Kamis, 31 Maret 2011

Di Bait-Bait Pinus

Di bait-bait pinus
Reranting rapuh patah menjelma dunia semakin kubus
Pedang-pedang terhunus
Aku bukan hendak memimpin selaksa pasukan
Hanya sedang ingin bermandi dengan airmata sejarah berlinangan
Sekembalinya aku dari dunia balikmu
Bukankah tetap saja sudut mata itu,
Memenjarakanku dalam cahaya redup kunang-kunang
Aku mengambang begitu saja dalam tanpa

Di pagi ini aku menanti hujan matahari
Sedang aku tahu puisi ini bukan dariku sendiri
Inilah akal-akalan akal busuk menentang darah dan tubuhku
Sekeranjang kata dibawakan awan berarak-arakan ke pangkuan
Baru kemarin rasanya aku melajukan kereta-kereta perang
Di bait-bait pinus tergerus waktu pagi temaram


Yogyakarta, dalam pelukan siur angin pagi hari.

Senin, 28 Maret 2011

Suatu Tempat di Ruang Antara: Dari Tarling-Dangdut sampai Hip Hop

Ekstase Tarling-Dangdut di Ruang Antara

Sekerat tulisan sederhana ini sedang mencoba untuk sejenak menginjak ruang antara. Ketika segala sesuatu tak lagi jelas batasannya. Ruang-ruang baru tercipta ketika sekat semakin mengabur. Budaya dan manusianya saling bereaksi satu dengan yang lain. Barangkali memang saatnya perayaan diadakan atas kelahiran ruang-ruang antara. Ruang-ruang yang tidak begitu jelas warnanya. Ruang ketiga yang hadir dalam perpaduan dunia, identitas, budaya dan seni yang tidak hanya saling benturan, tetapi juga saling membentuk menjadi hal baru.

Zona ini mengundang refleksi baru dalam usaha merepresentasikan realitas ke dalam bentuk-bentuk seni. Homi K. Bhaba menyebutnya sebagai zona liminal yang mengekspresikan potensi-potensi sebuah ruang ketiga – area ‘abu-abu’ yang fleksibel di luar nilai kontradiksi dan paradoks – dari proses kreatif yang memungkinkan teks baru yang perlu disertakan dalam budaya kreatif dan egaliter.1

Seni kontemporer mengalami perjalanan dalam sebuah lintasan tanpa tujuan akhir. Dari sinilah ditemukan realitas yang coba diekspresikan dalam berbagai karya. Teater Garasi telah mengangkat fenomena ruang-ruang ketiga tersebut dalam pertunjukkannya ‘Tubuh Ketiga: Pada Perayaan yang Berada di Antara’. Pertunjukan ini mencoba merepresentasikan realitas budaya yang terjadi di daerah Indramayu, pesisir Utara Jawa.

Pertunjukan tentang seni Tarling-Dangdut yang diangkat dalam bentuk teater tari kontemporer ini berhasil menyampaikan pesan tentang bentuk ekspresi kebudayaan ‘ketiga’. Sebagai sebuah kota, Indramayu berada dalam pusaran kota-kota yang saling mempengaruhi dalam menanamkan budayanya. Indramayu berada di antara Solo dan Yogyakarta, Jawa Barat (Bandung) dan Jakarta. Identitas baru yang terefleksikan dalam Tarling-Dangdut ini tersusun dari pertemuan antar identitas yang saling bercampur dengan budaya yang dibawanya masing-masing.2

Seni Tarling-Dangdut berkembang sebagai penanda kebudayaan Indramayu yang berada di antara tradisional-modern, agraris-industrial, desa-kota. Kesenian ini tidak lagi dianggap sebagai seni tradisional, tetapi bukan juga seni modern. Tarling-Dangdut berada di antara kedua hal yang bisa dikatakan berjarak. Posisinya yang problematis tersebut justru membuatnya terus tumbuh. Di satu sisi, tumbuhnya kesenian ini mungkin akan mengancam keberadaan seni tradisional seperti Tari Topeng Indramayu, wayang atau kesenian tradisional lain. Namun, di sisi lain Tarling-Dangdut menjadi seni rakyat murah yang bisa dinikmati untuk melepaskan penat hidup, khususnya masyarakat kelas bawah. Suatu bentuk seni yang lumayan bisa menunjukkan kelas. Dangdut Koplo tentu akan sangat jarang diputar di restoran-restoran mewah dimana semua pelanggannya mengenakan jas dan gaun.

Bentuk-bentuk identitas ‘ketiga’ muncul dengan atribut-atribut yang cenderung baru. Ada kalanya atribut tersebut masih kental dengan unsur identitas asal. Adakalanya juga atribut tersebut tidak lagi terlihat sebagai manifestasi dari kebudayaan asal dengan segala unsur kebaruannya yang sudah melekat. Dalam hal ini, banyak fisi dan fusi identitas yang tidak bisa dijelaskan lagi batasannya. Realitas ini bisa jadi melengkapi teori Horowitz yang muncul sekitar tahun 1980-an tentang asimilasi dan diferensiasi identitas.

Horowitz membagi asimilasi identitas dalam bentuk amalgamasi dan inkorporasi. Amalgamasi terjadi ketika dua atau lebih kelompok identitas bergabung dan membentuk identitas baru. Sedangkan inkorporasi dimaknai ketika dua identitas atau lebih bergabung dan salah identitas diserap oleh yang lain. Proses diferensiasi juga terbagi menjadi dua yaitu divisi dan proliferasi. Divisi terjadi ketika satu identitas terbagi menjadi dua atau lebih idetitas yang berbeda dari asalnya. Sedangkan proliferasi terjadi ketika satu identitas terpecah menjadi dua identitas atau lebih yang salah satu identitas tersebut masih memiliki identitas asalnya.

Apa yang dilakukan Horowitz seakan tidak relevan ketika digunakan untuk menjelaskan keberadaan kesenian Tarling-Dangdut sebagai salah satu bentuk identitas produk budaya. Tarling-Dangdut merupakan bentuk perpaduan dari banyak identitas. Namun, terbentuknya Tarling-Dangdut kurang tepat disebut sebagai amalgamasi karena identitas kesenian yang terbentuk bukan semata-mata merupakan identitas yang baru. Atribut yang melekati kesenian tersebut menjadi abu-abu dan berada di ruang antara dari identitas kesenian lain yang melingkupinya. Identitas kesenian tersebut tidak dapat ditegaskan menjadi sebuah istilah baru yang benar-benar bisa menggambarkan dirinya, kecuali hanya dengan sebuah label untuk sekadar menamai.

Tidak hanya dalam keseniannya, digambarkan pula dalam pertunjukan Teater Garasi bagaimana kehidupan masyarakat yang berada di ruang-ruang antara. Para seniman memilih menjadi TKI ke luar negeri untuk mencukupi kebutuhan materi. Mereka juga dibanjiri produk-produk pasar yang tak bisa dibendung lagi. Beberapa perempuan petani lebih memilih menjadi penyanyi Tarling-Dangdut keliling daripada harus bekerja di sawah atau menjemur padi.

Kehidupan memang harus terus berjalan meski berada dalam ruang-ruang perbatasan. Tubuh ketiga seperti menjadi semacam ingatan bahwa manusia dan budayanya selalu berada dalam ruang dan waktu yang berjalan dinamis, terus berjalan beriringan dengan segala macam perubahan.

Hip Hop Diningrat: Kritik dan Filosofi di Ruang Antara

Di ruang antara, dalam zona perbatasan, banyak hal yang bisa dibaca sebagai pemuasan fantasi, hasrat, frustasi atau bahkan alienasi, antara diri dan perjalanan zaman. Dunia tradisi dan global yang saling bergesekan telah menciptakan ruang baru. Tidak hanya dari segi perpaduan unsur geo-kultural lokal yang mengitarinya, tetapi juga sampai kultur trans nasional.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 22-23 Maret 2011, Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Yogyakarta mengadakan acara pemutara film dokumenter dengan judul ‘Hip Hop Diningrat’. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Inandiak menunjukkan bahwa pada mulanya musik hip hop berasal dari rap yang merupakan bentuk perlawanan orang-orang kulit hitam terhadap kebudayaan orang kulit putih (kalau saya tidak salah). Genre ini kemudian menyebar luas dengan lirik-lirinya yang padat dan musik yang khas. Rap berevolusi menjadi hip hop dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebut saja Iwa K untuk generasi tua dan Saykoji untuk generasi yang lebih muda sebagai contoh musisi hip hop Indonesia. Lagu-lagu mereka menjadi hits dan dapat diterima luas di masyarakat.

Apa yang terjadi dengan hip hop di Yogyakarta? Berbeda dengan Tarling-Dangdut Indramayu yang merupakan perpaduan unsur-unsur budaya di sekitarnya, Hip Hop di Yogyakarta dengan budayanya yang cukup kuat merupakan bentuk adaptasi budaya global yang diserap tanpa meninggalkan akar budaya lokal. Dia menjadi kombinasi antara kultur global dan lokal.

Film tersebut menceritakan bagaimana sebuah komunitas di Yogyakarta yang menamai dirinya sebagai ‘Yogyakarta Hip Hop Foundation’ menjadi pemantik bagi tumbuhnya musik hip hop dengan lirik bahasa Jawa, bahasa ibu mereka. Orang-orang Yogyakarta terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari sehingga mereka merasa lebih nyaman menggunakan bahasa tersebut untuk membuat lirik. Bahasa Jawa digunakan sebagai penanda dalam berbagai corak syair lagu mereka. Penggunaan bahasa Jawa dapat dibaca sebagai bentuk sense of belonging sebagai orang Jogja dengan budaya dan keseharian mereka. Pun demikian, bahasa Jawa ala Jogja memiliki kekhasannya sendiri yang membedakan dengan bahasa Jawa di daerah lain, seperti Solo atau sampai Jawa Timuran.

Budaya sebagai bentuk identitas dalam konteks hip hop berbahasa Jawa ini mungkin saja bisa dilabeli dengan teori amalgamasi Horowitz. Namun, teori ini sebenarnya tidak mampu menggeneralisasikan dan melabeli fenomena yang memiliki keunikan dan kekhasannya masing-masing. Rasanya memang tidak cukup hanya dengan memberikan label, melainkan bagaimana menjelaskan fenomena tersebut sebagai bagian dari relasi dan jaring-jaring budaya yang saling bertemu, saling menyerap, saling mengadaptasi sehingga menmuculkan bentuk-bentuk lain.

Hip hop yang merupakan bentuk budaya pop global ternyata bisa kawin dengan budaya tradisional. Gatra-gatra dengan ragam ritme yang intens cukup mewarnai lagu-lagu hip hop yang dibuat oleh para musisi Jogja, mulai dari bentuk protes, refleksi kehidupan sehari-hari sampai syair-syair filosofis yang dihadirkan dalam kedalaman makna dengan menggunakan bahasa Jawa.

Bentuk puisi di Jawa sejak zaman dulu memang biasa dilagukan dalam tembang. Komposisi nada menjadi salah satu ruh yang bisa mengungkapkan makna syair. Irama menjadi separuh jiwa dari keseluruhan puisi yang diciptakan oleh pujangga-pujangga zaman dahulu tersebut. Pada masa sekarang, tembang dengan kekhasan nadanya telah diubah menjadi musik yang bisa diterima oleh berbagai lapis kalangan, terutama generasi muda.

Beberapa lagu yang dibawakan oleh Rotra, Kill The Dj, Jahanam dan sebagainya mengungkapkan keragaman bentuk-bentuk puisi yang telah berhasil dirombak menjadi sesuatu yang baru. Sebelumnya memang tidak terbayangkan, bagaimana bentuk puisi lama seperti Gurindam 12 karya Raja Ali Haji bisa dilagunakan dengan irama Hip Hop. Syair-syair sarat filosofil Jawa karya Sindhunata, bahkan puisi dalam bentuk mantra ternyata juga bisa dirasuki musik hip hop. Sebut saja judul-judul lagu seperti; Ngelmu Pring dan Rep Kedhep. Kedua karya tersebut bisa disebut klasik dan ternyata dapat diperbarui sedemikian rupa sehingga bisa dinikmati dengan cara yang sangat berbeda.

Ngelmu Pring bercerita tentang filosofi kehidupan yang diambil dari metafora-metafora pohon bambu yang bisa menunjukkan berbagai makna kehidupan dan cara menjalinya. Sedangkan Rep Kedhep adalah semacam mantra untuk menemukan kembali orang hilang yang biasa disembunyikan oleh makhluk gaib pada zaman dulu. Bait-bait serat Centhini pun ternyata bisa dilagukan dengan irama cepat ala hip hop. Bait-bait yang kembali bisa menjadi universal ketika disetubuhkan dengan musik. Hal ini tercermin dari lagu yang dibawakan oleh Kill The Dj ft. Soimah yang berjudul Lingsir Wengi.

Realitas wong cilik sehari-hari juga mengilhami berbagai lirik dalam lagu mereka. Mungkin sedikit konyol tetapi menjadi apa adanya itu kadang lebih baik daripada mencari kata-kata puitis yang hanya dimengerti oleh pengarangnya. Menjadi apa adanya kadang justru lebih indah daripada puisi-puisi yang terisolasi di dunia pengarangnya.

Beberapa lagu seperti Ayo Ngising (Jahanam) atau Ora Cucul Ora Ngebul (Rotra) adalah contoh lirik-lirik yang sangat dekat dengan kehidupan orang Jawa, khususnya Yogyakarta, dengan nada lagu yang juga sudah tidak asing ditelinga. Salah satu lirik lagu Tumini Nggatheli (Jahanam) bahkan bisa menjadi refleksi manusia-manusia dengan tubuh ketiga. Tumini adalah gadis desa yang berusaha memaksa menjadi modern tetapi justru tidak bisa disebut modern. Dia berusaha tampil menggoda dengan menggunakan baju transparan. Wajahnya diwarnai merah, kuning, hijau mirip lampu di perempatan jalan. Tumini hanya salah satu korban mode dalam konstruksi televisi yang ditontonya setiap hari. Di desa, ia tak pernah absen ikut berjoget dangdutan ketika ada yang hajatan. Di kota, Tumini asik gaul di diskotik bersama teman-teman. Simak saja lagu tersebut untuk lebih memiliki gambaran tubuh ketiga Tumini. Kekhasan bahasa Jawa bisa dirasakan dalam lirik-lirik di atas. Sehingga, akan menjadi aneh apabila lagu itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, misalnya.

Beberapa lagu juga menunjukkan resistensi dan kritik terhadap struktur kekuasaan yang lebih luas. Sebut saja protes terhadap Kasus Century yang tertuang dalam lagu Profesor Kodok. Demikian halnya dengan lagu Cecak Nguntal Boyo yang merupakan refleksi dari kasus yang menimpa KPK. Bahkan, soal liga Indonesia yang memanas belakangan ini juga bisa dituangkan dalam syair dengan judul Liga Indonesia. Di dunia seni, lewat lagu berjudul Jula-Juli Lolipop, Kill The DJ, Chebolang ft. Rotra mengkritik para seniman yang hanya menjadikan seni sebagai produk untuk memuaskan keinginan pasar. Para seniman melacurkan bakatnya demi uang dan terlupa menggambarkan nasib rakyat. Mereka dengan sengaja membunuh seni demi agar karyanya laris terjual. Betapa luas hip hop bisa menjangkau berbagai lapis realitas sekaligus, meskipun dalam hal ini tidak semuanya menggunakan bahasa Jawa.

Bahasa adalah semacam penanda bagi sesuatu yang hanya bisa dibunyikan dengan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, bahasa memang bisa menjadi persoalan karena tak banyak orang yang mengerti bahasa Jawa. Kedalaman arti dari puisi-puisi yang di-hip hop-kan bisa menjadi hanya bersifat artifisial tanpa berusaha dipahami makna sesungguhnya. Namun, tentu tidak ada salahnya ketika musik yang menjadi bagian dari puisi ini bisa diterima dan dinikmati banyak orang. Tak lagi menjadi soal apakah orang yang mendengarkan akan mengerti maknanya atau tidak. Meskipun demikian, eksistensi puisi akan tetap mengalami kehilangan besar ketika makna tidak dapat sampai sepenuhnya.

Hip hop juga mulai menjadi bentuk musikalisasi puisi yang sangat beraroma sastrawi. Sebut saja puisi berjudul Cinta dalam Restropektif Alkohol yang dibawakan secara hip hop oleh Gatholoco. Musikalisasi puisi dalam bentuk hip hop memang berbeda dengan bentuk-bentuk eksperimen musikalisasi puisi yang pernah dibuat sebelumnya. Hal ini terkait juga dengan penikmatnya. Musik hip hop biasanya digemari oleh anak-anak muda dalam ranah yang lebih luas, sedangkan musikalisasi puisi yang sudah-sudah biasanya hanya dinikmati oleh para seniman dalam lingkup yang sangat terbatas. Dengan demikian, tentu tidak salah jika hip hop bisa menjadi instrumen bagi puisi untuk bisa dinikmati oleh lebih banyak orang. Hip hop akan menjadi jembatan bagi keberadaan puisi agar tidak lagi terisolasi di atas kertas atau di dunia imaji.

Kehidupan para musisi hip hop pun juga tergiring untuk masuk di dunia antara. Proses ini tercermin dari bagaimana mereka berpakaian. Atribut musik hip hop kental dengan celana komprang, jumper, topi, kacamata, sepatu kets dan segala bentuk atribut lain yang bisa menjadi karakteristik musisi hip hop. Sebagian para musisi ini tetap menggunakan atribut khas hip hop tersebut dengan dipadukan juga dengan unsur lokalitas seperti batik.

Mereka pun kadang tak harus membeli baru semua atribut tersebut. Para musisi ini biasa mendapatkannya di awul-awul atau toko penjual pakaian import bekas yang bertebaran di sudut-sudut Yogyakarta. Lumayan juga ketika mereka tetap bisa bergaya dengan pakaian bermerk meskipun tak baru. Jalur musik yang dipilih pun tak jarang menuai protes dari orang tua. Hip hop memang sering diidentikkan dengan mabuk-mabukkan. Para ibu khususnya, merasa khawatir dengan dunia anaknya yang disebut sebagai dunia tidak jelas tersebut.

Musik hip hop dengan lirik bahasa Jawa tumbuh dan berada di ruang antara, dunia global dan dunia tradisional yang tidak selalu paradoksal dan berbenturan. Hal inilah yang menjadikan ruang ketiga menjadi sangat fleksibel sebagai habitat kelahiran budaya-budaya baru.

Berada di ruang antara memang bukan berarti harus melepaskan identitas asli. Kehidupan baru budaya di ruang antara menyediakan banyak jalan untuk memilih identitas. Apakah harus menyerap ruang-ruang lain, atau tetap beratahan dengan berbagai adaptasi atau hanya cukup menjadi abu-abu samar tanpa pretensi untuk menegaskannya sebagai apa.

Di ruang antara, ternyata sedang menjamur berbagai bentuk budaya yang masih jarang tersentuh kajian dan studi ilmiah. Di ruang antara akan masih terus lahir representasi, refleksi dan pemaknaan baru terhadap apa yang sedang dialami manusia. Di ruang antara, sedang menunggu seseorang yang tidak bisa lagi membedakan ‘dunia saya’ dan dunia-dunia lain di luarnya yang sebagian telah menjadi ‘dunia saya’ itu sendiri tanpa sadar dan diketahui.

1 Sujud Dartanto dan Noor Veiga. Catatan Kuratorial, Crossing Signs, 14 Seniman dari German dan Indonesia mengalami Zona Liminal, Taman Budaya Yogyakarta, 26 Maret 2011.

2 Dalam leaflet pertunjukan teater Garasi yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta, 11-12 Maret 2011.

Rabu, 23 Maret 2011

Antara Humor dan Teror: Kebahagiaan dalam Menertawakan Realitas

......Aja ngece karo wong ora nduwe/Raja brana yen mati ora digawa/Bebasan urip mung mampir ngombe/Ngono kui jare wong tuwa kae

Dadi uwong aja rumangsa bisa/Nanging uwong sing bisa rumangsa/Wong sing becik nyimpeno kebecikane/Ngono kuwi jare pinisepuh kae

Numpak sepur asepe metu nduwur/Ajur mumur yen awak ora diatur/Numpak motor asepe metu ngisor/Neng alam ndonya kudu budi andhap asor/Numpak becak asepe metu telak/Aja ngakak yen urip lagi kepenak.....//

Penggalan di atas adalah salah satu syair lagu yang dibawakan dengan gitar tunggal oleh seorang seniman. Sebuah syair ringan, menggelikan, tapi juga menyimpan falsafah kehidupan. Beberapa lagu senada dibawakannya dalam sebuah acara di Taman Budaya, 20 Maret 2011. Hari Minggu itu, Gerakan Rakyat Mataram atau yang diakronimkan sebagai GERAM menginisiasi launching buku kumpulan humor yang diberi judul “Merapi Tak Pernah Ingkari Monarkhi”, juga sebuah pertunjukan dagelan Mataraman.

Beberapa waktu terakhir ini, Jogja dikungkung oleh akibat erupsi Merapi. Erupsi dalam bentul lain datang dari Jakarta, ketika SBY mengatakan monarkhi bertabrakan dengan demokrasi. Betapa kuat perlawanan masyarakat Jogja terhadap pernyataan tersebut. Isu ini bisa menimbulkan gerakan rakyat yang sangat masif di Yogyakarta untuk membela penetapan Sultan sebagai gubernur dan Pakualaman sebagai wakil gubernur.

Acara ini sekaligus dapat menginsipirasi bahwa ternyata rakyat Jogja masih bisa berbahagia dengan segala bencana dan kesedihannya. Erupsi memang tak perlu disesali karena suatu hari akan membawa keberuntungan. Merapi masih dianggap sebagai gunung yangitu baik hati, memberikan 150 juta kubik material yang bisa digunakan untuk membangun jalan tol, gedung-gedung sampai pasar tradisional.

Mungkin memang yang saru bisa menjadi yang lucu. Inilah yang banyak dieksplorasi dan memang benar bahan-bahan dagelan yang saru selalu bisa mengundang tawa. Mulai dari pisuhan khas Jogja seperti, Asu, Bajinguk, Matamu, dan sebagianya sampai pada hal-hal yang menjurus. Bahan dagelannya cukup sederhana. Bisa dibilang dagelan klasik dengan trik-trik lama. Ceritanya sendiri tentang Dewi Rengganis yang gelisah menunggu kekasihnya. Ia adalah anak seorang pertapa yang ditinggal kekasihnya ke kota. Di kota sendiri, para remaja sedang sibuk menjadi peserta demontrasi bayaran. Mereka bahkan diberi pelatihan untuk berdemontrasi sesuai keinginan pemesan.

Memang lucu menerbitkan buku humor di tengah realitas yang lebih lucu tapi juga penuh teror. Humor pun hanya akan dinikmati oleh mereka yang mungkin justru tidak tahu apa yang sedang ditertawakan ketika membaca buku tersebut. Tentu tidak ada yang salah dengan semua itu.

Teror pun sebenarnya sangat mungkin untuk ditertawakan. Di balik teror masih ada humor yang selalu membuat wong cilik bisa tersenyum meski barangkali sedang menderita. Inilah yang membuat mereka masih bisa tetap bertahan di tengah badai kehidupan. Akhir-akhir ini banyak ditebar teror bom buku. Sampai putus tangan seorang polisi. Melihat adegan penjinakan bom dengan menyiram air. Beda sekali dengan film laga holywood yang selalu harus memilih antara kabel biru dan merah untuk menjinakkan bom. Dan itu selalu berhasil pada detik-detik terkahir. Alat rumah tangga dan sepatu juga bisa dikira paket bom buku. Ada orang yang kemudian suka iseng mengirimkan paket ke suatu tempat tanpa alamat pengirim. Masyarakat juga jadi suka iseng mengira setiap bungkusan adalah bom. Semakin beraneka saja kejadian yang bisa disaksikan dalam kekacauan ini.

Malam sebelumnya, berbagai komunitas bersatu menggelar acara untuk para korban erupsi Merapi. Kali ini bisa dilihat bagaimana bentuk seni untuk rakyat. Masyarakat bisa menikmati acara yang digelar dengan lesehan di atas tikar. Salah satu pertunjukan yang dihadirkan adalah pagelaran wayang rakyat yang kalau tidak salah dibawakan oleh ‘Komunitas Wayang Kampung Sebelah’. Berbeda dengan dagelan Mataraman di malam berikutnya, acara ini digelar di halaman TBY. Semua orang bisa nonton. Mulai seniman sampai pengemis jalanan. Mereka bisa ngakak terhibur dengan beragam karakter wayang kontemporer yang dibawakan oleh Ki Dalang.

Ceritanya adalah tentang penyelenggaraan acara peresmian posko korban bencana baru di sebuah desa di lereng merapi. Karakter Pak Lurah ditampilkan dengan baju safari berwarna biru dan dialognya yang selalu dibolak-balik dengan maksud sama. Pak Lurah memberi sambutan, “Hari ini kita berkumpul untuk melakukan peresmian posko. Hari ini akan diadakan peresmian posko baru sehingga kita berkumpul. Kita berkumpul di sini untuk meremikan posko baru..,” dan seterunya dengan akhiran penggalan kata yang selalu disahut bersamaan oleh penonton dan para pemusiknya.

Sedangkan karakter seorang kakek bersurjan yang diberi tugas sebagai ketua panitia selalu saja mengulang kalimat, “Kita sebagai manusia pancasila harus...,” dan seorang Modin yang diserahi tugas membaca doa selalu mengucap salam dengan sangat khas. Ia membaca doa secepat kilat dengan alasan Tuhan Maha Tahu dan memang tidak perlu berlama-lama berdoa untuk menghemat waktu. Wayang lain yang berdandan seperti Elvis Presley ngakak memegangi perut gendutnya melihat acara peresmian yang demikian aneh itu.

Di depan saya, seorang gadis dengan kelainan fisik sedang ikut juga nonton pertunjukan. Badannya penuh keringat dengan kaos berwarna merah yang sudah pudar itu. Di sampingnya, seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun sedang duduk juga nonton wayang. Kulitnya hitam legam dan berminyak, menggunakan gaun lusuh bermotif batik. Dari arah belakang saya bisa melihat seorang perempuan yang berpotongan rambut cepak mirip laki-laki sedang asyik membuat sketsa wayang yang dilihatnya. Saya memang sengaja mengintip sketsanya itu. Pembuat sketsa kemudian menanyai nama gadis kecil itu. Si gadis tampak malu dan tak menjawab.

Mereka bercakap sebentar. Mugkin si perempuan berambut cepak adalah seorang seniman, ia mengaku kepada si gadis berkaos pudar bahwa ia adalah seorang guru yang setiap pagi naik sepeda dari Bantul yang cukup jauh juga dari sekolah tempat ia berkerja. Saya tahu karena memang menguping pembicaraan mereka. Di samping saya lagi, tawa khas seorang bapak-bapak sering mampir di telinga. Bahkan, kadang saya menertawakan cara tertawanya itu.

Begitulah karyo, salah satu tokoh wayang mulai menertawakan kemiskinannya. Ia justru merasa bersyukur menjadi miskin selama bertahun-tahun. Itu artinya dia sudah menjadi orang miskin secara profesional. Bahkan, mungkin bisa datang ke seminar-seminar tentang kemiskinan. Meskipun bukan sebagai pembicara, Karyo mungkin bisa menjadi sample bagi orang-orang yang suka berdiskusi soal kemiskinan itu. Mereka biasanya merasa lebih tahu tentang kemiskinan daripada orang-orang yang mengalaminya sendiri.

Kalau dipikir, sudah lama juga ternyata saya tidak tertawa. Di tengah teror yang demikian mencekam. Wong cilik ternyata memang butuh humor. Humor dalam bentuk seni yang membuat orang lain tertawa. Tentu sangat berbeda dengan teater-teater khas para seniman yang membuat dahi berkerut, tak mudah dicerna dan harus berpikir sekaligus mendalami hanya untuk mengerti maksudnya. Memangnya kenapa makna harus selalu disembunyikan sedemikian rupa dalam bahasa dan simbol? Mungkin memang banyak cara berbeda untuk menerjemahkan sesuatu. Akan menjadi diskusi panjang kalau ini dilanjutkan.

Teror tak pernah berhenti, di Yogyakarta apalagi. Erupsi merapi masih mengintai. Belum jelas juga sampai sekarang keputusan tentang keistimewaan Jogja. Di tahun ini, semoga tidak terjadi sesuatu yang menyebabkan saya harus menggunakan perahu ketika pulang kampung.

Sebelum menonton pertunjukan, Sabtu, 19 Maret 2011 saya sempat mampir di rumah teman di pinggir kali Code. Saat ini, ia dan keluarganya terpaksa tinggal di tenda yang didirikan sebagai hunian sementara menggantikan rumahnya yang sampai sekarang masih sering terendam kala lahar dingin datang. Ketika kehidupan di tenda pengungsian mulai mapan, tenda tersebut justru mulai bocor dan tidak nyaman. Pun demikian, mereka sadar bahwa kehidupan mereka akan sangat sulit untuk bisa kembali seperti semula.

Pada fase awal, mereka masih sering khawatir terhadap rumah yang ditinggalkan. Keadaan mulai membuat mereka terbisa. Meletakkan pikiran dan merasa sangat ringan dengan berkata “luweh”. Kata yang menunjukkan ekspresi pasrah, mungkin juga malah putus asa. Luweh, apapun yang terjadi mereka sudah tidak peduli, asalkan tetap melakukan yang terbaik, itu sudah cukup untuk menyambung hidup. Mereka tak bisa mengharap banyak pula kepada pemerintah. Ah, luweh.

Dalam tenda ini pun mereka tetap bisa tertawa. Seperti halnya Lek Paijem (bukan nama sebenarnya, juga nama lain dalam tulisan ini). Siang itu ia masih bisa terpingkal-pingkal ketika anak laki-lakinya yang baru pulang dan kehujanan ternyata menggunakan rok kakaknya karena salah mengambil baju ganti. Tak hanya Lek Paijem, Kang Sastro, Lek Parmin, Yu Jum, Mbak Nah, semua masih bisa tertawa dalam kesedihan dan kesusahan seperti apapun. Inilah terapi paling ampuh untuk menghilangkan stress.

Cuaca tak menentu. Gemuruh terdengar, entah dari perut Merapi atau hanya halilintar di kejauhan. Lek Paijem setiap siang jadi setia memandang langit. Pandangan terpancang ke arah utara. Mendung mulai tampak. Dari depan tendanya, Lek Paijem segera bersiap ketika hujan deras turun menjelang Maghrib. Telepon genggam sudah siap di tangan. Siap mengabari suaminya yang berada di bawah, di bantaran kali untuk mengumpulkan batuan dan pasir demi menguruk meninggikan rumahnya.

Realitas penuh paradoks, sarat satire kehidupan yang semakin getir. Kehidupan kadang memang pantas dirayakan dengan tertawa. Hidup adalah bahan humor paling segar yang bisa membuat kita terpingkal. Di lain sisi, kadang homor juga mengandung teror. Kadang teror bisa menjadi humor. Ketakutan, kegelisahan, betapa takut kita kehilangan dan betapa kita bisa menertawakannya sesuka hati, apapun itu.

Rabu, 16 Maret 2011

Perempuan Mendung

Seorang perempuan sedang senang sekali membangun ilusi untuk menghibur dirinya sendiri. Ada banyak hal yang membuatnya tidak bahagia. Malam ini bulan tak muncul. Betapa mendung tak ingin pergi dari atas kepalanya. Sepertinya mendung-mendung itu senang sekali mengikutinya kemana-mana. Mendung yang semakin lama semakin turun. Semkin merendah dan akhirnya menyelimuti tubuh perempuan itu. Berputar-putar tipis dan semakin menebal seperti permen kapas membelit menyelimuti sebatang lidi.

Karena bulan tak muncul malam ini, perempuan itu tak bisa melakukan hal yang disukainya seperti biasa. Ia biasa meletakkan segalas kopi di atas atap rumahnya. Dan bulan seperti terperangkap di permukaan, terapung-apung dalam pekat kopinya. “Ah, ini kopi rasa bulan,” perempuan itu berkata dalam hati. Tapi bulan tak mau muncul malam ini.

Perempuan itu menyimpan kesedihan. Kau bisa melihat dari balik kelopak mata itu. Sayu dengan bola mata kecoklatan yang redup. Kepalanya sering menunduk tanpa sebab. Seperti tak ingin melihat apapun yang berada di depannya. Ada yang sudah hampir mati dalam dirinya. Cayahanya ingin sekali padam dan ini cukup membahayakan. Perempuan ini banyak mengalami hal buruk sampai ia hampir kehilangan daya hidup.

Mendung masih menyelimuti wajahnya. Tak seperti biasa, rambut yang tergelung di belakang kepala itu terurai. Rambut panjang ikal itu bergerai indah hingga menutupi seluruh punggungnya, terurai sampai hampir mencapai paha atasnya. Dengan menundukkan wajahnya, perempuan itu ingin menyembunyikan mendung di kedua matanya. Betapa suram. Malam semakin gelap tanpa bulan, tanpa bintang, tanpa sedikit pun cahaya yang dapat menembus mendung tebal yang menyelimuti tubuh perempuan itu.

Ia berjalan sendirian mengitari halaman. Beberapa peronda melihat dan menyangkanya kuntilanak seperti yang biasa terekam di televisi. Tapi, mereka segera menyadari apa yang dilihatnya itu juga manusia setelah mengarahkan sinar senternya. Mendung dari tubuh perempuan itu perlahan merambat menyelimuti para peronda. Mereka seperti terjebak jaring laba-laba berupa serat-serta mendung yang melilit tubuh. Dengan terhuyung, para peronda kembali ke rumah dan menularkan mendung itu kepada anak istrinya.

Murung menyebar seperti serbuan lebah kelaparan tak menemukan serbuk sari. Kesedihan menular dan merambat kemana-mana. Mendung diterbangkan angin. Menyelimuti pepohonan, kelepak kelelawar terbang, jangkrik dan segala bunyi-bunyian malam. Semua terdiam terselimuti mendung dari tubuh perempuan itu. Semakin menjalar bagai ombak ganas menyapu pantai-pantai kebahagiaan.

Perempuan itu kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya. Lampu yang sengaja dipadamkan menambah kepekatan gelap. Mendung semakin tebal menyelimuti tubuhnya. Mendung berwarna abu-abu kehitaman itu seperti mengandung berjuta benih hujan. Sebentar lagi mendung itu tak akan mampu menampung uap-uap air yang diserapnya dari seribu lautan. Mendung itu menjadi hujan. Perempuan itu tersiram hujan. Hanya dirinya.

Langit disekitarnya seperti tirai yang tiba-tiba menyibak terbuka. Bulan muncul ke permukaan. Perempuan itu malah kehujanan sendirian. Bahkan, alam pun mengutuknya dengan sedemikian mengerikan. Tak ada yang tahu kejadian apa yang menimpanya. Tak ada yang mengerti pula apa yang telah dilakukan perempuan itu sebelumnya. Para penduduk sekitar hanya tau bahwa perempuan itu berasal dari jauh dan pindah ke desa mereka beberapa hari yang lalu.

Hujan dan mendung masih menyelimuti dirinya. Perempuan itu berlari tanpa arah. Berlari dari sepanjang aliran sungai menuju jalanan. Ia berusaha sebaik mungkin menguasai keseimbangan tubuhnya, menyusuri jalanan yang tiba-tiba licin ketika ia melewatinya. Jalanan yang tiba-tiba tersiram hujan ketika perempuan itu menapakkan kakinya. Perempuan itu terus berlari bersama mendung dan hujan. Sampai di gigir bukit kecil di belakang desa, perempuan itu tertidur karena kelelahan.

Lelap sepenuh gelap membawanya melalui lorong-lorong mimpi. Perempuan itu tertidur dengan menyungging senyuman. Ada yang datang dalam mimpinya. Dan perempuan itu pun berkata, “ah, kau datang juga. Mengapa wajahmu menjadi sangat tua. Penuh keriput dan lipatan usia. Inikah kau? Tapi ini memang benar kau. Aku tidak sedang bermimpi. Apa? Kau akan bicara tentang cinta? Aku sudah sering mendengarnya. Aku benci bicara soal cinta. Kau tetap akan akan bicara tentang cinta? Baiklah, aku mengalah. Aku akan mendengarkanmu,” jawaban orang dari mimpinya itu tak terdengar.

Beberapa saat hanya gelap yang terlihat dan percakapan antara perempuan itu dan seseorang yang datang dalam mimpinya pun dimulai.

Perempuan itu memulai percakapan dengan berkata, “Kau tahu? Setiap malam aku menyerap banyak cinta dari semesta. Tapi untuk siapa? Mengapa hanya mendung dan hujan yang datang? Kau tahu mengapa?”

“Banyak cinta di Padang Kurusetra. Untuk siapa ya, untuk Kierkegaard saja bagaimana?”

“Aku sedang tak berniat berfilsafat denganmu. Memang kadang aku butuh liburan ke dunia estetika. Dunia indra dimana ketakutan, kegelisahan dan kehampaan terasa begitu menyenangkan.”

“Maukah kau kukenalkan dengan adik-adik Arjuna? Kau tahu siapa mereka? Nanti kau tinggal pilih saja siapa yang kau suka.”

“Siapa? Nakula atau Sadewa? Ah, kau bercanda. Kalau nanti aku jadi rebutan mereka berdua bagaimana? Tapi sepertinya keinginan ini terlalu dipaksakan.”

“Ah, kau bisa saja. Itu hanya perasaanmu. Meski aku bukan orang yang mudah percaya, tapi sepertinya aku orang yang mudah memahami.”

“Lha, kata Si Mbok sekarang ini dia sedang bertapa. Betapa lama aku menungguinya? Wadahku tak mampu lagi menampung besarnya cinta semesta sehingga aku membutuhkan seseorang untuk sekadar kubagikan padanya sekerat cinta. Aku tak banyak bicara dengan orang saat ini, tak seperti dulu. Kau tahu? Bahkan, bulan pun menghilang dari hadapanku.”

“Lalu, apalagi peranku kalau sudah begitu. Barangkali dia itu bukan sedang bertapa tapi mencari ilmu sejati. Kalau aku mengganggu tapanya, itu pertanda perang.”

“Itu kan kata Si Mbok dan aku juga bukan orang yang mudah percaya. Tak pernah ada yang tahu seandainya dia bisa datang dengan perantaramu.”

“Bagus, perkataan Si Mbokmu tak boleh memberangus semangat kita. Ya sudah, kuberikan keinginanmu pada semesta, biar yang lagi bertapa itu tergelitik mendengarnya.”

Percakapannya dengan orang tua itu memeng membuat mendung di tubuhnya menghilang sesaat. Ketika tubuh renta itu pergi menuju suatu lorong gelap, mendung kembali menyelimuti tubuh perempuan itu. Orang tua dalam mimpinya tiba-tiba menghilang. Perempuan itu terbangun dari tidurnya. Badannya masih basah kuyup. Menggigil kedinginan. Ia sama sekali tak mengerti apa yang baru dialaminya dalam mimpi. Sepertinya itu mimpi orang lain yang nyasar masuk dalam benaknya. Perempuan mendung berpikir mimpi itu hanya nyasar karena sama sekali tak berhubungan dengan kehidupannya yang ganjil.

Hujan yang mengguyur tubuhnya perlahan menghilang. Pagi datang. Orang-orang yang hendak pergi ke sawah menemukan perempuan itu. Mengerumuni dan mencoba menanyai apa yang sedang dilakukannya di situ dengan tubuh basah kuyup. Perempuan itu hanya diam tak bisa menjawab. Semalam, mendung dan hujan itu apakah juga hanya mimpi? Tapi, mengapa badannya benar-benar basah? Ia tak ingat barangkali sempat terperosok ke dalam selokan. Perempuan itu belum bisa mengembalikan ingatan dan kesadarannya. Pikirannya berputar-putar seperti lingkaran spiral yang semakin lama semakin membesar. Perempuan itu bangkit tiba-tiba, mendung sepertinya belum juga mau pergi. Masih saja mengikutinya kemana-mana.

Konon kata penduduk desa, perempuan mendung masih sering menampakkan dirinya di bekas rumahnya, atau di gigir bukit kecil itu. Mendung tetap saja tak mau pergi dari tubuhnya. Anak-anak kecil sering melihatnya ketika mereka sedang menangis, juga perempuan-perempuan yang dipukuli suaminya, atau ketika kematian hinggap dengan mesra di antara para penduduk desa dalam waktu-waktu yang tidak dapat dipastikan. Perempuan itu ada dalam setiap kesedihan. Dia datang ketika bulan sedang terang dan langit bersih penuh bintang. Perempuan itu selalu terlihat berjalan sendirian dengan mendung yang masih setia membalut tubuhnya.


Secuil Keterangan: Semua kisah dalam tulisan ini adalah fiksi kecuali yang tidak. Percakapan dalam cerita ini adalah bagian dari modifikasi ketika sedang saling berkirim pesan singkat dengan seseorang. Sudah lama saya tidak nglindur nglantur seperti semalam ketika bercakap dengan seseorang.

Selasa, 08 Maret 2011

Tipuan Sajak Anak-Anak Mimpi

Melampaui sepenuh gelap di ambang malam
Anak-anak mimpi mendaraskan lagu angin
Berlarian sepanjang musim
Menangis melihat darah dan bencana berceceran di negeri sendiri
Anak-anak mimpi semakin takut berkunjung ke rahim bumi
Enggan lahir ke dunia penuh murka ini

Ruang waktu bersemanyam di genggaman mereka
Desing pedang, ringkik kuda-kuda perang mengiringi tidurnya
Laju anak panah melesat membelah udara menjadi buaian mesra di telinga
Tombak tertancap di pundak punggungnya
Sama sekali tak terasa
Karena sakit hanya usapan lembut bunga-bunga kapas berjatuhan ditempa cahaya
Di gigir gerimis mereka bermain tak hirau usia
Bersuka menonton wajah-wajah manusia yang tersesat
Tak mengenal diri mereka sendiri

Anak-anak mimpi hendak menyapu langit
Melalui lorong-lorong penuh duka
Menampung getah pulut air mata
Dimanakah mereka akan menemukan kawan-kawannya?
Bukan, bukan manusia-manusia yang dilahirkan kembali itu
Mereka tidak pernah mengerti
Kelahiran yang kesekian harus terjadi sebagai sebuah penebusan

Anak-anak mimpi menggugat takdir dan nasib semurung sunyi
Di batas merah cakrawala
Konon mereka tak berhenti mengeringkan lautan
Dengan mendekatkan jarak matahari

Anak-anak mimpi membangunkan naga
Tak lagi mengenali dunia ketika pertama membuka mata
Begitu asing
Dengan menggenggam sebatang sada lanang
Mereka menunggangi kuda terbang
Menjaring gelembung-gelembung kejahatan
Menjaga kembali perca cerita yang sempat berai

Beginilah puisi menjadi tipuan anak-anak mimpi
Bualan yang mampir ketika kesadaran tertinggal di dasar kerinduan
Kangen tak tersampaiakan tak terbahasakan

Para gembel datang membawakan obat luka sayatan petir
Getir mencibir menyematkan anyir sampai kau menemukanku
Tetap terduduk di atas batu
Sampai terampuni semua dosa waktu

Jogja, 8 Maret 2011

Senin, 07 Maret 2011

Pitutur Nglindur

Udan ngreceh. Hawane adem banget. Lampu malah mati. Omah dadi peteng ndhedhet lelimengan. Ublik kelap-kelip katerak angin semribit, atis njekut teka sungsum balung. Kemul dipancal mung bisa nutupi sikil. Cupet ora tekan dada. Si Mbok lan Gendhuke turu ngringkel ana ing galar. Ora ana kasur empuk uga kemul kandel sing bisa menaake anggone turu. Sakdurunge netra liyep ing alam impen, Si Mbok katon ngandhani gendhuke sinambi ngisik-isik anake wadon siji-sijine iku.

“Nduk, ora usah ngresula yen nemu rekasa jroning urip. Uge yen mung turu saknduwure galar atos kaya ngene iki. Wong turu iku pancen kudu ora kepenak. Supaya tetep bisa eling lan waspada. Yen ana rereged sing arep gawe cilaka ora bakal tumeka, yen tumeka ora bakal tumama. Aku percoyo yen uripmu mbesok bakal manggih mulya. Ben si mbok wae sing rekasa, laku pasa senin kemis, selasa setu ora mangan apa wae sing ana getihe. Melek wengi tansah ndedonga. Nyuda mangan lan gulingku, yo mung kanggo kabahagiaane anak-anakku kabeh.”

“Nduk, jroning urip iku kudu nduwe tujuan. Anggone lumaku nggayuh tujuan kudu tansah kenceng gocekan. Aja nganti kagawa deres iline banyu. Aku ngerti kaya ngapa larane atimu nalika ora bisa tumekan tersnamu. Nanging Si Mbok ora kepengen kowe kepleset nyemplung jurang kasusahan. Urip iki mung sedhelo yo, Nduk. Mula aja nganti mung nemu sia. Nganti lali nglumpukne sangu kanggo urip kang luwih dawa.”

“Gek turu yo, Nduk. Kemule kanggo kowe wae. Si Mbok ora papa yen dikroyok lemut nanging aja nganti nyokot sliramu. Mengko mundhak kulitmu dadi abang-abang yen nganti ana lemut lanang sing nyokot. Kene nyedhak Si Mbok. Aku bakal ndongeng critane Kakek Bujel sing nggolek elo. Kaya jaman cilikanmu kae. Tekan saiki Kakek Bujel isih urip lho, Nduk. Nanging beda anggone nduwe laku ing uripe saiki.

Sak ben ndina gaweane Kakek Bujel mung golek elo. Mlaku nganti tinemu wit elo sing paling akeh uwohe. Kakek Bujel banjur mangan uwoh elo sing tinemu iku nganti wareg. Sakwise wareg banjur ngelak lan golek kali. Bedane, Kakek Bujel saiki bingung ora nemu kali. Ora ana meneh kali kumricik bening banyune kang bisa diombe. Bareng mangkono, Kakek Bujel malah ceguken ora bisa mari. Dheweke isih nggoleki banyu kang isa ngilangi ngelak lan anggone ceguken iku.

Kekek bujel banjur kepethuk karo Nini Bujel ing sangisore wit gayam. Nini Bujel lagi leyeh-leyeh sakwise ngasak pari nalika panen ing sawahe Pak Lurah. Kakek Bujel banjur takon ana ing ngendi isa nemokake banyu kang bisa ngilangi ngelak. Ceklak...cekluk...swarane Kakek Bujel sing isih ceguken durung bisa mari. Nini Bujel banjur menehi ngerti. Ing tlatah kono pancen ora ana banyu. Wong ngelak neng kene ora bisa mari nalika ngombe banyu. Yen nekat ngombe, malah saya ngelak. Isa-isa saking ngelake awake nganti garing kaya klaras dipepe.

Saking bingunge, Kakek Bujel banjur takon kepiye wong ing kono isa urip tanpa banyu. Nini Bujel banjur menehi katrangan, “Wong ngelak iku isa mari nalika ngombe tirto wening wohing tengsu.” Kakek Bujel tambah bingung. Ana ngendi anggone bisa nggoleki banyu sing nduwe jeneng aneh iku. Nini Bujel mung bisa ngguyu. Kakek Bujel isih bingung. Tekenen di thuthuk-thuthukake ing lemah sak ngisore. Saking ngelake, Kakek Bujel ora krasa yen lemah sangisore isa ngetokake banyu bening. Ninik Bujel isih nguyu lekek-lekek, malah sansaya banter. “Banyu iku, Kek, saktenane ora perlu mbok goleki nanging wis ana jroning awakmu dhewe,” kandhane Nini Bujel. Kakek Bujel ora bisa ngomong. Ilate krasa kaku. Banjur sak kedhepan, Nini Bujel uwis ngilang ora ngerti neng ndi parane.

“Nduk, crita iki pancen mung karangane Si Mbok. Nanging kowe kudu isa milah milih apa kira-kira ngelmu kang bisa mbok cecep saka dongenge Si Mbok. Crita iki ngemu pangemut. Aku ngerti kowe iki isih mlaku nanging durung jejeg ing ngendi sak tenane paranmu. Yen ana wong ngomong rada aneh sithik wae, kowe njur langsung kapincut. Pikiranmu njur langsung kebak karo apa kang diomongke kuwi, kang uga urung temtu benere. Ngono iku ora kena yo, Nduk. Dadi uwong kudu isa mantheng, kenceng jroning nggayuh apa kang mbok tuju,” kandhane Si Mbok karo thowa-thawe tangane ngusir lemut sing arep nyokot anake.

Si Gendhuk wis ora krungu apa kang diomongke Si Mboke. Dheweke wis kebanjur turu angler. Ora kelingan lor kidul. Ing ngalam impen, Gendhuk ketemu Kakek Bujel sing lagi golek uwoh elo. Si Gendhuk banjur ngemutke Si Kakek Bujel, “Kek, ora usah golek elo maneh yen ora kepengen ngelak lan ketemu Nini Bujel. Golek banyu saiki angel. Mengko yen ngeyel mangan elo kowe bisa ceguken ra mari-mari, lho.” Kakek Bujel manut apa kang diomongne Gendhuk, banjur takok neng ndi dheweke isa nemu uwit mundhu. Gendhuk nduduhake wit mundhu cedhak prapatan desa. Ing kono Nini Bujel wis ngenteni Kakek Bujel. Wong loro banjur mlaku bareng. Gandengan barang. Kakek Bujel wis ora perlu nggawa tongkate meneh. Mlakune bisa jejeg, ora dengklang maneh sakwise nggandheng tangane Nini Bujel. Wong sak kloron banjur mlaku. Ora sida golek uwoh mundhu kang kuning marakne kepengin, nanging sarujuk wong loro bakal nggoleki tirta wening wohing tengsu.

Cuthel.....

Gurit Pegat Pedhut

Mbok, sun pamit mangkat menyang
Laku kang mung sakdawane ayang-ayang
Saka bang wetan mara mengulon
Nuruti playune angin sumribit ngidid angganda puspita
Nututi lakune mendung
Kang katon anteng, alon tumuju sun tyas awang uwung

Sakdawaning laku kelepan tangis lakak gumuyu
Sun maksih durung bisa nemu
Pungguh lampus ora teka-teka
Kadya sela growong kabotan mikul ndonya
Waspa gya ketawur muspra

Mbok, sun durung bisa bali
Nuju nggoleki padhanging samar damar wanci dalu
Laku iki bakal bisa ngukur
Sepira jerone sun bisa anresnani pesthi
Sakala byar sumawur anjrah rum wangi melati
Layap luyup nyangga garbaning rasa
Rasa kang ora kuwawa ngrasakne tanda

*beberapa istilah saya pinjam dari lagunya Sujewo Tejo, juga nama teman-teman di facebook yang aneh-aneh itu...

Selasa, 01 Maret 2011

Jades dalam Kemasan Pertunjukan Teater Non Aktor

Malam minggu kembali tiba, 26 Februari 2011. Inilah keunikan Jogja. Malam minggu selalu dipenuhi oleh bermacam-macam pertunjukan yang bertebaran dimana-mana. Sepanjang perjalanan dari kost saya di Jetispasiraman menuju Taman Budaya, sudah ada beberapa pertunjukan musik, mulai dari band masa kini sampai dangdut asoy oke punya. Di Taman Budaya, malam ini ramai sekali. Ada tiga acara digelar di jam yang sama. Di gedung bagian atas ada pertunjukan musik Kla-Asik. Suguhan musik klasik yang tentunya bisa menentramkan hati. Di gedung sebelahnya, ada pemetasan tari dari SMKI sebagai bentuk uji kompetensi tingkat tiga, kalau tidak salah berjudul “Pengakuan Srinthil” yang dipentaskan di malam sebelumnya, dan “Pring Warangan” yang dipentaskan malam ini. Di gedung amphiteater bagian belakang, ada pertunjukan teater berjudul “Jades” dari SMAN I Wates.

Saya memilih menonton teater dengan alasan sangat sederhana. Ini sudah tanggal tua dan hanya teater inilah yang gratis. Saya mengambil tempat duduk di tangga nomor tiga dari depan dengan harapan bisa menjadi pengamat yang baik. Konsep panggungnya cukup terbuka sehingga saya mulai membayangkan sebuah teater keaktoran dengan eksplorasi gerak yang bisa dimaksimalkan. Setting panggungnya cukup sederhana. Hanya ada selembar kain putih bercipratan warna merah, dua segitiga sama kaki yang dipasang di bagian belakang panggung kiri dan kanan, dan sebuah meja panjang dengan peralatan perkusi di atasnya. Peralatan perkusi yang dimaksud di sini adalah sebuah tong besar berwarna merah dan beberapa kaleng biskuit berbeda ukuran.

Dengan melihat panggunya, saya masih belum bisa menebak apa yang akan ditampilkan. Saya pun tak mendapatkan leaflet yang biasanya diberikan sebelum acara untuk memberikan gambaran pementasan kepada penonton. Musik keras dengan beat cepat dilantunkan terus menerus, saya mulai muak. Tiba-tiba lampu padam. Seseorang membawa megapon dan berbicara. Ngomel tak jelas tentang lampu panggung yang tiba-tiba dimatikan. Dia pun, pemuda dengan baju lurik coklat khas Jawa ini menggugat panitia apakah benar-benar ingin menyajikan suatu pertunjukan. Monolognya memang lumayan menarik perhatian, beberapa penonton menyahut apa yang dikatakan pemuda ini. Saya mengira akan ada yang lucu-lucu begini. Tapi, baca saja lanjutan ceritanya.

Memang saya tak ingin berharap banyak malam ini. Hanya ingin terhibur agar ruwet dan kesumpekan bisa diurai di akhir pekan. Dalam poster dikatakan bahwa teater berjudul “Jades” yang disutradarai oleh Puthut Buchori ini akan menampilkan cerita Jalan Api dan Elegi Sinta. Dalam benak saya, cerita ini akan banyak menampilkan monolog Sinta tentang kesetian, cinta dan pengorbanan. Di otak saya memang telah berjejalan cerita Ramayana. Cerita klasik yang cukup berat dengan pesan-pesan dalam. Saya tidak tahu bagaimana pendapat penonton yang kurang paham tentang Ramayana sebelumnya. Jadi, kembali lagi bahwa apa yang saya tuliskan adalah berawal dari sudut pandang “aku”. Ternyata sulit juga untuk keluar dari sudut pandang ini.

Karena ini adalah teaternya anak SMA, maka saya pun akan menjelma sebagai anak SMA. Tentu ini tidak mudah. Otak saya sudah teracuni banyak hal melampaui pikiran anak-anak SMA. Setidaknya, saya masih bisa mencuri dengar komentar-komentar anak SMA di depan saya, dari tadi ribut terus tak bisa diam. Mereka adalah remaja yang masih senang berkumpul dengan teman-teman dan mengomentari segala hal yang melintas di depan mata.

Ternyata ini memang bukan teater yang menonjolkan keaktoran. Begitulah yang tertulis di leaflet yang saya dapatkan di akhir pementasan. Sedikit terkejut memang. Apa yang saya bayangkan tak ada yang muncul di panggung. Pertunjukan ini secara artistik memasukkan unsur teater gerak (akrobatik), puisi, fire dance dan modern dance. Aneh. Inilah kata pertama yang bisa melukiskan kesan saya. Tapi mungkin cukup menghibur bagi penonton lain yang sebagian besar memang anak SMA. Tata musiknya lebih banyak didominasi musik DJ beritme ajep-ajep. Sedangkan tata artistiknya banyak menggunakan lampu-lampu berkelap-kelip dalam bentuk tongkat dan kembang api.

Bagian atau kanda akhir dari ramayana dalam pertunjukan ini melukiskan cerita ketika Sinta diculik oleh Rahwana dan ditempatkan di taman Argasoka. Seiring berjalannya waktu, Sinta mulai akrab dengan anak-anak Alengka dan mengajari mereka budi pekerti. Meskipun demikian, ini tentu saja tidak menunjukkan bahwa Sinta akan menerima Rahwana. Setidaknya, inilah sinopsis cerita dalam leaflet. Leaflet tersebut juga mencantumkan bahwa Rama berasal dari Astinapura. Dalam leaflet juga disebutkan bahwa yang meragukan kesetiaan Sinta adalah para pejabat Astinapura. Ini yang ngawur. Saya ingin membenarkan bahwa Rama berasal dari Ayodya, anak Dasarata yang terusir dari negerinya sendiri karena keserakahan sang ibu tiri. Rama sendirilah yang meragukan kesucian cinta Sinta, sedangkan para sahabat dan pengikutnya justru sangat menyayangkan sikap tersebut. Ksatria peragu ini seperti melemparkan kelemahan dirinya sediri pada kekuatan penderitaan yang dialami Sinta.

Sebagai penikmat, saya tidak bisa netral dalam menilai. Saya sudah membawa nilai-nilai sendiri yang terkonstruksikan sedemikian rupa. Apa yang saya lihat dalam pertunjukkan tidak berkata seperti kisah dalam otak saya. Sebelum membaca sinopsis cerita, saya benar-benar tidak bisa menangkap alur ceritanya. Pertunjukan ini diawali dengan dua orang siswa yang menari-nari dengan gulungan kain putih di tengah panggung dan kostum yang terbuat dari plastik hitam dan putih yang dililitkan di tubuh mereka. Mungkin saja ini bermaksud menggambarkan sosok-sosok raksasa Alengka.

Tarian mereka diiringi oleh seorang tokoh yang memainkan biola sambil menari juga. Sayangnya nada dari gesekan biolanya banyak yang pecah sehingga bunyi yang dihasilkan tak bisa membangun suasana muram atau mungkin kesepian Sinta. Cukup lama juga mereka menari sampai muncul seorang pemain berpakaian serba hitam dan berkata, “kesetiaan adalah cinta, cinta yang membutuhkan pengorbanan.” Setelah itu, mulailah muncul para penari sambil memukul-mukul kaleng biskuit. Cukup banyak juga penari ini memenuhi panggung dan masih terus mengalir dari dalam. Mulailah mereka memeragakan tarian modern, disusul dengan tarian dengan menggunakan tongkat yang bisa berkelap-kelip. Ini apa? Saya masih belum bisa menerjemahkannya.

Beberapa penonton di sebelah saya banyak yang tertawa dengan tarian mereka. Musik tiba-tiba berhenti. Seorang pemain yang menari menghentikan tarianya. Salah satu dari mereka ada yang terus saja tersenyum sambil memerlihatkan gigi, sampai beberapa lama dan inilah yang meledakkan tawa penonton. Penonton sedikit merasa ngeri juga ketika terdapat gerakan tarian yang membahayakan seperti membentuk piramid, meloncat naik melewati tembok, bergelantungan di tiang lampu, dan sebagainya.

Muncullah sinta dengan pakaian serba putih dan bersabuk kain merah. Sinta hanya diam duduk terdiam di salah satu segitiga yang berbalut kain putih juga, duduk dengan pandangan kosong menerawang. Rahwana datang merayu. Sosoknya digambarkan dengan wayang berbentuk aneh. Bukan seperti raksasa menyeramkan, tetapi seperti orang gendut yang cacingan. Wayang ini dimainkan oleh seorang gadis berpakaian serba hitam tadi, sementara suranya berasal dari suara seseorang dengan mikropon.

Demikianlah cerita berlanjut sampai rama mengirimkan Anoman. Ini Anoman justru berkostum hitam. Sah-sah saja dalam pertunjukan, semua boleh tak sesuai pakem. Semua bisa dibolak-balikkan asal dengan alasan yang jelas tentunya. Tak terbaca kenapa Anoman di sini berkostum hitam. Anoman menyampaikan cincin dari Rama kepada Sinta. Ia akhirnya tertangkap prajurit Alengka, ingin dibakar tapi justru membakar seluruh istana. Singkat cerita, Rama berhasil mengalahkan Rahwana dan datang menjemput Sinta. Rama meragukan kesetiaan Sinta.

Inilah klimaksnya. Sinta membuktikan kesetiaannya dengan menceburkan dirinya ke jalan api. Teknik yang digunakan cukup lumayan. Sinta masuk ke dalam salah satu segitiga. Di balik segitiga itu terdapat lubang untuk keluar. Segitiga itu kemudian dikerumuni oleh pemain dengan kostum putih-putih yang mungkin berperan sebagai api suci. Sinta keluar panggung bersama para api dengan mengganti kostumnya yang telah disiapkan dalam segitiga. Akhirnya, Sinta bisa keluar dari sisi panggung yang lain, di sela-sela penonton, sementara segitiga dimana dia berada sebelumnya telah terbakar.

Tentang teater non aktor, seperti biasa saya tak tahu banyak. Sebagai penikmat, saya hanya bisa berasumsi dan berapologi. Tentu akan berbeda dengan penikmat lain yang di otaknya sudah tertata rapi berbagai macam teori dan dramaturgi. Usaha saya untuk menjelma sebagai anak SMA pun gagal. Teater non aktor mungkin memang lebih menonjolkan sisi lain seperti pengungkapan dialog dengan gerak. Saya tidak bisa membandingkankan dengan sebuah pertunjukan teater tari Garasi yang berjudul “Jejalan” yang pernah saya tonton sebelumnya. “Jades” ini masih terkesan kasar dalam penggarapannya, atau mungkin juga karena para pemainnya masih remaja. Dari unsur cerita, sepertinya agak terlalu atau bahkan sangat disederhanakan. Tentu ini sangat dimaklumi untuk kelas SMA. Sebuah proses menarik ketika seni bisa tersangkut dalam roh anak-anak muda. Merekalah yang selanjutnya mungkin bisa menjadi pelaku seni masa depan. Regenerasi memang sangat perlu untuk dilakukan agar seni terus hidup dan bisa menghidupi.

Teater non aktor, mungkin memang lebih ringan bagi anak-anak SMA sebagai tahap pembelajaran. Mereka tidak perlu menghafal naskah yang begitu panjang. Bentuk ini juga ingin mengubah persepsi orang. Teater ternyata bisa dipentaskan dalam persiapan singkat dengan kemasan segar dan menyenangkan. Kemudahan yang ditawarkan inilah yang mengilhami Bandung Bondowoso Ready on Stage (Bros Jogja). Komunitas ini menyediakan pelayanan jasa untuk kebutuhan panggung dengan segala pernak-perniknya.

Mereka bisa menyiapkan mulai dari tim kreatif, sutradara, tim management, tempat pertunjukan, tim artistik sampai desain media publikasi. Lengkap sekali. Saya baru tahu informasi ini juga dari leaflet yang diberikan. Untuk sekolah yang ingin pentas teater dalam waktu singkat, komunitas ini juga menyediakan jasa pelatihan. Bayangkan saja, untuk paket 15 hari, seharga Rp 10.000.000,00; untuk paket 10 hari sebesar Rp 7.500.000,00; untuk paket 5 hari hanya Rp 5.000.000,00; dan paket workhshop dihargai Rp 3.000.000,00. Silakan saja, bisa dipilih paket yang mana. Paket ini memang praktis, tapi yang praktis dan pragmatis ini sekali waktu bisa membahayakan karena mengabaikan unsur proses.

Mereka ini memang orang-orang yang bisa membaca peluang. Jogja memang surga bagi para seniman. Sampai-sampai seni juga bisa dikomersialisasi macam begini. Sayangnya, paket-paket ini mungkin tidak menjanjikan sebuah pembelajaran teater yang sebenarnya bagi anak-anak muda. Belajar teater adalah proses untuk mengenal diri sendiri melalui berbagai tokoh yang diperankan. Proses ini sama sekali tidak bisa dilakukan dengan instan.

Konsep pertujukan non teater barangkali memang sah-sah saja dilakukan. Tapi dalam “Jades”, penerjemahan cerita Sintanya sedikit aneh. Dialog mungkin ada tapi vokal pemain sangat lemah, apalagi untuk panggung terbuka. Vokal mereka jadi tak terdengar jelas dengan banyaknya suara di sekitar panggung yang masuk. Teater surealis ini seharusnya tetap ditunjang dengan dialog atau monolog yang jelas untuk menggambarkan alur cerita. Kasihan juga melihat gerakan para pemain di panggung yang sebagian besar menjadi bahan tertawaan. Saya merasa tidak punya kapasitas untuk menilai. Tapi setidaknya saya bisa mengukur kepuasan saya sendiri ketika menonton pertunjukan. Dan untuk “Jades”, mohon maaf sekali karena saya sedikit kecewa karena memang benar-benar tidak bisa membaca alur ceritanya. Ini juga karena kesalahan saya tidak membaca leaflet sinopsis cerita sebelumnya. Tapi, mungkin bisa ada dalang yang menceritakan kisahnya di awal pementasan.

Sinta, apakah yang bisa saya katakan tentangnya. Kesetiannya hanya dibayar dengan keraguan Rama. Pengorbanan itu sebenarnya tak ada artinya. Ah, mengapalah cerita ini mesti begitu terlalu disederhanakan, padahal naskah ini benar-benar tidak sederhana. Kisah Ramayana bisa dibaca dengan bahasa sastra yang indah dalam “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindhunata atau gaya dekonstruksi yang lebih kritis dalam “Kitab Omong Kosong”-nya Seno Gumira Ajidarma. Jalan api, elegi cinta, semua memang omong kosong. Bagaimanapun, saya juga sedang menunggu kabar dari Togog tentang kapan datangnya seorang ksatria yang benar-benar ksatria yang akan membebaskan saya dari sini.

Mendung menggangtung, mengantarkan geletar halilintar di kejauhan. Saya akan pulang mengantarkan hujan, membiarkan liris iramanya menemani Sinta yang kesepian di sudut jiwa paling terpencil dalam diri saya. Sinta yang sedang tidak menunggu kedatangan Rama. Sinta hanya sedang menunggu takdir dan jalan apinya tiba. Biarkan dia moksa daripada harus mendampingi keraguan sampai datang kematiannya.

Mencari Sisik Melik Sastra Eksil

Awan hampir runtuh tak kuat menyimpan anak-anak hujan di kandungannya. Sekitar pukul tiga kurang lima belas menit, saya iseng pergi untuk mengikuti diskusi di Perpustakaan Kota Yogyakarta. Sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas Kembang Merak ini bertajuk “Eksterioritas Sastra Eksil Pasca 1965”. Pembicaranya cukup membuat tertarik. Salah satunya adalah Dr. Katrin Bandel, seorang dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma dan Iryan Ali. H, mahasiswa Sejarah FIB, UGM yang mewakili komunitas Kembang Merak.

Sedikit lewat dari jam tiga sore, acara dibuka. Sudah lama saya tak melihat orang-orang aneh seperti mereka yang mengikuti diskusi ini. Betapa beragamnya manusia. Mulai dari yang gondrong sampai yang rapi, orang-orang ini memang kadang selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seniman dengan caranya sendiri-sendiri.

Materi pertama disampaikan oleh Iryan atau yang akrab disapa Ian. Dalam makalahnya, yang dikatakannya sebagai makalah main-main, ia membahas tentang karya Utuy Tatang Sontani sebagai salah satu bentuk karya sastra eksil. Dia juga membahas tentang istilah eksil melalui sebuah cerita untuk mengawali pemaparannya.

Beberapa hari yang lalu sempat ada kabar bahwa FPI akan mengikuti jejak Mesir untuk melakukan kup atau kudeta kepada pemerintah. Hal ini dilakukan terkait dengan kasus Ahmadiyah. Padahal, kelompok Ahmadiyah saat ini menjadi orang-orang yang tertekan. Mereka tidak bebas melakukan ibadah maupun kegiatan lain di kampungnya sendiri. Pun apabila kup ini benar-benar dilaksanakan, tentu saja akan gagal, kemungkinan adalah karena FPI kalah jumlah. Pemerintah akan balik menenekan FPI. Keadaan akan menjadi berbalik dan FPI menjadi obyek yang tertekan di kemudian hari. Lalu, bagaimana dengan TKI di Timur Tengah, mereka juga merasa tertekan karena mungkin tidak bisa pulang.


Istilah eksil ini menjadi penting ketika melihat proses kekuasaan yang menekan hak-hak warga negara sehingga mengakibatkan terjadinya alienasi dan isolasi. Eksil adalah pengisolasian atau pengebirian terhadap hak-hak sosial. Banyak sekali warga negara Indonesia yang telah terisolasi, baik di luar negeri maupun di negeri sendiri. Sastra eksil cenderung dimaknai atau berkaitan dengan peristiwa 1965. Padahal, sebelumnya sudah ada fenomena pengasingan seperti Boven Digul. Pada tahun 1960-an, kondisi juga banyak memaksa warga negara Indonesia untuk memilih apakah akan tetap di Indonesia atau tinggal di luar negeri.

Penggunaan istilah eksil yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris ini berarti orang yang dipaksa oleh pemerintah untuk ke luar negeri. Pengertian inilah yang kemudian menjadi rujukan penggunaan istilah sastra eksil. Menjadi suatu pekerjaan berat untuk mendaftar karya-karya sastra eksil yang ditulis di luar negeri. Banyak sekali sastrawan yang tidak bisa pulang ke Indonesia setelah peristiwa 1965. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memposisikan karya sastra eksil itu sendiri? Muncullah istilah eksterioritas, yaitu ketika seorang sastrawan berada di luar negeri. Melalui karya sasta, akan tergambarkan bagaimana dia menilai negerinya sendiri, menjadi juru bicara negerinya di negeri barat atau akan memunculkan sastra pasca kolonial seperti yang dilakukan oleh imigran India.

Salah satu contohnya adalah Utuy Tatang Sontani. Dia adalah sastrawan eksil yang sebelumnya pernah tinggal di Tiongkok. Karena merasa tertekan dengan pemerintah di sana, Utuy pindah ke Uni Soviet. Utuy banyak sekali menulis karya sasta, namun hanya dua karya yang sampai di Indonesia. Salah satu cerpennya berjudul “Anjing” merupakan luapan kekesalannya terhadap ke-eksilannya. Cerpen ini adalah ungkapan kesepian Utuy. Cerpen ini merupakan cerita orang lain yang sebenarnya merefleksikan kehidupan Utuy sendiri. Ia merasa tertekan di Tiongkok karena pemerintah mengharuskannya untuk mempelajari kembali gagasan Mao, mencari kesalahan kenapa komunisme bisa gagal diterapkan di Indonesia. Eksil di Tiongkok mengalami perpecahan pada waktu itu. Ada pihak yang mendukung dan menentang pemerintah. Utuy termasuk salah satu yang menentang dan mencoba mempersonifikasikannya ke dalam cerpen “Anjing”.

Motif keberadaan eksil juga berbeda-beda. Kita bisa membandingkan antara eksil India dan Indonesia. Dalam kasus India, eksil adalah pelarian. Mereka mendapatkan perlakukan rasial dari pemerintah yang dituju. Mereka kemudian banyak menulis dalam bahasa Inggris, tema-tema atau ungkapan atas perlakukan rasial dari Eropa yang mereka terima. Hal ini berbeda dengan eksil dari Indonesia, meskipun tidak tahu validitas datanya, eksil Indonesia cenderung mendapatkan perlakukan yang baik, ada jaminan dari pemerintah, dan sebagainya.

Pada intinya, terdapat perbedaan perlakukan antara eksil India dan Indonesia. Memang kadang menjadi sesuatu yang ironis. Tokoh-tokoh besar dari Indonesia dengan karya-karyanya seperti Utuy, Sobron Aidit, dan sebagainya, justru dirasakan asing di negerinya sendiri. Karya-karya mereka kemungkinan lebih dikenal di luar negeri daripada di negerinya sendiri.


Mendefinisikan Sastra Eksil dalam Wacana Post Kolonial

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Dr. Katrin Bandel. Saya pernah membaca namanya dari esay yang ditulis oleh Saut Sitomorang. Katrin adalah salah seorang kritikus sastra dengan pisau analisis yang sangat tajam. Betapa terkejut, ketika mendengar pernyataan Katrin bahwa ia dan Saut ternyata adalah pasangan suami istri. Saya jadi membayangkan bagaimana dua orang kritikus sastra ini berkomunikasi sehari-hari. Apakah mereka bicara selalu dengan teori yang aneh-aneh itu? Barangkali mereka memang cocok. Saya jadi teringat sosok Saut, sastrawan dan kritikus sastra yang selalu menenteng botol bir kemana-mana. Seakan-akan puisi yang bagus hanya akan tercipta ketika pengarangnya benar-benar mabuk. Cukup sekian acara membayangkan dan keterkejutan, mari kita kembali pada sastra eksil.

Katrin menyampaikan bahwa ia akan membahas makna eksil secara lebih luas, bukan membahas satu per satu karya sastra eksil. Bahasannya juga akan dikaitkan dengan wacana post kolonial. Pada dasarnya memang tidak ada kesepakatan tentang istilah eksil. Dalam esay Saut, sastra eksil juga disebut sebagai sastra rantau. Tetapi, apakah kedua hal tersebut bisa disamakan? Dalam esay Saut juga disebutkan bahwa sastra eksil di Indonesia berkaitan dengan karya sastra korban 65. Namun sepertinya definisi ini sangat terbatas.

Eksil merupakan dislokasi atau pemindahan seseorang ke negara lain. Dalam hal ini ada unsur terpaksa, tetapi ada juga yang tidak seperti Sitor Situmorang. Hal yang kemudian dibahas adalah persoalan keterpaksaan dalam definisi eksil. Keterpaksaan ini dalam konteks peristiwa 1965 merupakan faktor politik. Mereka tidak bisa pulang karena takut dibunuh atau dipenjarakan. Ada faktor represi di sini.

Bagaimana dengan buruh migran? Mereka juga terpaksa, tetapi bukan karena faktor politik melainkan paksaan ekonomi. Orang Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing kemudian tinggal di negeri suaminya, hal ini bisa juga dikarenakan terpaksa. Undang-undang di Indonesia dirasa cenderung menyulitkan untuk hal-hal seperti ini. Ada aturan bahwa istri harus ikut suami, suami lebih mudah mencari nafkah di negara asalnya, dan sebagainya yang menyebabkan adanya unsur keterpaksaan. Dalam hal ini, tampak juga adanya relasi kekuasaan.

Dalam antologi “Creativity in Exile” yang di editori oleh Michael Hanne, sulit mendefinisikan konsep eksil. Muncullah pertanyaan apakah definisi eksil hanya berangkat dari alasan politis. Bagaimana dengan alasan ekonomi. Alasan ini lebih banyak berperan untuk saat ini. Ekonomi dan politik sendiri juga tidak bisa dipisahkan secara rapi. Orang miskin bisa lebih banyak muncul di negara yang korup atau korban peristiwa 65 yang kemudian menjadi dimiskinkan oleh negara dengan aturan-aturannya yang diskriminatif.

Sastra eksil dalam wacana post kolonial menjadi menarik untuk dikaji. Wacana post kolonial mencoba mengkaji adanya relasi kekuasaan global yang merupakan kelanjutan dari kolonialisasi pada masa sebelumnya. Misalnya terkait dengan buruh migran. Buruh migran Indonesia banyak yang mengais kehidupan di Arab. Tetapi, tidak ada orang Arab yang menjadi buruh migran di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang.

Lalu bagaimana dengan sastra? Kembali Katrin memaparkan esay Saut tentang kumpulan puisi yang berjudul “Di Negeri Orang” terbitan Lontar. Saut menyayangkan bahwa para penyairnya justru banyak bernostalgia tentang kampung halaman, ketidakberesan di negerinya sendiri, dan bukan pengalamannya hidup di negeri yang baru.

Selain itu, masih banyak teks yang bisa dikaji. Misalnya, relasi kuasa yang tampak pada karya buruh migran di Hongkong. Mereka menulis pengalaman mereka selama menjadi buruh migran. Hongkong merupakan negara yang cukup baik dalam memberikan jaminan terhadap buruh migran, fasilitas dan pendidikan yang baik. Hal ini berbeda seperti yang terjadi di Arab. Banyak buruh migran di Arab yang mungkin tidak bisa baca tulis sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk menulis karya sastra tentunya.

Para buruh migran ini mempersoalkan pengalaman mereka selama bermigrasi. Mereka menuliskan pengalaman pahit ketika berelasi dengan majikan atau misalnya kegelisahan ketika berhadapan dengan budaya asing. Cerpen “Di Balik Pohon” karya Maria Bo Niok menceritakan pengalaman seorang buruh migran asal Indonesia yang kaget dan jijik ketika menyaksikan kemesraan antara dua orang perempuan di sebuah pantai di Hongkong. Contoh lain adalah karya NH Dini yang menceritakan kehidupan di Eropa dengan lebih bersifat otobiografis, puisi Heri Latief yang mengisahkan hidupnya di Belanda dan Jerman atau Novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy yang mengisahkan kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir. Beberapa contoh ini berusaha untuk memaparkan pengalaman orang Indonesia di luar negeri.

Bagaimana menyikapi atau mendekati karya tersebut dalam kacamata post kolonial? Hal yang harus dilakukan kemudian adalah melihat sejauhmana pengarang sadar akan relasi kekuasaan global ketika mereka mengalami dislokasi. Lebih jauhnya, ada kritik yang disampaikan oleh pengarang dalam karya tersebut.

Sedikit membahas “Ayat-Ayat Cinta”, novel ini memang banyak membahas persoalan Islam dalam dunia global. Ada persoalan Islamopobhia atau orang yang benar-benar takut terhadap Islam yang dicoba untuk diangkat. Namun, Katrin sedikit kecewa karena hal ini dipersoalkan dengan terlalu menyederhanakan persoalan. Terdapat sebuah plot yang menceritakan ketika Fahri bertemu dengan Alicia yang berpakaian ketat, terbuka, dan sebagainya. Mereka bertemu dan bercakap selama 15 menit. Fahri kemudian menulis buku tentang Islam dan perempuan dalam semalam. Berkat buku dan penjelasan Fahri tersebut, Alicia langsung berubah menjadi seornag muslimah yang taat. Plot ini terasa konyol. Novel ini memang mempersoalkan relasi kekuasaan global yang sudah dihadirkan tetapi tidak tuntas.

Puisi Heri Latief merupakan contoh yang bisa membuat kita mempertanyakan definisi eksil. Heri Latief ini sebenarnya bisa pulang ke Indonesia tanpa masalah. Tetapi setelah pulang, dia justru tidak terbiasa dengan kehidupan di Indonesia, baik itu gaya hidup maupun budayanya. Salah satu puisi yang memperlihatkan hal tersebut terlukis dalam puisi yang berjudul “Aku Anak Rantau”.


Sesi Diskusi: Perdebatan tentang Utuy dan Definisi Eksil

Sesi pertanyaan dan diskusi mulai dibuka. Seorang mahasiswa sejarah dari FIB bertanya. Sebelumnya ia menyatakan sebuah kerangka pemikiran bahwa karya sastra akan menyampaikan makna dalam tingkat yang berbeda. Pertama adalah objective meaning terkait dengan gaya bahasa, estetika, dan sebagainya. Kedua adalah expressive meaning terkait dengan ruh atau segi psikologinya. Ketiga adalah documentary meaning yang menyangkut konteks sosial penciptaan. Utuy dalam cepennya yang berjudul “Anjing” tersebut, dengan hanya melihat pada objective meaningnya, apakah bisa menjadi syarat agar disebut eksterioritas atau eksil? Karya Utuy merupakan salah satu anomali. Ia menolak hegemoni ideologi timur yang menjadi ideologinya di awal.

Selanjutnya, seorang bapak yang sedang menunggu anaknya les juga mengajukan pendapatnya. Ia khawatir bahwa definisi eksil kemudian sampai pada pemahaman ‘asal’ luar negeri. Semua karya yang ditulis di luar negeri kemudian bisa disebut eksil. Lalu apa bedanya dengan konsep diaspora? Istilah eksil seharusnya tetap mengandung nada politis, dan ini yang penting. Kemudian, apakah sastra eksil ini hanya muncul pasca 1965? Padahal, menjelang Soekarno jatuh, Sutan Takdir Alisyahbana memilih untuk tinggal di Malaysia karena dianggap anjing kapitalis.

Bapak ini juga pendapat bahwa eksil orang-orang Indonesia itu, walaupun sudah 30 tahun di negeri orang, tetap menulis menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini berbeda dengan seorang eksil dari Libanon (saya tidak terlalu jelas Bapak ini menyebutkan nama siapa) yang pindah ke Perancis. Karyanya tidak lagi ditulis dalam bahasa Arab melainkan menggunakan bahasa Perancis. Demikian juga dengan Khahlil Gibran yang juga menulis dengan menggunakan bahasa Inggris. Sebelum “Ayat-Ayat Cinta” juga sebenarnya banyak karya sastra yang ditulis di Mesir.

Seorang pemuda yang duduk di bangku nomor dua dari belakang juga mengajukan pendapatnya. Ia mengaku tidak terlalu paham dengan sastra eksil. Utuy baginya adalah seorang sastrawan top. Banyak sastrawan Indonesia yang kalah sama Utuy, bahkan Usmar Ismail, Motinggo Busye, dan sebagainya. Utuy mampu bersanding dengan sastrawan internasional seperti Chekov. Ia menanyakan kenapa karya Utuy yaitu Si Kabayan yang diterbitkan oleh Lekra justru dipentaskan oleh kelompok teater yang dipimpin oleh Taufik Ismail?

Seorang lagi bertanya. Pemuda ini mengaku orang desa dari bantul. Ia mengaku bukan sastrawan. Ia juga tak sering membaca sastra dan hanya melakukannya atau mengikuti diskusi untuk mengisi waktu luang karena dia masih pengangguran. Ketika ada pembahasan tentang sastra eksil, dia berharap akan ada sesuatu yang menginspirasi. Namun, dalam pertemuan ini ia merasa tidak mendapatkan inspirasi.

Ia kemudian menyindir kritik Katrin pada “Ayat-Ayat Cinta”. Baginya, novel itu adalah usaha untuk menginspirasi orang di tengah lautan najis, berenang menuju ke tepian hegemoni. Orang-orang Indonesia memiliki inferioritas yang sangat tinggi. Oleh karena itu si pengarang ingin menciptakan tokoh-tokoh yang superior. Ada juga novel yang mengisahkan mahasiswa Indonesia di Moskow yang menang debat tentang agama dengan para profesor dan ahli agama di sana. Superioritas tokoh-tokoh dalam novel ini memang sengaja diangkat untuk memacu semangat orang-orang Indonesia.

Katrin pun menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia memaparkan bahwa memang defiinisi eksil menjadi tidak jelas. Namun, ia juga tidak berpretensi untuk membuat definisi baru. Sekadar mengikuti literatur yang ada, ternyata ada keraguan-keraguan yang muncul apakah eksil hanya mempersoalkan persoalan politis? Mungkin memang terjadi overlaping dengan istilah diaspora. Sehingga, muncul juga pertanyaan benarkah kita membutuhkan istilah eksil tersebut.

Ketika menggunakan istilah tersebut, tampaknya kita membutuhkan suatu deskripsi yang lebih jelas. Misalnya menyebut sastra eksil paska lekra 1965, atau sebenarnya eksil hanya istilah keren-kereranan saja? Umar Kayam misalnya, apakah dia bisa masuk dalam sastra eksil? Setidaknya kita bisa membuat kriteria untuk menilai. Apakah ada sikap kritis atau tidak terhadap relasi kekuasaan global. Dengan demikian, eksil sebenarnya merupakan istilah yang cukup netral.

Terkait dengan persoalah bahasa, Indonesia memang memiliki kekhasan karena memiliki bahasa nasional sendiri. Bahasa juga penting digunakan untuk mengetahui siapa yang berbicara dan untuk siapa mereka menulis. Apa yang sebenaranya bisa didapatkan dari karya sastra tersebut? Ketika membaca karya sastra, kita bisa sama-sama mengerti apa yang disampaikan karya tersebut, apakah karya tersebut menyadarkan? Mengajak berpikir kritis atau justru menghilangkan sikap kritis?

Katrin mencoba untuk melihat “Ayat-Ayat Cinta” sebagai seorang kritikus sastra. Mau dibilang apalagi karena memang plotnya tidak masuk akal. Pembaca itu tidak perlu tokoh yang digagah-gagahkan. Akan lebih masuk akal kalau menulis sesuatu yang sesuai dengan kenyataan tetapi tetap kritis. Plot tersebut memang harus disadari sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Meskipun novel tersebut adalah sesuatu yang bersifat fiksi, harus disadari pula bahwa seorang pengarang tidak bisa langsung membolak-balikan persoalan dengan mudah.

Setelah Katrin selesai, waktunya Iryan untuk merespon pertanyaan. Ia memang sengaja tidak merespon hal yang berkaitan dengan kritik sastra. Untuk mahasiswa sejarah yang bertanya, Iryan berkata dengan jujur bahwa ia belum banyak membaca teori yang disebutkan mahasiswa tersebut sehingga tidak bisa banyak memberikan perbandingan. Terkait dengan istilah eksil, sebenarnya sudah banyak data sejarah yang tersedia. Data-data tersebut tinggal menunggu seorang teoritikus yang bisa mendefinisikannya.

Karya eksil Utuy salah satunya adalah cerita rakyat Ciung Wanara, meskipun konteks cerita eksil di sini masih berada dalam lingkup dalam negeri. Unsur yang terpenting adalah adanya perpindahan ruang dan tekanan. Tekanan tersebut memang tidak selalu politis. Misalnya, fakta sejarah tentang apa yang dilakukan oleh kongsi dagang Kerajaan Ambon. Motifnya bisa sampai pada kristenisasi dan pengenalan peradaban. Eksil dalam hal ini bisa menunjukkan motif kekuasaan yang berbeda.

Menanggapi pertanyaan tentang Si Kabayan yang dipentaskan oleh teater pimpinan Taufik Ismail di atas, ternyata Iryan hanya salah dalam penulisan. Seharusnya ia menuliskan Sangkuriang dan bukan Si Kabayan. Perdebatan kemudian sampai pada polemik hadiah magsaysay yang diterima Pram, dan lain-lain yang saya tidak begitu mengerti.

Sesi kedua pertanyaan telah dibuka. Penanya pertama adalah salah satu mahasiswa Sosiologi UGM. Ketika Iryan mengangkat Utuy dalam makalahnya, mahasiswa ini mempertanyakan kenapa justru cenderung biografis. Ketika sebuah biografi diangkat, akan menimbulkan pertanyaan kenapa Utuy yang diangkat. Biasanya karena ada sentimen kedaerahan yang sama-sama Sunda, atau seperti apa.

Pengertian eksil sebenarnya juga tidak hanya untuk sastra tetapi karya seni yang lebih luas. Berpijak pada salah satu tulisan, mahasiswa ini mengatakan bahwa Pram bisa disebut eksil meskipun karyanya ditulis di dalam negeri. Dengan demikian, sangat terbuka peluang untuk memunculkan Pram yang lain yang bukan Anantatoer. Ia juga masih mempertanyakan mengapa hanya mengangkat Utuy tanpa menyandingkannya dengan karya yang lain. Selain itu, ada banyak sastra eksil yang ditulis juga dalam bahasa Inggris sehingga perlu ada pengecualian-pengecualian dalam penggunaan istilah ini. Mahasiswa ini juga sedikit merasa tertipu dengan poster publikasi diskusi. Ia menyangka bahwa forum ini akan membahas karya-karya sastra yang ditulis di luar negeri pasca peristiwa 1965.

Iryan langsung menanggapi bahwa niatnya mengambil sisi biografis Utuy adalah untuk menemukan suatu titik yang kemudian bisa dibicarakan secara lebih luas. Karya Utuy juga banyak mengadung personifikasi tentang dirinya sendiri dan latar sosial yang mempengaruhi penciptaan karyanya. Karya Utuy memang bisa disebut sebagai salah satu contoh sastra eksil dalam bahasa yang tepat. Iryan kemudian banyak membahas karya Utuy tersebut dengan latar belakang sosial dan politik yang melingkupinya ketika tinggal di Tiongkok. Ada ungkapan kesepian juga dan kerinduan terhadap anaknya dalam karya tersebut.

Diskusi kemudian ditutup oleh beberapa pendapat terakhir dari Katrin. Membahas tentang eksil, Katrin jadi teringat bahwa suaminya sering menyebutnya sebagai TKW. Beralih ke Pram, mungkin memang bisa disebut eksil. Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan ditulis pula di Indonesia. Namun, karya tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang kemudian menjadikannya dikenal oleh orang luar. Pram mungkin tidak eksil, tetapi karyanya yang eksil.

Katrin menanggapi kekecewaan mahasiswa Sosiologi tersebut karena yang dibahas bukan khusus eksil pasca 1965. Setidaknya, eksil menjadi menarik dalam wacana post kolonial. Sastra eksil yang memuat pengalaman orang Indonesia yang menulis di luar Indonesia ini sangat beragam. Ke luar negeri pun dengan berbagai motif, bisa jadi juga karena mendapat beasiswa. Tapi, persoalannya adalah bagaimana mereka menyikapi relasi kekuasaan yang ada. Terkait dengan Utuy, terlepas dari alasan penulisnya secara pribadi, memang untuk suatu makalah atau skripsi lebih baik ketika memilih salah satu kasus yang spesifik. Tidak mungkin juga untuk membedah semua karya secara bersamaan.

Kelir Ditutup, Blencong Berkedip-Kedip Sayu

Ini tandanya saya sudah ngantuk. Akan saya cukupkan sampai di sini saja catatan diskusi ini. Kali ini saya cukup menjadi pengamat, pencatat dan pendengar yang baik. Saya tak punya cukup bahan untuk ikut nimbrung dalam diskusi kali ini. Setidaknya cukup banyak yang bisa saya dapat. Lain kali kalau ada diskusi lagi akan saya catatkan. Mungkin tulisan ini sedikit kering karena hanya mengikuti alur diskusi tanpa saya ikut berenang ke dalamnya. Barangkali juga saat ini saya sedang membuat puisi eksil. Puisi yang lahir ketika saya mendapat represi berupa kesedihan yang membahagiaan. Puisi yang lahir dari diri yang terasing, tak hanya di negeri orang, bahkan di luar dunia ini sendiri.

Lantai 2 Perpustakaan Kota Yogyakarta, 26 Februari 2011

Rekaman Sepenggal Pertemuan

YK, Rabu, 24 Februari. Aku tak pernah yakin benar tentang keberadaan mereka. Orang-orang titisan yang muncul dari kehidupan sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, situs jejaring sosial itu mempertemukan kami. Salah satu orang dari masa lalu menyarankanku untuk berteman dengan orang ini. Demikianlah awalnya. Aku tak pernah benar-benar yakin. Anak ini masih kelas tiga smp. Pun begitu pikirannya sudah teracuni dengan lembaran kisah panjang.

Seperti yang sudah-sudah, aku pernah merasakan pikiran seperti terbukakan ketika bercakap dengan seseorang dari masa lalu itu, sayangnya sekarang orang itu menghilang. Ada semacam bayangan-bayangan aneh yang tiba-tiba menyergap pikiranku, barangkali mimpi, sebuah rangkaian peristiwa ketika aku seperti terlempar ke masa lalu. Kupikir ini adalah imajinasi. Aku tak pernah menganggapnya serius. Ternyata orang-orang ini mengalaminya juga. Mereka menyebutnya ‘de javu’. Kilasan peristiwa itulah yang mengantarkan mereka mencari dirinya di kehidupan sebelumnya. Mungkin juga mereka tahu atau hanya mereka-reka siapa mereka dengan membaca buku-buku sejarah, mengunjungi tempat-tempat tertentu, entahlah. Mereka bilang pencarian ini akan menentramkan. Tapi tidak, setelah permulaan itu aku tak pernah mencari, sedikit merasa tak tentram juga dengan serbuan pertanyaan. Namun, aku tetap memilih hidup untuk saat ini.

Kata orang, takdir memang tak pernah bisa dihindari. Kehidupan ini adalah sebuah penebusan. Sebuah kehidupan yang hanya menjalankan karma untuk mensucikan dosa-dosa di kehidupan sebelumnya. Begitulah seseorang pernah berkata dan dimulailah sebuah cerita.

Orang yang memperkenalkanku dengan anak kelas tiga smp ini dulunya adalah seorang raja di masa lalu. Aku bisa mengetahui kisah hidupnya dengan mengintip kaca benggala sejarah. Seorang raja baik hati yang gugur akibat suatu ekspedisi sia-sia. Benarkah begitu? Aku juga tidak tahu. Lalu kenapa juga dia mengirimkan kepadaku anak-anak ini? Anak-anak yang teracuni pikirannya. Aku tahu mereka punya kemampuan lebih. Sebagian bisa mengobati orang begitu saja tanpa mantra. Bocah-bocah biru, anak-anak indigo dengan kelebihan sejak lahir yang dibawa. Begitulah sepertinya mereka disebut.

Beberapa kali sempat ada percakapan lewat situs jejaring sosial. Beberapa kali sempat saling berkirim pesan pendek. Aku juga tidak tahu kenapa dari dulu hidupku selalu dikelilingi orang-orang aneh macam ini. Tak seperti kebanyakan orang lain. Aku banyak mencecap pengetahuan-pengetahuan tentang hakikat hidup dari lingkunganku. Single learner, aku belajar sendirian. Aku memang butuh seorang Mursyid tapi belum saatnya kutemukan. Jalan untuk tersesat memang sangat berpeluang. Beruntunglah aku masih berada di jalan yang seharusnya. Justru dengan mengenal itu semua, tak akan ada lagi yang bisa melakukan indoktrinasasi padaku. Untuk mereka, kemungkinan hanya bisa membuatku terobsesi.

Bocah kelas tiga smp itu nekat datang ke kost ku hari ini. Di jam pelajaran sekolah tiba-tiba ia berkirim pesan sebelum datang. Dengan memakai seragam putih biru yang telah kumal, aku sempat dibuat kaget. Dua anak itu datang, anak dari kehidupan lalu dan seorang temannya. Sebuah perkenalan biasa terjadi dan aku terkejut setengah mati. Ealah, ini siapa yang mengajari anak-anak sampai bisa bandel begini. Seharusnya anak-anak ini belum saatnya mengetahui rahasia itu. Biarkan mereka menjadi ‘orang’ dulu, baru nanti diberi tahu siapa dia di kehidupan sebelumnya. Dengan begitu, pikiran tak melampaui raga. Orang yang lebih dewasa mungkin akan bisa mencerna takdirnya dengan lebih baik. Menurutku, memang disitulah kesalahannya. Kasihan kalau kehidupan sekarang tak bisa berjalan baik hanya demi sebuah ingatan. Tapi, anak-anak ini tampaknya sangat menikmati ingatan dan kebandelannya sekarang. Bandel pun bukan berarti bodoh.

Dikatakan terkejut, mungkin memang iya. Anak-anak ini sudah bolos di jam kosong pelajaran, mengendarai sepede motor padahal belum cukup umur. Sampai di kost dengan santainya menyulut sebatang rokok. Dihisapnya nikotin itu dengan nikmat. Menerbangkan pelajaran-pelajaran yang sudah diterima sebelumnya, mengendapkan ingatan-ingatan masa lalunya. Ealah, apa yang harus aku katakan ketika melihat mereka ini.

Sebelumnya bocah ini sudah mengaku kalau dulunya dia itu pangeran dari sebuah kerajaan. Apalagi yang akan kuceritakan. Apakah mereka sedang menginisiasi sebuah perkumpulan rahasia? Benarkah? Ataukah mereka sedang mempersiapkan konspirasi tandingan? atau membentuk kepanitiaan akhir zaman? Ah, aku hanya meracau, menebak-nebak tak karuan. Apakah aku akan masuk ke dunia ini? Ah, tidak bisa. Aku cukup tahu ilmunya, tapi aku memilih kehidupanku sendiri. Tak ingin rasanya pikiran ini diribetkan dengan urusan-urusan macam itu, meskipun sebenarnya aku menyukainya. Di sinilah aku berada, antara percaya dan samar tidak, antara mengakui dan samar tidak, antara menerima dan samar menolak. Samar tak berarti tidak. Samar tak berarti tiada.

Kisah yang terekam dari sepenggal percakapan ini justru merefleksikan kegagalan sistem pendidikan di Indonesia. Maaf bila ini menjadi loncatan fokus pembicaraan yang luar biasa jauh. Mereka berdua ini adalah contoh murid bandel. Murid yang sering membuat jengkel para guru. Mereka bercerita kalau pelajaran-pelajaran yang diterima di sekolah itu hanya fiktif belaka. Pelajaran fisika misalnya, mereka merasa tak perlu mengukur tinggi peluru hasil tembakan, tenaga yang dibutuhkan untuk menarik sebuah katrol, mengukur kalor yang dibutuhkan untuk mendidihkan air di suhu tertentu, atau menurunkan rumus-rumus aneh yang tak diketahui apa gunanya dipelajari. Mereka berkata bahwa pelajaran ini tidak aplikatif. Mereka bisa hidup tanpa harus mengukur-ukur macam begitu. Kemudian cerita tentang pelajaran biologi. Mereka tahu bahwa daun itu berwarna hijau dan mengandung klorofil. Tak perlu lagi menyanyat daun hanya untuk melihat klorofilnya. Kasihan bagi si daun yang dipetik dan menderita disayat-sayat tubuhnya.

Aku tak membenarkan pendapat mereka. Hanya kembali menyampaikan apa yang ada dipikiran murid-murid bandel ini. Barangkali guru mereka tak sampai berpikir alasan di balik muridnya yang bandel dan tak pernah memperhatikan pelajaran. Anak smp kemungkinan memang masih labil. Banyak yang belum mengerti untuk apa mereka harus belajar. Mereka masih merasa tak membutuhkan ilmu aljabar untuk mencari makan nantinya. Mau jadi apa Indonesia ketika generasi mudanya tak bersemangat untuk maju seperti ini. Atau memang belum saatnya mereka sadar akan peran dan tanggung jawabnya. Mereka jadi ingin cepat kuliah agar bisa pakai baju seenaknya, celana pendek dan kemeja. Bisa dibayangkan bahwa semua hal di dunia ini ternyata bisa ditertawakan oleh logika berpikir mereka. Guyon lah mereka tak habis-habis mencela guru dan pelajaran. Sejarah juga begitu. Bagi mereka buat apa masa lalu harus diingat kembali. Masa lalu biarlah berlalu, hari ini harus dilalui dan esok masih menjadi mimpi. Kembali mereka cekikikan sendirian. Aku hanya tersenyum. Seperti biasa, cukup menanggapi dengan diam.

Di pelajaran seni juga begitu, salah satu bocah ini diminta untuk menggambar tanaman. Kebetulan yang dilihatnya adalah sebuah tanaman kecil yang ditanam dalam pot besar. Sangat tidak proposional. Gambar ini hanya mendapatkan nilai 6,5. Benarkah guru seni di smp ini mengharuskan muridnya agar menggambar sesuatu dengan proposional agar bisa mendapat nilai 8? Ini gawat karena bisa mematikan imajinasi yang seharusnya tak dibatasi. Tambah gawat karena salah satu dari mereka mengaku lebih senang di rumah dan berkhayal daripada bosan di sekolah. Berkhayal dan menciptakan lirik-lirik lagu yang indah. Seperti biasa, anak smp ini sedang suka-sukanya bikin grup band.

Menurutku, ini hanya pendapat saja, mungkin mereka memang tak dilahirkan untuk mengikuti atau takluk pada sistem apapun yang sudah diciptakan di dunia. Mereka punya misi sendiri di genggamannya. Bisa jadi mereka tak seperti orang yang diharapkan dalam ukuran-ukuran manusia normal, ukuran sukses atau keberhasilan misalnya. Bocah-bocah ini memang tidak normal tapi terpakasa harus menjadi normal agar tetap disebut manusia. Mereka punya misi sendiri, jauh terselebung di dalam dan mulia daripada hanya sekadar menjadi orang-orang sukses. Jadi, mungkin memang tak seharusnya tercengang ketika kehidupan mereka di masa ini terpaksa harus prihatin karena sudah digariskan untuk tetap berjalan dalam roda cakra manggilingan.

Kembali ke kehidupan sebelumnya. Anak ini menanyaiku tentang beberapa orang yang mungkin aku kenal. Tapi aku tak mengenal siapapun dari mereka. Dia kemudian menanyakan benarkah aku tak mengingat apa-apa? Dan memang aku tak mengingat apa-apa. Aku memang membaca atau seakan-akan mengetahui tanda-tandanya. Aku seperti mengingat sesuatu ketika berada di suatu tempat atau membaca sejarah. Tapi, sebagian hanya kuabaiakan saja. Bukankah ini hanya imajinasi belaka? Tak ada juga orang yang percaya dengan ceritaku tentang kejadian aneh-anehan macam itu. Dia berkata juga, “kok ra digoleki, Mbak. Padahal nek wis ketemu ngko rak tentrem.” Aku harus berhati-hati jangan sampai pikiranku teracuni lagi. Pertemuan dengan orang-orang ini hanya euforia. Menyenangkan sesaat seperti ketemu saudara yang lama menghilang. Tapi hanya beberapa saat. Kami harus kembali ke kehidupan masing-masing. Dengan renik-renik masalah yang sangat berbeda dengan kisah-kisah epos zaman dulu.

Sepenggal rekaman pertemuan, menyisakan banyak pertanyaan, juga pikiran-pikaran aneh yang tiba-tiba hinggap. Bocah-bocah ini memang aneh. Semoga saja, dengan kemampuan lebih mereka, bocah-bocah ini bisa menjadi sepasukan malaikat. Merekalah yang nantinya akan memerangi gelembung-gelembung Rahwana yang menyusup dalam setiap jiwa manusia, semakin padat dan pekat memenuhi udara dunia. Barangkali, masih akan ada harapan. Bocah-bocah ini bisa membalik kalatidha menjadi kalasuba, pada waktunya nanti.

Sabdo Palon katanya sudah muncul lagi ke dunia. Semar telah kembali dengan tanda-tanda alam yang mengiringi. Barangkali dia sedang membutuhkan raga. Ini saya punya, bisa pinjam atau disewa dengan syarat dan ketentuan berlaku.hehehe... Sudahlah, kalau diteruskan bisa tambah ngawur nantinya.

Aku tidak tahu apakah aku boleh menuliskan ini dan mempostingnya ke blog. Semoga tidak ada yang marah atau tersinggung dengan tulisan ini. Aku tak bermaksud untuk membuka cerita, atau memberikan informasi kepada agen rahasia yang sedang mencari bocah-bocah ini (tambah ngawur). Hanya ingin berbagi, siapa tahu ada banyak orang-orang yang sedang gelisah sepertiku, atau orang-orang aneh yang ingin menemukan dirinya. Sekali lagi maaf, bila ada yang tidak berkenan, silakan menghubungiku di sini.