Minggu, 29 April 2012

Solilokui Setengah Jadi: Sebuah Catatan dari Teman Sebelah

Kawan saya yang ikut berproses dalam “Solilokui Manusia 900 C” bercerita bahwa produksi Tetaer ESKA UIN Sunan Kalijaga ini sedikit berbeda. Masing-masing anggota diminta untuk mengungkapkan kegelisahannya, tentang apapun. Mereka menggali kecemasan-kecemasan di panggung kehidupan dan membawanya dalam pementasan. Beragam tema ditemukan mulai dari persoalan agama, politik, gaya hidup, pendidikan, marginalisasi perempuan, dan banalitas media. Dan sebelum banyak menyampaikan catatan dari teman sebelah, saya ingin bilang bahwa sebuah pementasan teater hanya menjadi tempat singgah bagi sebuah proses, bukan akhir.

Malam minggu, apalagi yang bisa saya lakukan selain mencari ruang-ruang segar di antara manuskrip politik yang sepertinya begitu riuh tapi sebenarnya telah dimainkan dengan sangat rapi. Teater paling menarik telah kita saksikan kemarin. Yang penuh interupsi itu, yang seperti banyolan itu, yang dibela-belain banyak orang untuk ditonton sampai larut malam itu. Betapa mencemaskan negeri ini. Bagaimana lagi, orang seperti saya hanya bisa berutak-atik sendiri, tanpa bisa berbuat sesuatu, apalagi ikut demontrasi dan bakar-bakaran begitu.

Kali ini saya mengajak seorang teman. Teman yang duduk di sebelah dan karenanya disebut sebagai teman sebelah. Catatan ini sekadar rekaman komentar atas pertunjukan yang kami saksikan, dengan kapasitas kami sebagai penikmat, sebagai awam yang ikut-ikutan ngoceh soal sesuatu yang kami tidak sepenuhnya tahu. Paling enak memang menjadi tukang komentar. Menilai sesuatu dengan cara dan pikiran sendiri. Karenanya, jangan dianggap terlalu serius ketika kami pun tak terlalu serius menjadi pengamat dan pencatat.

Proses produksi sebuah teater bagaimanapun hasilnya tetap pantas untuk diapresiasi. Sebelumnya, kami akan bertepuk tangan untuk pertunjukan malam ini. Meski sejujurnya, kami kesulitan memahami beberapa hal. Kami menikmati hasil, tanpa pegang naskah dan hanya sedikit bocoran soal proses. Leaflet dan sinopsis yang dibagikan memang sedikit membantu tapi juga turut menyumbang kebingungan. Sepertinya tema soal kritik modernitas ingin diangkat dalam pertunjukan kali ini, tapi kesannya seperti tak jadi. Kata teman sebelah, garapannya masih kasar. Katanya lagi, naskah cerita kurang bisa menghaluskan pesan yang ingin disampaikan. Dari naskah yang tak matang ini pula, gambaran setiap karakter tokoh menjadi kabur, siapa memerankan apa. Karena saya sendiri penikmat yang bodoh, suka mengembarakan pikiran terlalu jauh ketika menangkap obyek, beberapa karakter jadi terasa mengambang, tak bisa tertangkap pikiran.

Pesan yang sedikit berat ini sayangnya juga hanya dihabiskan dalam waktu satu jam. Menurut saya dan teman sebelah, memang sangat singkat untuk sebuah pertunjukan. Bayangkan ketika semua digarap dengan halus dan perlahan, tentu kami akan lebih bisa menikmati. Bukankah perlahan itu adalah kecepatan yang baru? Setidaknya begitulah kira-kira kata tukang kritik modernitas. Karena terkesan tergesa-gea, blocking panggung dan perpindahan adegan jadi sedikit kacau. Di awal, saya juga sedikit kecewa karena terlalu lama menyaksikan para pemainnya bermonolog menggunakan topeng. Tentu ada masksudnya, tapi saya jadi tidak bisa menikmati dengan utuh eksplorasi ketokohan melalui ekspresi.

Salah satu bagian paragaf dalam sinopsis yang dibagikan menyebutkan, “Inilah manusia modern, makhluk yang tiba-tiba menjadi mesin bagi pabrik-pabrik yang mengidap penyakit psikopat. Maka lahirlah ke dunia bocah-bocah nakal bernama sinetron, mall, pabrik, ekonomi pasar bebas, Sekolah Bertaraf Internasional.... Sementara alam, duh, ia tidak lagi melankolik.” Saya tidak akan terlalu banyak bicara soal modernitas, teman sebelah mungkin lebih tahu. Kalaupun teater ini tidak ingin bicara soal modernitas, tapi lebih ke kritik atas gaya hidup, teman sebelah mungkin juga lebih tahu.

Sebagian orang menyalahkan kapitalisme. Komodifikasi agama lewat para penjual ayat tuhan di televisi, sinetron-sinteron kocak negeri ini, anak-anak sekolah yang dijerat setumpuk hafalan teori tanpa dimengerti, perempuan-perempuan yang merasa dirinya dimarginalisasi, politisi, seorang pelukis yang berdialog dengan Mak nya di selembar kanvas, entah apalagi. Saya tetap tidak terlalu mengerti. Modernitas katanya memang membawa sesuatu yang mematikan kesadaran, menumpulkan akal, mensihir, dan pada ujungnya tak pernah ada pembebasan, membelenggu.

Dari sedikit penggalan cerita yang nyangkut di kepala, kami sepakat untuk kecewa karena setting panggungnya tidak tergarap dengan baik. Kata teman sebelah lagi, penanda-penanda penting modernitas akan lebih jelas bila dieksplisitkan dalam tata panggung. Sebut seperti jam besar sebagai tanda bahwa waktu telah direduksi menjadi ruas-ruas sama besar yang terukur, televisi atau bahkan kerangkeng besi sebagai simbol keterkungkungan masyarakat modern, terjebak pada janji mempesona, tapi bisa membuat tercekik tiba-tiba.

Teman sebelah berkomentar juga soal tata musik. Saya juga sempat berharap ada bunyi-bunyi alat musik tradisional seperti saluang dengan dinamika, permainan tempo dan warna yang bisa lebih beragam. Kalaupun tidak begitu, ada semacam suara-suara mulut yang bisa menimbulkan efek lebih hidup. Sayang sekali produksi teater ini justru memilih menggunakan sound elektronik. Apakah pilihan penggunaan efek musik disesuaikan dengan tema? Saya juga tidak tahu. Ah, lagu dan tarian di awal yang terkesan wagu itu juga mengganggu. Coba ada eksplorasi gerak lebih, yang justru menabrak musik pengiring tapi bisa meninggalkan kesan indah sekaligus menyampaikan pesan.

Proses dari setiap produksi teater memang tak diragukan lagi pantas diacungi jempol. Sekali lagi sayang, naskah dengan kedalaman demikian tidak diterjemahkan dengan produksi citraan yang tepat sehingga seperti halnya efek modernitas, saya kehilangan ‘aura’ dari pertunjukan teater kali ini. Kegelisahan dan keterkungkungan. Apakah bunuh diri menjadi jalan keluar seperti yang dilakukan salah satu tokoh di akhir pertunjukan? Rasanya tidak harus se-ekstrim itu. Sederhana, kita hanya perlu memulihkan pengalaman menjadi sesuatu yang utuh, menghasilkan degup dan debar. Sederhana, hanya seperti membaca puisi Jok Pin di pinggir pantai saja.

1 April 2012