Jumat, 25 November 2011

Dongeng Senja Max Lane

Sejarah atau ‘His’story

Sesi kuliah di ambang senja, begitu muram ketika mata tak mampu menahan untuk memejam. Max Lane telah duduk di deretan kursi terdepan, menopang dagu dengan sebelah tangan sambil melirik kiri kanan kepada para mahasiswa yang berdatangan. Tak satu pun ada yang menemaninya. Seperti kelas kita tadi pagi kawan, seorang Max Lane pun menunggu para mahasiswa berdatangan memenuhi ruangan. Ruangan pun tak penuh. Barangkali banyak dari teman-teman tak bisa datang karena beragamnya kesibukan. Sementara saya masih sibuk melakukan perlawanan terhadap sikap infantil dan melankolia yang menyerang akhir-akhir ini. Mengapa orang ingin menari dan saya ingin menangis ketika mendengar lagu yang sama? Semoga tulisan ini sanggup menjadi koda dalam puisi saya selanjutnya. Karena saya adalah orang yang baik hati, maka akan sedikit saya ringkaskan isi kuliah ini. Maaf kalau mungkin sedikit ngawur dalam menuliskannya sehingga bahasa lisan Om Lane bisa tereduksi maknanya, bisa tak lengkap rekamannya.

Sayang sekali hanya sempat mengikuti kuliah terakhir. Tapi jangan khawatir, kemungkinan isinya akan sama dengan yang disampaikan Pak Ari dan Pak Har di kelas Kajian Politik Indonesia. Lalu apa yang menarik di sesi ini? Awalnya saya hanya sibuk mengamati. Beberapa orang malah asyik berbincang dengan teman sebelah sementara Pak Lane begitu saja dicuekin ketika bicara di depan. Padahal, mungkin banyak dari mereka, termasuk saya yang gagap dengan sejarah bangsa sendiri.

Om Lane kemudian mengawali kuliahnya dengan mengutip Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Inilah yang terus-menerus diulanginya selama kuliah. Sejarah manakah yang dimaksud Bung Karno sementara kalimat ini diucapkan pada tahun 1956an-1970an. Kemerdekaan Indonesia pada waktu itu masih menjadi peristiwa politik kontemporer dan belum menjadi sejarah. Barangkali yang dimaksudkannya adalah sejarah perlawanan terhadap Belanda. Makhluk yang hidup di Indonesia sebenarnya adalah hasil dari perlawanan. Sejarah kita adalah sejarah perlawanan. Seharusnya salah satu teman di kelas kita bisa ikut kuliah ini karena pengetahuannya tentang perlawanan mungkin bisa di-share dalam forum ini, asal menggunakan bahasa ‘sederhana’.

Berbicara tentang sejarah Indonesia, barapa persenkah yang berisi cerita zaman Orde Baru. Perubahan apa yang terjadi? Bagaimana gejolak-gejolaknya? Memori sejarah Indonesia menjadi sesuatu yang sangat dikuasai oleh sang penguasa. Kita bisa melihat bagaimana semua materi dan pengetahuan umum tentang sejarah diproduksi oleh pusat sejarah milik militer. Semua disusun atas petunjuk pusat sejarah tersebut. Sejarah yang dituliskan kemudian hanya bercerita tentang sejarah para pemenang dimana pertarungan dimenangkan mutlak oleh satu kubu.

Kita belajar sejarah dari es de sampai kuliah master begini. Lalu apakah ini benar-benar sejarah? Pak Dhe Lane kemudian menceritakan satu lagi keunikan. Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak mempunyai pelajaran Sastra Indonesia. Hal yang diajarkan di sekolah adalah Bahasa Indonesia, bukan Sastra Indonesia. Kita tak pernah diwajibkan membaca 10 novel, 10 drama, 50 syair seperti apa yang dilakukan di lain negara. Kita hanya diminta untuk menghafalkan novel apa, pengarangnya siapa, dan diterbitkan oleh siapa pada tahun berapa. Tak pernah substansi dari karya-karya tersebut diperbincangkan dan diperdebatkan di kelas.

Sastra adalah mekanisme utama untuk merekam ingatan sejarah. Kita bisa membaca Tolstoy yang menyampaikan keluhan-keluhan kaum tertindas dalam karya-karyanya yang luar biasa. Ia menulis The Cossacks dan mahakaryanya War and Peace (1862-1869) yang menggambarkan kejadian pada masa pendudukan Napoleon dan kekaisaran Russia pada PD I tahun 1812. Novel itu sekaligus membuktikan bahwa Tolstoy adalah juga seorang penulis yang dapat melihat sisi-sisi dari sejarah yang tak disadari orang lain. Kita bisa melihat Walt Whitman yang dalam syair dan biografinya berceceran sejarah Amerika. Sastra mampu menjadi hasil proyeksi dan perekam perubahan-perubahan yang bergerak di sekitar para penulisnya. Kita punya Pramodya, Tan Malaka, Multatuli tapi percuma karena tak banyak dari orang Indonesia yang membacanya. Kapitalisme cetak selalu berada dalam mekanisme kontrol budaya sejak zaman kolonial.

Sebenarnya saya ingin membahas kapitalisme cetak zaman kolonial yang sangat di dominasi oleh Balai Pustaka. Keberadaan Balai Pustaka sekaligus membantu perkembangan wacana tentang literatur yang “boleh” dan “tidak boleh” diakses oleh masyarakat. Dalam ranah kesusastraan dapat ditemukan adanya karya-karya yang digolongkan sebagai “roman picisan” dan “bacaan liar”. Sastra mampu menawarkan akses dalam bentuk berbeda ketika bacaan politik dilarang. Ini juga terjadi dalam era rezim Orde baru ketika Seno Gumira Ajidarma menerbitkan karyanya, “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”. Mungkin lain kali saja karena sejak tadi saya semakin menarik diri ke sastra daripada menuliskan penjelasan Om Lane. Saya ini mungkin keturunan Narciscuss yang memberikan perhatian kuat dan terus-menerus pada kebutuhan dan ketertarikan tertentu. Jadi, mohon segera diingatkan kalau saya sudah terlalu lama melihat bayangan sendiri dalam cermin.

Ingatan tentang sejarah memang perlu digali, dipelajari dan bukan sesuatu yang bisa diwariskan secara genetik. Berkuasanya satu rezim ini bahkan mampu mengkonstuksi semacam mental otomatis, semacam gorvern mentality dalam istilah Foucoult. Sejarah di Indonesia menjadi semacam hegemonic periodisation, dalam istilah Om Lane. Satu periode sejarah akan dibahas dalam satu pertemuan kuliah. Pertarungan memang terlalu lama dimenangkan oleh satu kubu yang kemudian sangat berperan menentukan masa depan negeri kita sampai sekarang.

Indonesia: Industrialisasi Tak Pernah Jadi

Bung Max Lane kemudian kembali melanjutkan kuliahnya. Pemaparannya kali ini tentang sejarah kasta ke kelas patron, munculnya kelas patron dan sejarah budaya serta mental yang melingkupinya. Istilah kasta berasal dari negeri-negeri yang sebagian besar menganut agama Hindu. Kasta berhubungan dengan fungsi sosialnya di masyarakat, bukan sekadar karena keturunan. Pendeta, pada waktu itu menguasai semua ilmu pengetahuan tertulis sedangkan rakyat biasa hampir semuanya buta huruf. Ksatria berfungsi untuk memegang senjata. Fungsi yang melekat itulah yang kemudian menjadi sumber kekuasaan.

Hal ini berbeda dengan istilah kelas. Ilmwuwan sosial mendefinisikannya secara berbeda, terutama Max Weber dan Karl Marx. Pak Lane kemudian bercerita panjang tentang sejarah industrialisasi di Eropa, bagaimana kelas Aristokrat dengan basis tanahnya kemudian bersaing dengan para pedagang dengan kapitalnya. Di mulailah babak sejarah tentang revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang tentu kalian semua sudah sangat memahaminya.

Bagaimana dengan Indonesia? Om Lane bercerita pengalamannya masuk ke sebuah pabrik garmen besar di Jakarta. Ada sekitar tiga ribu orang yang bekerja di sana dengan teknologi paling modern. Teknologi yang dimaksud adalah mesin jahit singer, dimana seorang pekerja duduk di satu meja dihadapan satu mesin jahit dengan bahan-bahan pakaian yang menumpuk di sebelahnya. Ini bukan industri. Sangat sedikit sekali industri bisa berkembang di Indonesia. Industri seharusnya mampu menggantikan tangan sedang di Indonesia hanya ada manufaktur yang masih menggunakan tangan.

Ekonomi Indonesia kalau dalam istilah Om Lane disebut sebagai ‘ekonomi ojek’. Bandingkan produktifitas tukang ojek dengan sopir bus yang bisa mengangkut sekian banyak orang dalam waktu yang sama. Sifat kelas kapitalis di Indonesia sangat sedikit yang berskala nasional. Kelas kapitalis yang ada hanyalah kapitalis dalam negeri berisi para pengusaha lokal. Pertumbuhan ekonomi, angka GDP Indonesia sebenarnya mirip dengan Australia tapi bandingkan dengan jumlah penduduknya yang sepuluh kali lipat itu. Pada intinya, kelas kapitalis Indonesia dapat dikategorisasikan dalam tiga kelompok; segelintir kepitalis besar seperti Bakrie, Paloh, Keluarga Cendana; lautan perusahaan-perusahaan kecil; dan kapitalis luar negeri, terutama Jepang dan Amerika Serikat. Lautan kelas kapitalis kecil di Indonesia itu terus saja bertambah jumlahnya tetapi bukan bertambah besar skalanya.

Dari aspek budaya, industrialisasi memunculkan perbedaan kelas sosial sangat tajam. Pembilahan ini memunculkan serikat buruh yang berurusan dengan pemilik perusahaan melalui negosiasi atau bahkan konflik. Dua kubu itu pun terrepresentsikan dalam partai politik. apabila yang satu berkuasa maka yang lain mengambil peran oposisi. Indonesia memang memiliki struktur masyarakat yang terbilah jelas dalam bidang ekonomi. Tetapi dalam politik dan budaya, keterbelahan itu tidak terlalu jelas. Parpol semakin lemah sementara golput justru menguat. Tak banyak dari kita yang bisa dengan spontan mengidentifikasikan diri dengan partai tertentu. Tidak ada kesan adanya pemimpin politik yang baik, bahkan sebagai patron pun dia tidak bisa terlihat baik.

Kalau kita sedikit mengingat kembali, zaman dahulu kala Indonesia mempunyai organisasi massa yang kuat seperti Sarekat Islam. Pada puncaknya organisasi tersebut mampu menjadi organisasi massa modern paling besar di seluruh dunia. Pada masa ini, rakyat tidak memiliki organisasi massa yang kuat. Ada yang pura-pura membentuk oraganisasi massa tapi pada ujungnya malah menjadi partai juga.

Om Lane melanjutkan dongengnya tentang fase sejarah Orde Baru. Saya mulai menguap. Cerita masih berlanjut mulai dari konsolidasi sampai perlawanan-perlawanan yang terjadi pada masa Orde Baru. Mulai dari bangkitnya lagi PKI tahun 1968 kemudian direpresi sedemikian rupa, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa pada tahun 1970an, peristiwa Malari, gelombang demonstrasi kedua tahun 1978, manifestasi perlawanan Rendra dengan sajak-sajaknya, peristiwa Jogja, dan serentetan kejadian-kejadian panjang. Kuliah ditutup dengan cerita tentang gerakan Mega-Bintang-Rakyat pada pemilu Mei 1997.

Betapa banyak ingatan yang perlu digali lagi dari buku-buku sejarah yang memang harus benar-benar menampilkan sebenar-benarnya sejarah. Sebuah bangsa pasti memiliki ingatan kolektif, bagaimana ingatan tersebut dikonstruksikan oleh penguasa lewat berbagai hal yang mungkin tidak kita sadari. Ben Anderson telah memberi celah perspektif bagaimana kekuasaan dan perlawanan dimanifestasikan, bahkan melalui kartun dan monumen. Martin and Deutsche mengembangkan teori kausal ingatan dimana pengalaman masa lalu bisa beroperasi secara kausal dalam menghasilkan keadaan-keadaan yang menghasilkan pengalaman rekolektif masa kini. Maka, baginilah kita. Jejak-jejak ingatan terpotong dan jembatan temporal telah direkayasa sedemikian rupa. Ingatan itulah yang perlu dilacak dalam keseluruahan narasi melewati rute ruang dan waktu. Tak layak untuk meninggalkannya, meski hanya sebuah jejak.

Kamar Kost, 24 November 2011

Sabtu, 05 November 2011

Membaca Panggung: Meraba ‘Diri’ Para Pecinta Korea

Aku berpikir di mana aku tidak ada, karena itu aku ada dimana aku tidak berpikir. Apa karena yang berpikir menggantikan aku lalu aku menjadi yang lain?
(Jacques Lacan)


Rasanya tak cukup waktu untuk melihat lebih dalam. Dua hari berada dalam kerumunan para pecinta Korea di Korean Day UGM, 1-2 November 2011 memang belum bisa mengatakan apa-apa. Setidaknya, ada sesuatu yang menjadi lebih jelas dan mungkin bisa menjelaskan tesis seorang teman tentang hegemoni simbolik dari beberapa icon yang diidentifikasikan sebagai bagian dari budaya Korea. Penting untuk memperjelas bahwa istilah Korea yang dipakai merujuk pada sub budaya pop tertentu seperti cover dance competition yang menjadi salah satu bagian acara. Cover dance adalah istilah yang digunakan untuk tarian yang meniru gaya boyband dan girlband Korea sebagaimana aslinya.

Kesempatan dua hari ini menempatkan saya dalam sebuah kolektifitas yang memiliki kesamaan nilai, ketertarikan, pemaknaan dan bersimpul pada satu idol figure yang sama. Dalam ruang gedung Purna Budaya tersebut, segala bentuk simbol saling berseliweran, berkelindan, tumpang tindih, berpotongan, bergesekan satu dengan yang lain. Kolektifitas membuat individu berada dalam sebuah struktur yang mau tidak mau akan ikut mempengaruhi tindakan. Saya sudah membuktikan, sebagai orang yang hanya tahu permukaan, tidak terjun terlalu dalam, dengan sedikit sensitifitas dan kepekaan, ternyata bisa ikut pula merasakan.

Kolektifitas yang dibungkus dengan hegemoni simbolik ini mampu membangun semacam ‘ruh’ yang menggerakkan individu-individu di dalamnya. Setiap individu mungkin telah menyaksikan tarian, lagu, atau video klip artis korea pujaannya itu ratusan kali. Tetapi, ketika berada dalam kolektifitas, satu lagu diperdengarkan dengan suara keras, musik menghentak dan tarian gadis-gadis ayu bergaya harajuku itu muncul, serentak sepertu ada gemuruh yang ingin meledak, lalu menjadi teriak, bersama-sama dengan sangat kompaknya. Teori kejangkitan barangkali bisa berlaku di sini. Saya bisa merasakan ‘sesuatu’ itu meski saya tak pernah lulus mata kuliah ‘Sujunisme’—istilah untuk pendalaman pengetahuan tentang salah satu boyband Korea bertajuk Super Junior—yang diberikan seorang teman. Perasaan ini sangat riil tetapi tidak dapat dikuantifikasi dan dilokalisasi. Ia bisa menjadi semacam ‘bukan sesuatu’ dalam hal ini.

Perasaan ini juga bisa dijelaskan dengan apa yang sebut Carl Gustav Jung sebagai bawah sadar kolektif. Bawah sadar bisa menjadi semacam lumbung yang menyimpan banyak kekuatan, simbol dan kearifan. Bawah sadar bisa menjadi sesuatu yang positif karena mampu memberikan energi yang bekerja demi harmoni setiap individu-individu. Diri sebagai sebuah pengalaman kolektif tidak hanya sebatas pada prokreasi tetapi kembali pada masing-masing individu ketika mereka mencobai banyak peran, berhadapan dengan orang dalam situasi yang berbeda-beda sampai menemukan siapakah “aku” yang riil. Hanya dengan luapan teriakan kolektif, orang-orang bisa menumpahkan segala sesuatu yang pada awalnya tertimbun, menyalurkan energi mereka dan menjaga kembali keseimbangan.

Hari kedua, ada sesuatu yang lain terlihat. Momentum hari sebelumnya ternyata tak bisa terulang. ‘Ruh’ kolektifitas tak dapat dirasakan lagi. Beberapa hal menarik justru muncul di sini. Acara dibuka dengan tarian tiga orang laki-laki yang gerak tubuhnya bisa jadi lebih lentur dari seorang perempuan. Mereka dengan fasih menirukan tarian SNSD—salah satu girlband Korea—lengkap dengan ekspresi dan gesture khas “kemayu”-nya.

Di atas panggung, mereka menampilkan apa yang diistilahkan Erving Goffman sebagai wilayah muka. Mereka tertarik dengan kostum, gaya rambut, aksesoris yang dipakai dan tentu saja sangat dipengaruhi Korea. Saya pun menduga, wilayah belakang mereka kemungkinan tak akan jauh berbeda. Mereka tidak akan dengan mudah menanggalkan peran mereka di atas panggung dalam kehidupan sehari-hari, apapun bentuknya. Makna simbol ditentukan tidak melalui proses yang soliter tetapi menitik beratkan pada interaksi. Banyak bentuk simbol masih dikenakan dan melekat meski dalam ranah-ranah privat dan mewarnai pula interaksi sosial mereka.

Simbol dalam bentuk icon-icon Korea yang telah memenuhi benak mereka menjadi semacam sentrum eksistensi dimana keberadaan mereka akan selalu dilekati oleh berbagai produk budaya tersebut. Idol figure menjadi semacam ideal ego dalam istilah Lacan yang dibentuk oleh tatanan simbolis yang lebih luas. Ketika mereka tampil sebagai artis idolanya dengan meniru semua gerakan, meraka seakan ingin bercermin dan melihat bayangan mereka sebagai orang lain. Meskipun demikian, berbagai penampilan dan simbol tersebut menunjukkan sintesis dimana individu diandaikan sebagai subyek yang aktif sekaligus sebagian dibentuk oleh berbagai proses hegemoni simbol dan makna yang berlangsung dinamis dan sangat cepat di luarnya.

Proses pendefinisian diri menjadi sangat beragam. Tatanan simbol dan makna yang belum menyelesaikan pertarungannya ikut membentuk identitas dan mendefinisikan diri seseorang. Berbagai proses ini barangkali menjejalkan riwayat panjang yang tidak mudah dimengerti orang. Ketika mengidentifikasi ‘diri’ sebagai bias Super Junior misalnya, ada banyak orang tidak bisa memahami pola interaksi simbol yang terjadi dalam kepalanya. Mereka tidak akan mengerti atau tidak bisa merasakan ‘ruh’ macam apa yang menancap kuat dalam otak karena memang berada dalam ranah ego yang berbeda.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana orang bisa memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam arus kesadarannya sendiri? Jawaban yang mungkin adalah menciptakan ruang-ruang intersubyektifitas. Hubungan dialektis yang diciptakan menjadi salah satu peluang dimana wacana, simbol, dan pemaknaan bisa diperebutkan dalam posisi setara.



Kamar Kost, 2 November 2011