Senin, 30 Mei 2011

Palilah (Geguritan Kagem...)

Manungsa pancen ora bisa ngangsa pesthi, ngaya tekane pesthi
Sing pada nresnani uwis minggat siji mbaka siji
Pamit ora bisa maneh ngenteni
Lunga nggandeng wong kang bisa dijak bebarengan tumekeng pati
Mbabat alas urip bebarayan wiwit saiki

Aku ora bisa nggoceki maneh
Wis ben, ah luweh

Nadyan aku ora bisa njawab pitakonanmu
Mangertia yen sejatine aku isih ndelikake apa kang sanyatane
Salawase aku mung mikir awakku dhewe
Ora nggrahita kaya ngapa laraning atimu,
Nalika aku mung nggoleki sliramu yen lagi kasaput sepi
Banjur lali yen pas nedheng seneng

Pangapuramu kang tansah tak enteni
Palilah iki tampanana
Aku mung bisa ndedonga, uripmu bisa manggih mulya
Donga kang ora bakal kendhat
Rahayu ndonya akherat

Wengi iki lumantar hawa anyeting angin,
Ukara kanthi ukara mbanyu mili
Kaya-kaya sliramu wong kang paling becik sak ndonya,
Wong kang paling tresna lan mangerteni aku
Kaya-kaya aku sing paling tumindak culika gawe rojah rajehing atimu
Nanging ora, dudu kuwi kang terang trawaca saka kandhamu
Aku selak yen kudu dadi wong sing paling disalahake jroning kahanan iki

Ah, mbuh ora weruh
Tak rungokne wae kabeh pangucap kang krasa mung dadi uwuh

Kocapa carita swaramu njelma kaya Rahwana
Ngucap mantra kang aku ora ngerti nganggo basa apa
Dadaku sesek sanalika
Aku kena suwuk
Ong....ora bisa bali ngantuk
tumeka isuk

Mei 2011

Kamis, 26 Mei 2011

Sepagi Sembah Selatan

Sepagi dalam sembah kepada selatan
Aku membaca ayatayat ombak di atas punggungmu
Kau duduk bersila, memejam mata
Dan selalu seperti itu, kau tak pernah tahu,
bagaimana aku menatap punggungmu,
menekuk lutut dalam pasir dan sengat matahari

Di pelupuk cakrawala kau telah menemukannya
Gadis berparas lautan, rambutnya berurai gelombang
Dan masih saja tak lepas mataku dari punggungmu
Perlahan begitu saja menguraimu menghilang
Bersama gadis lautmu, senyap melepaskan kehilangan
Kau melesap sudah

Aku sebutir pasir, ombak menyapuku
Sebutir pasir mendekati ombak
Sebutir pasir mencicipi ombak
Sebutir pasir menenggak ombak
Setetes ombak menyentuh sebutir pasir
Sebutir pasir menjadi ombak
Kita menghilang bersamaan
Aku, kau dan gadis lautmu
Merasuk dalam ombak selatan

Mei 2011

Senin, 16 Mei 2011

Pada Sebuah Perjamuan

Pada sebuah perjamuan. Para petani dan nelayan terdampar. Para pejabat duduk mengelilingi meja bundar. Perjalanan meninggalkan ladang dan lautan, mengambang dalam lagu-lagu kenangan dan pidato-pidato seremonial.

Seperti terasing di dunia lain. Mereka tenggelam dalam tumpukan makanan. Lidah-lidah saling bergidik, enggan mencecap udang saus strawberry dan gurame yang disiram saus buah warna-warni. Nelayan tak tidur semalam. Nangkap cumi-cumi untuk digoreng dengan sangat kering bermandi saus asam manis. Petani terjaga semalam. Menuai padi dan sayuran organik yang dihidangkan di sini. Segala yang tak pernah sampai di meja makan mereka sendiri.

Para pelayan restoran masih saja hilir mudik. Menyangga piring-piring saji dengan gunungan penuh sendawa dan basa-basi tawa. Sebentar saja, piring-piring segera kosong. Perut-perut menggembung, menjelma balon udara, menerbangkan mereka. Hingga ke lautan, udang dan cumi tak sempat dicerna ingin segera kembali. Sampai ke ladang-ladang padi, dimana beras ingin menjelma benih, kembali menelusup ke rahim bumi. Perut-perut pecah sudah. Tertusuk jerami-jerami basah.

15 Mei 2011

Kamis, 05 Mei 2011

Obrolan Para Penyair dalam Sekaleng Bir

Ini warung kopi tapi banyak yang minum bir di sini. Yang tak mabuk tak bisa bikin puisi. Biar sesak di kepung asap rokok, saya akan tetap setia dengan pena dan buku catatan kecil ini, duduk dipojokan bersama seorang teman. Yang saya lakukan hanya merekam, berusaha tak melewatkan obrolan dan diskusi ini. Bukankah akan hilang kalau tak dicatatkan? Bukankah bisa basi kalau hanya ditanak dalam ingatan?

Senin malam, 2 Mei 2011 di sebuah warung kopi, seorang penyair muda Y. Thendra BP melaunching buku kumpulan puisi keduanya. Puisi-puisi ini ditulis sejak tahun 2004-2011. Sebuah usaha yang berat katanya untuk membuat puisi-puisi ini. Hadir sebagai pemantik diskusi adalah Saut Situmorang dan Alwi Atma Ardhana.

Kalau ada orang bersuara berat dengan kaleng-kaleng bir di depannya itu, saya sudah menduga kalau nantinya pembicaraan ini akan mengarah pada perang-perangan yang dimainkan para penyair di dunia mereka. Dunia perang kalian memang sering saya dengar dari kabar yang dibawa angin, beberapa esay Saut dan wacana postkolonial yang sering didengung-dengungkan itu. Seandainya bukan orang yang bergelut dengan sastra, tentu tidak akan tahu permaian perang-perangan seru. Entahlah, sebenarnya saya pun tak begitu paham dengan pintu yang saya masuki malam ini. Ah, setidaknya saya bisa nyangkut, pada seuntai rambut gimbal Saut.

Acara dimulai dengan pembacaan beberapa puisi Thendra. Sulur-sulur asap masih mencekik dari luar dan dalam ruangan. Saya terus merasa sesak sampai mengalihkan pandangan pada seorang pemuda berkaos merah. Dari belakang, hanya punggungnya saja yang kelihatan bertuliskan kutipan kata-kata Sutan Sjahrir yang berbunyi “Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.”

Bicara soal pertaruhan, saya sampai detik ini entah kenapa selalu kalah main judi soal cinta, bertaruh kepingan cinta. Habis sudah cinta, tinggal sedikit saja menyisa. Soal hidup, rasanya tak banyak juga yang sudah saya pertaruhkan, tak banyak pula yang bisa saya menangkan. Wajah orang-orang yang datang dalam acara seperti ini rasanya memang hanya mereka-mereka saja dan entah cerpenis atau penyair berambut gondrong diikat itu datang lagi juga. Masih dengan kaos putih yang sama seperti yang dipakai di acara malam minggu bersama Chairil di Stasiun Tugu. Kaos bergambar salah satu pemimpin dunia bertuliskan ‘he is my hero’ di bawahnya. Apakah seniman memang tak sering ganti baju? tanggalkah inspirasi ketika mereka ganti baju? Barangkali bau keringat bisa memicu urat-urat syaraf kepala untuk melahirkan karya. Tanya saya aneh-aneh saja. Barangkali juga dia punya banyak kaos yang seperti itu.


Romantisme Kedaerahan sampai Dunia Lipstik Perkotaan

Sambil berusaha untuk fokus, saya menyimak apa yang dibicarakan oleh Alwi. ‘Aku’ dalam puisi-puisi Thendra katanya tidak satu, apalagi dalam beberapa puisi yang bernada protes atau mengangkat tema-tema sosial politik. Puisi-puisi Thendra mengandung dua tema besar. Ia memiliki kesadaran sebagai manusia pasca kolonial. Ia sadar pula berada dalam masyarakat yang dihajar sampai mampus oleh liberalisme dan kapitalisme.

Penggunaan ‘aku’ yang sangat cinta merupakan bentuk ironi, melihat Indonesia sebagai succeed state. Thendra memiliki banyak ironi yang bisa dimainkan untuk menggarap tema-tema besar tersebut.

Thendra menjadi salah satu penyair daerah yang memiliki imajinasi tentang kejayaan atau romantisme masa lalu di daerahnya. Misalnya dari sajak “Manusia Utama” yang diterjemahkan dari bahasa suku Amungme yang mulai tergeser. Ia memainkan ironi yang agak romantis tentang lubang-lubang tambang, dan sebagainya.

Tema besar kedua adalah ketika Thendra banyak menyoroti masalah-masalah perkotaan. Ia menggambarkan keindahan yang hanya lipstik, hanya kebohongan. Puisinya menggunakan diksi-diksi yang khas perkotaan. Misalnya saja dalam puisi “April Haiku Chairil”, Thendra menggunakan bentuk ortodoksi Haiku untuk melukiskan imajinya.

Sayangnya, saya tak beli buku kumpulan puisi Thendra jadi mohon dimaklumi kalau tak maksimal menggambarkan penjelasan Alwi.



Masih Nyangkut di Rambut Saut

Dari kumpulan puisi Thendra, Saut berani memberikan klaim sensasional bahwa ini adalah dobrakan dalam sastra Indonesia. Bagi mereka yang hanya menjadi pemuja berhala sastra koran minggu, akan mencret baca buku ini.

Puisi Indonesia Saat ini didominasi oleh puisi-puisi lirik romantik yang bersifat otobiografi. Apa yang sudah dimulai oleh Amir Hamzah, sedikit Gunawan Mohammad, Sitor Situmorang, Rendra, Subagyo Sastrowardoyo seperti dirusak oleh puisi yang hanya indah-indah itu. Para penyair itu sering bermain dengan kata majemuk yang dia sendiri tidak mengerti. Puisi telah dirusak oleh bentuk-bentuk repetisi yang terus direproduksi oleh sampah koran minggu.

Puisi Thendra menjadi angin segar dalam phrasing-nya. Ia telah selesai dengan kata, berbeda dengan para penyair koran minggu yang masih memiliki persoalan dengan kata. Ketika penyair masih memiliki persoalan dengan kata, bagaimana ia akan bicara melalui puisinya. Kesalahan ini diteruskan oleh beberapa nama itu. Padahal, sensasi bunyi pun sebenarnya tidak bisa mereka temukan. Thendra menjadi seperti gelombang kecil karena pengaruh kuat media.

Thendra memberikan penjelasan pertanyaan salah satu peserta diskusi. Barangkali terlalu dekat mikropon itu di mulutnya sampai apa yang dibicarakan menjadi tak jelas, tak sempat terekam. Ada juga pertanyaan tentang seberapa pengaruh Saut terhadap Thendra.

Tema-tema yang diangkat Thendra sedikit banyak mungkin memang mirip dengan Saut. Tema dimana-mana memang bisa sama tetapi kata Saut yang berbeda adalah phrasing-nya, bagaimana seorang penyair mengekspresikannya.

Kembali lagi ke pembicaraan sampah koran minggu. Kata Saut lagi, mereka itu telah salah dalam melakukan eksperimen kata untuk bunyi. Mereka banyak menggunakan repetisi kata atau kalimat dalam karya-karya puisi di koran minggu. Namun, mereka menggunakan fomula yang gagal. Lisensia puitika tetapi gagal juga. Menyerap bahasa Jawa ke Melayu-Indonesia tetapi gagal lagi. Kesalahan ini menjadi sesuatu yang diulang-ulang dan secara tak sadar dianggap benar. Ini terjadi pada pengulangan kata untuk jamak yang seharusnya diulang secara utuh. Untuk menunjukkan banyak daun seharusnya ditulis dengan ‘daun-daun’ dan bukan ‘dedaun’. Kata ‘pepintu’ itu tidak ada karena yang benar adalah ‘pintu-pintu’.

Entah mengapa hal ini bisa terjadi. Mereka seperti ingin menciptakan neo-pujangga baru-isme dengan menciptakan efek bunyi pada kata yang mirip lagu. Dari kata, mereka ingin menciptakan efek bunyi seperti musik. Nada menjadi komposisi paling tinggi dan kata sepertinya ingin dipaksakan untuk bisa menyeimbangi nada.

Seorang penyair adalah kekasih kata. Ketika seorang penyair ingin melesapkan makna dari kata berarti ia tak lagi menjadi kekasih kata. Lebih kacaunya lagi, bahkan para redaktur koran minggu itu ada yang tidak menulis puisi. Tambah parahnya, para penyair ada yang menganggap status jurnalistik sebagai standar status estetik. Mereka tak bangga karyanya masuk KR tiap bulan, tapi bangga ketika bisa masuk Kompas setahun sekali. Semua puisi menjadi seragam padahal redaktur koran minggu banyak yang mempropagandakan pluralisme. Kalau tak percaya bisa dicoba. Sekali-kali tulislah puisi bernada protes seperti puisi Wiji Thukul, bisa dijamin tak akan masuk koran. Sementara itu, ketika kau tulis puisi tentang diri sendiri, pasti masuk.

Pertanyaan lagi tentang apakah Thendra berhasil memasukkan kritik sosial dengan gayanya? Alwi kemudian menjawab bahwa kata ‘tambang’ yang digunakan, mungkin menjadi haram bagi banyak MNC di Indonesia, jarang juga digunakan oleh penyair. Kulon Progo mungkin banyak dilukiskan dengan pantainya yang indah tapi jarang yang mengangkat ironi pasir besi, misalnya. Thendra telah berhasil menggunakan ironi sebagai poetry device. Puisi-puisinya datang dari satu tradisi dan ironi-ironi yang digunakannya bisa sampai ketika ia bisa memilih diksi-diksi yang justru haram.

Kata Thendra tentang puisinya yang mirip Saut itu, semua orang pernah terluka tapi yang menjadikannya beda adalah bagaimana mengungkapkan luka itu. Dia mengaku belajar dari Saut tapi tak merasa terpengaruh dengan Saut. Puisi-puisi Saut, juga khasanah pengatahuan dunianya telah ikut membuatnya kaya.

Saut menyahut bahwa isu pengaruh itu menarik, seperti dalam kumpulan puisinya “Saut Kecil Bicara tentang Tuhan”. Ada semacam kecemasan tentang pengaruh. Seorang penyair bisa beranggapan bahwa supaya dia bisa hidup dalam puisi maka harus membunuh dewa-dewa mereka sebelumnya. Kecemasan ini khas dialami oleh kaum romantik sekitar abad ke-18 yang menentang habis rasionalisme pada abad sebelumnya (ini kalau saya tidak salah dengar).

Para penyair berambisi untuk menciptakan kredo sendiri dan menemukan orisinalitas. Jamal D. Rahman pernah bertanya kepada Sutardji, “semua gaya puisi telah ditulis, lalu saya nulis apa?” Sautlah yang menjawab, “Bunuh diri saja kau,” diiringi dengan derai tawa berat Saut dan yang lain.

Apa yang sudah dilakukan Saut adalah mencoba memasukkan semua penyair ke dalam dirinya dan kemudian memberinya nama baru. Inilah yang disebut sebagai intertekstualitas. Inilah yang disebut orisinalitas bagi Saut. Mencontek itu mungkin tapi siapa yang bisa mencontek. Mencontek adalah pekerjaan yang tidak mudah, bahkan Taufik pun hanya bisa plagiat. Pengaruh itu justru harus dimiliki oleh penyair.

Kekal kemudian menanggapi bahwa pasca ia menerbitkan buku, justru banyak hantu-hantu menggagu. Penyair muda sangat sulit untuk tumbuh menjadi dirinya. Ada sistem feodal yang telah diamini bersama, bahkan oleh beberapa jaringan sastra. Seorang penyair muda kalau harus berdiri bahkan harus menghancurkan dirinya. Koran minggu tidak hanya mempengaruhi tetapi juga menakut-nakuti dan akhirnya sampai pada yang merusak itu. Ia kemudian bercerita produktifitasnya ketika masih berada di kampung halaman dan sekarang entah kenapa malah menjadi tidak produktif, mungkin setelah mengenal Kompas juga. Yang mau jadi nabi menjadi semakin sulit karena harus menghadapi sabda nabi-nabi yang lain.

Saut kembali menyahut tentang sebuah jalan alternatif. Sebagaimana di Selandia Baru, dimana terdapat dua arus yang sama kuat antara sastrawan akademis dan satrawan kafe. Sastrawan akademis biasanya mempublikasikan karya mereka lewat majalah-majalah sastra sedangkan sastrawan kafe ini biasa membacakan sajaknya di kafe-kafe. Dua kubu ini memang saling berantem juga tetapi bisa bersama-sama berjalan dan sama-sama meriahnya. Tidak ada keharusan suatu karya diterbitkan. Ada semacam tradisi membaca karya secara lisan sebagai alternatifnya.

Para penyair yang tidak ingin memberhalakan sastra koran harus mampu menciptakan arus lain seperti live poetry. Sayangnya, tradisi ini belum terlalu kelihatan di sini. Bayangkan bagaimana meriahnya ketika para penyair bisa saling membacakan karyanya di kafe-kafe, di depan wanita-wanita cantik yang datang minum kopi. Arus ini bisa menjadi semacam perayaan bagi mereka-mereka yang ingin hidup di luar sastra koran. Lalu, ketika tradisi ini bisa berjalan di sini, sanggupkah para penyair itu tidak diundang ke acara-acara penerimaan hadiah sastra? Sanggupkah mereka untuk tidak dinilai dengan penghargaan-penghargaan? Memang ada persyaratan utama yaitu menjadi bintang merah komunis. “Hahaha....,” Saut kembali tertawa, kali ini lebih renyah.

Derai tawa berat Saut disahut yang lain. Saya menutup catatan kecil ini. Kembali merenung-renung. Perang kalian itu masih terlalu abstrak. Saya rasa biar saya di sini saja. Belum waktnya saya ikut perang-perangan sementara persoalan puisi saya pun belum terselesaikan. Benar juga, bagaimana ingin berkata kalau masih banyak persoalan dengan kata? Bagaimana mau maju perang jika tak punya senjata? Saya merasa tak pernah cukup hingga tak pernah berani keluar. Dan saya juga belum memutuskan akan berdiri di kubu yang mana. Akan saya leburkan saja dua kubu itu jadi satu dan menjelma puisi Ratna. sementara itu, biarlah saya melanjutkan ini dulu, mencari diri sendiri dengan lirisisme, romatisisme, puisi-puisi gombal tentang kesepian yang kekanak-kanakan.

Puisi adalah ekspresi. Tak ada yang salah dengan semua puisi. Berat memang ketika membawa kuasa dan politik dalam puisi. Akan ada yang dominan dan akan ada yang menjadi korban. Pasalnya, hukum alam memang mengatakan demikian. Jangan-jangan yang menghegemoni itu tak sadar telah menindas belahan jiwanya. Biarlah dunia kalian menjadi seru dengan ramainya resistensi puisi-puisi anak muda penuh ironi. Biarlah bapak-bapak pembaca harian minggu sedikit dilenakan dengan sajak-sajak indah sastra koran. Bukankah itu baik juga menjadi hiburan setelah seminggu jadi buruh, nguli cari uang. Sayangnya, memang harus mencapai titik seimbang. Mengalahkan yang dominan memang tak mudah dan inilah yang sedang diperjuangkan para penyair muda di sini.

Tentang alternatif membacakan sajak itu, sepertinya dari dulu saya juga sudah sering melakukan. Sayangnya hanya didengar hujan, didengar malam.

Yogyakarta, 4 Mei 2011

Selasa, 03 Mei 2011

Pesta Makam Cintaku

Kau masih sunggingkan senyuman. Tak sungkan-sungkan memintaku membawakan sepasang kembar mayang di hari pernikahanmu. Biar kuhangatkan pestamu. Dengan butir-butir cemburu yang kuperam di balik matahari. Biar kubekukan pestamu, kekasih. Dengan taburan kamboja dari makam cinta yang kusimpan di kutub semesta.

Jika saja, kepura-puraan bisa terjadi begitu gampang. Betapa lega segala ini kulakukan tanpa pernah aku berkata.

Kekasih, aku masih seperti buta yang sengaja ngajak pengantinmu main petak umpet. Tentu kau tak akan pernah tahu, betapa sulit aku menemukan persembunyian. Karena setia, kau sembunyi itu tak akan pernah kuberitahu.

Kekasih, aku akan menjauh sejenak. Aku telah membuat yang seperti kau diingatanku. Semakin lekat diriku kepada kenyataan sampai kian jauh aku dari kau yang nyata sesungguhnya. Aku membuat tiruanmu dari jaya cerita sejarah masa lalu dan sisi-sisi palsu ini begitu menarik.

Selalu bisa aku menggambarmu dengan detail yang kukonstruksikan sendiri. Dari garis tepi kuku hijau hutanmu sampai lipatan lembut di wajahmu yang bergerak-gerak ketika kau berganti-ganti rupa. Sedih dan bahagia untuk siapa. Sepasang sayap kecil keluar dari punggungg langitmu. Hitam asap begitu pekat.

Negeriku adalah kekasih yang mencinta sekian juta manusia dari lain dunia. Rela meski bopeng bertopeng kepalsuan dan kebohongan. Bersetia pada para pengkhianat mengaku pecinta.

Aku masih menekuk mata. Memejam dan melihatmu membungkuk. Memintaku membawakan sepasang kembar mayang di hari pernikahanmu. Gunung emas dan timah. Mahar kehancuranmu untuk para pengantinmu itu.


1 Mei 2011

Senin, 02 Mei 2011

Mencari Chairil di Gerbong-Gerbong Kereta

Deru kereta membungkus sajak-sajak
Di Stasiun Tugu malam itu
Para penyair membaca kembali Chairil
Memunguti cinta, semangat dan romantisme tersisa
Zaman semakin menelan Chairil

Peluit berbunyi
Kereta menjelma bidadari tua
Jengah melawan suara-suara

Beragam sekali penyair yang datang malam ini. Sepertinya acara ini sengaja dibuka di ruang publik seperti stasiun macam begini. Biar sajak juga bisa dinikmati semua khalayak. Pembacaan puisi-puisi Chairil sedang digelar di sini, sebuah ruang terbuka hingga bisa dinikmati siapa saja, penumpang kereta dan orang-orang iseng seperti saya yang terpaksa harus masuk dengan membayar karcis peron. Para penyair satu demi satu membacakan sajak-sajak. Beberapa tetap dengan gaya seniman mereka. Membaca sajak sambil mengapit sebatang rokok di sela jari-jari mereka.

Penyair sekarang tambah aneh dan beragam saja. Atau yang saya lihat itu bukan penyair? Pokoknya yang datang di situlah. Seperti halnya kereta, barangkali mereka ini juga punya kelas-kelas tersendiri mulai kelas ekonomi sampai eksekutif. Dari yang saya lihat semalam, ada penyair gembel dengan kaos dan jins belel, rambut gondrong dan tas ransel melekat seperti menampakkan identitas seniman kepenyairannya. Ada yang menenteng kamera mahal kemana-mana, mengarahkan lensa dan membidik objek dari berbagai angle yang berbeda. Ada yang suka bikin puisi di angkringan kaki lima. Ada yang hanya bisa bikin puisi di kafe mahal. Padahal mereka sama-sama minum kopi juga. Ada yang membaca sajak lewat secarik kertas lusuh. Ada yang menghafalnya di luar kepala. Ada juga yang membaca sajak lewat BB-nya, perempuan berambut cepak yang melafalkan Chairil sebagai Cairil, bukan Kairil seperti kebanyakan disebut. Masih banyak ada-ada lain malam itu.

Kereta tiba setelah peluit berbunyi dan petugas mengumumkan kedatangannya. Ada yang berbisik pada saya bahwa Chairil sedang duduk bersama pemeluk teguh di salah satu gerbong itu kereta. Katanya, Ia akan menuju senja di pelabuhan kecil. Menemui “Aku”.

Stasiun Tugu, 28 April 2011

Ziarah Kubur Penyair yang Tak Pernah Mati

Di Bentara Budaya Yogyakarta, 27 April 2011, para seniman menziarahi kembali kenangan dan karya-karya Chairil Anwar si penyair besar. Obrolan digelar dengan tema “Chairil Anwar: Hidup dari Hidupku.” Hadir pula dalam acara ini anak perempuan Chairil bernama Evawani. Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, datang juga sebagai pembicara dan yang terakhir adalah Tia Setiadi, seorang esais dan penyair.

Acara dibuka dengan pertunjukan musik dari Untung Basuki bersama Sanggar Bambunya. Mereka membawakan musikalisasi puisi dari sajak “Di Tepian Brantas” karya Kirdjomulyo. Seiring lantunan musikalisasi puisi ini, foto-foto tafsir puisi Chairil jatuh beberapa. Tampaknya, Chairil sengaja datang menyaksikan bagaimana zaman ini mencoba untuk meminjam kembali semangatnya, di tengah puisi-puisi yang semakin tak puitis bertebaran dimana-mana.

Sepanjang denting gitar, pandanganku tak lepas dari Mbak Eva, tak menyangka kalau kesan saya tentang anak seorang penyair bisa dikacaukan dengan penampilannya. Zaman bergerak, berderak dengan suara yang semakin serak. Anak penyair itu ternyata sama sekali tak mewarisi bakat bapaknya. Padahal, keren juga kalau ada penyair perempuan seperti Chairil. Ah, kebanyakan penyair perempuan masih sentimentil dan melankolis sepertinya. Atau tak sadar saya hanya bicara tentang diri saya sendiri? Sepertinya yang terakhirlah yang benar.

Rambut dicat merah, bersepatu karet hijau model terbaru, memakai celana hitam dengan baju kuning bercorak bunga-bunga kecoklatan. Kacamata ditaruhnya di atas ubun-ubun kepala. Bibirnya merah sekali. Anak penyair itu melangkahkan kaki dengan sedikit pincang ke depan, duduk di bagian pinggir paling kiri setelah Pak Zawawi dan Tia Setiadi.

Untung Basuki masih melantunkan dua sajak berikutnya, “Sajak Kerinduan” dan “Elegi”. Masih ingat di telinga baris yang diulang-ulang dalam lagu Elegi dari sajak Linus Suryadi AG itu, “Pergi menggoreskan luka kembali.....”. Setelahnya, masih ada pembacaan puisi Chairil berjudul “Aku” oleh Anang Hanani, saya tak kenal juga siapa dia. Yang saya ingat adalah ekspresinya ketika membawakan sajak “Aku” dengan garang dan terlalu cepat. Tampaknya memang sajak ini yang saya kenal pertama kali, dulu.

Sepenggal Kenangan

Mbak Eva mulai dipersilakan untuk bicara setelah pembawa acara membacakan sajak Chairil berjudul “Doa”. Kenangan dan cerita-cerita kecil yang tersisa dari sosok Chairil mulai mengalir. Mbak Eva bukan penyair, dia bekerja di bidang hukum, menjadi notaris. Putri keduanya juga seorang notaris. Mbak Eva tinggal di Krawang dan putrinya di Bekasi, jadilah seperti sajak Chairil “Krawang Bekasi”. Mbah Eva ditinggal mati Chairil ketika dia masih kelas tiga es de. Ibunya kemudian menikah lagi dan nama Chairil dirahasikan dari putrinya itu. Suatu hari, buku Chairil diterbitkan dan dari situlah Mbak Eva tahu siapa ayahnya.

Mbak Eva melanjutkan cerita tentang rencana pemindahan makan Chairil dari Karet ke Krawang, mungkin biar Chairil bisa ikut merasakan berbaring bersama para pahlawan-pahlawan lain, tapi keluarga tak mengizinkan karena wasiat Chairil di salah satu puisinya, “di Karet-di karet daerahku yang akan datang”.

Chairil pernah bilang pada istrinya, kalau dia berumur panjang kepingin jadi menteri. Kalau dia berumur pendek, maka akan banyak orang yang akan berziarah ke kuburnya. Pada waktu itu masih dalam pemerintahan Belanda dan istrinya pun berkata, “boro-boro mau jadi menteri, malah masuk penjara.” Itulah sepenggal kisah yang pernah didengar Mbak Eva dari ibunya.

Chairil adalah orang yang sangat menggilai buku. Ia rela tak makan asal masih ada buku untuk dibaca esok. Bahkan, untuk sebuah buku, mencuri pun ia rela meskipun akan dikembalikan lagi ke toko setelah dibaca. Chairil menulis puisi secara otodidak, ia juga menguasai beberapa bahasa walaupun tak pernah menamatkan sekolahnya. Mbah Eva banyak juga mendapatkan cerita dari Asrul Sani dan HB. Jassin tentang ayahnya.

Cerita-cerita masih saja dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang dilontarkan pembawa acara. Hidup Chairil adalah hidup seorang seniman. Keluyuran setiap hari di antara stasiun Krawang dan Bekasi. Ia menikah ketika zaman perang, hingga harus melewati galengan atau pematang sawah hanya untuk bisa menikah. Bunga yang dipakai pada waktu itu adalah bungai teratai sampai setiap layu harus segera diganti dengan yang baru.

Meskipun dengan kehidupan ala seniman seperti itu, Chairil sangat menyayangi Eva. Ia seperti ingin membawa anak perempuannya itu pergi kemana-mana. Chairil ingin memiliki anak itu seutuhnya untuk dibawa berkelana. Ia sempat menculik anaknya sendiri. Bahkan, keluarga mengancam akan melaporkannya ke polisi. Dari tulisan Nasjah Jamin, pernah diceritakan bahwa ketika Chairil sedang sendiri, matanya berkaca-kaca, berbisik menyebut nama anak dan istinya.

Chairil hanya meninggalkan sebuah radio tua. Tapi, dari banyak cerita ini, Mbak Eva merasa sangat bangga terhadap ayahnya. Bersyukur sekaligus sedih juga kenapa dia yang hanya anak satu-satunya tak dituruni bakat ayahnya itu.

Entahlah, cerita ini terasa garing. Padahal, saya pun tak juga begitu mengenal Chairil. Hanya puisi berjudul “Aku” dan “Doa” saja yang masih sedikit teringat karena pernah saya bacakan ketika lomba baca puisi waktu kecil dulu. “ra kenal Chairil kok ngaku penyair,” saya mengejek diri saya sendiri. Saya mengaku memang tak begitu punya kemampuan untuk menyerap zaman dan bacaan-bacaan, atau saya tak menemukan, atau jangan-jangan...ah sudahlah, saya tak ingin berprasangka yang bukan-bukan tentang diri saya sendiri.

Wajah Chairil di Zaman ini

Inilah yang akan disampaikan oleh Tia Setiadi. Bagaimanakah Chairil di masa sekarang? Maka, dimulailah sebuah cerita.

Pada tahun 1946, ada seorang perempuan Amerika melakukan perjalanan dengan kereta dari Yogyakarta menuju Jakarta. Tiba-tiba, seorang pemuda berpakaian lusuh menghampirinya dan mengajak bicara. Ternyata perempuan itu adalah istri dari penyair besar Amerika, Ernest Hemingway.

Pemuda itu mengajaknya berdiskusi tentang kebudayaan Amerika. Tidak hanya menguasai soal kebudayaan secara umum saja, tapi juga mahir membicarakan pengarang Amerika, termasuk suaminya. Pemuda itu memahami setiap apa yang dikatakannya dan bicara dengan nada berapi-api. Istri Ernest Hemingway ternyata terus mengenang moment ini sampai di bawanya pulang ke Amerika. “Kalau saja banyak pemuda seperti itu, betapa hebatnya Indonesia setelah merdeka,” kata istri Ernest Hemingway. Dan pemuda itu adalah Chairil Anwar.

Pada wkatu itu, ia berumur sekitar 24 tahun. Pertanyaannya adalah bagaimana ia belajar? Tia sudah membaca sekitar 20 buku tentang Chairil. Setiap orang memandang Chairil dengan cara yang berbeda di waktu yang berbeda pula hingga tercipta sekian banyak wajah Chairil di zaman ini.
Tia ingin berbicara beberapa hal tentang Chairil. Pertama adalah elan. Iwan Simatupang mengatakan bahwa Chairil tidak hanya seorang pribadi yang kuat tetapi juga eksplosif seperti gunung berapi. Dari dirinya memancar kecerdasan, kegelisahan, ia terus bergerak dan bergerak dengan sangat cepat hingga akhirnya hilang.

Chairil adalah orang yang kuat berjalan kaki semalam suntuk sambil bicara. Hidupnya adalah membaca untuk kemudian dikeluarkan kembali lewat diskusi dan dituliskan dalam puisi-puisi. Alasan inilah yang mendasari sebuah pembelaan Asrul Sani terhadap Chairil dengan sajak “Krawang Bekasi” yang pernah dituduh plagiat dari sebuah sajak Amerika. Chairil adalah orang yang sangat cepat mencerap hingga tak sadar dengan apa yang dituliskannya. Secara pribadi, Tia pun memaafkan ketidaksengajaan ini.

Chairil juga seorang pemburu buku. Seorang Chairil mungkin hanya bisa dilahirkan di Jakarta dengan segala buku-buku yang bisa diakses hanya di ibu kota. Ia bisa menjadi Chairil karena telah menemukan buku-buku yang tepat. Kartini tidak bisa menjadi Chairil karena tidak menemukan buku-buku yang tepat. Buku yang dibaca tentu akan mempengaruhi apa yang dilahirkan oleh seorang penyair. Karena buku-buku yang tidak tepat, penyair sekarang tak bisa lagi membuat sajak semacam “Aku”. “Jadinya sekarang ya seperti buku ayat-ayat itulah....”, kata Tia sambil bercanda.
Chairil juga seorang yang memiliki etos kerja tinggi. Ia selalu terobsesi untuk terus berkarya. Hampir tidak ada seorang penyair yang menuliskan otokritik terhadap dirinya sendiri sebanyak Chairil. Ia terus saja merasa kurang. Sajak-sajak baginya adalah eksperimen dan hanya beberapa saja yang menurutnya berhasil.

Chairil adalah seorang yang romantik. Ketika Asrul Sani melakukan kritik terhadap dirinya dan Chairil tak sependapat dengan kritik itu, mereka saling bicara, di sebuah jalan yang berbeda, saling berteriak dan di ujung jalan itu, mereka berpelukan mesra.

Ada yang bilang kalau Chairil dipengaruhi oleh Rilke. Beberapa surat atau pidato dari keduanya memang kadang mirip karena ditujuan untuk perempuan, meskipun dengan arah pembicaraan yang berbeda.

Sitor Situmorang pernah menyatakan bahwa angkatan pujangga baru seperti STA adalah generasi yang cukup ilmu tapi kurang elan, sedangkan angkatan ’45 seperti Chairil, Asrul Sani, adalah angkatan yang cukup elan tapi kurang ilmu. Masa revolusi adalah hari-hari yang gelisah hingga tak cukup punya waktu untuk duduk menghadap meja. Ilmu membutuhkan objek dan objek ilmu adalah masyarakat. Sedangkan pada waktu, masyarakatnya masih terlalu sederhana.
Bagaimanakah dengan generasi sekarang? Apakah sudah cukup ilmu? Cukup elan?


Mengagumi Chairil

Berikutnya adalah giliran Pak D. Zawawi Imron. Singkatan di huruf D masih saja dirahasikan. Tapi kata Pak Zawawi, huruf D itu bebas saja kalau mau diterjemahkan sebagai “dinosaurus”. Hehehe... Tanggal lahir Pak Zawawi tak juga diketahui. Tapi katanya, ia lahir di zaman Jepang ketika belum mengenal nama-nama bulan tahun masehi. Yang diketahui hanya bahwa ia lahir pada tanggal 25 Ramadhan, dengan begitu, sambil berkelakar, “setiap orang bisa kasih kado ulang tahun kapan saja buat saya.” Beberapa kumpulan puisinya adalah “Bulan Tertusuk Ilalang”, “Nenek Moyangku Air Mata”, “Celurit Emas”, dan sebagainya. Banyak lah pokoknya.

Ketika harus berbicara tentang Chairil, Pak Zawawi merasa bagai embun yang harus bicara tentang luasnya samudra, bagai selembar daun yang harus berkata tentang luasnya hutan. Pak Zawawi mengaku bukan seorang kritikus tapi hanya seorang pengagum sehingga sulit mengadakan kajian kritis tentang karya Chairil. Ia memilih menjadi penghayat, daripada merasa benar di jalan yang sesat lebih baik merasa sesat di jalan yang benar. Chairil adalah orang hebat. Di usianya yang hanya 26 tahun 9 bulan itu, ia telah berhasil menjejakkan kakinya di bumi Indonesia dan jejaknya tak mungkin terhapus.

Syahrir adalah pengagum Chairil. Soekarno bahkan pernah bilang dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964 yang judulnya berarti “Nyeremet-Nyerempet Bahaya” itu. Pak Zawawi kemudian menirukan gaya pidato Soekarno yang kurang lebih isinya; “Chairil mau hidup seribu tahun lagi. Soekarno mau hidup seribu tahun juga tapi 100 tahun pun belum tentu bisa, tapi cita-citaku untuk bangsa Indonesia akan ditanamkan sampai seribu tahun lagi.....” Tepukan tangan orang-orang langsung membahana setelah Pak Zawawi menirukan gaya Soekarno dalam pidatonya.

Ketika Tia di atas berbicara tentang elan, tak jauh beda Pak Zawawi mengungkapkan tentang apa yang disebutnya vitalitas yang dimiliki oleh Chairil. Chairil memiliki daya hidup yang luar biasa. Hidup tak boleh disia-siakan. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasad dan karya. Tapi Chairil mengatakan, “Sekali berarti, sudah itu mati.”

“Sekali berarti, sudah itu mati. Kalau cuma jadi koruptor tak usah lahir sekalian, mendingan ikut kencing ayahnya. Jangan percuma hadir di dunia, hidup harus bermakna dan bernilai. Hidup dengan tingkah laku yang bisa menyenangkan orang lain. Semangat inilah yang menjadikan Chairil bisa bangkit dan menjadi penafsir zamannya,” kata Pak Zawawi.

Kalau kata orang jawa, ngerti sak durunge winarah. Chairil pun sebenarnya telah menuliskan sesuatu sebelum itu terjadi. Puisi “Aku” dibuat tiga tahun sebelum kejadian yang sebenarnya. Entah ini apakah bisa disebut inspirasi karena selain Chairil tidak ada yang pernah mengatakan demikian. “Seandainya, semua yang sedang tidur di taman makam pahlawam itu dulunya seperti Chairil,” kelakar Pak Zawawi kembali. Penyair satu ini sepertinya jago mbanyol juga.

Chairil bisa disebut sosialis kalau menyangkut bangsanya. Di sisi lain, ada juga puisi-puisi kamar yang ditulis dengan sangat lembut seperti “Cintaku Jauh di Pulau.” Puisi Chairil adalah lukisan kepadatan jiwa, seperti halnya yang terlihat dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil.” Mirip juga dengan puisi Sapardi yang berjudul “Dalam Diriku.” Hal ini sesuai dengan teorinya Iqbal bahwa merdu suling bukan dari gesekan udara dan bilah bambu, melainkan dari getar hati peniupnya, demikian juga dengan puisi-puisi Chairil. Ia punya getaran batin sampai tahap meleburnya hamba tuhan dengan keindahan. Getaran ini bisa dirasakan dari puisi “Doa”, diumur 23 tahun Chairil telah bisa menciptakan puisi dengan kepadatan jiwa seperti ini.

Mbak Eva menambahkan cerita ketika ia bertemu dengan Sri Ayati. Ternyata gadis yang pernah ditaksir Chairil itu tak pernah tahu bahwa Chairil pernah menyukainya sampai terciptalah sajak indah berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”.

Yang Mau Tahu Lebih Soal Chairil

Sesi diskusi pun dibuka. Namun, tak ada satu pun tangan diangkat untuk bertanya. Pak Zawawi kemudian membacakan salah satu pidato Chairil. Sebuah pidato tapi sangat puitis, karena saat ini banyak yang disebut puisi tapi tidak puitis, katanya. Sebuah pidato yang memuat persayaratan-persyaratan berat bagi seseorang ketika ia ingin menjadi penyair. Bagaimana seorang penyair bisa menjadi penafsir dunia dan membuat dunia-dunia baru, dunia puisi dan dunia penyair itu sendiri.

Pak Untung Basuki bertanya tentang latar belakang diciptakannya puisi “Aku” dan “Cerita Buat Dinta Maela”. Pak Zawawi menjawab bahwa ia lebih suka membaca puisi Chairil sebagai teks, meskipun tentu saja ada cerita di balik tercipatanya sebuah puisi. Memang banyak cerita di baliknya, yang tak enak juga ada. Namun, sajak “Aku” menjadi tidak sederhana, ia tidak hanya lahir dari pribadi seorang Chairil, tetapi pribadi orang Indonesia pada saat itu. Pengalaman pribadi yang menyakitkan berbaur dengan rasa sakit bangsa yang sedang dijajah dan ingin merdeka. Maka, jadilah puisi penuh semangat yang akan tetap abadi lebih dari seribu tahun lagi.

Seorang perempuan mengungkapkan rasa khawatirnya terhadap kehidupan sastra dan budaya Indonesia. Akankah Chairil bisa seribu tahun lagi? Ketika Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin sedang sekarat, ketika kebudayaan Indonesia banyak diakui oleh negara lain, ketika anak-anak lebih memilih belajar bahasa Inggris dan Mandarin daripada bahasa ibunya sendiri, akankah Chairil bisa hidup seribu tahun lagi?

Pak Zawawi menjawab pesimistis ini dengan sangat optimis. Ketika orang Indonesia sudah melupakan Chairil, maka jangan khawatir. Di belahan dunia lain masih akan ada yang tetap mengenangnya sebagai penyair besar. Karya-karya Chairil saat ini tersimpan rapi di salah satu perpustakaan besar di Amerika. Malaysia pun adalah pengagum Chairil.

Harapannya, Pusat Dokumentasi Sastra itu dijadikan musium saja, seperti musiumnya Basuki Abdullah. Dengan adanya musium sastra HB jassin, maka Chairil akan tetap bisa hidup dan dikenang selamanya. “Kalau masalah PDS, saya yang seharusnya khawatir karena karya saya juga ikut disimpan di sana, hehehe. Maka optimis sajalah. Memang dibutuhkan kerjasama, pemahaman bersama, bagaimana menghidupkan budaya Indonesia. Jangan sinis duluan lah..,” kata Pak Zawawi dengan logat khas Maduranya.

Seorang lagi bertanya tentang polemik sastra Chairil dan STA. Menurut Pak Zawawi, Chairil memang lebih vitalistik. Ia mampu menggetarkan dunia dengan sajak-sajaknya. Tak akan cukup waktu untuk membahas polemik kebudayaan di sini, di bukukan saja sudah setebal itu. Chairil adalah pewaris kebudayaan dunia, tapi tidak kehilangan budaya Indonesia-Melayunya. Chairil juga memiliki visi kebudayaan yang lebih jelas. Sedangkan STA, yang terkenal mungkin hanya majalah Pujangga Baru dan novel “Layar Terkembang”. “Orang boleh tua karena usia, tapi ia bisa tetap muda karena menjadi penyair dengan puisi-puisi yang selalu baru,” kata Pak Zawawi.

Tia ganti menjelaskan bahwa puisi Chairil mungkin memang bersifat personal, tapi dia bertaut dengan zamannya. Chairil adalah pencerap zaman yang sangat laik. Apabila ingin melihat orientasi budaya Chairil, maka tidak bisa dilepaskan dari konteks—orang sezamannya sebelum atau sesudah kemerdekaan. Orang-orang itu berada dalam kultur hibrid. Indonesia sendiri sedang dalam proses menjadi. Kebudayaan pribumi mengalami percampuran dengan kebudayaan Belanda. STA ketika melihat pilihan antara tradisi dan modernitas, ia memilih modernitas, tapi sepertinya hal ini belum dilakukan pada karya-karyanya.

Sedangkan Chairil, ia memang tidak punya cukup waktu untuk melakukan banyak hal, tetapi sudah dilakukan dalam karyanya. Chairil memiliki visi modernitas yang dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa, lebih sempit lagi adalah Eropa Barat, lebih sempit lagi adalah Belanda. Namun, Chairil juga sangat memahami budaya Ambon. Ia adalah generasi manusia perbatasan. Sama halnya dengan Sitor Situmorang dan Ajip Rosidi yang juga bimbang dengan dunia itu.

Pertanyaannya kemudian adalah, sekarang kita mau kemana? Sudah banyak yang terjadi dan
mengakibatkan pergeseran peta budaya dan sastra. Seperti hadirnya pusat-pusat baru kebudayaan, dan Chairil mencoba untuk masuk dalam pusat-pusat itu.

Hal yang lebih penting lagi adalah sunbangan Chairil terhadap bahasa Indonesia. Tia mencontohkan bagaimana Chairil dan STA sama-sama membuat sajak tentang senja. Hasilnya ternyata sangat berbeda. STA lebih pada lukisan yang indah-indah, romantik, seperti hanya ada dalam mimpi. Sedangkan Chairil, melihat alam dalam sajaknya secara realis dan itu baru pertama kali. Bahasa Indonesia tanpa Chairil mungkin akan berjalan ke arah lain. Ketika penyair banyak bicara tentang takdir dan nasib, Chairil berkata bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing dan ini baru pertama kali juga dituliskan. Pak Zawawi menambahkan bahwa Chairil menggunakan bahasa dengan sebebas-bebasnya. Ia tidak menulis kata yang telah dituliskan oleh penyair sebelumnya.

Solilokui

Sebelum acara ditutup, saya sudah pulang duluan. Sudah senang hanya melihat para penyair yang saya kenal meski mereka tak mengenal saya. Ada penyair yang menuliskan pesan sangat panjang di inbok facebook saya itu, ada cerpenis yang dulu pernah mengajak saya ngobrol karena melihat saya yang terus menulis selama acara berlangsung, tentu dia sudah lupa. Ada yang sering saya lihat membaca puisi itu, ada juga yang mungkin sudah menuliskan komentarnya di blog, itu juga kalau saya tak salah lihat. Wajah-wajah yang memang seperti sangat dekat.

Pulang. Saya jadi ingin menziarahi kubur puisi-puisi saya sendiri. Ah, tentu hanya kebanyakan sajak kamar yang sentimentil saja. Puisi-puisi yang hanya terkubur di buku catatan. Saya tahu mereka ingin dibaca orang. Tapi bagaimana lagi, harus kemana puisi ini saya bawa berlari? Sementara kaki penyairnya enggan menjejak jalan kepenyairannya sendiri. Penyairnya hanyalah orang yang gamang. Gamang berjalan. Gamang merambahi dunia baru. Gamang hanya berada dalam dunia yang diciptakannya sendiri dalam puisi-puisi. Gamang dan tak juga ada yang diputuskan.

Seperti laba-laba yang tak mengerti cara merajut jaringnya sendiri
Lapar tak bisa menjerat puisi.


Kamar Gelap, 29 April 2011