Senin, 10 Desember 2012

Catatan dari JAFF: Film-Film yang Tidak Bisa Dipercaya


Kepada siapakah akan saya bagikan kisah ini. Sementara orang itu sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Sekian banyak cerita dihadirkan kembali lewat ilusi-ilusi layar. Seberapa banyak kenyataan yang dihilangkan, ditolak lalu diolah lewat teknik sinematografis, penciptaan citra estetika, katanya. Dunia baru ini benar-benar membuat saya gagap. Demikian juga dengan orang-orang itu.

Tak banyak film yang saya tonton dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2012 kali ini, atau terlalu banyak untuk ukuran mereka yang sibuk. Memang terlalu banyak saya punya waktu luang.

Sisa film dalam folder sudah menipis. Beberapa diantaranya justru membuat saya mengantuk, murung, melankolis secara berlebihan, dan banyak efek negatif lainnya, semacam mengurangi daya hidup. Menonton drama korea seperti biasa juga sudah tidak menggairahkan lagi. Mereka seperti terus mengulang narasi yang sama, rebutan harta, rebutan cinta, meski tentu harus saya katakan bahwa itu pun masih lebih baik daripada sinetron kita.

Melarikan diri dengan menonton JAFF menjadi pilihan saya. Minggu itu saya pindahkan kampus ke Taman Budaya. Dasar memang sudah tidak ada kuliah, proposal yang tak kunjung beres. Kacau pokoknya. Kehadiran JAFF seperti memberi harapan, barangkali ada film yang menggairahkan.

Pengalaman visual saya selama ini jelas belum cukup untuk bisa menilai sesuatu secara obyektif. Dan memang tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menilai. Saya hanya ingin mencatat kesan dan pengalaman saja. Sekali-sekali boleh lah saya sok-sokan membahas film meskipun ya cuma sok-sokan yang pantas ditertawakan.

Film-film ini tidak bisa dipercaya. Tidak bisa dipercaya betapa orang bisa membuat yang demikian itu, tidak bisa dipercaya karena saya bisa menyaksikankanya, dan sekian banyak karena yang bisa mengikuti sebuah frase ‘tidak bisa dipercaya’.

Dokumenter yang Tidak Bisa Dipercaya

Dalam festival ini terdapat beberapa pemutaran film dokumenter. Tentu saja tidak semuanya saya lihat. Menonton Philippine New Wave: This is Not A Film Movement (Kavn De La Cruz, 75 menit, 2012) membuat saya bosan setengah mati. Dokumenter ini memuat pernyataan-pernyataan para sutradara Filipina yang katanya semakin mudah membuat film di era digital. Mereka bisa berekspresi dengan bebas, mengenalkan identitas ke-Filipina-an, merekam orang-orang terpinggirkan, dan serangkaian retorika yang biasa dikatakan orang-orang di luar mainstream. Halah, ngemeng epeh to yo. Saya tidak tahu apakah ini disengaja, tapi visualisasi dari film ini memang menggangu. Kadang tidak jelas apa yang dikatakan, kadang kamera terlalu dekat dengan subjek, kadang juga terganggu dengan masuknya suara-suara dari luar.

Sepertinya di luar hujan. Apakah setelah ini akan ada sesuatu yang menggairahkan? Kalau tidak, biar saya pulang saja sambil menari di bawah hujan.

Tapi Hujan pula yang memberhentikan langkah dan tetap membuat saya duduk menatap layar. Film kedua yang saya tonton berjudul Negeri di Bawah Kabut (Shalahuddin Siregar, 105 menit, 2011). Dokumenter ini bercerita tentang kehidupan orang-orang di lereng Merbabu. Gambar pertama memperlihatkan seorang ibu yang berusaha memotong kuku anaknya ketika tidur. Memotret dengan cerita yang terkesan lambat membuat saya ikut hanyut dalam kehidupan mereka. Para ibu bangun jam tiga pagi di tengah cuaca dingin, menanak nasi, pergi ke ladang menanam kentang, dan serangkaian gambar lain yang menghadirkan kehidupan mereka.

Film ini tentu dibuat dalam jangka waktu lama. Dari dialog-dialog natural,  penonton bisa merasakan kehidupan serba pas-pasan tetapi para petani itu tetap menikmatinya. Musim mulai mengacaukan perhitungan mereka selama masa tanam. Hujan terlalu banyak membuat kentang-kentang membusuk, kemarau yang demikian panjang membuat sayuran di ladang kering. Dan seorang anak dengan nilai paling tinggi dalam ujian harus rela untuk tidak melanjutkan ke sekolah negeri karena tak ada uang untuk membeli seragam. Sang ayah pun terpaksa berhutang.

Saya menyukai keintiman kamera dengan subjek dalam film ini meski terkesan lambat. Kehidupan mereka memang berada dalam ritme yang lambat, tetapi tak berarti juga menyia-nyiakan waktu. Wis, pokoke apik lah menurutku. Sekali lagi hanya menurut saya. Di akhir film pun, sang sutradara manawarkan harapan lewat ocehan seorang anak kecil. Suka juga bahwa film ini memotret momentum Pilpres 2009 lalu. Ketika penghitungan suara, tampak bahwa sebagian besar orang di sana memilih Megawati sebagai presiden. Hehe... tawa ini tidak bermaksud apa-apa, abaikan saja.

Film dokumenter lain yang saya tonton adalah Bachelor Mountain (Yu Guangyi, 95 menit, 2011). Ini film juga sangat menggairahkan, merekam kisah cinta yang sangat personal dengan latar belakang perubahan sosial dan kapitalisasi. Bayangkan ketika jumlah laki-laki di daerah China bagian utara semakin meningkat karena para wanitanya tak tahan hidup susah mengandalkan pekerjaan hutan dan berpindah mencari penghidupan di kota. Mengandalkan hasil hutan juga semakin sulit karena peraturan perlindungan hutan dan pelestarian lingkungan.

Seorang duda yang telah ditinggal istrinya dikisahkan mencintai seroang gadis di kota itu secara diam-diam. Ia sering membantu pekerjaan rumah sang gadis yang juga memiliki penginapan. Laki-laki itu mencintai perempuannya selama dua belas tahun dan tak pernah berubah cintanya, bahkan tak pernah mencoba berpindah ke lain hati hanya karena ingin menjaga track record-nya sebagai laki-laki yang baik. Sayangnya, sang gadis tak pernah ingin menikah. Ia hanya ingin terus berkonsentrasi dengan bisnis penginapan yang memang terus berkembang. Orang tuanya tak berhenti mendorongnya untuk menikah. Potongan filsafat terekam dari pernyataan mereka, bahwa kebahagiaan tidak hanya bisa dicapai dengan uang melainkan ketika kita punya seseorang untuk berbagai. So sweet...

Mencintai selama dua belas tahun. Luar biasa. Adegan paling saya suka di film ini adalah ketika sang gadis sedang ke luar kota dan sang duda berkunjung ke rumahnya. Ia memandangi kamar sang gadis. Melihat seperangkat komputernya dan berjanji dengan dirinya sendiri bahwa kelak dia juga akan punya yang seperti itu. Fiuh, setelah beberapa tahun berselang, sang duda mulai memiliki kebiasan berbicara sendiri. Kesepian dan cinta tak berbalas memang mengerikan. Haha..

Dari pemutaran beberapa film dokumenter yang saya tonton. Setiap sutradara memang memiliki caranya sendiri dalam merekam realitas. Tiga film ini pun menyajikan kesan visual yang sangat berbeda. Pemilihan adegan dalam film jelas telah menyebabkan abstraksi tersendiri terhadap apa yang ingin dihadirkan. Seperti halnya sebuah retina yang peka, se-realis apapun sinema, bahkan dokumenter sekalipun tentu tidak bisa menangkap keseluruhan realitas. Cerita-cerita dalam film tersebut juga bagian dari pilihan-pilihan atas realitas yang ingin ditampilkan.

Sebagai sebuah karya estetika, visualisasi dalam film dokumenter menghadirkan wilayah-wilayah visual yang berkelindan dengan wilayah dramatis. Hidup manusia memang penuh dengan drama. Dari bagian demi bagian yang ditampilkan di layar, rasanya memang menjadi tugas penonton untuk mendeteksi spektrum dramatis yang saling berkesinambungan dan paralel dengan realitas itu sendiri. Hehe..ngemeng epeh.

Teknik pengisahan sepertinya juga menjadi hal yang penting. Seperti dalam tulisan, dalam film kita menemukan gaya dimana potongan-potongan kisah dapat disajikan dalam setiap fragmen gambar. Dokumenter-dokumenter yang tidak bisa dipercaya ini juga memuat sekian bentuk gaya khas. Sinema memang tidak bisa dikatakan lebih dekat dengan realitas daripada seni klasik, tapi lewat film-film ini, kita tak hanya diajak untuk menikmati tetapi juga menghanyutkan diri di dalamnya.

Film Negara Tetangga yang Tidak Bisa Dipercaya

Akhir-akhir ini saya memang banyak menonton film. Sebagian besar film Indonesia, Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Iran, Korea, Jepang, China, sedikit Thailand, dan juga India yang sering diputar dulu sewaktu saya masih es de dan sampai sekarang sering diulang-ulang. Dalam festival ini, diputar juga film-film negara tetangga. Kebetulan yang sempat saya tonton adalah film dari Sri Lanka dan Filipina. Film Filipina menempati tempat khusus dalam festival ini dengan mengenalkan Guiterrez (Teng) Mangansakan II lewat film-filmnya.

Sebelumnya, saya akan sedikit bercerita tentang August Drizzled (Aruna Jayawardana, 108 menit, 2011). Film dari Sri Lanka ini mengisahkan seorang wanita pengurus krematorium. Saya tidak tahu jelasnya, film ini terasa membosankan dan membuat saya terbata-bata menangkap apa yang dimaksudkan. Apakah ini tentang tradisi orang sana yang menganggap seorang wanita pengurus makam itu mengerikan dan membawa sial, atau ada sebab lain yang membuat masyarakat sekitar memandang sebelah mata terhadap perempuan itu. Kisah tentang perempuan yang tidak bahagia ini mampu membuat orang murung seharian. Bisa jadi karena duka lara nestapa, atau bisa jadi karena kebosanan.

Seperti judulnya, gerimis bulan Agustus, gerimis dalam kemarau yang menguap begitu saja tak sampai membasahi hati penontonnya. Kalau pun ditinggal tidur dan lima belas menit kemudian kembali menonton, saya yakin tetap akan bisa mengikuti narasi besarnya, tentu dengan kehilangan-kehilangan kecil. Menonton film negara tetangga yang satu ini juga mengesankan gap. Meskipun ceritanya mungkin menyedihkan, tidak sepenuhnya saya bisa merasakan kesedihan kecuali karena subjektivitas sesama perempuan yang merindukan cinta, spesifiknya seorang laki-laki yang mencintai. Hehe... Mungkin karena pengaruh bahasa yang dipakai atau hal lain. Soal bahasa ini juga terasa ketika menonton Negeri di Bawah Kabut. Membaca translasi bahasa Jawa dalam bahasa Inggris ternyata cukup menggelikan. Gak penting sih, intinya film ini membosankan.  

Film berikutnya berjudul Nono (Milo Tolentino, 115 Menit, 2011). Menonton film ini membuat trenyuh sekaligus menghibur. Berkisah tentang seorang anak bernama Toto yang karena bibir sumbingnya hanya bisa mengucapkan namanya menjadi Nono. Dibesarkan dalam masyarakat menengah ke bawah, Toto berjuang keras untuk membahagiakan ibunya sejak sang ayah pergi tanpa pamit. Toto tidak diizinkan mengikuti paduan suara sekolah karena suaranya dianggap merusak harmonisasi. Ia pun sering diejek oleh teman sekelas dan seorang bocah gendut yang suka menggagunya. Toto bersahabat dengan Ogoy yang tuli. Pada akhirnya, Toto pun mendapat penghargaan khusus dengan menampilkan sebuah deklamasi tentang Si Ogoy yang ditinggalkan ibunya begitu saja.

Film tentang anak-anak atau dengan peran anak-anak memang selalu menarik. Peran mereka menampilkan kepolosan. Kadang mereka bisa lebih dewasa dari orang dewasa. Saya lebih suka cerita seperti ini dibandingkan narasi yang menampilkan perlakukan terhadap anak yang dilebih-lebihkan. Saya tidak tahu konteks di sana sehingga tak bisa cerita banyak. Mungkin menarik apabila bisa dikupas dari sisi itu. Cerita rekaan seperti ini sekalipun masih meninggalkan jejak-jejak yang bisa ditelusuri darimana datangnya. Kita tetap tahu bahwa masih ada batu bata dalam tembok yang dibalut semen. Lha, malah jadi kemana-mana.

JAFF tahun ini mengadirkan Guitierrez (Teng) Mangansakan II lewat film-filmnya. Kebetulan sekali dua film yang saya tonton itu terasa kurang menarik. Film pertama berjudul Cartas de la Soledad (Teng Mangansakan II, 105 menit, 2012). Karena terlalu banyak kesalahan teknis. Film ini sama sekali tidak nyaman untuk ditonton. Terlalu banyak kegelapan dan unsur-unsur suara yang hilang, bahkan dialog aktornya. Bercerita tentang seorang laki-laki yang mengasingkan diri dan hidup bersama seorang pembantu perempuan. Setiap malam ia mendengar berita radi dengan penerangan lampu minyak dan menulis pengalaman serta pendapat pribadinya. Laki-laki itu setiap hari menulis surat untuk dirinya.

Sayang sekali tidak ada keterangan tentang apa yang diperdengarkan lewat radio-radio itu. Penonton yang tidak mengetahui sejarah panjang perang di Filipina tidak akan mengerti apa yang dituliskan oleh laki-laki itu. Barangkali semacam kekecewaannya terhadap dunia lalu ia memilih menjauh atau ada hal-hal lain yang memuat pesan-pesan tertentu lewat tulisannya. Ketidaknyamanan saya menonton membuat saya mundur sebelum film berakhir. Sayang sekali memang.

Film kedua berjudul Qiyamah (Teng Mangansakan II, 95 menit, 2012) berkisah tentang penduduk suatu desa yang pada suatu hari melihat matahari terbit dari barat. Seperti banyak film-film bertema serupa, film ini juga merekam kegelisahan dan kehidupan orang-orang menunggu hari akhir tiba. Teng memilih menampilkan film ini dalam warna hitam putih. Barangkali ini memang pilihan estetis tetapi apa lagi yang bisa saya katakan selain bahwa film ini membosankan. Rasanya tidak hanya saya, melihat wajah-wajah penonton lain keluar ruangan dengan lesu begitu cukup bisa mengatakan bagaimana film ini di mata penontonnya.

Alur cerita diputar dengan lambat. Seperti halnya sebuah film detektif di mana penonton pasti mengharap benar-benar ada pembunuhan, selama film ini diputar saya hanya menunggu akhir ketika kiamat tiba. Gambaran yang bisa ditangkap tentang masyarakat Filipina Selatan cukup jelas. Mereka Islam, miskin dan menghidupi diri dengan bertani. Orang-orang tinggal di rumah-rumah sederhana.

Selain teror tentang hari akhir, masyarakat di desa itu disibukkan dengan teror lain. Pembunuhan terjadi dan ternyata dilakukan oleh seorang gila yang berkeliaran menjual mainan di kampung itu. Meskipun menggunakan bentuk-bentuk teror yang seharusnya mencekam, kelambatan alur, pilihan gambar, dan barangkali efek warna film tidak memberinya kesan mencekam. Kiamat memang benar-benar datang. Angin kencang dan cahaya terang menutup film ini yang juga berarti mengakhiri penderitaan penonton menunggu film selesai.  

Sayang sekali saya tak melihat film Teng yang lain. Fokus dengan kehidupan masyarakat Filipina selatan mungkin memang menjadi tema menarik. Masyarakat yang hidup dalam perang tak berkesudahan dan serangkaian sejarah panjang mereka sudah seharusnya dikemas lewat film dan ditonton banyak orang.

Film Pendek yang Tidak Bisa Dipercaya

Ada dua kompilasi film pendek yang diputar di JAFF tetapi saya hanya menyaksikan kompilasi kedua. Kalau melihat film panjang terasa seperti membaca novel atau roman, film pendek memberi kesan seperti membaca cerpen atau bahkan puisi. Film pendek hadir dengan kekhasan narasinya dan gambar yang ditata sedemikian rupa dan ditempatkan dalam rentang waktu yang sangat terbatas.

Film Ritual menempatkan kisah di depan sebuah cermin cembung dan meja rias. Tentang seorang yang selalu memesan tenderloin steak dan orange juice sehabis senggama di siang hari. Hunger Pangs, film dari Filipina ini bercerita tentang seorang ibu yang meninggalkan anaknya di pintu gerbang rumah calon walikota. Anak itu mati dimakan anjing kelaparan di akhir film. How to Make a Perfect Xmas Eve menawarkan panduan cara membuat malam natal sempurna dengan membuat hidangan dari hati dan daging para laki-laki yang telah menyakiti perempuan-perempuan ini. Sebuah ide yang bagus untuk dicoba di rumah anda. Please Me Love adalah cerita tentang pasangan yang menonton film bersama. Cerita dalam film yang ditonton mengantarkan mereka pada pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri, tentang cinta dan berakhir dengan tusukan gelas pecah di leher kekasih.   

Dokumenter tentang sejarah film Iran di masa revolusi Islam tahun 1978 dikemas dalam film pendek berjudul Blames and Flames. Pembakaran bioskop-bioskop terjadi, orang-orang yang tidak bisa lagi menyaksikan film kemudian membuat film atas diri mereka sendiri, menemukan para pahlawan di jalanan, dalam hiruk pikuk revolusi. Lalu ada Overseas, menceritakan seorang buruh imigran yang melaporkan kasus pemerkosaan atas dirinya sendiri dan berusaha memperoleh izin untuk melakukan aborsi legal. Film terakhir dalam kompilasi film pendek ini berjudul Bunglon, dengan apik memotret seorang istri muda yang mendatangi rumah suami dan istri tuanya. Cerita sederhana ini dikemas cukup baik, menggambarkan kegagapan seorang suami yang tak ingin rahasia perselingkuhannya terbongkar. Dasar!

Hal yang lebih menarik diceritakan di sini sebenarnya bukan tentang filmnya melainkan tanya jawab singkat setelah pemutaran. Telah hadir dua orang sutradara dari film How to Make a Perfect Xmas Eve dan Ritual. Seorang bertanya apakah ketika membuat film tentang persetubuhan, sang sutradara tidak ikut tegang? Spontan saya tertawa dalam hati. Di awal film tadi sudah dibilang bahwa orang-orang yang tidak bisa berpikiran terbuka dan kura­­­­­ng dari 18 tahun lebih baik tidak usah menonton.  

Perkembangan para sineas ternyata tidak diikuti dengan kedewasaan berpikir penontonnya. Film Ritual dibuat setelah mengadakan workshop film selama enam bulan. Hasilnya adalah sebuah film panjang yang tidak untuk ditayangkan dan film pendek yang telah anda saksikan. Selama jangka waktu itu, sang sutradara berusaha untuk menemukan mood antar pemain, membangun keselarasan suasana, bahkan sampai persoalan detail ketika pintu hotel diketuk. Film ini telah melewati diskusi panjang, bahkan dengan membeberkan persoalan paling personal sekalipun, dan tentu juga mendiskusikan persoalan moral.

Soal erotisme dalam sinema sepertinya menjadi perbincangan yang tak sudah-sudah. Kita akan berurusan dengan sensor, baik sensor dari diri kita sendiri maupun urusan formal miliki negara. Teman di samping saya saja berusaha mengalihkan pandangan dari layar, berusaha tak melihat itu adegan meski ia terpaksa harus tetap mendengar suara ah uh ah uh dari para aktor. Haha.

Erotisme dalam sinema barangkali pernah menjadi unsur bawaan, unsur pelengkap atau permainan bebas gaya kapitalis yang ingin menarik sebanyak-banyaknya penonton dengan memanfaatkan—kalau istilah Bazin—tropisme paling ampuh: tropisme seks. Tentu bukan karena yang terakhir itu, dalam film Ritual, kita benar-benar menyaksikan ritual. Sesuatu yang diulang-diulang, persetubuhan pada jam istirahat siang, dan mungkin gaya khas kelas menengah.

Hmmm, apalagikah? Rasanya cukup untuk berkomentar tentang film ini. Seandainya kita bisa melihat transmutasi estetis yang sempurna dalam film semacam ini, Ritual maksud saya. Apa meneh kuwi transmutasi? Haha. Seandainya transmutasi estetis ini berjalan sempurna, penonton tentu tidak ikut beremosi dengan para aktor. Nyatanya, efeknya tetap berbeda pada setiap orang. Ada yang bisa menangkap estetika atau terjebak pada sesuatu selain itu. Teman saya sendiri mengaku jadi agak gimana gitu ketika melihat sang aktor yang kebetulan hadir.

Enaknya begini saja. Setiap film memang bebas mengatakan apa saja tetapi tidak akan mungkin memperlihatkan segalanya. Tabu sosial dan moral menjadi pembatas tersendiri, yang kadang terlalu picik dan semena-mena. Terserah penonton, apakah maslahat dari menonton film-film seperti itu akan lebih banyak dari mudarat yang ditimbulkannya.

Seorang lagi bertanya mengapa yang ditampilkan dalam film-film seperti Ritual dan How to Make a Perfect Xmas Eve seperti meniru-niru barat. Kita bisa melihat adegan pembunuhan dan berdarah-darah itu seperti dalam film Saw. Kenapa tidak mengambil gaya pembunuhan yang khas Indonesia atau ritual senggama khas Indonesia? Sumpah, saya kembali ingin tertawa. Saya tahu betul maksud penanya yang mendorong munculnya warna-warna lokal dalam film. Tapi gak banget kalau ditanyakan dalam konteks dua film itu tadi. Jawaban para sutradara juga sederhana. How to Make a Perfect Xmas Eve dibuat ketika sang sutradara sedang patah hati dan muncul imajinasi untuk mencincang-cincang tubuh mantan pacarnya. Sama sekali tak ada referensi dari film barat. Lagi-lagi, gap dimana dunia para sineas berdiri dan penontonnya sepertinya sudah semakin mendesak untuk dijembatani. Saya tidak tahu lagi harus berkomentar apa.

Selama ini memang jarang saya menonton film pendek dan menjadi pengalaman visual tersendiri setelah menonton film-film yang tidak bisa dipercaya itu. Ada efek filmis yang mengikuti saya kemana-mana. Perubahan cara melihat dan memandang realitas pun terjadi. Di tempat makan itu, seorang pria sedang melihat dengan tatapan hampa kepada pasangan perempuannya yang tidak juga menyelesaikan makan malam. Dalam hatinya, saya mendengar suara gemuruh emosi tertahan. Seperti ingin mengunyah perempuan di hadapannya itu. Tiba-tiba saja mengalir rangkaian gambar filmis dalam kepala. Betapa kadang laki-laki juga tertindas oleh perempuan. Haha.  

Film Indonesia yang Tidak Bisa Dipercaya

Ada dua film panjang Indonesia yang saya tonton dalam JAFF. Film pertama adalah Parts of the Hearts (Paul Agusta, 90 menit, 2012). Film ini bercerita tentang Peter yang gay. Dibagi menjadi delapan bagian narasi yang mengisahkan cerita cinta Peter dari kecil sampai dewasa. Banyak eksperimentasi kamera dan efek yang berbeda di tiap bagian. Kesatuan sekuen gambar dalam film ini membuat homoseksualitas tidak lagi terasa menjijikkan tetapi romantis, penuh cinta dan kesedihan yang akan selalu mengiringinya. Ini hanya kesan saya yang tetap saja masih melihat dengan perasaan janggal orientasi seksual yang dianggap menyimpang itu.

Film ini bertambah manis dengan soundtrack yang mengiringi kisah cinta Peter. Tiap bagian memiliki judul-judul unik seperti Stolen Kiss, Game Kiss, Solace, dan sebagainya. Asyik. Mungkin kata itu tepat untuk menggambarkan film ini. Saya suka sekali dengan bagian awal film ini. Setelah Peter dan teman laki-lakinya mengungkapkan cinta, slide show benda-benda ditampilkan dengan latar sebuah kamar. Dari jam dinding yang berdetak, sprei kusut, kertas tisu berserakan. Seperti ada semacam peralihan pemaknaan di balik benda-benda. Tentu saja penonton sudah mahir mengidentifikasi apa yang terjadi di antara mereka berdua. Pemaknaan beralih ke analogi dan analogi menuju identifikasi. Sketsa montase yang ditampilkan ini terasa indah, seperti visualisasi puisi. Masih banyak pula gambar-gambar close-up yang tiba-tiba dikaburkan untuk menampakkan kesedihan dan tampaknya memang cukup berhasil.

Parts of the Hearts penuh dengan pemain baru. Maksudnya, baru saya lihat dalam film ini, termasuk pemeran Peter yang berubah-ubah untuk menggambarkan perubahan usianya. Lagu dan narasi di awal sedikit berubah menjadi kaku ketika muncul dialog antar pemain, meski tidak semua tentunya. Sebagian dialog menggunakan bahasa Inggris. Buat saya ini terdengar aneh karena jarak saya sendiri dengan budaya mereka terasa jauh. Sebagian dialog lain benar-benar terasa mengambang, sebut misalnya dialog Peter dan mantan kekasihnya yang bertemu kembali di sebuah kamar hotel setelah enam bulan tak ada kabar. Sang kekasih memilih menikahi seorang perempuan demi membahagiakan orang lain. Fragmen ini terasa sedikit mengganggu walaupun kemudian tertutup dengan narasi berikutnya yang tetap bisa dibilang asyik.

Berikutnya adalah film berjudul Mata Tertutup (Garin Nugroho, 90 menit, 2012). Film pesanan Ma’arif Institute ini bercerita tentang persebaran fundamentalisme Islam di Indonesia. Film ini mengangkat persilangan tiga cerita, seorang perempuan bernama Rima yang dipatahkan oleh sesuatu yang sangat dia percaya sebelumnya, seorang Jabir yang memilih menjadi martir sebagai jalan keluar kemiskinan dan seorang Ibu yang menunggu kepulangan anaknya yang direkrut NII.  

Soal narasi dalam film tidak akan saya utak atik karena sudah ada pernyataan bahwa narasi tersebut dibuat berdasarkan hasil riset. Pembuatan filmnya sendiri melibatkan mantan anggota NII yang berada di tengah-tengah kru film dan memberi petunjuk kepada pemain, begitu kata Om Garin. Film ini hampir dibuat tanpa skrip kecuali sekitar sepuluh halaman konsep adegan yang telah disusun matang. Dengan demikian, film ini sepenuhnya mengandalkan kemampuan akting para pemain dan kecakapan mereka dalam berimprovisasi sesuai arahan sutradara.

Memang keaktoran para pemain dalam film ini sudah tidak diragukan lagi. Amalgam pemain (halah, istilah apa meneh iki?) antara pemain profesional, para aktor teater dan pemain dadakan yang sebenarnya cukup beresiko ternyata justru menambah kekuatan cerita film ini. Siapa tak kenal dengan Jajang C. Noer, aktris luar biasa berwajah keras ini berperan sebagai Ibu yang khawatir anak gadisnya masuk NII.  Siapa tak kenal Kedung Darma Romansha. Saya sendiri mengenalnya sebagai aktor teater dan pembaca puisi yang sering tampil di berbagai acara. Dengan pakaian hitam-hitam sambil menjual kopyah, Kedung memainkan perannya sebagai semacam anggota JIL yang sedang merekrut pemuda-pemuda putus asa untuk dijadikan martir bom bunuh diri atas nama jihad. Seorang pelaku bom bunuh diri diwakili oleh sosok Jabir, seorang anak pesantren yang ikut casting karena diberitahu bahwa syaratnya hanya bisa mengaji. Wajahnya lugu dan polos dan terlihat cocok untuk perannya yang ingin mati demi sang Ibu.

Film ini diisi oleh bunyi saluang yang khas membari kesan tersendiri. Saya ingin tapi enggan membahas narasi. Soal fundamentalisme dan ekstrimis keagamaan itu. Film ini memerangkap penonton pada realitas sekaligus ilusi dramatik dari citraan gambar. Siapa yang tak menyebutnya dramatis ketika digambarkan seorang istri petinggi NII, pucat, dengan daster kumal, hamil dan sakit hingga mengalami pendarahan karena kesulitan ekonomi yang diderita.

Ilusi dalam sinema adalah niscaya, kadang justru menghilangkan kesadaran realitas yang dalam benak para penonton akan diidentifikasi melalui tampilan yang bersifat sinematografis. Tapi karena sudah ada pernyataan di awal dari sutradara, saya jadi tak akan bicara banyak tentang ini. Film selalu tak bisa membedakan dengan jelas di mana awal dan akhir kebohongannya, karena itulah justru yang membentuk seninya.

Saya sudah lelah menulis ini hampir seharian. Saya cukupkan saja sampai di sini. Kalau dibahas detail satu demi satu sebenarnya ini bisa menjadi novel. Hehe. Akhir tahun penuh seremonial festival. Selamat menonton!


Kamar Kost, 10 Desember 2012.