Rabu, 28 Desember 2011

Manusia, Buku, dan Kereta

Jagad gedhe tampaknya memang mulai kacau. Musim dan cuaca sedang tak ingin berdamai. Manusia-manusia mulai merasa penat, lelah, jenuh, rusuh dan segala keluh menumpahi dunia hingga semakin lusuh. Demikian halnya dengan Cempluk. Jagad cilik-nya ikut merasakan sakit. Sudah dua hari ini demam menguasai tubuhnya. Kepalanya tak berhenti berdenyar-denyar seperti ingin meletupkan sesuatu. Maka, tak ada obat yang bisa menyembuhkannya selain rahim Si Mbok. Rahim Si Mbok memang tempat paling nyaman untuk kembali menyerap saripati kasih. Maka, kereta senja itu mengantarkan Cempluk kembali pulang. Cempluk selalu merasa tak sendiri dalam kereta, meski ia hanya satu-satunya penumpang. Kereta selalu memberinya kesan. Cempluk dan kereta sama-sama meraung dan menderu bersamaan selama perjalanan.

Cempluk duduk di gerbong paling depan. Dua kursi dekat pintu. Ia tak ingin merasa sendiri ketika duduk di empat bangku berhadapan sedang tiga orang lainnya saling mengenal dan bercerita sepanjang perjalanan. Cempluk pun mulai mengamati. Kereta semakin penuh manusia di akhir pekan yang lebih panjang dari biasanya. Satu per satu orang naik dengan menenteng lelah sekaligus keinginan untuk segera sampai tujuan. Seperti melihat banyak sekali dunia hanya dalam satu gerbong kereta. Dan kali ini Cempluk memutuskan untuk menceritakan orang-orang dengan buku yang mereka baca dalam kereta. Hanya gerbong itu saja karena pengamatan Cempluk tak akan menjangkau gerbong lain yang mungkin lebih penuh sesak dan cerita.

Gambar pertama yang ditangkap Cempluk adalah dua gadis remaja dengan komik jepang di tangan mereka. Judul-judulnya khas seperti ‘Falling from Heaven’, ‘Lover’s Piano’, ‘Hanna’s Card’, setidaknya itu yang bisa dilihat Cempluk. Dalam tas dua gadis itu sepertinya masih banyak menyimpan judul-judul sejenis. Menariknya, dua gadis ini adalah bagian dari keluarga muda. Dua orang tua dan tiga adiknya duduk di bangku berlainan. Dua gadis ini sama-sama menggunakan jilbab lebar. Begitu juga dengan ibunya. Jilbab yang dikenakannya lebih lebar lagi. Bapaknya berjanggut panjang. Tiga adik laki-lakinya bercelana dengan panjang tak sampai mata kaki. Setidaknya pakaian mereka masih berwarna-warni bukan yang serba hitam dan bercadar itu.

Lalu Cempluk pun mulai bermimpi. Dongeng apa sajakah yang dikisahkan sang ibu setiap malam? Cerita macam apakah yang selau diulang-ulang? Apakah mereka hanya mendengar kisah para nabi? Berapa jam kah waktu yang harus dan wajib dihabiskan untuk menghapal ayat-ayat suci? Apakah mereka bisa mendengar dongeng lain seperti Oedipus? Pernahkah mereka mendengar kutukan yang menimpa Sisyphus? Ah, Cempluk hanya bisa menebak-nebak tanpa mengerti apakah rumput harus berwarna hijau kalau ibu dan ayah mereka bilang begitu. Entah seberapa jauh anak-anak itu bisa bebas memilih menentukan warna rumputnya sendiri. Cerita macam apa yang akan selalu mereka ingat dan bawa hingga dewasa. Cempluk hanya bisa bertanya-tanya. Dan apalah arti cerita dalam komik-komik Jepang itu untuk mereka?

Di stasiun berikutnya, kereta berhenti dan seorang perempuan dengan berat badan hampir 200 kg naik. Perempuan itu dengan mudah menutup pemandangan tentang dua gadis pembaca komik itu dengan bersandar pada palang besi yang kebetulan berada di depan Cempluk. Perempuan itu membawa sebuah novel populer. Cempluk tak bisa melihat judulnya. Yang tampak kemudian adalah pandangan aneh dari orang-orang di sekitar. Seorang remaja di samping Cempluk bereaksi dengan langsung memandang teman di sebelahnya. Tak perlu bicara pun semua orang tahu apa makna mata dua teman yang saling berpandangan tadi dengan obyek si perempuan gendut. Yang lain sekilas tampak acuh, sekilas tampak memandang aneh, beberapa memandang sinis dan beberapa orang merasa kasihan saat perempuan itu kesulitan untuk duduk lesehan karena kursi telah penuh.

Perempuan gendut ini memang nyentrik. Dengan percaya diri ia memakai jeans biru tua dengan dua lipatan di bagian bawahnya. Kaos oblong berlengan pendek dan lebar warna senada. Aksesoris yang dikenakannya memang lengkap. Dari bawah, sepatu hak tinggi sekitar sepuluh centi berwarna ungu menyala. Jarinya dihiasi cincin kuning emas berantai hingga bisa melingkari jari tengah, manis dan kelingkingnya. Mirip punya Syahrini dengan batu hitam besar berkilau di tengah. Perempuan itu seperti tak peduli dengan mata-mata yang diam-diam memperhatikannya. Tetap saja matanya tertuju pada barisan kata dalam bukunya. Kata adalah salah satu tempatnya sembunyi, barangkali. Dengan begitu, ia tak perlu lagi berurusan dengan mata-mata orang. Cempluk sempat mengintip bawaanya yang penuh dengan pernak-pernik natal. Perempuan gendut ini bukan ingin mencari sensasi. Ia hanya ingin tampil dengan nyaman dan percaya diri. Entah dunia macam apakah yang kemudian menjadikannya obyek pandangan mata-mata manusia yang tak dikenalnya dan tak ingin pula dikenalnya.

Pandangan Cempluk beralih. Bocah itu sudah naik dari stasiun pertama. Tapi Cempluk baru bisa melihat judul buku di tangannya itu. sebuah buku bersampul merah dan putih dengan judul yang kalau tidak salah intip adalah ‘Pemikiran Karl Marx’. Bocah itu lebih mirip dengan anak es em a atau kalau tidak, ia adalah seorang mahasiswa semester pertama. Mungkin saja bocah ini sedang jatuh cinta pada pelajaran filsafat pertama yang diberikan kakak tingkatnya. Atau baru saja memasuki pintu kemana saja yang dikeluarkan dari kantung ajaib Doraemon dan mulai menyesatkan diri pada ide-ide yang disampaikan lebih mirip seperti propaganda. Menjadi menarik ketika mengkontraskan penampilan bocah itu dengan buku yang dibacanya. Gayanya lebih mirip dengan anak-anak gaul yang muncul di acara musik tiap pagi. Kacamatanya dibingkai lensanya berwarna hitam dengan tangkai berwana merah menyala yang mengait di dua telinganya. Memang tak ada yang salah dengan bocah itu. Anak gaul zaman sekarang memang harus tetap baca Marx.

Manusia memang tak pernah bisa menebak dengan pasti apa yang ada di pikiran orang lain. hanya bisa menebak. Itu saja. Satu lagi seorang penumpang kereta dengan buku di tangannya. Tampaknya ia sedang membaca novel lanjutan dari ‘5 CM’ yang fenomenal itu. Cempluk tak bisa dengan mudah membaca pemuda itu karena jaraknya terlalu jauh untuk bisa mengamatinya dengan detail. Kereta lama berhenti. Sangat lama berhenti. Laki-laki di bangku depan menoleh ke belakang. Cempluk menyesal kenapa ia tadi tidak duduk di dekat laki-laki itu yang ternyata bertampang lumayan. Ia mulai berimajinasi tentang episode pertama dalam drama Korea. Selalu saja ada cerita tentang pertemuan tidak terduga. Kereta masih berhenti. Menunggu kereta lain yang lebih ekslusif melintas terlebih dahulu.

Cempluk mengalihkan pandangan pada seorang ibu dengan sindrom parkinson dan anak laki-lakinya yang sepertinya juga berkebutuhan khusus atau istilah kerennya children with special need. Tangan sang ibu selalu bergetar tanpa bisa dikendalikan. Mereka beberapa saat lalu terlihat berdiri tanpa seorang pun yang mau menyerahkan tempat duduknya. Sementara si anak laki-laki itu sepintas akan terlihat jahat ketika selalu berteriak pada ibunya ketika berkata- kata. Cempluk tak terlalu jelas mendengar mereka bicara. Tetapi, ada seorang perempuan di sebelah anak laki-laki itu yang selalu mengajaknya bicara sehingga sang ibu tak dibentak-bentak lagi. Dunia macam apalagi ini?

Perempuan berjilbab di sebelah Cempluk mulai mengeluarkan buku. Ternyata buku motivasi berjudul ‘Kekuatan Berpikir Positif’. Entah sejak kapan buku-buku motivasi mulai laris di pasaran. Di buru manusia-manusia yang merasa lemah dengan tekanan hidup dan macam persoalan. Entah sejak kapan mereka begitu percaya dan menyandarkan diri mereka pada buku yang ditulis orang lain. Mereka tiba-tiba saja percaya bahwa buku-buku itu seperti bisa menyelesaikan persoalan, membangkitkan semangat, mendorong mereka untuk melanjutkan hidup. Entah bagaimana mereka percaya bahwa buku motivasi itu seakan-akan ditulis hanya untuk diri mereka sendiri. Padahal, buku itu dicetak ribuan eksemplar dan ditujukan untuk banyak orang dengan persoalan hidup yang sangat berbeda. Cempluk lagi-lagi tak mengerti.

Fragmen cerita dalam kereta itu dibungkus dengan soundtrack lagu dari anak-anak te ka di belakang Cempluk. mereka tetap menyanyikan lagu permainan yang sama. Lagu yang sama meskipun ribuah lagu pop telah diproduksi di negeri ini. Lagu anak-anak yang dinyanyikan tetap sama dengan apa yang Cempluk lagukan sewaktu kecil. Dengan saling bertepuk tangan dengan teman di sebelahnya,


Donal bebek mau kemana? Mau ke pasar
Membeli apa? Membeli baju
Warnanya apa? Warnanya putih
Putih-putih melati..........Alibaba
Merah-merah delima.........Pinokio
Siapa yang baik hati.......Cinderella
Pasti di sayang mama

Predikat gadis baik hati itu tetap dipegang Cinderella. Hanya tokoh itulah yang baik hati sementara tak ada yang lain. Padahal tidak juga karena Cinderella telah berciuman dengan pangeran yang bukan muhrimnya sebelum menikah. Cinderella sering mengeksploitasi para tikus untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia juga oportunis karena menerima jasa seorang peri untuk menolak kehidupannya yang tertindas dan menderita. Ah, selalu akan ada peri baik hati. Cerita seperti inilah yang akan membuat anak-anak ini berpikir bahwa peri baik hati akan datang, bukan bagaimana mengubah diri mereka sendiri menjadi Cinderella tanpa bantuan peri.

Cerita Cempluk semakin tak jelas saja. Meloncat-loncat hingga ia sendiri tak tahu kemana arah kisah ini. Kereta masih berhenti di sebuah stasiun entah. Di luar begitu gelap. Hanya ada titik-titik cahaya di tengah hamparan sawah. Cempluk masih setia bersama kereta. Membawa kembara pikirannya menuju dongeng-dongeng yang malam itu berkenan menceritakan kisahnya sendiri.

Jogja-Ngawi, Desember 2011