Senin, 26 Maret 2012

Paijem Ngupaya Upa*

Di rumah petak sempit pinggir Kali Code, Paijem sedang gelisah. Siang begitu terik. Sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris memanggilnya untuk wawancara kerja. Gaji yang dijanjikan hanya standar UMR Kota Jogya. Banyak hal merubung pikirannya. Paijem hanya ingin cepat mendapat kerja. Apa saja. Ketika dipikir lagi, transport yang diperlukan setiap hari tak sebanding dengan gaji. Sudah sampai tempat wawancara, Paijem ragu dan akhirnya memutuskan untuk kembali. Panggilan-panggilan tes lain memang sudah menunggu. Semoga saja kali ini ada satu saja yang nyanthol hingga Paijem tak merepotkan orang tuanya lagi.

Dulu Paijem pernah training kerja di Jakarta. Tak betah dan pulang. Sampai saat ini Paijem terus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tak pernah absen melihat lowongan kerja di koran lokal. Untuk saat ini, Paijem memang hanya ingin bekerja di Jogja. Sering juga Paijem ke warnet untuk mencari-cari berbagai lowongan yang bertebaran di dunia maya. Berkali-kali Paijem ikut tes, sampai hafal di luar kepala tipe-tipe soal psikotes yang pernah dikerjakannya. Sayangnya, selama ini ia selalu gagal dalam tahap wawancara terakhir. Yang mengharukan, Paijem sahabat lama saya itu, pernah menggambar saya di salah satu ujian psikotesnya, meski sebenarnya itu cuma kecelakaan.

Kali ini saya tidak akan pakai metafor dan alegori yang sebenarnya telah jelas juga merujuk pada apa. Saya mau terus terang saja. Siapa menyangka. Paijem adalah salah satu lulusan terbaik Padepokan Gunung Reksamuka dengan selesainya kitab terakhir berjudul, Politik Identitas Muslim Tionghoa di Yogyakarta: Studi Tentang Dinamika Pembentukan Muslim Tionghoa sebagai Identitas Etnik Baru. Dari judulnya saja sudah keren sekali bukan? Siapa menyangka. Tekanan hidup dan kebutuhan membuatnya lari dari ajaran perguruan yang ia tekuni. Setiap kali melihat lowongan, ia hanya mencari perusahaan mana yang menerima manajer atau pegawai dari semua Padepokan.

Tahukah kalian bahwa indeks prestasi tinggi tak menjamin Paijem mudah dan cepat dalam mendapatkan pekerjaan. Saking putus asanya, ia pernah malamar sebagai pramuniaga. Pewawancara selalu berhenti bertanya ketika membolak-balik berkas lamaran. Matanya selalu tertuju pada transkrip nilai dengan sederetan angka A. Ada beberapa pekerjaan yang memang tidak membutuhkan orang pintar. Kadang mereka hanya butuh orang yang manut saja dan tak banyak protes kalau di suruh-suruh. Inferioritas menghinggapi Paijem karena ia memang menyadari bahwa ilmunya tak mudah untuk dijual dibandingkan ilmu-ilmu padepokan lain. Tahu begini, Paijem berjanji dalam hati kalau punya anak nanti, ia akan membekalinya dengan ketrampilan praktis saja. Sekarang yang seperti itu tampaknya lebih laku.

Tahukah kalian berapa banyak lulusan Padepokan Gunung Reksamuka yang bekerja sesuai dengan bidangnya. Kecuali yang jadi pegawai negeri, peneliti, jurnalis, tak banyak lagi yang bisa menggunakan ilmunya di dunia persilatan yang semakin kejam. Setahu saya, beberapa yang seangkatan dengan Paijem—beberapa menjadi pegawai bank, marketing asuransi, manajer perusahaan suku cadang kendaraan bermotor, staf administrasi di padepokan lain, nyambi kerja di padepokan swasta di daerahnya, mengajar anak-anak pra sekolah, beberapa merelakan diri untuk tidak bekerja atau sekadarnya membantu pekerjaan suami.

Masih ada beberapa lagi selain tersebut di atas. Paijah—teman satu genk dengan Paijem sekarang bekerja menjaga stand sebagai marketing yang menawarkan kapling-kapling perumahan di sebuah mall di Jogja. Tentu dengan gaji yang sebenarnya jauh dari layak untuk ukuran lulusan padepokan terkenal macam Padepokan Gunung Reksamuka. Padahal, kitab terakhir Paijah dulu juga keren. Ia menelusuri genealogi kekuasaan Mbah Maridjan dari lereng Gunung Merapi. Tak menyangka juga. Direktur perumahan itu memiliki gelar dan sudah dipastikan kalau ia adalah lulusan Padepokan Gunung Reksamuka juga.

Tidak aneh juga kalau beberapa diantaranya memilih untuk berbisnis. Barang dagangannya pun bukan sembarangan. Satu diantaranya bisnis reptil seperti ular, kadal dan iguana. Ternyata ini cukup menjanjikan. Satu lagi jualan kucing persia keturuanan asli karena mewarisi bisnis mantan pacarnya. Sepertinya trajektori lulusan Padepokan Gunung Reksamuka harus segera dilakukan. Memang patut diakui kalau lulusan padepokan ini sangat kurang dalam bidang ketrampilan. Dulu, kita memang sudah diajari cara berjejaring, berstrategi dan komunikasi politik, tapi semua seperti angin berhembus. Hanya mampir dan hilang begitu saja dengan cepatnya. Beberapa teman seangkatan Paijem masih saja belum lulus dengan berbagai alasan. Satu di antaranya justru sudah mendapat surat teguran karena belum menyelesaikan semua jurus yang seharusnya diambil untuk dipelajari.

Sore ini, kami berkumpul di stand tempat Paijah bekerja. Ada satu teman bernama Paiman yang sedang berjuang untuk menyelesaikan penulisan kitab terakhirnya. Paijem dimintai tolong atau sederhananya menjadi konsultan. Ketika mulai dipaparkan tentang kemungkinan jurus-jurus yang bisa digunakan, Paijem merasa ia begitu asing dengan semua hal itu. Mungkin karena memang tak pernah dipakai lagi, karena memang tak berguna sama sekali. Karena saya yang kebetulan sedang segar, akhirnya turun tangan. Tampaknya tema relasi kuasa memang pas dihajar dengan jurus itu. Dan saya pun menggambar sebuah segitiga sakti. Paiman cuma mengangguk-angguk. Entah tidak atau sudah mengerti. Sebentar lagi katanya ia akan langsung mencari kitab yang membeberkan rahasia jurus segitiga sakti.

Paijah menambah sesal kenapa ia dulu masuk ke Padepokan Gunung Reksamuka. Sedangkan teman dekatnya dari Padepokan Budaya sudah sampai ke Jerman untuk meneliti kaum Vegetarian. Sedang teman Paijem sudah ada yang pernah diundang PBB entah dalam rangka apa. Ah, rasanya jauh sekali. Sedang kata Paijah lagi, banyak sekali urusan yang menjadi spesialisasi padepokan justru diomongkan oleh para ahli dari padepokan lain di berbagai media cetak dan televisi. Sebatas keluh.

Teman Paiman, yang belum lulus juga malah sedang ingin mencari jasa pembuatan skripsi dengan biaya yang cukup mahal ternyata. Kenapa tidak, saya lalu menawarkan diri meski masih dalam tahap gurauan. Hehehe... Murid lulusan Padepokan Gunung Reksamuka memang beberapa bisa membusungkan dada. Namun, sebagian besar lainnya masih harus merunduk-runduk, mengejar-ngejar apapun yang harus mereka kejar untuk hidup.

Tragis dan dilematis. Kembali kepada Paijem. Belakangan ini Paijem memang sering uring-uringan. Pacarnya tak segetol seperti bagaimana Paijem mencari kerja. Pacarnya sering tak bisa mengontrol waktu tidur. Hal kecil begini ikut menjadi penyulut kemarahan-kemarahan yang kadang membuncah, bahkan pernah sampai kebas. Ibarat mendayung perahu berdua. Paijem sekuat tenaga mendorong perahu itu melaju. Sementara pacarnya hanya seenaknya saja mendayung sehingga perahu tak lagi laju tapi hanya berputar-putar tak tentu. Perumpaan ini dibuat Paijem untuk menyadarkan kekasih hatinya itu. Namanya kebiasaan memang sulit untuk diubah, bukan berarti tak bisa.

Cerita Paijem teramat panjang jika harus digambarkan bagaimana ia mengetuk satu pintu ke pintu lain. Kadang bersitegang dengan Mamak dan Bapak. Kadang harus mencari strategi untuk memperbaiki penampilan di hadapan pewawancara. Tubuhnya mungil dan kulitnya memang eksotis—untuk tidak mengatakannya hitam. Paijem sedang berusaha mencari bedak yang sesuai agar kulit eksotisnya tidak tertutup warna pupur yang biasanya akan membedakan dengan warna leher dan bagian tubuhnya yang lain. Paijem senang mengkalkulasi detail, berbagai kemungkinan dan selalu membentur tembok kalau berurusan soal uang, bahkan hanya sekadar untuk parkir. Dua ribu rupiah sudah sangat berharga. Bisa buat beli bensin meski tak sampai seliter.

Kemana Paijem akan melangkahkan kaki berikutnya? Nasib tak pernah pasti. Kemarin ia sempat bingung apakah harus meninggalkan Jogja untuk menjadi aktivis sebuah LSM di pedalaman. Ada lagi sebuah lembaga riset yang membutuhkan asisten peneliti full time. Paijem gamang. Ia hanya bisa mengingat pengalaman yang sedikit traumatis ketika harus bertemu para resinya dulu yang juga aktif di lembaga riset itu. Kemana Paijem akan melangkahkan kaki? Akankah ia akan bertahan dengan kekasih hatinya? Nantikan episode selanjutnya.

Terakhir, penulis berpesan, “Jem, aku telah mengatakan rahasia kecil kepadamu, mohon untuk tetap menutup mulut dan tak menceritakannya kepada siapa-siapa. Semoga kau juga tak tersinggung dengan ceritamu yang kujadikan tema utama kali ini.”

*Dalam Bahasa Indonesia bisa disamakan artinya dengan upaya Paijem mencari sesuap nasi. Sebenarnya ingin menuliskan cerita ini dalam Bahasa Jawa, lebih menyentuh dan dramatis. Akhirnya tidak juga saya tulis dalam Bahasa Jawa demi tidak terlalu membatasi segmen pembaca.

Kamar Kost Menjelang Dini Hari, 16 Maret 2012

Ode Kelahiran Ratna Dwipa

Konon kabarnya pada hari yang tak bernama. Berawal dari kosong, sunyi dan hampa. Ruh manusia ditiupkan. Melesat dan melayang-layang sementara di alam awang-uwung. Konon katanya ruh-ruh itu akan dijatuhkan dari pohon sesuai dengan putaran waktu kelahiran. Maka jatuhlah sesosok ruh ke atas pohon Linde. Pohon itu membuat ruh yang jatuh darinya menjadi peragu, hidup apa adanya, selalu berkorban, setia tapi juga sangat pencemburu.

Di belahan dunia lain, seperti di kota-kota seputar Lembah Werra, Pegunungan Meissner, Hesse, orang-orang senang berkumpul di bawah pohon Linde, berpesta atau melaksanakan sidang pengadilan pada zaman dulu karena pohon ini dianggap memberi kebijaksanaan. Sampai saat ini pun mereka masih percaya bahwa pohon ini menjadi tempat bersemayam Freyja, dewi cinta, kecantikan dan kesuburan bangsa Jerman Kuno.

Pohon dengan batang rapuh dan daun yang mengembang ini mempengaruhi karakter ruh yang jatuh dari atasnya. Seperti apakah ruh ini mewujud setelah jatuh dari pohon Linde. Di kampung kecil itu, pertemuan langit dan bumi melahirkan matahari. Sang Hyang Iswara yang bertempat di Timur melambaikan tangannya. Mengucap selamat atas kelahiran seorang bayi perempuan. Konon cerita Ibu, kelahiran anak pertamanya itu diiringi dengan harum bunga melati. Semerbak entah datang darimana. Barangkali dari bokor kencana para bidadari yang sengaja menaburkannya dari Jonggring Saloka.

Ibu memberiku nama Ratna Puspita dan bapak menambahkan dua suku kata di belakangnya, Dwipa Nugrahhani. Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani. Ratna adalah kembang, puspita adalah permata, dwipa berarti pulau tanah kelahiran, dan nugrahhani adalah anugrah. Berat benar nama ini sampai aku harus menjadi sedemikian cantik ibarat kembang dan permata, menjadi berkah dan anugrah bagi sesama. Tanah Jawa, tanah kelahiran harus kusangga di kedua telapak tangan.

Dari perguliran hari, ekawara hingga dasawara, sifat-sifat si jabang bayi membentuk dan dibentuk. Di bawah bintang prahu pegat, kehidupannya akan berselimut duka dan kesedihan. Tak ada yang percaya. Siapa yang bisa menebak kehidupan dan masa depan.

Pada 11 Maret 1988, tak lama setelah kelahiranku, Soeharto kembali dilantik MPR menjadi presiden hasil pemilu 1987. Tanggal yang sama di tahun 1966, surat perintah yang dikenal dengan sebutan Supersemar itu ditandatangani. Dimulailah rezim baru. Semar tersenyum di kejauhan. Ia hanya mesem ketika namanya digunakan sebagai simbol sakti untuk menumpas sisa-sisa demokrasi terpimpin Soekarno. Kesaktian Supersemar pula yang menjadi awal dari pembantaian mengerikan sepanjang sejarah negeri ini. Betapa sakti pula surat itu hingga ia bisa raib menghilang tak ditemukan wujudnya kembali.

Tak ada yang istimewa. Bapak dan Ibuku pegawai negeri yang akan terus memilih Soeharto setiap lima tahun sekali. Seharusnya aku cukup mendapat asupan gizi. Tapi, nenek selalu malu membawaku ke Posyandu karena berat badanku sering berada di garis merah Kartu Menuju Sehat. Nenek selalu risau dengan omongan orang tentang anak guru yang beratnya kurang. Nenek, tembangnya masih tersimpan dalam ingatan mengiringi waktu-waktu tidur siang di ayunan kain yang dipasang di palangan tiang. Menunggu Ibu pulang.

Menjadi apakah si jabang bayi yang lahir dua puluh empat tahun lalu itu? Masa kecilku penuh khayali. Aku sempat melihat alien yang tiba-tiba muncul dari tumpukan sampah di pawuhan timur rumah. Terang saja tak ada yang percaya. Orang-orang hanya menganggap itu adalah kadal yang kudramatisir menjadi mengerikan ketika ia menjulur-julurkan lidahnya. Tapi aku yakin benar-benar melihatnya.

Wujudnya itu mirip sekali dengan yang muncul di sebuah film televisi. Lihat saja nanti. Mereka akan melihat bahwa suatu saat akan banyak muncul alien dari dalam tumpukan sampah. Mereka tidak tahu kalau alien telah datang dan membangun kerajaannya sejak lama di bumi ini. Sempat pula aku tiba-tiba lari ketakukan tanpa alasan karena merasa melihat sosok-sosok aneh di sekitarku. Mereka seperti mengikuti. Lalu menghilang sendiri setelah aku mulai bersekolah di taman kanak-kanak.

Berikutnya, aku lebih senang bermain pasaran, merajang daun-daun, bunga, pelepah pisang, dan bicara sendiri sebagai penjual sekaligus pembeli. Bapak memperkenalkanku pada puisi. Sejak itu aku membacakan puisi karangan Bapak kemana-mana, di sekolah, dia acara-acara tujuh belasan, tingkat kecamatan hingga kabupaten. Sejak itu kami suka keluyuran ke hutan-hutan jati, melatih vokal di antara ricik air sungai, berbicara pada daun dan semakin mengembarakan imajinasi hingga bertemu para bidadari yang dulu menebarkan melati pada saat kelahiranku.

Begitulah sepenggal kisah. Cerita ini bisa sampai ribuan halaman kalau diteruskan. Tak jelas juga mana yang nyata mana khayalan belaka. Nanti saja kalau sudah sukses tak jadikan otobiografi. Kalau sekarang dibuat tentu tidak laku dan hanya buang-buang waktu. Ehehehehe....

Di pintu almari, masih bergelantungan tiket-tiket pertunjukkan teater. Tumpukan buku seperti tugu peyot yang hampir rubuh tanpa penyangga. Dinding kamar masih berwana pink. Keramaian ornamen bunga dan bintang-bintang yang menyala dalam gelap hanya menjadi penegas bahwa penghuninya ingin berlari dari sepi. Menyadari keberadaanku di sini, sibuk melihat bayangan diri dalam cermin. Krisis eksistensial kadang memang menjadi hantu paling menakutkan. Percayakah kau bahwa kesepian itu bisa membunuh?

Nah, untuk merayakan ulang tahunku kali ini, aku mengundang segenap pasukan cecak, balatentara semut, peleton coro, komandan kelelawar, dan kalau berkenan juga irama ngiung nyamuk sebagai pelengkap musiknya. Aku mengundang semua untuk pesta kecil-kecilan di kamarku. Kita akan rayakan pesta ala kerajaan lengkap dengan topeng dan tarian. Khusus untuk pasukan cecak, terimalah permintaan maafku. Secara tak sengaja aku telah menjepit beberapa kawan kalian di antara pintu. Teman kalian masih menempel di sana, mengering begitu saja tak bisa lepas. Mohon dengan sangat untuk tak mengutukku dengan rapal kutukan cecak yang terkenal manjur menyihir orang menjadi bangsa kalian.

Rindu ketemu orang-orang aneh itu. Tahun lalu, aku dapat sepasang keris mungil. Sekarang mereka masih cekikikan bercanda dalam sebuah kotak kayu sambil menertawaiku. Apa kabar mereka dengan mimpi-mimpi yang mungkin semakin mengerikan. Selendangku tak juga dicuri, mimpi Nawangwulan belum juga menemukan Jaka Tarubnya. Igauanku akan semakin tak jelas bila diteruskan.

Malam masih menguarkan eksotismenya. Bau dingin sehabis hujan bercampur dengan aroma bawang nasi goreng depan kostan. Kata-kata seperti biasa selalu mengikat jemari dan aku harus menghentikannya di sini. Sebelum tetes. Sebelum buncah. Sebelum tiga pasang sepatu yang bersandar di dinding itu menjelma waktu. Berkuasa kembali memutar ingatan. Bagaimanapun, kita akan tetap berpesta. Aku akan tetap berulang tahun hari ini dan kuucapkan selamat kepada diriku sendiri.

*Terimakasih untuk teman-teman tercinta atas video yang mengharukan itu...

Sepenggal Waktu Menjelang 11 Maret 2012

Sabtu, 10 Maret 2012

Menjelang Senja di Padepokan Gunung Reksamuka

Menjelang senja di Padepokan Gunung Reksamuka. Hujan masih mengantarkan sisa-sisa keikhlasan yang sebenarnya belum diikhlaskan. Ini bukan tentang cinta dan kenangan. Sudah dua kali pertemuan ini tertunda. Dari yang tadinya jam sebelas, ditunda setengah dua dan sekarang harus menunggu sampai setengah empat. Berdamai dengan orang-orang sibuk. Berdamai dengan waktu.

Waktu masih sempat mengirimkan gerimisnya. Begitu lembut. Awan-awan jadi segan untuk ikut-ikutan menghantui hari dengan gejala mendung yang selalu dikesankan dengan kemurungan dan kesedihan. Di pojokan. Orang dengan telinga yang tersumpal headset masih terus mengangguk-angguk. Entah musik apa yang menyambangi gendang telinganya. Jarinya menari menekan-nekan keyboard. Dari ekspresinya terlihat sangat serius, sedikit mengerutkan dahi tapi masih saja ia mengangguk-angguk karena musik yang mengalir itu.

Ada semacam inkonsistensi waktu dan ruang dalam cerita ini. Biarlah. Biar tak jelas asal bisa dinikmati. Padepokan Gunung Reksamuka memang memiliki ruangan khusus berisi kitab-kitab untuk membantu para cantrik mempelajari berbagai ilmu. Di sinilah orang-orang sibuk mengintai setiap halaman buku. Memindahkannya dalam otak, sekadar membuka-buka saja atau memindahkan setiap katanya dalam laptop.

Menunggu menjadi indah. Tidak hanya untuk hari ini, tapi sejak kapan menunggu menjadi indah? Bukankah orang senang membenci kegiatan menunggu. Kadang membosankan, kadang berujung kekecewaan, dan entah apalagi hal negatif bisa dilekatkan pada sebuah aktifitas menunggu. Saya pun menunggu. Orang yang ditunggu tak akan datang. Orang yang tak ditunggu belum juga datang. Sejak kapan menunggu menjadi indah. Karena ketidakpastianlah menunggu menjadi indah.

Di sini lebih sunyi. Sebagian orang sibuk membaca. Satu diantaranya sambil menyeruput kopi. Berbeda dengan di ruangan tadi. Piring-piring bergemelinting. Sepertinya orang-orang sedang sibuk makan siang. Ruang sesekali berhias tawa. Sejak kapan orang makan sambil tertawa? Beberapa menit kemudian. Gemelinting piring berhenti. Diganti dengan tapak-tapak kaki yang terkesan sibuk dan terburu-buru. Sepertinya sudah kembali beraktifitas. Kesibukan baru setelah makan siang. Derap kaki semakin sering terdengar. Derit pintu membuka dan menutup. Kadang dengan keras, kadang dengan lembut. Kembali ke ruangan penuh kitab ini. Ada bau khas yang merasuki. Bau kitab-kitab lama. Aroma lembut dari kata yang dijelmakan menjadi rangkaian pengetahuan.

Hujan mereda. Sebentar tinggal tetes saja. Di mana pucuk daun akan kembali menggayutkan tubuhnya. Orang-orang menghampiri deretan kitab-kitab dalam rak. Sedikit membuat tak nyaman karena sepertinya mereka sedang mengintip tulisanku. Lalu mengolok-oloknya karena terbaca seperti sesuatu yang hanya keluar dari otak miring penulisnya. Tukang AC membuka jendela. Mengecek peralatan yang menggantung di tembok luar ruangan. Tukang AC pergi. Menutup tirai. Awan kelabu dan semburat putih ungu itu tak telihat lagi. Hanya tirai biru. Menutup jendela langit.

Seorang teman mengajak minum kopi. Kami turun dari lantai tiga. Kantin telah tutup. Teman masih mencari kopi. Saya memilih kembali. Naik lagi ke lantai tiga. Mengambil kitab sekenanya. Membaca halaman sekenanya. Seperti melihat orang-orang sedang berdebat lewat deretan kalimat. Seperti melihat Lyotard, Beck, dan entah siapa lagi sedang duduk mengelilingi meja sampil saling menatap. Saling bertanya tentang apa yang akan mereka bangun setelah menghancurkan. Hidup memang selalu penuh risiko.

Sampai juga pada waktu yang telah ditentukan. Kali ini tidak ada penundaan lagi. Ruangan di depan terdengar ramai. Para Resi sedang saling berbicara. Bukan tentang ilmu dalam padepokan. Satu di antaranya cerita tentang transaksi tanah yang gagal hanya karena seorang perempuan tiba-tiba keluar dari mobil dan mengatakan bahwa tanah itu tak baik dibeli. Apakah ia ahli feng shui yang selalu meperhatikan unsur-unsur alam dalam menetapkan dan membangun rumah tinggal? Entahlah, abaikan saja ini cerita.

Kami bertiga akan menghadap Ibu Resi. Seperti biasa, Ibu Resi tampil dengan gaya khasnya. Kali ini mengenakan batik terusan sampai ke lutut. Berwarna putih dengan motif bunga. Pinggangnya dilingkari pilinan tali berwarna coklat. Serasi. Kakinya tetap merasa nyaman menyentuh lantai begitu saja. Seperti ia juga selalu nyaman untuk tidak menggunakan alas kaki tampaknya.

Ceritanya akan sangat lain dengan kejadian kemarin. Tidak ada yang serius dibicarakan. Hanya beberapa strategi operasional untuk penelitian lapangan. Bagi yang ingin menempuh jalur cepat, seperti salah seorang dari kami, Ibu Resi akan siap membantu. Kita hanya diminta untuk membuat time table yang harus dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan waktu kita. Sederhana tapi butuh komitmen diri. Kalau saya, santai saja asal sampai pada tempatnya di waktu yang tepat. Tidak ngoyo.

Pembicaraan berlangsung. Padepokan Gunung Reksamuka memang memiliki displin ilmu tertentu. Ketika saya akan menulis dengan sedikit menyimpang, menulis ibarat obyek dhedhemitan bangsa halus begini, maka saya diharuskan untuk tetap membawa disiplin ilmu padepokan dalam setiap narasi. Ah, ini hanya persoalan teknik menulis. Tentu akan bisa sangat dinikmati ketika proses mencari dan menulis kitab menjadi semacam masturbasi, mengelurkan segala yang tertahan. Dalam diri dan ingatan.

Demi lebih memahami tantangan metode dalam penulisan kitab kami, Ibu Resi menyarankan untuk pergi ke padepokan sebelah. Mengenali pola-pola narasi dan teknik penulisannya, tentu dengan tidak meninggalkan displin ilmu di padepokan kami sendiri. Ini mengkhawatirkan kalau saya gagal menjaga narasi. Kitab saya tidak akan diakui sebagai hasil dari endapan ilmu dari padepokan ini. Cukup gawat bukan. Lagi-lagi ini adalah resiko memilih tema halus bangsa dhedhemitan.

Cara menulis dan mengumpulkan kenyataan dengan metode ini memang tidak gampang. Setiap detail bisa di dramatisasi dalam narasi. Butuh waktu. Njlimet. Berada di tengah kepungan data yang entah dari mana bisa ditarik simpulnya untuk menjawab pertanyaan awal yang menjadi dasar dalam penulisan kitab. Teman di sebelah sempat takut bahwa metode ini sedikit meneror dan mengintimidasi. Metode ini membutuhkan ketrampilan untuk bertanya, menggunakan bahasa. Bisa jadi orang akan mencapai titik frustasi ketika ia gagal membuktikan prasangka-prasangka yang kadang dibuat dengan tergesa-gesa. Tapi tidak, ini pasti akan sangat menyenangkan.

Punya saya memang mengkhawatirkan. Entah bagaimana bisa mengekspresikan disiplin ilmu padepokan ini. Mungkin dari metodenya, unit analisisnya dan tentu sepanjang alur ceritanya. Mencari bahan dan menulis kitab menjadi sangat menantang. Cerita saya memang masih mendingan daripada kisah Si Cantrik nyentrik kemarin. Kisah ini masih akan panjang. Silakan dinantikan kelanjutannya bila berkenan.

Senggang Sehabis Isya’, 9 Maret 2012

Gerundelan Tentang Kitab Masurian #1

Tersebutlah sebuah padepokan di Gunung Reksamuka. Berbagai ilmu diajarkan di Padepokan tersebut di tangan para resi pilihan. Seluruh cantrik terbaik perwakilan kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara berkumpul di padepokan ini untuk mendulang ilmu. Para resi adalah mereka yang telah banyak mencecap ilmu dari negara manca. Beberapa adalah mereka yang telah kenyang makan pengalaman di berbagai lembaga tinggi kerajaan.

Setelah pulang dari manca, para resi berusaha untuk membangun Nusantara dengan mengembangkan ilmu pengetahuan baru. Reproduksi pengetahuan baru mendesak menjadi agenda penting agar kejayaan Nusantara sebagai pusat peradaban dunia tidak akan tenggelam. Resi-resi pilihan itu mengembangkan sebuah skema pembelajaran agar para cantrik bisa ikut andil dalam perubahan sosial di Nusantara. Sayangnya, tidak semua resi mampu mengikuti percepatan kelahiran pengetahuan baru tersebut. Beberapa diantaranya masih setia dengan cara pandang lama yang justru menghambat kemajuan para cantrik.

Di akhir masa belajar, para cantrik diwajibkan untuk memproduksi pengetahuan baru. Mereka diharuskan untuk bisa merangkai endapan pengetahuan yang telah didapat dengan melihat berbagai kenyataan yang terjadi disekitar dan menjadi minat mereka. Seorang resi akan membimbing beberapa cantrik sampai pengetahuan baru itu bisa lahir dari buah pikiran secara sistematis, logis, dan sesuai dengan ukuran-ukuran pengetahuan yang bisa diterima.

Para cantrik mulai menentukan minat mereka. Beberapa masih berminat pada pengetahuan-pengetahuan konvensional. Meskipun begitu, para resi akan mengarahkan minat tersebut dalam cara pandang baru yang mendukung reproduksi pengetahuan di Nusantara. Cerita menariknya, ada salah satu cantrik nyentrik. Ia tertarik untuk keluar dari cara pandang aliran ilmu murni yang berkembang di padepokan tersebut. Ia ingin mendefinisikan hal yang sama, dengan kenyataan berbeda dan membuktikan bahwa ternyata sesuatu itu ada dan bisa sangat bepengaruh meskipun kadang tak kasat mata.

Di padepokan itu, terdapat resi senior yang kurang mampu mengikuti perubahan. Ia mengaku keturunan raja ketujuh dari Kerajaan Temaram. Ia masih setia mengikuti mahzab dalam Kitab Masurian yang mengajarkan ilmu-ilmu kuno. Ilmu yang seharusnya hanya bisa dilacak sebagai sejarah tanpa bisa lagi menjelaskan dan mengimbangi dasyat dan cepatnya perubahan. Kitab Masurian menjadi mahzab yang membuat resi senior ini tidak mempercayai adanya kenyataan yang tak bisa dijangkau dengan pikiran dan pengetahuannya.

Sayangnya, cantrik nyentrik ini dibimbing oleh resi penganut ajaran dari Kitab Masurian tersebut. Resi ini tidak terlalu paham dengan apa yang akan ditulis oleh si cantrik nyentrik. Resi ini bukannya membimbing tapi dengan keterbatasan pengetahuannya, ia justru tak bisa mengikuti logika tentang apa yang terjadi dalam sebuah dunia lain yang melampaui realitas. Kalaupun si cantrik ini telah menggunakan pengetahuan terkini yang diadopsi dari negara manca, maka resi dengan mahzab Masurian akan membawanya kembali untuk menggunakan kitab-kitab lama nan usang beserta contoh-contoh dalam kepalanya. Tapi mau bagaimana lagi, si cantrik nyentrik hanya bisa berusaha untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan resi berpaham Masurian tersebut dan membuatnya mengerti.

Kisah si cantrik ini tak jauh beda dengan beberapa cantrik lain di bawah bimbingan resi Masurian. Betapa mahzab Masurian bisa membuat orang tak percaya bahwa di salah satu pulau Nusantara ini terdapat seratus tujuh belas pulau-pulau kecil yang mengelilinginya, bahkan hanya dua pulau yang tak berpenghuni. Resi berpaham Masurian ini juga tak percaya bahwa saat ini ada kerajaan lain yang tumbuh di Nusantara setelah Kerajaan Temaram. Kerajaan ini dikuasai oleh elit-elit yang mengendalikan pemerintahan di sana. Cantrik yang menuliskannya justru harus mengubah hasil penggalian dataya sesuai dengan pemikiran resi berpaham Masurian.

Sedikit susah kalau dasarnya adalah tidak percaya bahwa kenyataan itu benar-benar ada. Kalau soal logika berpikir, mungkin bisa saling dikomunikasikan. Seharusnya resi-resi lain yang telah belajar dari manca itu mengadakan semacam upgrading agar pengetahuan antar resi bisa setara. Mungkin para resi telah memiliki spesialisasi dalam ilmu tertentu, tapi bukan berarti tidak hirau dengan perkembangan ilmu lain. Jangan sampai para resi justru mengejar para cantriknya, bukan mengiringi jalannya. Jangan sampai cantrik yang ingin menggunakan pengetahuan terkini justru didorong untuk kembali menggunakan pengetahuan usang yang tak lagi bisa menjelaskan kenyataan. Kasihan si cantrik nyentrik ketika ia ingin membawa dirinya ke tempat yang lebih tinggi, tapi justru di tarik untuk tenggelam kembali.

Beginilah yang terjadi di Padepokan Reksamuka. Harus ada skema khusus untuk menghadapi para resi Masurian ini. Kitab Masurian saat ini sudah tak relevan menjadi pegangan. Bukan karena ia tak penting, melainkan pengetahuan di dalamnya tak bisa lagi menjangkau cepatnya putaran roda. Kitab Masurian memang menjadi legenda pada zamannya, namun tidak saat ini. Isinya harus kembali didefiniskan ulang. Ajaran Masurian tak harus dihilangkan tapi bagaimana ia bisa direlevansikan dengan lebih reflektif dan fleksibel tanpa harus memaksakannya untuk digunakan.


Pada sebuah siang yang senggang, 8 Maret 2012

Kamis, 08 Maret 2012

Tiada Mati Melawan Raksasa

Teater musikal berjudul “Melawan Raksasa” malam ini cukup menyenangkan. Saya tidak sendiri. Di sebelah saya ini duduk Mbak Vi yang imajinasinya tak berhenti merujuk para Oppa. Pertunjukan berdurasi sekitar satu jam ini bercerita tentang sebuah negeri yang selalu diselimuti kebahagian. Semua rakyatnya berbahagia, selalu tersenyum dan tertawa. Cerita yang mengingatkan saya pada dongeng Oscar Wilde berjudul “The Happy Price” itu. Kebahagiaan tak berlangsung selamanya. Tiba-tiba kerajaan yang tak pernah merasakan ancaman itu diserang gempa. Beberapa bangunan hancur dan ditengarai bahwa gempa itu terjadi akibat ulah raksasa yang senang melakukan senam pagi.

Raja kemudian mengirim menteri luar negeri untuk melakukan diplomasi didampingi perwira militer. Mereka mencoba bernegosiasi agar kerajaan bisa merasakan damai tanpa kehadiran raksasa. Kedatangan mereka disambut oleh asisten raksasa yang bisa berbahasa manusia. Raksasa yang diwakili asistennya itu minta bayi cerdas setiap bulan sebagai tumbal sehingga ia tidak akan mengganggu kerajaan itu lagi. Diplomasi gagal dan kerajaan menyatakan perang. Sebelum ditemukan cara yang tepat melawan raksasa, kerajaan sudah diserang gempa lagi hingga menewaskan Sang Raja karena kejatuhan reruntuhan bangunan istana. Seantero kerajaan bersedih.

Datanglah Paman Cuap. Tokoh seperti Paman Cuap memang kerap hadir dalam dongeng. Bisa dikatakan perannya cukup sentral sebagai penasihat Raja, meskipun tak dijelaskan posisi strukturalnya. Paman Cuap menemukan cara untuk melawan raksasa, tidak dengan otot tapi dengan akal. Ia mengerahkan anak-anak cerdas dan bijak dari negeri itu untuk adu teka-teki melawan raksasa. Kecerdikan Paman Cuap bisa mengungkap bahwa bayi yang diinginkan raksasa itu sebenarnya akan dijadikan nutrisi otak untuk mengatasi penyakit bodoh yang telah dideritanya.

Anak-anak akhirnya bisa mengalahkan asisten raksasa dengan teka-teki aneh yang tidak usah saya ceritakan di sini. Raksasa dan asistennya akhirnya pergi dari kerajaan. Mereka memang bodoh. Padahal kalau mereka tetap tinggal, tidak ada juga yang bisa melawan. Tapi dongeng tidak bodoh. Cerita ini tentu mengandung pesan penting bagi anak-anak bahwa otot bisa dilawan dengan akal. Dongeng yang sekaligus ingin mengatakan bahwa akal akan selalu memang dan didudukkan lebih tinggi dari otot sebagai referen tubuh. Sepertinya saya terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Tentu saja cerita ini tidak dimaksudkan demikian. Dongeng memang tidak sederhana. Saya sendiri sering kesusahan membuat cerita anak-anak karena ketika dibaca lagi jadi terkesan terlalu rumit untuk dipahami anak-anak.

Di balik cerita ini, saya ingin membuka sedikit mitos tentang raksasa. Mungkin banyak yang sudah pernah mendengar cerita ihwal raksasa. Ibu saya sendiri sering mendongeng tentang Lelepah dengan lagu ciptaannya sendiri, “lelepah..lelepah..pakananmu iwak entah..dicacah ning etan omah..”. Lelepah adalah seorang raksasa yang suka memakan ikan mentah dan memburu anak-anak nakal yang tidak mau tidur siang. Apa yang salah dengan raksasa? Makhluk yang selalu digambarkan sedemikian mengerikan, bertubuh besar, bertaring, suaranya keras menggelegar. Siapakah sebenarnya raksasa yang selalu hadir dalam dongeng sebelum tidur kita?

Dalam serat Dewa Ruci kita bisa melihat bagaimana Bima melawan naga raksasa atas perintah Durna untuk mencari sarang angin di tengah samudra. Siapakah Dewa Ruci dan siapakah Sang Raksasa. Banyak yang menginterpretasikan bahwa cerita ini ingin menggambarkan bagimana perang bisa berlangsung dalam diri manusia. Dewa Ruci digambarkan sebagai subyek dan Raksasa adalah abyek. Tatanan simbolik ini menggambarkan batas-batas antara “aku” dan “bukan aku”. Saya lupa ini teori siapa. Manusia menghadirkan sosok raksasa untuk melengkapi penggambaran tentang demarkasi selain subyek yang terasa tak ingin disentuh, bahkan menjijikkan.

Raksasa menjadi ancaman, tidak hanya bagi kerajaan yang selalu bahagia, tetapi juga bagi diri. Raksasa adalah sesuatu yang ingin ditolak dan disingkirkan oleh subyek dalam proses becoming-nya. Dalam tubuh raksasa, manusia melihat keruntuhan makna akan dirinya. Raksasa menjadi semacam hantu bagi nalar bahkan bisa berubah wujud menjadi kematian. Raksasa adalah salah satu gambaran dalam mewujudkan hasrat narsistik yang akan terfleksikan dalam citraan cermin. Raksasalah yang harus dipagari, dibentengi agar tidak merusak ke-diri-an yang telah dibangun. Ah, saya ini bicara apa. Kenapa jadi sampai kemana-mana begini.

Setiap kita punya raksasa. Saya sendiri tidak pernah bisa membunuhnya. Ia tetap lantang berdiri dalam diri. Kadang menjadi raja kadang bisa menjadi asisten yang bisa saya perintah kemana-mana. Ia memang tak selalu harus dibunuh. Rasanya cukup menyenangkan membiarkannya menjadi ancaman. Malam ini saya sudah diajari bahasa raksasa dalam teater musikal tadi. Kalau ada raksasa yang membutuhkan asisten, saya bersedia bekerja part time.

Kamar kost menjelang tengah malam
dimana para raksasa sedang meraung kesunyian,
26 Februari 2012

Menyuarakan Jerit Para Dhemit

Hahaha...rasanya ini tawa yang cukup untuk mengawali tulisan tak jelas ini. Ternyata sudah lama saya tak menulis catatan. Sudah lama membusuk dan mampat seperti selokan di tengah waktu-waktu senggang. Sudah lama juga saya tak menikmati suasana malam minggu di luar kamar persegi yang terasa semakin menyempit. Malam ini sedikit lain. Para kostmates bersepakat untuk sekadar melepas penat. Maka sampailah kami di Alun-Alun Kidul. Mungkin sudah tidak asing bagi para pasangan menikmati malam di sini. Sekadar berjalan berdua, bersepeda bersama dengan kilau lampu-lampu palsu, bergandengan tangan, saling melingkarkan tangan di pinggang, berciuman di kegelapan, atau hanya duduk-duduk saja menikmati wedang ronde.

Entah mengapa bagi mereka semua itu terasa romantis, sementara kami sibuk mencela, menganggap apa yang mereka lakukan itu bodoh dan tak masuk akal, hingga ikut memperagakan bagaimana mainan berwarna kebiruan itu bisa berputar-putar sejenak di udara dan mendarat beberapa saat kemudian di rerumputan basah. Dan pasangan itu kemudian tertawa bersama. Seperti melihat cinta mereka berputar di angkasa tapi tak sadar kalau akan jatuh juga. Semoga dunia masih setia dengan hukum gravitasinya hingga yang sedang melayang itu bisa kembali pada tempatnya. Apa romantisnya berada di tengah kebisingan dan jalanan memutar yang macet itu. Apa romantisnya menutup mata dan berjalan menuju beringin kembar, mengikuti mitos agar apa yang diinginkan bisa kejadian.

Bagi kami tempat ini hanya akal-akalan para lelaki yang tak punya modal. Cukup bayar parkir tiga ribu dan mungkin makan di sekitar yang pas sekali untuk dompet mahasiswa di akhir bulan. Romantisme diciptakan agar sang perempuan tidak lagi mengajak ke resto dan butik-butik mahal, nonton film, atau menunggu midnight sale dibuka dengan harga yang tetap saja mahal. Sinisme ini mungkin hanya penyangkalan berlebih yang sama artinya dengan penegasan. Kota ini memang banyak sekali menyediakan pilihan. Jangan tanya lagi orang-orang macam apa yang kami temui di sini. Sepertinya semua ada.

Ruang bising dan ruang sunyi semakin kabur. Segala macam bunyi berbaur. Orang-orang bercakap, suara musik beraneka rupa. Dari dangdut, pop, hingga gendhing Jawa, dari Justin Bieber hingga Ayu Ting Ting. Suara-suara berpusing dari konduktor-konduktor tak kelihatan sampai menyentuh membran timpani. Suara-suara terus melanjutkan perjalanannya hingga masuk ke lobus temporalis. Segala bunyi berdentuman, menerobos tanpa bisa dipilah mana yang disuka dan tidak.

Terlepas dari kebisingan itu, saya pun mencari celah sunyi. Ternyata memang masih bisa ditemukan. Sunyi bergelantungan di sulur-sulur pohon beringin. Meringis bergelayutan dengan rupa-rupa tanpa bentuk. Banyak yang tak menyadari bahwa ada yang lebih sinis memperhatikan orang-orang dan kebisingan. Ruang publik adalah ruang bising dimana setiap selera bisa dipertemukan. Batas menghilang. Makhluk dan alam.

Tiba-tiba seperti ada yang menjerit perlahan. Sangat pelan tenggelam di antara bingar. Apakah saya sedang menginjak sesuatu? Sejak kapan rumput bisa menjerit ketika terinjak? Di bawah tidak ada yang bisa saya lihat kecuali tanah gelap dan pucuk rumput yang seperti semut menggigiti kaki. Mungkin suara dari dalam kepala sendiri yang mengajak segera lari. Pertunjukan teater yang saya tonton kemarin atau kebisingan semacam ini hanya bisa membuat saya tersenyum sinis selama kurang dari satu jam untuk kemudian kembali terbaring di tebing sunyi.

Kembali ke persoalan tadi. Ada yang saya ingin katakan dari celah sunyi di antara kebisingan yang saya temukan. Di sini saya mau bicara soal toleransi. Sudah banyak orang yang peduli dengan habitat harimau atau orang hutan yang semakin tergusur. Tapi tentu tidak banyak yang peduli dengan habitat dhemit yang juga semakin tergusur. Berapa banyak pohon tersisa di kota ini. Kemana larinya para dhemit setelah Merapi muntah. Tempat wingit memang sudah tak banyak lagi. Para dhemit hanya bisa menghuni rumah-rumah tua, patung-patung, benda-benda di museum, sebagian berumah di candi-candi, beberapa pohon besar dan beberapa membangun kerajaannya di Taman Sari. Tapi tenang saja. Jangan dipercaya omongan orang nglantur macam saya. Tentu ini cuma khayalan dan bohong belaka.

Kalau saja ada sosiologi perdhemitan, psikoanalisis perdhemitan atau politik perdhemitan, sebenarnya merekalah yang sudah sangat merasa terancam. Raja dhemit semakin kehilangan kedaulatan teritorialnya. Raja dhemit sudah semakin kebingungan ketika dhemit-dhemit kecil mulai mbalelo dan berbuat seenaknya sendiri. Para dhemit mulai usil dan menggelitik-gelitik kuduk manusia sampai susah sekali manusia merasakan ketenangan sejati. Mereka itu sebenarnya tidak jahat, tapi bagaimana lagi kalau memang sudah tak banyak tempat untuk ditinggali. Kau pikir hanya manusia saja yang bisa berdesakan berebut lahan? Meskipun dunia mereka berbeda, tetap saja ulah manusia dengan segala hingar bingarnya itu mengganggu keamanan mereka. Toh mereka juga makhluk Tuhan yang berhak menghuni bumi ini.

Sudah berapa banyak dhemit mengalami ketidakadilan. Banyak manusia tersesat, memuja keris, besi dan tombak, dhemit juga yang disalahkan. Banyak anak sekolah kesurupan, dhemit pula kena getahnya. Dhemit tak pernah bisa membela dirinya ketika dipersalahkan. Manusia selalu tak mau berkaca. Mereka tak bisa melihat yang samar. Tertutup dan sebagian tersesat dalam kegelapan. Kapan-kapan biar saya undang Butalocaya dalam serat Dharmagandul untuk memberikan kuliah umum pada para manusia tentang dunia perdhemitan. Meskipun kata-katanya tidak bisa dipercaya juga, setidaknya manusia bisa tahu apa yang sekarang dirasakan para dhemit.

Semakin malam semakin nglantur saja ini tulisan. Biarkan saya kembali pada ruang sunyi. Di mana langit kota tak pernah lagi memanggil bintang untuk mencairkan bising dan bingar. Di emperan toko-toko yang telah tutup itu, para banci sedang membagi hasil jerih payah sehari. Bedak dan gincu masih tebal menyelimuti wajah. Gelandangan mulai merajut selimut dari lembaran-lembaran kardus dan koran. Hingar masih menyambar-nyambar kota. Entah hingga selarut apa. Para dhemit tetap menatap-natap sinis. Mengintip dengan tatapan paling nanar dari mata yang tak jelas bentuknya. Dari balik pohon beringin, pohon preh, patung dan monumen pinggir jalan. Saya sendiri, entah harus mengatakan apa kepada para dhemit itu. Kata teori itu, ini adalah ruang publik. Ruang yang setara bagi semua, tapi ternyata tidak bagi dhemit.


Kamar Kost, 26 Februari 2012: Setelah Lewat Tengah Malam