Sabtu, 30 Juli 2011

Membaca Politik Sembari Minum Kopi*


Hampir setiap pagi saya mengakrabi aroma kopi. Mulai dari biji kopi yang disangrai dan ditumbuk, kopi Bengkulu dari Eka, sampai berbagai rasa kopi dalam kemasam yang dicampur dengan susu, cream, mocca, vanila dan sebangsanya itu. Hanya saja siang ini sedikit ada kopi berasa sangat berbeda menyentuh indera saya. Silakan saja kalau ingin membilang saya kurang gaul atau apa karena sudah lima tahun di kota ini tapi baru hari ini bisa mengambah dunia lain dari aroma kopi.

Di sebuah tempat, apapun namanya. Ruap asap kopi ternyata bisa menampilkan berbagai realitas politik. Asap rokok berkepulan melukiskan pikiran-pikiran orang yang beraneka macam. Sayang sekali saya sendiri tak tahan dengan ruang baru ini. Rasanya sedikit asing karena sebagian dari mereka menggunakan dialek yang hanya mampu saya pahami sepatah-sepatah. Padahal, akan lebih banyak yang bisa diceritakan ketika saya bisa menahan diri untuk duduk lebih lama.

Angkringan, tempat nongkrong atau warung kopi mungkin sudah pernah menjadi kajian politik ketika dihubungkan dengan konsep ruang publik. Setidaknya, akan sedikit berbeda kalau saya bisa melihatnya sendiri. Pak Habermas berkata bahwa di ruang publik yang bebas macam beginilah orang-orang dalam posisi mereka yang setara bisa melakukan transaksi-transaksi wacana (discursive transactions) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran, ini kalau saya tidak salah ingat. Lalu kata orang di depan saya tadi, di tempat ini banyak sekali keputusan dieksekusi. Orang bisa betah ngobrol dari jam delapan pagi sampai warung tutup jam dua belas malam tanpa henti. Mereka merancang konsep, mungkin stratak kalau konteksnya gerakan mahasiswa, membicarakan politik kampus, isu-isu mutakhir yang akan diangkat dan sebagainya. Tempat ini menjadi semacam arena bertemunya pemikiran para intelektulitas muda dari berbagai universitas.

Aroma politik dari uap kopi dan asap rokok semakin lama akan semakin mengental. Di ruang publik ini pun katanya banyak intrik yang menuntut para peminum kopi** untuk selalu pasang mata dan telinga, karena siapa yang tidak peka akan tersingkir dengan sendirinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ruang publik yang bebas pun tidak menjamin para penghuninya terlepas dari keberadaan kuasa, posisi-posisi yang terlihat setara tapi tidak setara dan seliweran-seliwaran kepentingan yang bisa datang dari mana saja.

Aspek yang muncul kuat di ruang publik jenis ini dan paling terlihat adalah unsur informality. Aspek informality membuat hubungan sosial menjadi tidak terlalu formal atau kaku sehingga tempat ini menjadi semacam public sphere yang dinamis. Para peminum kopi bisa keluar dari struktur-struktur tertentu yang constraining dan membuatnya enabling. Hal yang dibicarakan ketika rapat dalam sebuah organisasi dengan pola hubungan formal dan vertikal bisa menjadi cerita lain ketika dibahas dalam suasana yang lebih horizontal seperti ini. Banyak proses terjadi di dalamnya. Ada eksplorasi persamaan dan perbedaan persepsi, reframing ide dan perspektif, mobilisasi sumber daya dan tentu masih banyak hal yang saya tidak tahu. Beberapa yang saya sebutkan pun sebenarnya hanya kemungkinan dari banyak hal yang dilakukan para peminum kopi di tempat ini.***

Melihat sepintas relasi-relasi antar peminum kopi, dalam pikiran saya seperti tergambar jaring-jaring yang saling berpotongan, saling melingkari, atau membentuk semacam pola-pola tertentu. Jaring-jaring ini mengandung banyak sekali endapan ideologi, ekspresi beragam ide, rasa solidaritas sampai perasaan senasib sepenanggungan**** antar peminum kopi. Jaring relasi ini pun tak dapat dihindari memiliki banyak retakan, bahkan patahan ketika lempeng-lempeng pemikiran tidak hanya dieskpresikan melainkan menjadi sesuatu yang diskursif dan terus diperdebatkan. Proses semacam inilah yang sebenarnya bisa membawa kematangan berpikir bagi para peminum kopi.

Dari kepulan asap gulungan tembakau berbagai merk yang dilukis dengan ampas-ampas kopi, bisa dilihat bagaimana teori-teori Arend Lipjhart, Ustadz Satori atau Pak Maurice Duverger menemukan signifikansinya dalam ranah politik praktis. Para peminum kopi dengan wajah-wajah serius bicara soal sistem pemilu dan partai, electoral threshold yang harus dicapai dan entah apalagi yang tidak saya pahami karena selalu membuat puisi ketika Pak Ketut dan Mas Sigit menyampaikan kuliah tentang tetek bengek ini.

Lalu apa tujuannya? Saya sendiri juga tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Mungkin untuk mencounter negara (dalam ruang yang lebih sempit barangkali mengkritisi pejabat-pejabat rektorat), mungkin untuk misi yang lebih mulia demi kebangkitan bangsa, mungkin juga menjadi strategi untuk mencapai kekuasaan yang lebih tinggi. Beberapa peminum kopi yang menonjol bisa berkesempatan menjadi pengurus parpol lalu berkiprahlah mereka dalam politik praktis di daerah atau bahkan di senayan. Bagaimanapun mereka adalah bagian dari sebuah alur. Saya tidak tahu juga bagaimana kelanjutan cerita para peminum kopi ketika sudah masuk dalam sistem tertentu. Apakah mereka tetap akan memperjuangkan idealisme yang dibicarakan siang malam itu? Apakah karakter mereka cukup kuat juga untuk tidak terseret arus? Apakah mereka kemudian bisa mewujudkan visi dengan mengubah sistem dari dalam? Entahlah.

Satu hal lagi yang ingin saya katakan atau seperti apa yang dikatakan orang di depan saya siang tadi. Di sini memang tempatnya orang-orang yang telah matang aspek psikomotor dan afektifnya tapi serasa kurang sumber daya untuk menggenapi aspek kognitif. Mereka, para aktivis ini mungkin sudah ahli ketika turun ke lapangan namun lemah ketika harus menjadi konseptor yang bisa merangkai, mensistematisasikan suatu ide dan menurunkannya pada wilayah praksis. Tukang membuat konsep sebenarnya bisa dilakukan oleh para akademisi maupaun peneliti. Namun, mereka yang berbekal teori-teori langit itu kadang enggan turun dari menara gadingnya untuk melihat wilayah praktis dimana teori-teori itu dapat mewujud atau bahkan menemukan penyempurnaan wujudnya.

Sebagai sebuah ruang publik yang bebas, tempat ini sepertinya masih membutuhkan adanya sharing sumber daya. Peminum kopi bisa jadi tidak hanya terbatas pada para aktivis tapi bagaimana networking bisa dikembangkan sampai para peneliti, akademisi, atau menantang bahaya dengan memasukkan aktor-aktor “negara”, tentu dalam batas dan skema hubungan yang informal tadi. Ketika semua aktor bisa menjadi peminum kopi yang baik, dengan misi kebaikan bersama yang ingin dicapai, bukankah sekat-sekat bisa semakin tidak terlihat?

Hanya inilah yang sempat saya rekam. Tulisan ini sangat mungkin terkontaminasi dengan imajinasi yang saya buat sendiri sehingga tidak seutuhnya sesuai dengan senyatanya.


*Tulisan ini barangkali menjadi geje alias gak jelas untuk pembaca yang tidak mengetahui konteks yang saya bicarakan. Tapi ya sudahlah, setidaknya saya bisa merekam untuk diri saya sendiri. Hanya interpretasi sepihak tanpa dikonfirmasikan ulang atau mencoba menggalinya lebih dalam. Soalnya kalau digali lebih dalam bisa jadi tesis.hehehe...
**Hanya sebutan untuk orang-orang yang suka ngopi di sini.
***Untuk bagian ini saya memang sedikit sok tahu.
****Yang ini muncul ketika mereka menggunakan logat yang hampir sama ketika berbicara, dengan wajah-wajah serupa, bibir menghitam kebanyakan menghisap asap, ah entahlah bagaimana melukiskan kemiripan orang-orang itu dalam kata-kata.

30 Juli 2011