mengatakan, jika pemerintah pusat tetap ingin mengubah keistimewaan DIY yang salah satunya dengan tidak menetapkan Sri Sultan Hamengkuwono X dan Sri Paduka Pakualam IX sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, dirinya bersama dengan elemen masyarakat lain siap melakukan penetapan sendiri. Sementara itu salah satu warga Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Bambang Waluyo mengatakan mendapatkan bendera Kraton dari kepala dusun sebagai bentuk dukungan untuk penetapan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dari Kasus di atas, dapat dikatakan bahwa elit politik lokal mempunyai peranan penting untuk menggerakan inisiatif warga dalam rangka ikut ambil bagian dalam partisipasi politik. Di aras lokal dengan warna masyarakat yang masih kental dengan budaya Jawa, munculnya elite lokal sebagian besar merupakan tokoh yang dapat diteladani oleh masyarakat. Oleh karena itu, elit lokal dituntut untuk terus menerus menjadi wadah bagi masyarakat sekaligus menjalankan fungsi intermediari untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Seorang Kepala Dusun ataupun Kepala Desa di Gunung Kidul mampu menggerakkan warganya untuk secara swadaya menunjukkan dukungan mereka terhadap penetapan Sultan melalui pengibaran bendera Kraton. Sebaliknya, proses ini juga perlu diwaspadai karena keberadaan elite lokal juga sangat rentan ketika ia justru menggunakan basis legitimasinya dimasyarakat untuk melakukan mobilisasi demi kepentingan pribadi.

Gerakan civil society melalui aksi masyarakat Jogja mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur dalam kacamata demokrasi bukan berarti tidak mendukung bentuk demokrasi prosedural melalui pemilihan. Namun, hal ini justru telah menunjukkan bentuk demokrasi karena merupakan kehendak sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Demokrasi dalam kasus ini dapat dilihat secara lebih dalam sebagai bagian dari demokrasi substansial.

Permasalahan yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana melakukan pelembagaan terhadap potensi civil society yang cenderung menguat seperti yang terjadi di Yogyakarta. Gerakan mereka pada tingkat tertentu telah berhasil membuat DPRD DIY sebagai representasi rakyat Jogja untuk menyetujui mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur. Menguatnya civil society di DIY dikhawatirkan hanya menjadi aksi yang akan terjadi dalam kasus-kasus tertentu saja dan bersifat temporal. Sangat memungkinkan ketika gerakan masyarakat tersebut kemudian menghilang apabila Pemerintah Pusat sudah mengakomodasi keinginan mereka dalam pembahasan RUUK.

Civil society dalam hal ini tidak hanya harus menguat pada masa atau untuk kasus-kasus tertentu saja. Segala unsur yang dapat membangkitkan atau menguatkan civil society perlu memikirkan mekanisme untuk melakukan pelembagaan agar potensi demokrasi dalam masyarakat dapat dikembangkan dalam segala kondisi. Aktor-aktor seperti elit politik lokal, dukungan dari para intelektual, LSM, bahkan pemerintah sendiri diperlukan untuk mengawal potensi civil society agar tetap menjadi pilar bagi pembangunan demokrasi.

Tujuan akhir dari pemberdayaan politik arus bawah adalah untuk memperkuat rasa kemandirian dan mendorong pengembangan diri masyarakat, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk lebih menyadari akan hak-hak budaya, ekonomi, dan politik mereka. Kesadaran politik semacam ini sangat penting dalam mengarahkan perjuangan mereka pada pemenuhan pertisipasi politik secara penuh sebagai warga negara (Hikam, 1996: 130). Proses yang terjadi di Yogyakarta dapat ditindaklanjuti dengan melakukan pemberdayaan politik arus bawah. Fenomena ini jangan sampai hanya menjadi semacam euforia politik sesaat dari masyarakat. Meskipun berada di bawah struktur Kraton, masyarakat Yogyakarta memiliki potensi untuk menjadi bagian dari civil society dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia.

Mencoba Mengaitkan Civil Society dan Sultan Ground dalam Kerangka Teoritis Chandoke

Civil society dalam konsep Chandoke yang berkorelasi dengan demokratisasi berusaha untuk menggeser perspektif state center ke society centre dimana masyarakat mampu mengorganisasi diri dan terbebas dari intervensi negara. Konsepsi Chandoke tersebut kemudian digunakan untuk melihat relasi antara masyarakat DIY dalam kaitannya dengan penggunaan Sultan Ground. Sultan Ground sendiri secara singkat merupakan tanah milik Sultan yang bisa digunakan oleh masyarakat dengan segala macam pengaturannya setelah menerima Surat Kekancingan dari Kraton.

Civil society di sini dapat dimaknai sebagai nilai maupun institusi. Sebagai nilai, dalam konsepsinya, civil society harus memiliki beberapa karakter, pertama adalah adanya partisipasi politik, pertanggungjawaban negara dan publisitas dari politik. Yogyakarta sendiri terkenal memiliki ciri khas budaya masyarakat yang masih dipengaruhi oleh tradisi mataraman. Budaya masyarakat tersebut telah terinternaliasasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan sebagian masih dipertahankan sampai sekarang. Struktur masyarakat di Yogyakarta masih pula dipengaruhi oleh paham kekuasaan Jawa dengan pelibatan Sultan sebagai sosok raja pengayom sekaligus penjaga kesejahteraan rakyatnya. Kekhasan tersebut juga menyangkut soal tanah dan penggunaannya.

Dalam perkembangannya, penggunaan Sultan Ground oleh masyarakat ternyata menuai banyak masalah. Selain karena hukum Kraton yang harus bersinggungan dengan hukum negara, beberapa aktor lain sempat masuk dalam ranah ini menyangkut penguasaan sumber daya alam, khususnya tanah. Masyarakat pengguna Sultan Ground dalam hal ini bisa diposisikan sebagai civil society. Dalam konsep Chandoke, syarat keberadaan civil society setidaknya bisa digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat pengguna Sultan Ground sebagai individu dengan hak-hak yang melekat di dalamnya serta harus dilindungi. Selain itu, Chandoke juga mengemukaan bahwa anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum.

Perkembangan kasus yang terjadi belakangan menyorongkan fakta bahwa hak-hak masyarakat pengguna Sultan Ground tersebut ternyata banyak yang dirampas, baik itu oleh negara maupun oleh aktor lain. Kasus nyata yang pernah terjadi bisa dilihat bagaimana pemerintah Kabupaten Bantul merelokasi warga yang menempati daerah Mancingan, Parangtritis (2006) dalam rangka penataan kawasan. Persoalan pelik ini terkait dengan surat Kekancingan Magersari dari warga yang diterbitkan oleh Yayasan Sultan Hamengkubuwono VII, bukan oleh lembaga yang saat ini mengurusi urusan pertanahan yaitu Paniti Kismo. Surat yang dimiliki warga akhirnya tidak diakui sehingga masyarakat terpaksa pindah. Surat tersebut memang menyebutkan bahwa warga tidak berhak membangun bangunan permanen karena sewaktu-waktu tanah dapat diambil apabila diperlukan. Ketidakjelasan hukum dan aturan tersebut lebih jauh dapat merugikan masyarakt karena sewaktu-waktu mereka bisa digusur dari tempat tinggal.

Civil society dalam kasus tersebut menempati posisi marginal. Keberadaan mereka kurang mampu menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol negara. Mereka bahkan menjadi korban dari aturan hukum negara yang tidak mengatur secara jelas tentang hak tanah adat dan ulayat. Bila demikian yang terjadi, keberadaan civil society yang lemah belum mampu menjadi pilar bagi tegaknya demokrasi melalui bentuk partisipasi maupun representasi. Kasus-kasus sengketa Sultan Ground yang lain sebagian besar juga belum diselesaikan melalui keterlibatan masyarakat, baik pada sisi kedalaman maupun keluasannya.

Hal ini akan berbeda ketika civil society dimaknai sebagai institusi. Melalui bentuk asosisiasi maupun institusi, civil society lebih mampu mengambangkan dirinya sebagai alat kontrol negara. Fakta ini dapat dilihat dalam kasus dukungan masyarakat Pengok terhadap penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur dan Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur (Maret, 2008). Masyarakat tersebut tergabung dalam Serikat Penghuni Rumah Negara Kereta Api (Sepur NKA). Dukungan ini dimaksudkan agar mereka dapat terus menghuni rumah dinas PT KA yang status tanahnya berupa Sultan Ground. Mereka berpendapat bahwa selama pemerintahan Sultan, rakyat dapat hidup tentram karena Sultan mampu menjadi penyayom bagi warganya. Kelompok masyarakat ini berharap dapat tetap menghuni rumah meraka dengan sistem sewa atau bagaimana baiknya.

Kasus ini memperlihatkan bahwa kehidupan asosiasional yang kuat dapat menguatkan civil society dalam posisi tawar meraka terhadap negara. Melalui asosiasi, masyarakat sadar akan haknya dan mampu mempertahankannya, misalnya dalam kasus ini adalah dengan mendatangi DPRD DIY untuk mendukung keistimewaan DIY dengan latar belakang mereka dapat terus menempati Sultan Ground. Meskipun tidak dapat disimpulkan secara gegabah, kehidupan civil society dalam bentuk institusi setidaknya telah mampu berpartisipasi dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka. Proses ini secara lebih jauh mampu mendorong masyarakat ke dalam iklim demokratisasi meskipun kehidupan mereka masih berada dalam lingkungan tradisi yang kuat atau bahkan bersifat constraining terhadap proses partisipasi.

Perbandingan Model masyarakat Sipil di Lingkungan Kraton

Ketika melihat model masyarakat sipil di dalam, di lingkungan dan di luar Kraton, maka akan terlihat kecenderungan warna yang berbeda. Beberapa contoh kasus dalam studi ini setidaknya bisa mewakili warna masyarakat sipil di tiga ranah tersebut. paguyuban Semar Sembogo atau perkumpulan dukuh se-DIY misalnya. Paguyuban ini dengan bebas dapat menyuarakan aspirasinya terkait dengan isu-isu keistimewaan DIY. Di luar itu, peguyuban ini tetap melakukan kegiatan dan pertemuan rutin seperti arisan dan sebagainya. Relasinya dengan Kraton sukup jelas, namun terbatas pada dukungan mereka terhadap penetapan Sultan sebagai gubernur. Di luar itu, kelompok ini tidak berelasi dengan Kraton secara langsung. Beberapa nilai dari masyarakat sipil dapat dilihat dari dinamika paguyuban ini. Mereka memiliki keterlibatan dan komitmen warga negara dalam proses politik (civic engagement) ketika berusaha untuk terlibat dalam pembahasan RUUK. Kehidupan asosiasional yang kuat juga diperlihatkan, meskipun derajatnya kadang bersifat temporal tergantung pada naik turunnya isu pembahasan RUUK di DPR. Partisipasi mereka melalui berbagai event yang melibatkan massa secara luas, khususnya masyarakat Jogja dapat dibaca sebagai proses demokratiasi masyarakat. Dinamika terhadap paguyuban ini apabila ditelisik lebih dalam tentu tidak sesederhana penjelasan di atas. Banyak elemen lain yang masih bisa diungkap melalui pendalaman studi labih lanjut.

Berbeda halnya dengan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. tipe ini dicirikan dengan berbagai paguyuban dan asosiasi yang juga banyak direproduksi di daerah lain dengan bantuan program pemerintah. Relasinya lebih banyak ke pemerintah daerah daripada ke Kraton sendiri. Meskipun demikian, struktur Kraton masih mewarnai paguyuban-paguyuban tersebut. struktur ini di satu sisi bisa mendorong berkembangnya masyarakat sipil seperti budaya toleransi, gotong royong, tingginya tingkat kepercayaan antar anggota, dan sebagainya melalui falsafah dan budaya Jawa yang diwariskan. Namun di sisi lain, struktur ini bisa dikatakan seperti mengambil jarak terhadap masyarakat sendiri. Posisi Sultan, sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY tidak serta merta berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat sipil di lingkungan Kraton. sebagian besar dari paguyuban yang ada hanya menjadi agen pemerintah untuk menjalankan program-progamnya. Sebut saja Kelompok Tani Wanita Sri Rejeki, asosiasi ini terasa kurang memiliki ruh masyarakat sipil yang seharusnya hadir di dalamnya. Hal ini sedikit berbeda dengan paguyuban Genthong 13, pemerintah dalam hal ini hanya menjadi fasilitator sedangkan nilai-nilai masyarakat sipil tersebut dapat berkembang dalam paguyuban ini. Mereka memiliki pengaturan tersendiri dalam pengelolaan air dengan pelibatan yang intensif dari para anggotanya.

Warna yang sama sekali lain tampak pada paguyuban abdi dalem Kraton. data sementara yang terkumpul menggambarkan bahwa meskipun mereka menyebut dirinya sebagai paguyuban, namun mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Aspirasi mereka tidak memiliki wadah yang representatif. Struktur Kraton yang terlalu kuat telah mengungkung mereka sampai untuk menyampaikan pendapat saja mereka tidak memiliki keberanian. Menarik melihat bagaimana kelompok ini bisa melakukan demontrasi terkait keistimewaan DIY. Pun demikian, inisiatif untuk melakukan protes tersebut tidak muncul dari diri mereka melainkan berdasarkan amanat para Pengageng di atasnya. Kuat dugaan bahwa proses ini bisa dikatakan sebagai bentuk mobiliasasi. Para abdi dalem tersebut memiliki logika tersendiri ketika mereka mau habis-habisan mengabdikan diri untuk Kraton. padahal, apabila melihat latarbelakang mereka, beberapa diantaranya pernah bekerja sebagai pegawai bank, angkatan laut, bahkan seorang profesor. Ada semacam karakter dan habitus tersendiri yang membentuk mereka yang kemudian digunakan untuk merasionalisasi apa yang mereka lakukan.

Dalam perspektif nilai, Kraton bisa dikatakan menyumbang banyak terhadap hadirnya relasi-relasi masyarakat yang masih memegang bentuk toleransi, kepercayaan, sebagai basis dari terbentuknya masyarakat sipil. Namun dari sisi struktur, Kraton dengan kuat mencengkeram model-model partisipasi dan keterbukaan untuk menjaga legitimasinya dengan kewibawaan dan eksistensi yang selama ini terus dipertahankan dengan berbagai cara.

Hasil wawancara Abdi Dalem Kraton, 21 Oktober 2010

Salah satu abdi dalem yang kami temui adalah KMT CB atau Bupati Kliwon. Ia menjabat sebagai Bupati Kliwon sejak tahun 2000 sampai sekarang. Jenjang kepangkatan ini sudah yang paling tinggi untuk abdi dalem yang tidak bisa menjadi Pengageng. Jabatan pengageng biasanya dimiliki oleh keturunan Sultan, seperti yang saat ini menjabat adalah wayah kaping 8 (cucu ke-delapan). Pengageng merupakan istilah lain dari pimpinan sedangkan tepas adalah istilah lain dari Kraton. Mbah Buyut dari KMT CB dulunya adalah seorang abdi dalem, sedangkan kakek dan ayahnya hanya petani dan kusir andong biasa. KMT CB juga tidak memiliki tanah magersari yang biasanya bisa diwariskan secara turun temurun. Dalam hal ini ia memang tidak minta, tuturnya, “nyuwun menawi mboten diagem rak nggih malah muspro.”

Baginya, menjadi abdi dalem memiliki motif tersendiri. Pertama, ia ingin melestarikan budaya Jawa sebagai budaya adiluhung. Selain itu, ia juga bisa srawung dengan para abdi dalem lain dan bersama-sama mengabdi pada Sultan. Motifnya yang lain adalah harapannya untuk mendapat berkah dari apa yang ia lakukan. “Ngiyup sak ngisore ringin rak nggih langkung iyup,” ujarnya terkait dengan kesediannya menjadi abdi dalem.

Jumlah abdi dalem punakawan kurang lebih adalah 1200. Dari jumlah tersebut, kira-kira 100 orang bekerja di Tepas, dan yang lain adalah abdi dalem caosan atau hanya sowan dalam waktu 12 hari sekali. Jenjang gaji yang diterima abdi dalem masing-masing adalah sebagai berikut:
Abdi dalem caosan : 10.0000
Abdi dalem yang bekerja di Tepas: 20.0000
Bekel enom : 30.000
Bekel Sepuh : 40.000
Lurah : 50.000
Kliwon : 70.000
Wedana : 80.000
Riyo Bupati Anom : 90.000
Bupati Anom : 100.000
Bupati Sepuh : 110.000
Bupati Kliwon : 120.000
Bupati Nayaka : 140.000
Bupati Sentana : 160.000

Selain gaji, para abdi dalem juga mendapatkan tunjangan kesehatan yang besarannya disesuaikan dengan jenjang kepangkatan.

Setiap harinya, mereka bekerja setiap pukul 09.00-13.30 WIB. Namun, untuk KMT CB, ia meminta untuk tidak sowan setiap hari Jum’at. Hari itu dikhususkannya untuk beribadah, juga membersihkan masjid dekat rumahnya. Jarak rumahnya ke Kraton kira-kira adalah delapan kilometer yang ditempuh dengan sepeda motor setiap harinya. Saat ini, ia sudah berusia 67 tahun dan dikaruniai 6 orang putra. Anaknya yang paling tua sudah jadi sarjana, sedangkan yang paling kecil sudah lulus SMA dan menikah.

Di Kraton, terdapat paguyuban yang bernama ‘Budi Wadu Narendra’. Paguyuban ini dapat diistilahkan sebagai korps-nya abdi dalem Kraton. Pada awal berdirinya, paguyuban ini mengadakan pertemuan setiap satu tahun sekali untuk semua anggota, namun saat ini pertemuan itu sudah jarang dilakukan. Untuk masing-masing Tepas, pertemuan rutin para abdi dalem dilakukan setiap dua bulan sekali. Pertemuan ini dihadiri oleh Pengageng 2 (wakil Pengageng) beserta cariknya. Jumlah keseluruhan abdi dalem yang mengikuti pertemuan ini biasanya hanya 20 orang.

Pertemuan tersebut membahas tentang berbagai persoalan terkait administrasi. Pernah sekali waktu para abdi dalem tersebut dipanggil oleh Gusti Joyo dan diberi pengarahan seputar persoalan di Kraton, bisanya dilakukan pada hari Jum’at. Pelibatan abdi dalem ternyata sangat terbatas. Untuk persoalan pembangunan fisik di Kraton, abdi dalem tidak pernah dilibatkan sama sekali.

Pada saat ini, Kraton sedang mengadakan pawiyatan atau sekolah untuk abdi dalem. Lama pendidikan untuk satu angkatan diselesaikan dalam jangka waktu satu bulan. Meskipun demikian, saluran aspirasi untuk para abdi dalem tersebut ternyata sangat sedikit. Mereka tidak bisa menyalurkan ide-ide hanya karena tidak berani. “Menawi abdi dalem, mboten wonten ingkang wantun,” demikian ungkap KMT CB. Mereka bahkan merasa tidak membutuhkan hak untuk menyalurkan aspirasi tersebut. Bagi mereka, cukup bendara-bendara saja yang bersuara. Hak tanah yang dimiliki para abdi dalem sebagian besar juga tidak diminta. Mereka biasanya diberi tanah di daerah-daerah yang jauh seperti di Selarong, sedangkan tanah-tanah di lingkungan Kraton adalah hak bagi keluarga Sultan. Untuk KMT CB, ia memilih untuk tidak meminta haknya tersebut karena saat ini ia sendiri sudah punya rumah dan tanah, meskipun hanya di dusun.

Ketika merebak isu RUUK DIY, terkait penetapan Sultan sebagai Gubernur. Para abdi dalem ini terlihat berdemo untuk mendukung Sultan. Ini pun dilakukan demi kepentingan Sultan. Demontrasi belum pernah sekalipun dilakukan untuk kepentingan pribadi atau ngaturaken panyuwunan. Mereka sekali lagi merasa benar-benar tidak berani. Inisiatif untuk melakukan demontrasi terkait RUUK juga bukan berasal dari abdi dalem sendiri. Dari perkataan KMT CB, terlihat bahwa ada upaya mobilisasi dari para Pengageng untuk menggerakkan abdi dalem.

Melompat ke peristiwa Gempa Jogja, abdi dalem ternyata tidak mendapat bantuan dari Kraton secara langsung. Bantuan didapatkan dari pribadi seperi Gusti Pembayun yang menyumbangkan kasur, bahan makanan pokok dan peralatan rumah tangga kepada KMT CB. Padahal, pada saat itu beliau kehilangan rumah dan satu orang anaknya.

KMT CB menjadi sesepuh di Kanayan Bumi Sewu atau perkumpulan abdi dalem yang bertugas mengurusi apabila ada yang meninggal dunia. Paguyuban ini lebih dinamis karena memiliki kegiatan rutin seperti arisan setiap bulan. Apabila ada gelar budaya, mereka biasanya juga diundang untuk menyaksikan sebagai tamu, mendampingi rombongan Sultan. Mereka pernah akan dilibatkan dalam suatu pawai budaya, hanya saja kegiatan ini batal dilaksanakan karena peserta dari Muntilan ternyata sudah banyak jumlahnya. Untuk Kanayakan lain, KMT CB mengaku tidak tahu karena memang jarang berkumpul. Sepertinya masing-masing Tepas memang di setting untuk tidak saling mengetahui urusan masing-masing.

Mereka juga diperbolehkan untuk ketemu Sultan setiap Lebaran. Sowan seperti ini sudah dijadwalkan dan dikoordinasikan dengan rapi. Untuk pagi, yang diperkenankan untuk sowan adalah abdi dalem dengan pangkat Riyo Bupati ke atas. Di bawah pangkat itu, masih diperbolehkan hanya saja dengan waktu yang berbeda, atau mungkin hari yang berbeda.

Para abdi dalem biasa mengenakan beskap yang juga menunjukkan identitasnya. Misalnya untuk warna merah, adalah abdi dalem pekerja kasar, seperti tukang memotong rumput atau bersih-bersih. Semua pakaian tersebut diusahakan secara mandiri. Hanya saja untuk abdi dalem yang bertugas di bidang pariwisata, akan mendapat jatah sragam dari kraton. bekerja di Parentah Hageng sebenarnya rekasa atau berat, sering lembur tapi tidak mendapatkan gaji tambahan. Berbeda dengan abdi dalem atau pihak luar yang menyajikan uyon-uyon di Bangsal Sri Manganti. Mereka mendapatkan sekitar lima sampai sepuluh ribu setiap kali sowan. Mereka menyajikan uyon-uyon setiap hari Senin, Selasa dan Minggu. Pada hari Rabu biasanya digelar pertunjukan Wayang Golek. Pada hari Jum’at terdapat acara Macapatan dan hari Sabtu digelar pertunjukan Wayang Kulit.

Salah satu pegawai di Parentah Hageng yang kami temui, khususnya yang menjabat sebagai carik bernama MA. Beliau ternyata adalah seorang pensiunan pegawai Bank Mandiri, bagian audit. Sebagai abdi dalem, beliau berpikir bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat ketika kemampuannya masih bisa digunakan untuk kepentingan Kraton meskipun sudah pensiun.

Mekanisme reward dan punishment dalam Kraton dilaksanakan dengan cara sederhana. Abdi dalem yang sudah bekerja selama delapan tahun akan mendapatkan lencana bernama ‘Setyo Aji Nugraha’. Lencana ini diberikan secara periodik dalam jangka waktu tersebut. hal ini menjadi satu-satunya reward bagi abdi dalem yang sudah dengan setia menjalankan tugasnya. Kraton tidak memberikan reward dalam bentuk tunjangan atau yang lain. Sedangkan mekanisme sanksi dikenakan pada abdi dalem yang selama 6 bulan tidak sowan. Sanksi yang diberikan adalah dikeluarkan setelah sebelumnya diberi surat peringatan.

Beberapa cerita yang didapat dari para abdi dalem ini kadang terasa berada di luar logika. Misalnya saja KMT CB yang rela dengan gaji 120 ribu tiap bulan untuk mengabdi ke Kraton setiap pagi. Demikian halnya dengan cerita dati Dwijo Soesilo Atmojo yang menjadi salah satu abdi dalem keprajan. Beliau adalah seorang pensiunan Kepala Sekolah SMP I Pandak, Bantul yang sowan setiap kamis minggu pertama, tiap bulan. Selain itu, terdapat cerita dari YJ, S.H. M.M. Ia menjadi abdi dalem atas wasiat dari ayahnya. Pangkatnya adalah Raden Wedana yang sowan setiap Kamis minggu pertama dan keempat. Ia adalah pensiunan angkatan laut yang juga pernah mengajar di Akademi Sekretaris Don Boscho, Jakarta. Rumah dinasnya saat ini adalah di Jakarta. Jadi untuk setiap bulannya, ia harus nglaju dari Jakarta dengan Kereta hanya untuk sowan. Keluarganya sempat keberatan. Setiap kali habis duduk bersila, ia juga sering merasakan sakit. Tapi sekarang karena sudah terbiasa, sudah tidak merasakan sakit lagi. Dan keluarga akhirnya juga bisa menerima keputusannya.

Sebagai abdi dalem, masing-masing pribadi pasti punya motif tersendiri. Di satu sisi, mereka kemungkinan akan merasa bangga diakui sebagai orang njero Kraton. posisi ini memiliki prestise tersendiri secara sosiologis di masyarakat. Para abdi dalem ini memang sedikit banyak memiliki karakter yang hampir mirip. Kalau melihat dari perspektif Bourdieu (sosiolog Prancis) mereka memang hidup dalam suatu struktur terlembaga, yang dalam prosesnya telah terinternalisasi sekian lama dalam masing-masing pribadi sehingga membentuk suatu habitus.

Ringkasan Ide tentang Masyarakat Sipil dalam Chandhoke, Neera, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil

Pembicaaraan tentang masyarakat sipil selalu terkait dengan pembicaraan tentang negara. Dalam perkembangannya, konsep masyarakat sipil terus mengalami perubahan seiring dengan berbagai perubahan konsep tentang negara. Negara dipahami sebagai entitas yang berusaha untuk mengontrol dan membatasi praktik politik masyarakat dengan membangun peraturan politik. Praktik negara tersebut menyentuh arena dimana terdapat mediasi dan kompetisi; tempat dimana masyarakat masuk dan berhubungan dengan negara. Arena tersebut bisa didefinisikan sebagai masyarakat sipil.

Nilai-nilai dari masyarakat sipil adalah partisipasi politik, adanya pertanggungjawaban negara dan publisitas politik. Konsep ini diambil dari tradisi pemikiran Montesquieu, De Tocqueville dan Habermas (bukan dari Chandhoke). Sebagai institusi, masyarakat sipil adalah forum yang representatif dan asosiatif, pers bebas dan asosiasi sosial. Anggota dalam masyarakat sipil dalah individu yang mempunyai hak-hak dan dibatasi secara yuridis, yang disebut warga negara. Dan perlindungan terhadap anggota suatu masyarakat sipil termaktub dalam kata dan lembaga hak asasi. Masyarakat sipil kemudian menjadi tempat diproduksinya kritik rasional yang memiliki potensi untuk mengawasi negara. Masyarakat sipil memiliki hak-hak istimewa dari teori demokrasi sebagai pra kondisi yang vital bagi eksistensi demokrasi. Eksistensi masyarakat sipil tidak selalu berarti melawan negara, atau akan melanggar batas-batas politik yang dibangun negara. Seperti yang dikatakan Gramsci, hegemoni masyarakat sipil bisa menjadi tangan pertama bagi negara dalam proyek pengendalian praktik sosial.

Seperti halnya hubungan antara negara dan masyarakat, konsepsi tentang masyarakat sipil juga mengalami evolusi. Ide masyarakat sipil muncul sejak lahirnya istilah zoon politicon ala Aristotelian di Yunani. Konsep ini berkembang lebih jauh karena pada dassarnya masyarakat sipil bukanlah masyarakat politik. Pada masa Romawi, mulai dikenal adanya konsep masyarakat sipil yang lebih modern. Orang mulai mengenal dikotomi antara kehidupan politik dan sipil. Konsep selanjutnya digagas oleh Locke dan Hobbes yang merumuskan adanya hubungan antar individu dan antara individu dengan negara sebagai hasil kontrak.

Dalam ekonomi politik klasik, ruang dimana individu saling bertemu dan mendapatkan kebutuhannya disebut sebagai masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam ekonomi klasik, muncul tidak hanya sebagai sistem pemenuhan kebutuhan, namun juga sebagai rumah untuk kesadaran diri individu. Evolusi konseptual tentang masyarakat sipil berkembang seiring dengan munculnya teori liberal. Kekuasaan negara tidak dapat dihilangkan atau bahkan direduksi ke minimun. Masyarakat yang kompleks membutuhkan negara untuk melestarikan ketertiban, hukum dan memegang legalitas. Tetapi, negara harus dibatasi. Masyarakat sipil harus menemukan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibagi ke wilayah-wilayah di luar negara, dan salah satunya melalui asosiasi-asosiasi sosial, kultural, profesional dan religius.

Dari sinilah muncul konsep masyarakat sipil sebagai asosiasi sosial oleh Tocqueville. Suatu asosiasi dapat mempersatukan pikiran sehingga asosiasi meminjamkan suatu koherensi dengan kehidupan publik, mengusahakan keutamaan civic, dan menanamkan nilai-nilai demokrasi. Dalam fase liberalisme ini, masyarakat sipil digunakan sebagai konsep yang utama untuk mengorganisasi hubungan negara-masyarakat. Namun, teori ini gagal mengidentifikasi masalah dalam masyarakat sipil yang rentan terhadap fragmentasi dan perang. Masyarakat sipil memerlukan prinsip integral untuk mempertemukan kontradiksi di dalam dirinya.

Konsep masyarakat sipil kemudian dijelaskan dalam tradisi Hegelian, Marxian dan Gramscian. Dalam tradisi pemikiran Hegel, Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau bersifat atomis. Masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional. Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan negara.

Marx mengkritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia. Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan terhadap kaum buruh. Marx memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless).

Gramsci menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu, hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika atau moral. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga. Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.

Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra hegemoni.

Definisi masyarakat sipil di masa kini membawa dua pengertian baik dari kaum Liberal maupun Marxis. Negara pada saat ini memiliki kekuasaan yang lebih. Dengan kekuasaannya, negara mencoba untuk memadamkan seluruh pemikiran dan debat rakyatnya-atau negara yang mencoba memimpin masyarakat sipil. Negara kemudian dituntut untuk mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Negara-negara tersebut hanya akan bertanggungjawab melalui praktik demokratis masyarakat sipil yang merdeka. Pemberian hak istimewa masyarakat sipil sebagai ruang terciptanya politik demokratis melahirkan beberapa kesimpulan utama terkait dengan konsep masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara. Konsep masyarakat sipil sebagai ruang publik mulai dikenal luas melalui gagasan Habermas.

Pengertian ruang dalam masyarakat sipil adalah ketika rakyat berkumpul bersama dalam suatu arena dengan satu pengertian bersama. Kepentingan umum tidak hanya berkaitan dengan keseluruhan masyarakat, tetapi merupakan mekanisme vital yang membawa individu-individu dan kelompol-kelompok dari wacana privat ke dalam wacana umum. Proses ini berlangsung melalui pembentukan dan penghamburan opini publik yang dihasilkan melalui debat dan diskusi. Keseluruahan proses tersebut membutuhkan ruang yang relatif bebas dari campur tangan negara, pengakuan hak setiap anggota, dan keberadaan institusi seperti pers yang bebas, asosiasi-asosiasi, lembaga-lembaga perwakilan dan aturan hukum. Kepentingan umum dalam diskusi ini merupakan kepentingan yang dapat dicapai bersama, dalam artian tidak terhalang posisi kelas atau struktur lainnya.

Masyarakat sipil sebagai ruang publik juga diartikan sebagai ruang di luar birokrasi yang memberikan saluran komunikasi yang diberikan negara, yang menjadi tempat berlangsungnya diskusi dan debat umum yang merdeka. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana kemerdekaan masyarakat sipil dari negara?
Pintu masuk ini membawa kita pada perdebatan dan benturan yang terjadi antara masyarakat sipil dan negara. Masyarakat sipil tentu tidak bisa sepenuhnya berada di luar negara. Masyarakat sipil tetap membutuhkan negara untuk menjamin hak-hak mereka dan melakukan regulasi melalui hukum. Di satu pihak, negara juga butuh masyarakat sipil sebagai kontrol atas kekuasaannya. Namun, negara juga berusaha untuk mengintervensi masyarakat sipil dengan berbagai program-program yang diterapkan di tengah-tengah keberadaannya. Masyarakat sipil yang selalu bergerak aktif telah memunculkan kebangkitan demokrasi. Sebaliknya, praktik-praktik yang berlangsung di dalamnya justru tarkadang menindas prinsip demokrasi itu sendiri. Masyarakat sipil masih rentan terhadap fragmentasi atau kemungkinan juga praktik-praktik yang bersifat elitis. Demikian juga dengan arena dimana masyarakat sipil tersebut tumbuh, tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan masyarakat politik dengan segala bentuk isu dan praktiknya. Dengan demikian, konsep masyarakat sipil masih akan terus berevolusi dan berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan hubungan antara negara dan masyarakat.

Senin, 13 Desember 2010

Ketika Cempluk Ditanya Soal Penetapan atau Pemilihan Langsung untuk Jogja

ah, saya mencoba untuk tidak peduli saja. toh saya juga cuma pendatang di sini. saya orang asli Ngawi. buat apa ikut ribut-ribut soal monarki atau demokrasi. yang penting saya tetap bisa cari rejeki. dan tak ada yang melarang untuk tiap hari bisa bikin puisi.