Kamis, 21 Juni 2012

Tentang Perantara

Ruang Seminar MAP, 18 Juni 2012

Sudah lewat jam sembilan, ruangan masih sepi sementara dalam poster publikasi, acara akan dimulai jam setengah sembilan. Sudah saya tinggal ke perpustakaan untuk meminjam buku, kembali sekitar pukul sepuluh dan ternyata belum juga dimulai. Panitia maju untuk memberitahukan agar peserta bersabar menunggu karena pembicara sedang dalam perjalanan setelah melayani wawancara. Seperti biasa, saya duduk paling belakang sambil mencatat-catat dan mendengarkan. Jadilah ini tulisan. Seperti biasa, sedikit ngawur dan tak bisa dipertanggungjawabkan.

Sebuah diskusi bertajuk “Politicising and Comodifying Public Sphere: The Political Economy of Media in Indonesia” digelar bersama Dr. Yanuar Nugroho. Sebelumnya saya hanya pernah mendengar namanya sebelum akhirnya tertarik melirik biografinya setelah diskusi pagi ini. Laki-laki yang sudah delapan tahun di Manchester ini sedang berpikir-pikir untuk pulang ke Indonesia. Ia adalah lulusan ITB, sedang sibuk dengan teknologi nano dan memikirkan jalan keluar dari nuklir untuk Jerman. Sekadar menyempatkan waktu berada di tengah kita, ia bicara tentang media sebagai salah satu bentuk teknologi yang bisa menyambungkannya kembali dengan Indonesia.

Agenda risetnya, hasil kerjasama dengan beberapa lembaga riset dan donor ini merupakan bentuk penelitian bertahap terkait dengan pemetaan industri media di Indonesia, pemetaan kebijakan tentang media, media dan kelompok-kelompok minoritas serta tantangan ke depan dan prospek media di Indonesia. Gagasan ekonomi politik media menjadi penting di sini karena kotak-kotak disiplin ilmu saat ini justru semakin membatasi, bukan membantu dalam menjelaskan realitas.

Gagasan ekonomi politik tersebut akan memperantarai bagaimana kita memahami peran media dalam masyarakat. Media dalam bahasa latin bersifat jamak yang berasal dari kata medium, memperantai locus publicus dan bonum commune. Media menghubungkan fakta-fakta dalam individu dan melihat mungkin atau tidaknya orang bisa hidup bersama. Berbicara tentang peran media, kita tidak bisa menganggap yang seharusnya itu sudah menjadi yang senyatanya, sebagaimana kita tidak bisa menghidupi ilusi bahwa yang seharusnya ada sudah mengada. Ini bukan kata saya. Ini kata Pak Yanuar yang kira-kira dalam penyampaian materinya sempat diulang sekitar tiga kali.

Bagian awal paparannya sedikit menyinggung tentang filsafat dan teori-teori media. Bayangkan bagaimana pidato-pidato para pejabat di Indonesia itu didengungkan. Tujuh puluh persen kalau dicermati merupakan kalimat-kalimat tak penting dan tiga puluh persen sisanya adalah campuran tak jelas antara data, mimpi dan obsesi. Dalam banyak ruang, media—apapun bentuknya—memang menjadi sebuah arena kontestasi. Menguasai media semakin mirip dengan mengontrol publik dalam wacana, kepentingan, bahkan selera.

Bentuk media baik itu fisik maupun non-fisik tidak hanya digunakan sebagai ruang tetapi juga sebagai arena untuk engage. Media mampu merekayasa consent (istilah ini menggambarkan sesuatu yang melebihi kesadaran). Media dalam konteks ini menjadi manufacture consent, bahkan bisa menjadi alat propaganda. Pak Yanuar lalu mulai menyebutkan nama-nama, dari Chomsky, Habermas, Bagdikian.

Studi-studi awal tentang media mulai dilacak sejak Lipmann (1922) yang mengatakan bahwa media adalah bagian dari persuasi dan persuasion has become a self – conscious art and a regular organ of popular government. Studi selanjutnya banyak dilakukan oleh Hill dan Sen (2000, 2010), Arsenault dan Castells (2008) – On The Industry. Ironisnya, tak banyak orang Indonesia yang menulis tentang media. Sebagian justru ditulis oleh orang luar negeri. Padahal, media adalah ruang kosong sekaligus penuh kesemrawutan di dalamnya yang selalu akan menarik untuk dipotret. Maka, Pak Yanuar secara tegas mengajak kita untuk mulai mengisi ruang kosong dalam kajian ilmiah tentang media ini.

Bukankah negara ini selalu asyik untuk dituliskan, di mana semua anomali bisa ditemukan di negera ini. Di mana semua teori bisa tidak berlaku di negeri ini.

Media adalah satu di antara banyak hal yang paling mempengaruhi orang banyak dengan level analisis sangat tinggi. Media bisa dibicarakan dalam ragam disiplin ilmu; ekonomi, politik, psikologi, budaya, dan sebagainya, dan sebagainya. Politik misalnya, sebuah data hasil riset desertasi yang baru diujikan kemarin Jum’at menyebutkan bahwa tujuh dari kelompok besar media sudah dibayari Fox untuk mendukung isu pemilu satu putaran.

Hal yang dibicarakan kemudian adalah soal konglomerasi media, profit driven, business oriented. Semntara itu, kebijakan pemerintah hanya mengatur terkait isi dan infrastruktur. Tidak ada kebijakan yang mengatur tentang kepemilikan. Soal kepemilikan ini justru diatur melalui undang-undang PT, kepemilikan saham.

Bagaimana dengan audience Indonesia? Di tengah hiruk pikuk media, misalnya televisi yang di ruang kuliah selalu dihujat kemana-mana itu, soal sinetron, soal iklan-iklannya, soal infotainment-infotainment-nya, audience Indonesia mengalami pergeseran dari citizens menjadi consumers. Ada penjaga yang tereduksi secara dramatis seperti tidak berdayanya TVRI dan RRI sebagai media publik. Di negara beradab dan waras manapun di dunia ini, yang dominan pasti selalu penyiaran publik. Dengan demikian, hal yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan revitaliasi TVRI dan RRI. Hanya dengan begitu gagasan Habermas masih sedikit punya akar. Ah, rasanya susah juga. Kalaupun direvitalisasi, seperti apa bentuknya? Belum lagi soal kutukan rating yang semakin mendangkalkan publik negeri ini.

Perbincangan: Gloomy on Medius

Seorang mahasiswa dari Kajian Media dan Budaya bertanya, “mengapa perspektif yang dipakai dalam penelitian lebih merujuk pada dimensi citizenship? Kenapa tidak membahas soal pekerja medianya, misalnya dengan perspektif yang lebih Marxian? (Lha, Chomsky itu darimana?) Pekerja media saat ini sudah ada yang mendanai untuk melakukan riset sendiri. Jadi, mari kita tunggu saja hasilnya.

Sementara itu, riset media di Indonesia tidak banyak yang menggunakan perspektif citizens right. Media menjadi instrumen kekuasaan. Seorang pemilik media yang diwawancara Pak Yanuar bercerita kalau dulu setengah mati ia mau ketemu menteri. Tapi sekarang setelah punya media, menteri yang mau ketemu dengannya. Kuasa dimana-mana tak pernah termanifes dalam ruang kosong. Kuasa selalu punya salurannya seperti discourse, interest and taste.

Pertanyaannya lain datang terkait dengan what do they share in common? Kelompok-kelompok media besar ini saling bertarung tetapi sekaligus menjaga agar tidak ada yang mati dalam pertarungan. Keberadaan yang satu akan tetap menguntungkan yang lain. Mungkin para pebisnis bisa lebih memahami logika ini.

Kembali pada peran publik. Apa yang bisa dilakukan ketika publik hanya menjadi konsumen? Sebagai konsumen pun, kita bisa berpolitik dengan membeli atau tidak. Sebuah situs bahkan selalu menampilkan indeks untuk barang-barang yang diboikot dengan berbagai alasan. Meskipun demikian, exercise right sebagai citizens harus tetap menjadi payung bersama daripada exercise right sebagai konsumen. Publik interest guardian dibutuhkan dalam hal ini. Media publik menjadi bagian penting untuk mengawal hak-hak warga negara dalam gencarnya arus media. Ketika selera kita diarahkan oleh media, imperatifnya adalah bagaimana kita bisa mendidik media agar mempunyai selera yang lebih beradab.

Perbincangan kemudian mulai merambah pada kehadiran new social media yang selalu menjadi harapan. Beberapa waktu lalu seorang Rubini memotret mobil menteri yang menggunakan jalur busway. Kasus ini menjadi semacam harapan bahwa ruang-ruang baru dalam new social media bisa dikembangkan sebagai media kritik, bahkan berpengaruh terhadap proses demokratisasi. Ah, saya mulai tidak suka kalau sudah menyangkut-nyangkut soal demokrasi. Hehe...#mdrcct juga dibahas sebagai salah satu cara menarik di twitter ketika orang-orang semakin muak dengan pemerintah dan segala hal yang terjadi di negeri ini. Namun, seringkali aktivitas-aktivitas ruang maya itu juga hanya berkelindan di ruang maya, jarang sekali bisa benar-benar mewujud. Harga yang harus dibayar dengan gegap gempitanya media adalah kedangkalan.

Ada lagi penanya, yang ini sepertinya temannya teman sebelah. Sayang teman sebelah tidak bisa datang karena bangun kesiangan, semalaman mengerjakan tugas. Wah, rajin sekali tampaknya. Temannya teman sebelah dari Ethnohistory ini bertanya, “What need to be done?” dalam kaitannya antara citizen dan konsumen. Dimanakah pemerintah berada?

Seorang Ibu yang bangga karena bisa sekolah master ikut bertanya. Ia menggunakan perspektif kultural dalam mengungkap mengapa orang tertarik dengan industri media di Indonesia. Kultur masyarakat kita sendiri adalah suka nggosip. Kalau ada aturan agama yang tidak memperbolehkan untuk membicarakan saudara, maka mari kita membicarakan orang lain. Ibu ini sempat pula mengeluh bagaimana ia sering ditanya anaknya tentang siapakah selebriti yang menikah atau bercerai hari ini? Kita di sini menghujat-hujan siaran televisi, tapi di rumah anaknya sedang dipangku pembantu sambil bermain dan menyaksikan infotainment.

Satu orang lagi bicara tentang media dan kelas menengah Indonesia. Kelas menengah pun di Indonesia sampai saat ini masih konservatif. Referensi kelas menengah di Indonesia tidak merujuk pada kelas menengah dalam revolusi Perancis tetapi kelas menengah hasil pendefinisian bank dunia dengan indikator tingkat penghasilan. Buntu.

Ada semacam proyeksi, kekhawatiran, dan sepenggal optimisme murung. Kultur apakah yang sebenarnya sedang muncul saat ini?

Kalau kita menengok ke gedung sebelah, ada new economy yang sedang berkembang saat ini. Sumberdaya ekonomi tidak hanya bersifat fisik tetapi juga non-fisik. New economy memperluas gagasan soal resources. Knowledge menjadi salah satu industrial resources penting saat ini. Orang yang tidak memiliki pengetahuan akan berada di tataran kelas terbawah. Kalau dulu ada mekanisasi yang menandai revolusi industri, saat ini komputer dan teknologi informasi menjadi simbol utama dalam revolusi industri kedua.

Ketika sumberdaya fisik bisa dikodifikasi, dikapsulasi, dibuat modulnya, maka pengetahuan memiliki derajat tacitness-nya. Sebagaimana satu resep masakan yang bisa menghasilkan seribu rasa berbeda hanya karena ada point: tambahkan garam secukupnya. Tacit knowledge tersebut sulit untuk dikodifikasi. Pak Yanuar lalu curhat. Kalau di luar negeri, lingkup keilmuwan justru diharapkan tidak linear agar ia bisa tahu seluas mungkin rentang pengetahuan. Beda dengan di negeri ini, kalau tidak linear malah tidak laku. Buntu.

Indonesia saat ini sedang menghadapi kultur baru tersebut. Komputerisasi dan digitalisasi tidak membuat orang Indonesia semakin pintar tetapi justru semakin dangkal. Pemerintah di mana? Pemerintah tidak berada di mana-mana. Pemerintah sendiri tidak memiliki keadaran tentang munculnya kultur baru ini. Pemerintah tetap berada di tempat menjaga kekuasaannya. Menjaga kuasa dengan kerajaan-kerajaan kementrian yang berdiri sendiri-sendiri di sekitarnya.

Serat optik palapa saja tidak segera dirampungkan pembangunannya. Ngomong seng (meminjam istilah teman sebelah untuk menyebut omong kosong). Kalau mau maju kok justru menggunakan jaringan wireless. Pemerintah tak berpikir juga soal pemerataan. Dari dulu juga begitu. Banyak orang di Papua itu punya televisi tapi tak bisa menangkap siaran. Ada lagi yang televisinya hanya bisa menyala dua jam sehari dan itu digunakan untuk menonton sinetron.

New social media mungkin sedikit bisa memberi harapan. Sebut seperti gerakan ‘Jaring Merapi’ atau ‘Akademi Berbagai’ di twitter. Kasus ‘Jaring Merapi’ ini unik juga. Bayangkan dalam setengah jam, orang bisa memobilisasi 6000 nasi bungkus melalui twitter. Yesus saja dalam salah satu cerita di Alkitab hanya bisa memberi makan sebanyak 5000 orang (Yohanes 6:1-14). Hehehe...ini cuma guyonan dalam diskusi tadi.

Saat ini juga banyak muncul radio komunitas. Tetapi, sebagian hanya bersifat ad-hoc. Biasanya radio komunitas ini muncul dari LSM. Kalaupun dikembangkan, isu-isu lain muncul. Ketika radio komunitas mendapat dana dari iklan, apakah masih bisa disebut radio komunitas? dan anehnya, semua kasus itu muncul dalam ketidaksengajaan, bukan karena design. Buntu.

Penanya terakhir. Kegelisahan muncul karena ketika kita keluar dari ruang seminar ini, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Di sini kita bisa menggebu-gebu bicara tapi di rumah anak-anak kita tetap ditontoni sinetron. Semua yang diwacanakan akan demikian cepat menguap begitu saja. Kembali pada pertanyaan, “What sould to be done?”

Pak Yanuar kemudian banyak membuka isu-isu metodologis yang belum dikembangkan di Indonesia. Ini sudah zaman digitalisasi dan sistem informasi tapi base line data saja Indonesia tidak punya, yang ada hanya perkiraan-perkiraan. Inggris butuh waktu sekitar delapan tahun untuk proses digitalisasi, tetapi menteri kita yang suka berpantun itu aneh-aneh cuma butuh setahun untuk digitalisasi. Ngomong seng. Media adalah new avenues dan kita butuh akademisi yang kreatif.

Saat ini bukan zamannya lagi menggunakan survey. Cara berpikir kita kenapa masih so yesterday? Padahal, ada satu situs yang menyediakan layanan bagaimana kita bisa melibatkan publik untuk memberikan data. Model-model seperti geo-tagging, misalnya. Terkait dengan pelayanan publik, kita bisa langsung memetakan bagian mana yang kurang melalui komplain publik, bahkan bisa lewat sms. Publik bisa mengontrol dan sekaligus penyedia layanan bisa merasa terawasi. Masih banyak lagi. Kita diskusi lain waktu. Acara selesai, ditutup dengan seremonial pemberian kenang-kenangan.

“Jadi kesimpulannya? Ratna mau nulis tesis tentang apa?”
“Kecoa menggeram dikepala. Sebelum tenggat di hari minggu. Sesamar duka diselisip bibirmu. Karam. Menua di emperan buku berserakan,” jawab Ratna.

Kamar Kost, 21:17 WIB.

Rabu, 06 Juni 2012

Mendengar Tubuh

Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil terbujur hancur sebelum sempat kauberi nama (Di Sebuah Vagina – Joko Pinurbo).

Sejak semalam suatu spesies manusia sudah menutup mata dan mulai melihat dengan telinga. Beberapa kilas ingatan membawa masa lalu kembali menampilkan surau kampung dan ramainya anak-anak mengaji di sore hari. Kata Pak Ustadz dulu, nanti ketika hari penimbangan amal tiba, bagian-bagian tubuh manusia akan bicara sendiri tentang dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Katanya lagi, mulut akan dikunci, manusia tak bisa berkata-kata, lalu tangan, kaki, akan memberikan kesaksiannya.

Kesenyapan datang. Dari sinilah visualisasi muncul mengiringi segala jenis ingatan. seperti biasa, pikiran spesies manusia akan menampilkan berbagai imajinasi, terpenggal, terpotong, terbagi dan tak pernah utuh. Selintas tentu adalah tentang tangan-tangan yang bicara sendiri. Tubuh berbicara. Sejauh apakah spesies manusia bisa membayangkan tentang hal ini? Tubuh spesies manusia bisa bicara. Tubuh mengoceh dan meracau tentang segala jenis kejahatan yang pernah dilakukan terhadapnya. Membela diri ketika dipersalahkan pikiran, akal atau bahkan jiwa yang sering dianggap lebih tinggi derajatnya.

Seperti kanak-kanak yang selalu terganggu ketika menemukan cara baru untuk memperlakukan sesuatu, spesies manusia kebingungan bagaimana mengatasi segala jenis ocehan tubuh ini. Demikian juga dengan indera, tiba-tiba saja mereka saling bertukar nama dan fungsi. Melihat dengan telinga, mencium dengan mata, dan sebagainya, dan sebagainya. Sejak kapan lutut bisa merangkak sampai ke pinggul. Untung saja pantat masih di tempat dan tidak ikut berlari hingga ke pipi. Tubuh meleleh. Spesies manusia mencair di tengah malam dan terkunci.

Dengan susah payah spesies manusia mencoba memahami bahasa gambar di kembara pikiran sendiri. Tiba-tiba senyap. Tubuh seperti menampilkan film bisu yang hanya menyajikan gambar-gambar dan gerak. Keinginan untuk mendengar yang tak terdengar tiba-tiba muncul. Dialog-dialog tak diperlukan di sini. Tubuh ini senyap dan bicara dengan cara mereka sendiri. Suara-suara tak lagi memiliki peran dalam permainan citraan tubuh yang bergerak sembari bicara dengan kesenyapan.

Mendengar dengan mata, spesies manusia kembali pada kesenyapan tubuh. Di sinilah spesies manusia mencari isapan jempol yang pada umumnya akan dianggap kenyataan. Seberapa banyak dusta yang bisa menyelimuti kebenaran perkataan ketika tubuh bisa bicara. Di sini, dengan sebaik-baiknya tentu spesies manusia menghindari uraian para filsuf tentang tubuh dan hasrat. Tak lain tak bukan memang karena keterbatasan spesies manusia, sama sekali tak mengeri apa yang mereka bicarakan. Pernahkan mereka mendengarkan tubuh mereka sendiri? Mungkin.

Sudah sejak lama spesies manusia ingin berhenti berpikir dan melakukan sesuatu, semacam refleksi diri atas pengalaman tentang tubuh sendiri. Tentu spesies manusia tak pernah berani. Hanya soal bahwa spesies manusia memang pengecut bodoh yang ketakutan mendengar tubuhnya bisa bicara, menyuruh melawan raja pikiran-pikiran.

Sepertinya memang tak pernah ada suatu tulisan yang bicara tentang tubuh sendiri dengan sepenuhnya jujur. Kalaupun dibuatkan sebuah sandiwara tentang tubuh bicara, kemungkinan akan merusak banyak orang lebih dari sekadar roman karena begitu nyata dapat dilihat itu kebohongannya, atau mungkin tak pernah ada orang yang akan benar-benar bisa jujur, berani menelanjangi tubuh sendiri. Orang boleh belajar dari Marquis de Sade, bahkan katanya, istilah sadis pun diambil dari namanya, dimana etika baginya adalah soal pembalikan-pembalikan. Entah spesies manusia ini mengigau tentang apa. Barangkali memang sedang gagap menampung kata-kata dari tubuh sendiri.

Sajak “Tubuh Pinjaman”, Joko Pinurbo mengingatkan, Tubuh/yang mulai akrab/dengan saya ini/sebenarnya mayat yang saya pinjam …. Bagaimana spesies manusia bisa kembali mendengarkan tubuh dengan keadaan seperti ini. Tubuh semakin sibuk memberontak. Selama inilah ia ditutupi, kotor sampai selalu harus dibasuh dengan tata cara wudlu paling tidak lima kali sehari. Matamu tak boleh melihat tubuh di balik berlapis-lapis baju yang juga telah rigid ditentutan cara memakainya, menutupi tubuh yang diiklim tropis begini sering merasa kepanasan. Lha, tapi bagi sebagian mereka, menutupi tubuh dengan lapisan-lapisan kain itu bisa menyejukkan, menghindarkan dari pandangan nyalang mata yang tidak semestinya. Entahlah.

Spesies manusia kembali bertanya pada dirinya, sejauh mana definisi tentang penguasaan atas tubuh sendiri? Tubuh pun kenapa harus dikuasai? Sejauh mana ia bisa dibiarkan bebas bicara dan bergerak semaunya? Mendengar kesenyapan tubuh. Banyak hal tetap tak bisa terdengar dari tubuh yang bicara. Maka, spesies manusia mulai sadar bahwa perlahan-lahan imajinya harus benar-benar ditambahkan efek suara.

Mulailah spesies manusia kembali bereksperimen. Hanya ada suara. Bukan kata, dialog atau percakapan. Jemari bergesek, jemari ditekuk satu demi satu. Jemari tengah diacungkan dan dengan sendirinya bicara sebagaimana manusia bisa mengumpat hanya dengan mengacungkan jari tengahnya itu. Tubuh menjadi simbol. Ibu jari dan jari tengah bergesekan, maka terciptalah suara ketukan khas dari keduanya. Begitulah spesies manusia mulai mencoba ragam cara dan mengolah jemarinya. Cukup sampai di sini!

Tetap ada keganjilan. Tubuh bukan bicara atas kehendaknya sendiri tapi dipaksa bicara. Mesin yang dikendalikan. Spesies manusia mulai melanjutkan eksperimennya kembali. Betapa terkejut ia ketika mendengar tubuhnya bicara atas kesadarannya sebagai tubuh. mungkin dengan mengeliminasi sedapatnya kekuasaan yang memenjarakan. Gila. Spesies manusia bahkan tak kuasa untuk menuliskan apa yang dikatakan tubuhnya. Ini lebih menyeramkan dari skizofrenia yang diderita Artaud, seniman Perancis ini mengalami paranoia ketika tak lagi mampu membedakan mana fantasi yang nyata dan tidak tentang tubuhnya, tubuh orang-orang disekitarnya, bahkan tubuh orang-orang yang dianggap paling suci sedunia.

Meracau lagi. Tubuh dibiarkan lapar setelah sedikit diisi hal berbeda setiap hari. Sehari hanya sarapan kopi. Sehari berikutnya diisi roti. Seharinya lagi benar-benar dibiarkan kosong. Sampai malam baru kembali memenuhi kebutuhan untuk mengisi perut dan membiarkan lambung bekerja menggiling makanan. Ternyata sensasi lapar dari hari ke hari ini berbeda. Lapar itu urusan macam apa sebenarnya? Perutkah? Pikirankah? Keduanyakah? Tak usah di jawab. Tak penting juga.

Spesies manusia benar-benar tak bisa melanjutkan kembara pikirannya. Ia harus kembali membunuh, bahkan membantai imaji-imaji, kembali memutilasinya menjadi potongan, mencacahnya hingga bagian-bagian paling kecil yang tak bisa dibagi lagi. Meng-amin-i rezim represi paling keji. Imaji menjadi atom, menjadi materi dan memberinya semacam tubuh. Sedang tubuh sendiri masih menjadi kesenyapan tak pernah didengarkan.

Demikianlah, di bagian akhir ini akan kukatakan. Taraf dependensi sudah harus dikurangi. Apakah aku mulai mengganggumu? Hanya karena aku tak ingin tubuhku tetap di situ. Bukan tubuh yang dipersalahkan. Mungkin hanya kenaturalan hasrat yang masih belum bisa kuterima dengan pikiran. Hasrat, keinginan untuk tetap di situ. Melipati baju-bajumu. Membaca punggung dan kaos sobek-sobek itu sambil merenungi kematian Jeff Buckley, “the boy with thorn in his side...behind the hatred there lies...a murderous desire for love.....”

Pas Ustadz datang lagi, dengan suara bergetarnya, “Alyauma nakhtimu ‘alaa afwahihim, wa tukallimuna aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun,” dan melanjutkan perkataannya dengan menerjemahkan ayat tadi, “Pada hari ini Kami akan tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan. Baca Surah Yasin ayat 65 ya,” begitulah Pak Ustadz berpesan untuk kami yang ngaji sore itu. Bagaimana dulu suatu spesies manusia kecil bisa mengerti imaji tentang tubuh mereka yang bicara sendiri, setelah mati?

Dan saat ini, spesies manusia merasa tenang dengan pesannya Pak Ustadz dulu itu. Mulut kita akan dikunci. Jadi, tak pernah ada yang bersaksi tentang bagaimana persilatan lidah kita dimulai. Lain kali akan saya catatkan sebenarnya apa yang dibicarakan tubuh ketika diberi ruang untuk bicara.


Kamar Kost, 20 Mei 2012

Kepada Kata yang Dibunuh Sebelum Diucapkan

Bangunlah sejenak. Ikat tirai dan biarkan ia menutupi matahari sebentar lagi. Jendela membuka terlalu lebar dan terang. Ada panas yang sejuk mengalir di sini. Meski kita telah jelmakan waktu menjadi degub jantung sendiri. Berderap semakin cepat. Matahari meninggi adalah alir darah. Gelombang panas yang mencuat sampai ke ubun-ubun. Aku baru saja mandi keringatmu pagi ini.

Buka matamu dan lihatlah. Kita telah menjadi sepasang kecoa raksasa seperti dalam novel “Metamorphosis” Kafka. Aku tak bisa memperlakukan ini sebagai hal yang asyik-asyik saja. Sesuatu yang bisa dibawa enak dan santai saja. Ada batas. Ambang yang ditentukan oleh entah. Aku sudah berusaha membunuh, bahkan tak pernah membawa mayat tuhan di antara kita. Sudah dari sekian puluh tahun lalu tuhan bosan bergelantungan di ujung-ujung jilbabku. Sampai dimana kita akan membawa tubuh sebagai kecoa raksasa seperti dalam novel Kafka?

Persoalan ini tak akan tuntas meski kita tak pernah menganggap fantasi metamorfosa hanya sekadar ilmu serangga. Kita masih bergulingan di atas kasur sebagai kecoa raksasa. Dengan nyaman bergulingan di antara distopia dan sebuah tempat yang lebih mengerikan bernama limbo. Kita membangun dinding-dinding yang sedikit demi sedikit akan kita panjat juga, atau bahkan suatu saat kita menjadi gelap dan begitu saja merobohkannya.

Aku lupa. Seharusnya aku tidak menyebut kita, tapi aku. Hanya ada satu kecoa raksasa dan bukan sepasang. Fantasiku tentang ‘kita’ mungkin sedikit berlebihan. Hanya di atas kasur inilah ada kita, kita bisa mengada. Ah, hari ini hanya sepintas roman picisan dan lembaran stensilan yang dikarang untuk memberitahumu. Lisan atau kata-kata selalu tertatih merangkum segala jenis jamak yang berhamburan tak bisa disebutkan. Maaf atas kecurangan-kecuranganku.

Siang ini, Zarathustra tiba-tiba datang padaku setelah kuselesaikan empat rakaat sholat dhuhur di kamar sempit ini, "Who among you can laugh and be elevated at the same time?”. Bagaimana aku menjawab ketika aku masih tak bisa menertawakan diri sendiri dengan airmata. Aku masih sibuk membatin rapalan dzikir ketika Zarathustra mulai bosan karena ia hanya mendapati aku terdiam. Aku tersenyum padanya sebelum akhirnya dia pergi tanpa sepatah kata. Beberapa langkah, Zarathustra menoleh dan berpamitan ingin meneruskan khotbahnya di Pasar Kranggan.

Perempuanmu ini, bolehkah aku menyebutnya begitu? Perempuanmu ini. Wanita dalam bahasa Herakletian diartikan sebagai alam dengan sifatnya yang suka menyembunyikan diri. Dan begitulah aku sembunyi. Sembunyi dalam kaosmu yang meski sudah dicuci tetap berbau keringat itu. Aku sembunyi dalam setiap tanda. Kadang bisa kau cium jejaknya. Aku tak pernah meragukan kepandaianmu membaca tanda dari jejak-jejaknya. Sudah berapa kali kau khatamkan Derrida? Tapi, aku tetap punya ceruk sendiri. Ndhusel, ngringkel di dalamnya tak mau diganggu.

Maaf kalau aku suka melompat-lompat begini. Sok nyebut nama dan istilah-istilah tak penting, bahkan tak kutahu juga apa makna sebenarnya. Kadang hanya tiba-tiba melintas begitu saja. Tubuhku masih kecoa raksasa. Hingga kesulitan bergerak persis seperti dalam novel Kafka. Antarkan aku pulang dan jangan menunggu sampai teman-temanmu di depan kamar itu menghentikan obrolan dan pergi. Biarkan aku pulang sebagai kecoa raksasa. Menunggu kematian berikutnya.

Mari kita bicara tentang en soi dan pour soi seperti dibilang Sartre. Ia sedang makan siang di warung makan khas Surabaya ketika menguliahiku tentang hal itu. Asal tahu saja, Sartre paling suka dengan menu rujak cingur dengan es teh manisnya. Jika pada en soi eksistensi manusia ada dengan sendirinya, maka pada pour soi manusia sanggup untuk meniadakan eksistensinya. Pertanyaannya, sampai kapan manusia sanggup untuk terus-menerus me-nidak? Persetan dengan pertanyaan Sartre.

Ah, aku ingin mengumpat bersamamu. “Jangkrik, Bos!”. Seterusnya kita mengumpati negara. Bukan negara tapi orang-orangnya. Bukan orang-orangnya tapi kita sendiri. Sumpek dengan bubrah dan kacaunya negeri ini. Buntu dengan pertanyaan, “Lalu kita mau jadi apa?”. “Anakku nanti akan kuberi nama Pramoedya,” begitu katamu. Dan mulailah kita mengarang nama-nama.

Matahari sudah meninggi. Sampai di manakah kita? Tahun-tahun ini terlalu cepat ketika waktu adalah detak jantung kita sendiri. Vertigo di kepalaku belum hilang, seperti halnya kegelisahan. Mari kita bawa santai saja. Seperti bubuk kopi yang tak bisa sepenuhnya larut. Sebagian mengendap. Sebagian melarut. Sebentar diaduk. Sebentar mengendap. Inilah mengapa kesenangan ini tak bisa dinikmati sepenuhnya. Aku. Kau. Masih di sini. Pada gelas kopi. Siapa mengendap. Siapa melarut. Siapa jadi kopi itu sendiri. Yang mana gelas. Yang mana sendok pengaduk. Memutar-mutar mencampurkan gula dan kopi. Sedikit saja manisnya. Manisnya selalu ada pada bibir kita. Kopi ini tetap pahit tapi berasa.

Beberapa waktu lagi akan senja. Menghitung saja denyut di nadi kita. Kau datang dari mana? Langkahmu terlalu pelan untuk kudengar. Lagu cinta dari ‘The Cure’ pelan membangunkanku. Sodakallahuladzim. Aku telah selesai mengaji dari Dhuhur sampai terdengar adzan Ashar berlalu. Segera kita kembali menziarahi makam para syeikh, dari Mas Marco sampai Tan, dari Aidit sampai Muso. Sesaji dari para Ibu sudah siap. Jangan lupa, aku masih kecoa, dari kecoa akan menjadi apa.


Sebelum Senja, 17 Mei 2012