Senin, 29 Oktober 2012

Kesan Jadi Penonton IDRF 2012



Sebentuk kesan akan saya tuliskan setelah menonton Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF), tanpa teman sebelah. Payah, kalimat pertama tulisan ini sudah berupa keluhan. Saya memang belum pernah menonton acara serupa. Sebelum menonton, sedikit gambaran dalam benak memperlihatkan orang-orang yang membacakan naskah dengan intonasi dan ekspresinya. Lebih tepatnya mungkin bisa disebut pelisanan naskah drama. Di acara menonton yang sampai tiga hari berturut-turut tak pernah absen ini, saya ditemani oleh pendekar pasir beracun untuk dua hari pertama. Ia khusus datang dari pulau pasir untuk menemani saya. Dia memang teman yang baik.

Tema IDRF tahun ini adalah “Memperkarakan Realisme”. Dua tahun sebelumnya, IDRF mengusung tema “Melihat Kembali Realisme” dan tahun lalu bertema “Mengolah Kembali Realisme”. Sayang sekali saya tak ikut ambil bagian jadi penonton untuk IDRF tahun-tahun sebelumnya. Dan di sini saya hanya akan bercerita, tak berani membanding-bandingkan atau berkomentar macam-macam tentang teater dan lakon realis di Indonesia. Sejarahnya sudah sangat panjang dan bukan kapasitas saya sebagai penonton untuk menuliskannya.

Mas Joned Suryatmoko membuka acara sebagai direktur IDRF yang juga akan digelar di kota lain yaitu Semarang, Bandung dan Lampung. Seharusnya ia ditemani oleh Gunamawan Maryanto, sayangnya dia sedang berada di Korea. Mungkin para aktor Teater Garasi sedang diikutkan training dalam management artis SM Town biar terkenal seperti Super Junior.Hehe.. Penonton di hari pertama ini lumayan semarak. Pendekar pasir beracun cukup senang bertemu dengan salah satu penonton yang juga bergaya mirip pendekar. Seorang laki-laki dengan udeng-udeng atau iket di kepala. Ia datang sendiri dan sepertinya tak mengenal seorang pun di tempat itu seperti kami.

/1/
Di hari pertama ini, Behind Theatre akan melisankan naskah Helvy Tiana Rosa. Dulu saya senang membacai karya Helvy ketika es em a dengan majalah wajib baca zaman itu bernama Annida. Jangan salah karena beberapa tulisan saya sewaktu es em a memang sangat Islami. Sempat dulu awal kuliah ikut FLP karena ingin menjadi penulis seperti Mbak Helvy. Tapi kemudian tak betah karena merasa bukan bagian dari sekawanan bidadari surga yang ada di sana.

Kembali pada naskah Helvy yang di bacakan di IDRF. Lakon berjudul Jiroris ini memang cukup menarik. Naskah ini dibawakan oleh Behind Theatre dengan interpretasi khas mereka yang segar dan menghibur. Helvy bercerita tentang seorang ibu yang khawatir dengan anaknya yang ikut Rohis di sekolah. Sebagai naskah realis, pelisan dan naskahnya sendiri bisa dikatakan berhasil menghibur. Perdebatan antara pandangan feminis dan Islam dengan kutipan dari Cixious dan Hadist Nabi dibawakan oleh aktor yang cute (peran Rossa, anak seorang pengacara ternama, tiba-tiba mengalami perubahan perilaku setelah ikut Rohis) dan seorang perempuan bergaya kebarat-baratan sebagai peneliti terorisme di Indonesia dari Amerika. Bagian ini menjadi tak terkesan berat. Penonton bisa menikmati dan kadang diselingi tawa.

Saya sendiri tidak tahu pakem dramatic reading itu seperti apa. Apakah hanya boleh dibacakan begitu saja atau pelisan bisa menerjemahkan naskah itu melalui penyutradaraan. Kalau anak-anak rohis digambarkan demikian heboh, tentu bukan lagi menjadi realis. Itu pun sebenarnya bukan soal. Dalam hal memindahkan realitas ke panggung, se-realis apapun, pasti tetap ada fleksibilitas pertunjukan yang bisa ditoleransi.

Dari pengalaman saya menonton, mungkin memang sudah jarang teater yang membawakan naskah realis. Kalaupun ada, naskah-naskah yang dibawakan sudah demikian uzur. Kalau tidak begitu, mereka membawakan naskah-naskah terjemahan seperti punya Chekov. Naskah-naskah realis nan uzur ini tentu harus kembali disesuaikan dengan zaman kalau ingin dipentaskan saat ini. Kalau tidak, mereka akan terjebak pada pembawaan kaku dan tak menarik perhatian. Jiroris tampaknya memang membawa angin segar bagi kekhawatiran saya tentang pertunjukan-pertunjukan teater realis yang seringkali masih membawakan lakon-lakon lama.  

Sebagai pembanding, naskah kedua yang ditampilkan di hari pertama ini berjudul Keluarga-Keluarga Bahagia (Happy Family) karya Ann Lee. Lakon dari Malaysia ini dilisankan oleh Teater Stemka. Berbeda dengan naskah pertama yang dibawakan dengan segar, naskah kedua dilisankan dengan membacanya begitu saja. Para aktor duduk di kursi setengah melingkar. Satu aktor bisa membawakan tiga karakter sekaligus. Kelompok teater yang bisa dibilang senior di Yogyakarta ini membawakan naskah yang bercerita tentang anak-anak perempuan beranjak dewasa. Percakapan mereka membawa cerita tentang bagaimana anak-anak itu memandang laki-laki di usia mereka, memperbincangkan hal-hal yang dianggap tabu dan tak layak diperbincangkan, juga soal-soal keluarga lainnya. Kadang segar, lucu, tapi juga sedikit membosankan. Mungkin juga karena ini naskah dari Malaysia sehingga sedikit tidak akrab masuk dalam telinga.

/2/
Hari kedua IDRF, pendekar pasir beracun masih bisa menjumpai kawan pendekarnya. Kali ini tak lagi memakai udeng di kepala. Tapi tetap saja ia terlihat berbeda dengan sepatu boot menkilapnya itu. Mas Joned kembali membuka acara, tetap dengan kabar bahwa Gunawan Maryanto masih berada di Korea. Di pojokan belakang, sepertinya saya melihat Mas Ipank sedang bersama teman-temannya. Biar saya jujur di sini. Saya nge-fans dengan salah satu potongan lirik lagunya, “dan revolusi...yang kita nanti...akhirnya pecah...di kamar ini...”

Hari kedua ini diisi dengan pelisanan naskah dari Singapura, ditulis Huzir Sulaiman berjudul Cogito. Naskah ini dilisankan oleh Forum Aktor Yogyakarta. Naskah ini juga sedikit terkesan berat. Para pelakunya memperbincangkan Descartes, Santo Agustinus sampai Rumi. Tiga Katherine Lee bertemu dan mengaku sebagai istri Tony Szeto. Salah satunya adalah sebuah program komputer. Seperti judulnya, dan yang tertulis di pamflet juga, naskah ini ingin bicara tentang keberadaan. Saya sendiri kurang begitu mengerti soal yang berat-berat berfilsafat macam begini. Tetap ada riuh tepuk tangan meski entah berapa dari orang-orang yang mengerti isi naskahnya.

Naskah kedua berjudul Ruang Putih karya Rangga Riantiarno. Dia adalah seorang penulis muda dan aktif di Teater Koma. Naskahnya bercerita tentang sebuah ruang yang mengharuskan penghuninya mengingat kejadian sebelum mereka mati, sebelum mereka bisa melanjutkan perjalanan kembali. Behind Theater kembali membawakan naskah di hari kedua IDRF. Seperti apapun naskahnya, tampaknya memang akan menjadi konyol kalau mereka yang membawakan.  

Dua naskah ini sepertinya memang perlu diperkarakan terkait tema realisme yang diambil. Saya jadi bertanya-tanya apakah naskah realis itu? Kalaupun ingin membuat pembahasan tersendiri, antara naskah realis dan pertunjukan teater realis tentunya menjadi dua hal yang sebaiknya dipisahkan tetapi tetap menjadi satu. Saya tak cukup punya bahan untuk membicarakannya di sini, sejarahnya..bla..bla..bla..., perkembangannnya di Indonesia...bla..bla..bla..teater dan naskah realis saat ini...bla..bla..bla...

Segumpal pertanyaan itu saya karungi untuk di bawa pulang. Tetap menggumpal dalam pikiran sampai sekarang. Kalau ada yang ingin berbagi, silakan hubungi saya. Mas Ipank sudah menghilang sejak jeda sebelum pelisanan naskah kedua.

/3/
Pendekar pasir beracun sudah pulang ke negerinya. Hari itu saya menonton sendirian. Rencananya juga setelah ini saya langsung pulang ke kampung halaman. Mas Joned kembali membuka acara dan lagi lagi mengabarkan bahwa Gunawan Maryanto masih berada di Korea. Penonton di hari ketiga ini sedikit menyusut. Meski demikian, Pendekar berudeng itu masih ada. Ia cukup setia juga karena tetap hadir sampai hari ketiga.

Hari ini akan dibacakan naskah berjudul Roberto Zucco. Karya dari perancis ini ditulis oleh Bernard-Marie Koltes tahun 1988. Naskah ini diterjemahkan oleh Arya Seta. Sampai sekarang hanya sebagian saja naskah yang diterjemahkan terkait dengan persoalan izin dan sebagainya. Sebagian lakon yang dilisankan oleh Forum Aktor Yogyakarta ini bercerita tentang seorang kriminal bernarma Roberto Zucco. Dari sebagian naskah itu, Zucco digambarkan sebagai seorang kriminal. Ia melarikan diri dari penjara dan menemui ibunya. Dan akhirnya dibunuhnya juga.

Tema besar kriminalitas dan nama penulis naskahnya benar-benar mengingatkan saya pada salah satu bagian novel Milan Kundera yang berjudul Kekelan itu. Melalui seorang pembaca berita, Mil Kun—panggilan sayang saya untuk penulis satu itu—mempersoalkan isi berita termasuk kriminalitas dan seberapa dekatnya dengan kehidupan kita. Setiap hari kita memang disuguhi berita tentang pembunuhan, kerusuhan, bayi yang dibuang, gadis diperkosa, dan sebagainya. Pun kadang kita sempat menganggapnya sebagai hiburan semata. Mendengar atau menyaksikan berita pembunuhan hampir mirip dengan membaca novel Agatha Christie sambil minum teh di sore hari.

Naskah Roberto Zucco membawa pada suatu kedalaman tertentu dari seorang yang dianggap kriminal. Mungkin juga yang seperti ini pernah kita saksikan di film-film psikopat. Tapi melalui naskah teater, kriminalitas bisa disajikan lengkap dengan kedalamannya, kehidupan seorang Zucco dan lingkungannya. Sayang sekali naskah ini belum lengkap diterjemahkan sehingga saya pun tak bisa menikmati pelisanannya secara utuh.

Naskah kedua yang dibacakan berjudul Keok karya Ibed Surgana Yuga (2010). Sepertinya naskah ini memang paling berkesan. Pelisan naskahnya sendiri adalah Teater Stemka dengan Om Landung Simatupang sebagai naratornya. Penampilan Teater Stemka untuk naskah ini terasa lebih menarik dibandingkan ketika mereka membawakan naskah Keluarga-Keluarga Bahagia sebelumnya. Menarik juga karena naskah karya seorang penulis dan pegiat teater muda dibacakan oleh kelompok teater sepuh di Yogyakarta.

Para sesepuh Teater Stemka berusaha untuk membawa ruh naskah yang berlatar di Bali dengan alunan seruling dan kenong. Mereka berusaha sekuat tenaga membawakan aksen Bali dalam pelisanan naskah tersebut, meski tak sepenuhnya menggunakan dialek Bali karena waktu latihan yang hanya enam kali. Beberapa kali kesalahan dalam pelisanan justru diubah oleh Om Landung menjadi sesuatu yang renyah dan mengundang tawa.

Lakon ini tentu bergaya realis. Bukan Bali yang banal yang ditampilkan melainkan Bali sekaligus orang-orangnya dengan segala pertarungan di dalamnya. Sebagian orang Bali dalam lakon ini digambarkan suka tajen, mabuk, suka dengan istri orang, kongkalikong dengan negara untuk urusan perjudian, kekerasan, pembunuhan, dan sebagainya. Terlepas dari pikiran-pikiran yang romantis maupun yang najis tentang teman sebelah dan ke-Bali-annya, naskah ini tetap bisa saya nikmati, kadang dengan tawa, kadang juga dengan pikiran yang tiba-tiba melompat entah kemana.  

Dikisahkan sepasang suami istri bernama Made Surya dan Luh Sandat yang mencari penghasilan dengan berjualan ketika tajen berlangsung. Tajen sendiri konon katanya sudah dilarang tapi masyarakat di desa kecil itu tetap saja menyelenggarakannya atas nama adat. Salah satu pemain tajen yang bergaya mirip preman bernama Komang Kober. Ia bekerjasama dengan Pak Binmas agar tajen tetap bisa dilangsungkan dengan memberinya uang.    

Ceritanya sederhana. Komang Kober mencintai Luh Sandat dan berusaha menjebak Made Surya melalui tajen. Komang Kober menyimpan niat buruk dibalik kebaikannya meminjamkan uang untuk biaya Ngaben ayah Made Surya yang lumayan mahal. Komang kober bekerjasama dengan Pak Binmas untuk menjebak dan memenjarakan Made Surya ketika ia mengikuti tajen. Sementara suaminya dipenjara, Komang Kober pun berencana memiliki Luh Sandat seutuhnya. Belum sempat terjadi, Made Surya mengetahui rencana Komang Kober dan terjadilah perkelahian berdarah itu. Dari cerita ini, Ibed sebagai orang Bali berusaha menampilkan Bali tanpa dibedak-bedaki dan saya suka itu.

Dari keseluruhan lakon yang dilisankan dalam IDRF 2012 ini, saya jadi bisa membuka mata. Tentu akan sangat beragam kalau tema-tema realis kembali dihadirkan di pangung-panggung pertunjukan. Tema dan cerita yang barangkali secara tidak langsung bisa mengobati sakitnya masyarakat negeri ini. Dari tiga hari ini, pelisan IDRF terlihat muncul dari tiga generasi. Dari anak-anak muda, setengah tua, sampai para sesepuh dari Teater Stemka. Yang muda tetap harus lebih banyak berlajar dan berproses sebagai aktor. Saya tahu itu proses begitu njlimet dan berdarah-darah.

Pegiat teater di Yogyakarta seharusnya bisa terinspirasi dari lakon-lakon ini. Jangan sampai tragedi ketika saya menonton teater beberapa waktu lalu terulang kembali. Sudah membayar tiket sepuluh ribu tapi pertunjukan yang dihadirkan justru membuat saya geram dan membangkitkan nafsu ingin membunuh orang. Terlepas dari bentuk apresiasi saya, cerita tentang kuburan keramat yang dikomodifikasi itu membuat saya ingin melempar sandal ke atas panggung.Hehehe..

Anak-anak muda kadang tergiur dengan bentuk teater yang aneh-aneh, teater tubuh, teater surealis dan aneh-anehan lain yang justru membuat penonton awam seperti saya tidak mengerti apa yang saya saksikan. Barangkali teater realis dianggap sebagai dasar yang mungkin dianggap pula sudah dilewati atau sudah tak masanya lagi. Padahal, pelatihan aktor yang njlimet juga tetap berlaku dalam teater jenis realis ini. Padahal, melalui pertunjukan-pertunjukan bentuk ini, kita kembali diingatkan terhadap realitas.

Realitas sendiri barangkali sudah sangat jarang kita saksikan. Ia ditumpuki berita-berita koran dan televisi. Berita-berita yang terlalu sering berseliweran meski saya tetap tak pernah percaya pada mereka, selain sebatas sesuatu yang mengejutkan, mengundang tawa, bergidik, merinding untuk sesaat kemudian dilupakan.

Saya menuliskan ini di ruang depan, ruangan yang dulu saya juluki ruang relung. Ruangan paling depan rumah ini memang semacam ruang untuk melihat ke dalam. Dulu sebelum mengenal Jogja, tulisan-tulisan awal saya pernah lahir di ruang ini. Masih polos. Mungkin seperti juga tulisan ini yang lahir tanpa tambahan informasi. Ah, akses internet lewat modem lelet sekali di sini. Tulisan ini murni kesan. Sekian.

Ditulis pada sebuah hari dimana saya pengen sekali ketemu Om Seno di Magelang, tapi apa daya.
Ruang Relung, 29 Oktober 2012

Selasa, 16 Oktober 2012

Oleh-Oleh Perjalanan ke Pulau Pasir


Sudah beberapa minggu lalu saya pulang membawa oleh-oleh ini. Biar diperam dulu. Alih-alih memang baru sempat dituliskan. Saya tahu tentang Pulau Pasir dari kabar seorang teman. Tentu kau tak akan menemukan tempat ini dalam peta manapun. Peta yang dibuat demi mengusai wilayah-wilayah, menerobos setiap jengkal hutan, gunung, pantai, sungai, lautan. Pulau Pasir adalah salah satu yang tak bisa ditemukan kecuali kau mau mengikuti kabar angin dan nekat untuk mencarinya. Pulau Pasir konon katanya akan datang juga kepada orang-orang yang benar-benar ingin menemukannya tanpa maksud menguasai.

Sebelum menemukan Pulau Pasir, saya singgah di sebuah kampung. Tempat ini mungkin ada dalam peta. Maaf saya tak bisa menyebutkan namanya. Kala itu hari minggu. Cuaca di kampung itu sedang panas-panasnya. Hari hampir siang dan di sebuah lapangan orang-orang mulai berdatangan. Tak ada yang aneh di sana. semua hampir mirip dengan kampung-kampung yang pernah kau temui. Mereka tidak terisolasi dari peradaban. Pekerjaan sebagian besar warga adalah petani, penambang pasir, segelintir pegawai negeri dan seorang mantri hewan. Itulah yang saya tahu. Saya hanya mampir sehari di pulau itu.

Di lapangan telah berkumpul orang-orang yang menyaksikan panggung organ tunggal. Duet penyanyi di atas panggung terdengar meliuk-liuk. Seorang laki-laki dan seroang lagi perempuan melantunkan salah satu tembang campur sari. Cuaca panas tak menghalangi warga untuk mencari hiburan sejenak setelah seminggu penuh bekerja. Organ tunggal itu dipesan untuk memeriahkan lomba antar kelompok senam ibu-ibu di kampung itu. Sponsornya salah satu partai yang baru saja muncul dan sedang giat-giatnya menggalang massa. Semua orang sudah tahu tapi tentu tak ada satupun bendera partai di sana. 

Lomba itu juga dimeriahkan dengan doorprize berupa oeralatan-peralatan rumah tangga seperti kipas angin, rice cooker dan dvd player. Ibu-ibu sudah memegang kartu bertuliskan nomor undian. Ketika panitia mengumumkan nomor yang ditunjuk, beberapa muka tampak mengkerut karena bukan nomor mereka yang disebut. Beberapa lagi merekah senyumnya. Segera seorang ibu berlari mendekat panggung karena beruntung mendapat sebuah televisi. Pembagian doorprize adalah acara puncak dan setelahnya akan ada hiburan reog. Panitia sudah pamit tapi anak-anak kecil dan beberapa ibu-ibu justru mendekat ke panggung. Mereka ikut naik panggung dan berjoged. Panitia memperingatkan untuk berhati-hati karena panggung itu rapuh dan bisa runtuh kalau terlalu banyak orang di atasnya.

Aih...ibu-ibu yang di depan panggung itu rasanya masih tak rela kalau musik berhenti. Ia masih ingin terus bergoyang dengan pakaiannya yang ketat tapi aneh, meninggalkan panggung sampil mengusap keringat di dahinya. Celana dan baju ketatnya itu sebenarnya menyiksa, masih ditambah dengan rompi berwarna ungu tua. Tubuhnya benar-benar basah karena panas. Anak-anak juga mulai sedikit menjauh dari panggung. Rambut mereka kemerahan dengan kulit mengkilat karena matahari. Kaki-kaki mungil bersisik itu beradu dengan debu dan rumput-rumput kering kecoklatan.

Berikutnya rombongan reog tiba. Mereka diangkut oleh truk dengan bak terbuka. Anak-anak yang tidak boleh lagi berada di panggung mulai memanjat dan bertengger di atas bak truk agar bisa menyaksikan pertunjukan lebih jelas. Reog di sini berbeda dengan reog di Ponorogo. Saya tak punya cukup data untuk menuliskan sejarah dan perkembangan hiburan rakyat macam reog yang saya saksikan ini. Reog di sini hanya berupa barisan yang terdiri dari dari dua orang pemimpin laki-laki, delapan orang penari perempuan, barisan kera, ksatria, raksasa dan punakawan yang mondar-mandir di sela barisan.

Saya menduga kalau pertunjukan ini mengusung cerita ramayana. Tarian yang diperagakan dalam pertunjukan ini memang sedikit statis. Irama musiknya juga demikian, hanya mengulang beberapa nada dalam sistem tangga nada pentatonis, mungkin slendro, mungkin juga pelog, tapi kemungkinan besar slendro. Pertunjukannya hanya menggunakan hitungan langkah kaki secara sederhana. Gerakan tangannya juga cukup sederhana. Gerakan-gerakan ini juga tergantung oleh karakter yang dimainkan.

Tata rias dari para penari reog terlihat tebal. Sedikit riasan berlebihan tampak pada bagian hidung dan mata. Para raksasa juga dirias dengan wajah menakutkan, bermata besar berwarna merah. Ketika perang antar penari berlangsung, pemain lain duduk melingkar. Terlihat wajah-wajah lelah karena kepanasan. Beberapa di antaranya minum dari botol yang sama secara bergantian. Setelah pertunjukan di lapangan ini, mereka masih harus berkeliling lagi menuju tempat pertunjukan berikutnya. Bayangkan, mereka akan menggelar pertunjukan antara delapan sampai sepuluh kali dalam sehari. Mereka berdandan sejak pukul enam pagi, selesai sekitar jam dua belas siang. Dan mereka baru akan selesai mengadakan pertunjukan sampai pukul sebelas malam.

Reog di kampung ini memiliki keragaman. Selain mengangkat cerita Ramayana yang bisa dikenali dengan barisan kera, reog jenis lain mengusung barisan prajurit. Barisan ini terdiri dari prajurit pedang, prajurit panah, prajurit tombak, dan prajurit gada. Masing-masing biasanya terdiri dari lima orang, tapi ini bukan pakem yang wajib diikuti. Pertunjukan perang dilakukan antar prajurit tetapi tetap dalam satu kelompok, misalnya prajurit pedang dengan prajurit pedang.

Pertunjukan ini biasa hadir setiap minggu. Ada banya kelompok reog di kampung ini. Mereka bergiliran membuat pertunjukan. Kadang juga ngamen kalau kebetulan ada yang menanggap. Sempat tak habis pikir kenapa kesenian ini masih ada. Kata seseorang yang saya temui ketika menonton, mereka mungkin tak banyak mendapat uang dari pertunjukan-pertunjukan itu. Sebagian malah merugi. Beberapa kelompok memang mempunyi kostum sendiri untuk dipakai saat pertunjukkan. Bagi yang tidak, mereka harus menyewa kostum dan berarti juga menambah biaya. Sekali ditanggap katanya hanya dibayar sekitar lima ratus ribu. Mana cukup uang tersebut dibandingkan jumlah anggota sebanyak itu. Meski begitu, pertunjukan reog tetap ada setiap minggu. Mereka ada bukan karena uang tentunya.

Penanggap bebas meminta untuk mempertunjukkan adegan perang yang mana dan disesuaikan dengan tarif atau bayaran. Adegan paling menarik biasanya menampilkan perang antara buta cakil dengan seorang ksatria. Gerakan cakil memang harus terlihat lincah dan memukau. Peran cakil memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Tak semua kelompok reog meiliki seorang karakter cakil. Kalau sudah begitu, mereka bisa menyewa pran cakil dari kelompok reog lain. Adegan lain yang juga sering dipesan adalah perang antara hanoman melawan raksasa. Peran hanoman juga diharuskan lincah. Seorang hanoman juga harus lucu memperagakan gerakan-gerakan kera, menggemaskan tapi juga mematikan.

Masyarakat memiliki klasifikasi untuk mengatakan kelompok reog mana yang dikatakan baik dan kurang baik. Klasifikasi ini biasanya didasarkan pada penilaian atas gerakan, kesesuaian gerakan dan irama, serta kesesuaian antara penari dan karakter yang dibawakan. Masyarakat bisa memilih kelompok reog mana yang ingin merekan tonton beradasarkan penilaian-penilaian tersebut.

Ini juga yang mau saya kisahkan. Ketika bunyi-bunyian mulai terdengar di lapangan, orang-orang berkumpul, perempuan dan anak-anak, juga gadis-gadis yang berboncengan mengendarai sepeda motor. Di kampung itu, sudah biasa gadis-gadis akan mengendarai motor berkeliling kampung tanpa helm. Orang-orang menyebutnya nyetrika dalan. Sebutan ini muncul karena mereka suka mondar-mandir seperti setrika menelusuri jalan. Selain itu, ada sebutan lain yaitu; thethek. Yah, bisa dikatakan semacam show off gitu. Para pemuda biasanya bergerombol di beberapa tempat tertentu, seperti counter hape, jembatan lama atau di teras rumah. Mereka kadang juga mondar-mandir dengan motor tak kalah dengan para gadis. Siulan akan terdengar dari para pemuda itu ketika gadis-gadis melintas di depan mereka.  

Saya juga sempat mencatat cara berpakaian mereka. Beberapa ada yang mewarnai rambutnya, meski sangat tidak cocok dengan warna kulit. Beberapa lagi mengenakan bandana dan pita di rambut. Sepertinya girl band yang sedang marak menjadi referensi bagi penampilan gadis-gadis kampung ini.

Perempuan dan anak-anak memang antusias ketika mendengar keramaian di kampungnya. Tapi tidak dengan seseorang yang saya temui ini. Ia justru merasa tidak nyaman dengan keramaian dan jenis hiburan yang ditawarkan, khususnya organ tunggal dengan panggung dan penyanyi dangdutnya. Saya tahu juga kalau ia masih keturunan priyayi di kampung ini. Orang-orang kampung masih menempelinya dengan label status sosial yang cukup tinggi karena keturunan. Ketika saya ajak menonton pertunjukan di lapangan itu, ia terkesan malas dan mencemaskan perkataan orang tentangnya. Meski demikian, ia hampir kenal dengan semua warga kampung, tetap rendah hati meski berstatus sosial tinggi.

Saya jadi ingat cerita novel Mbah Suparto Broto dengan Republik Jungkir Balik nya. Keluarga Kartijo diceritakan baru saja mengungsi dari Surabaya ke Probolinggo. Mereka harus mengungsi karena bom-bom yang mulai berjatuhan ketika pasukan Bung Tomo berusaha mempertahankan Surabaya pada November 1945. Keluarga Kartijo digambarkan cukup mapan dan bahagia di Surabaya. Ketika pindah ke Probolinggo itulah keluarga Kartijo kesulitan mengikuti kebiasaan hidup orang-orang Madura di desa. Mereka hanya mencari ikan, bertani dan suka dengan berbagai hiburan seperti Sandur (semacam pertunjukan teater tradisional) atau Tandak Bedes (komidi kera). Di sana digambarkan bahwa ketika bunyi-bunyian itu terdengar, perempuan dan anak-anak akan langsung berlari menuju sumber bunyi tersebut berasal.

Ini hanya sebuah cerita. Saya tak bermaksud jauh mengaitkannya dengan different taste dalam kelas atau kategori seni “tinggi” versus “rendah”, “modern” versus “tradisional”, “elit” versus “populer” dan dikotomi semacamnya. Tak punya waktu untuk melihat bagaimana masyarakat menghidupi seni reog ini. Yang saya tahu, mereka hanya ingin melestarikan tradisi dan kebudayaan reog yang sudah hadir dan bertahan cukup lama, entah berapa tahun pastinya. Secara obyektif, kesenian ini mungkin hadir dengan institusi, individu dan kelengkapan yang telah tersutruktur dengan skema-skema persepsi dan pemaknaan tertentu. Secara subyektif, seni reog juga memproduksi simbol-simbol di dalamnya yang dapat diidentifikasi serta menunjukkan keragaman dalam bentuk seni pertunjukannya.

Rasanya sudah cukup saya bercerita. Lha wong cuma mampir saja ke kampung itu. Tujuan saya adalah mencari Pulau Pasir. Sebuah pulau tersembunyi dimana tak sembarang orang bisa menemukannya. Di pulau itu saya ingin mencari sahabat saya, Si Pendekar Pasir Beracun. Rupanya ia benar-benar menghilang setelah pertarungan yang urung dilakukan. Entah, apakah saya bisa menemukannya di balik matahari senja. Para pembaca budiman, mohon doanya agar bisa menemukan Sang Pendekar Pasir sahabat saya.

Kamar Kost, Maghrib, 16 Oktober 2012 

Rabu, 10 Oktober 2012

Kisah Sang Pendekar Pasir Beracun


Kisah yang akan saya ceritakan padamu ini adalah sebuah kisah usang tentang seorang teman. Semacam ada keharusan untuk menuliskannya. Teman satu ini kadang seenaknya saya marah-marahi dan sekaligus mampu mengusir sepi, seorang perempuan sakti berjuluk pendekar pasir beracun. Sejak beberapa tahun lalu kami menjadi dekat dan sering bermain bersama di gundukan-gundukan pasir dekat kali. Pasir telah meminjamkan kekuatan padanya. Jurus-jurusnya mematikan, bersumber dari kekuatan pasir dengan racikan racun yang mampu membuat darah seseorang membeku seketika.

Jurus pasir maut menjadi andalannya. Jurus ini diturunkan berdasarkan garis keturunan dan tak satu pun orang di luar keluarganya yang bisa mempelajari. Keluarga pendekar pasir masih keturunan para ningrat  zaman dahulu sehingga semua orang di kampung itu dan juga dunia persilatan sangat menghormatinya. Pendekar pasir beracun berpembawaan sedikit kekanak-kanakan. Tapi awas, kau jangan berani macam-macam karena urat lehermu bisa putus hanya dengan sebutir pasir yang disentikkan dengan kekuatan ibu jari dan telunjuk.

Teman saya ini memang kuat, tapi perasaannya sedikit lemah dan tertekan. Ia membawa darah, warisan keluarga yang terasa berat di pundakknya. Ia tak sembarangan bisa bergaul dengan pendekar lain yang tidak setara kesaktiannya. Orang-orang selalu menunduk, takut hanya ketika berpasasan atau sekadar bertatap muka. Kadang pendekar pasir beracun ini merasa sepi juga dan mengalihkan perhatiannya pada aktivitas virtual dengan laptopnya.

Sebagai teman, saya tak bisa mengabaikan kisah ini. Pendekar pasir beracun telah banyak berjasa kepada pasir yang telah meminjamkan kekuatan kepadanya. Ketika para pengusaha dan penambang pasir skala besar datang untuk seenaknya mengekploitasi sumber daya pasir, pendekar pasir beracun memasang badan bagi para petani demi menyelamatkan sumber kekuatannya. Berterimakasihlah kepada pendekar pasir beracun karena orang sepertinya masih ada di dunia ini. Di sini tentu saya tak sedang bicara tentang aktivis pejuang hak rakyat atau yang semacam dengan itu. Saya hanya sedang bicara tentang seorang teman berilmu silat tingkat tinggi.

Sebenarnya saya hanya ingin menceritakan sebuah fragmen kisah cinta tapi kenapa rasanya malah seperti menuliskan jalan hidupnya. Aneh memang.

Kesaktian dan racun ganas pasir tak mampu mengalahkan takdir dan tragedi cinta. Cinta pendekar pasir beracun hanya akan dimiliki oleh siapa pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Kisah ini bermula ketika ia bertemu dengan seorang pemuda kampung. Ia adalah sosok pemuda biasa-biasa saja, dengan kesaktian biasa, kepandaian biasa dan segala hal yang tak lebih baik dari kebanyakan pemuda lain. Inilah pertama kali pendekar pasir beracun mendapatkan perhatian utuh dari seseorang. Pemuda itu tak kenal takut dengan kesaktiannya, tak kenal rendah diri karena hanya keturunan rakyat jelata dan tak punya kesaktian yang bisa dibanggakan.

Kisah klasik kembali terulang. Seperti sudah saya bilang, menjadi tradisi dalam keluarga Sang Pendekar bahwa orang yang akan menjadi suaminya adalah orang yang mampu mengalahkan kesaktiannya. Sang Pendekar terpaksa harus bertarung dengan seseorang yang dicintainya. Sebuah pertarungan yang sama sekali tidak dimaksudakan untuk saling membunuh. Pertaruangan sepasang kekasih adalah percumbuan paling indah, sama sekali tak dilukiskan dengan kekerasan tapi kelembutan. Sebuah pertarungan yang mampu membuat tetes air mata bagi orang yang melihatnya.  

Pada sebuah senja yang muram. Di pinggir kali itu telah ditentukan waktu yang dirasa tepat untuk mempertemukan pendekar pasir beracun dan kekasihnya. Saat ini sedang kemarau dan air kali hanya ricik saja mengalir. Pertarungan itu disaksikan oleh keluarga pendekar pasir dan beberapa warga kampung. Sebagian besar lain tak sanggup menyaksikan tragedi ketika dua orang kekasih harus saling membunuh. Betapa bulat matahari senja itu. Angin membawa pula lagu-lagu kesedihan. Kisah cinta yang sangat menyakitkan harus berakhir. Darah siapa yang akan pertama kali mengubah warna kali, semua sudah bisa menduga.

Pendekar pasir datang terlebih dahulu.  Tak lama kemudian, pemuda yang dicintainya datang dengan wajah kuyu. Otot-otonya yang kekar karena sering digunakan untuk bekerja kasar itu tampak mengkilat diterpa cahaya senja. Beberapa orang yang sudah berdiri di pinggir kali tempat bertarung mulai memalingkan muka. Pemuda kampung itu hanya membawa sebilah arit yang biasa digunakannya untuk mencari rumput. Sedangkan pendekar pasir beracun telah siap dengan pasir maut yang akan keluar dari sela jarinya. Ia hanya tinggal menggunakan tenaga dalam dan munculah butiran pasir yang akan dengan mudah melayangkan nyawa.

Tak ada kata-kata keluar dari sepasang kekasih yang harus mengadu nyawa itu. Semua orang di sana juga diam. Bahkan ayah sang pendekar pasir pun sengaja membendung kata yang akan keluar. Ia hanya terlihat garang dengan muka memerah. Semua orang tahu bagaimana ayah pendekar pasir beracun dikenal sangat pemarah juga memiliki bakat sebagai diktator. Senja begitu sunyi. Tidak seperti kau duga. Kisah ini tak akan dilengkapi dengan deskripsi pertarungan maha dasyat. Kekuatan dua orang itu sangat tak seimbang.

Tiba-tiba saja pendekar pasir beracun bersuara lembut, “tidak akan ada satu pun dari kita terluka.” Sang kekasih mengangkat wajah. Silau dengan sinar senja begitu saja menusuk mata. Sebentar lagi matahari tenggelam.

“Kalian adalah saksi. Bahwa di senja ini aku akan memusnahkan semua kesaktianku. Aku lebih memilih menjadi perempuan desa yang setiap hari mengangkut pasir dan kujual seadanya. Aku tak akan bisa membunuh orang yang kucintai.” Apalah yang tak bisa diperbuat orang demi cinta, entah berakhir pada kebahagiaan, entah duka.

Perkataan pendekar pasir beracun mengejutkan semua orang. Termasuk juga ayahnya. Laki-laki berbadan tegap dan kekar itu hanya bisa menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangan sekuat-kuatnya, bersiap-siap hendak menyerang. Sepertinya laki-laki itu akan membunuh dua orang yang tak jadi bertarung. Niatnya hanya di angan. Pendekar pasir beracun sudah terlanjur mengeluarkan semua ilmunya. Begitu saja dan dihempaskannya di antara pasir dan bebatuan pinggir kali. Angin berhembus sangat kencang. Pasir-pasir beterbangan, semua pasir dari tubuh pendekar cantik itu keluar, memancar dengan deras.

Tubuh pendekar pasir beracun menjadi seringan kapas ketika semua pasir dari tubuhnya telah keluar. Seiring dengan ringannya tubuh, ia berjalan setengah melayang menghampiri pemuda itu. Dilepaskannya arit dalam genggaman tangan. Jatuh dengan ujungnya tenggelam di permukaan pasir. Pendekar pasir beracun menggamit lengan kekasihnya. Mereka berdua melayang. Seringan angan-angan. Matahari hampir tenggelam. Melesatlah pendekar pasir beracun bersama kekasihnya, melesap ke dalam matahari. Tenggelam dalam bumi.

***

Jancuk, asu raimu..hentikan pikiran gilamu itu.”
Pendekar pasir beracun seperti biasa menerobos kamar dan mengibaskan tangannya di atas kepala saya, mengusir adegan-adegan pertarungan yang urung diceritakan. ia begitu mudah melihat cerita yang diam-diam saya gambar di kepala. Seperti biasa pula, pendekar pasir beracun tak dapat lepas dari hape terbarunya. Seperti biasa pula matanya tartawan pada  timeline twitter yang setiap saat berjalan. Memang tak ada duka, darah dan kesedihan berkilauan di cerita ini. Cerita selesai. Selamat sore.

Kamar Kost, 10 Oktober 2012




Hidjo dalam Fragmen dan Alegori


Sejak dulu saya memang suka membacai novel. Mungkin bagi sebagian orang hanya terkesan membuang waktu sementara mereka bisa melahap buku-buku teori sampai bertumpuk-tumpuk dalam otaknya. Tumpukan pengetahuan yang tercipta dari serangkaian bahasa novel tentu berbeda dengan apa yang didapatkan orang dari selusin buku-buku yang membicarakan sesuatu dengan bahasa dan istilah-istilah serius, meski novel juga bisa melakukan hal yang sama. Setidaknya, saya selalu percaya setiap cerita menyimpan alegori tentang segala hal yang benar-benar terjadi. Novel selalu menyimpan hal-hal mengejutkan, tak banyak diungkapkan, tapi bisa jadi begitu penting dalam merekam masa lalu. Para pengarang novel itu tak pernah mendapatkan ceritanya dari sebuah ruang kosong, juga tidak seperti saya yang suka hanya menulis tentang diri sendiri. Novel kadang justru banyak bicara tentang hidup dan obyektifitas-obyektifitasnya.

Ketika berlangsung percakapan tentang kemungkinan-kemungkinan suram dalam pertjintaan, teman sebelah menyodorkan Student Hidjo karya Mas Marco. Kala itu masih dalam konteks bagaimana akhirnya pernikahan hanya terjadi melalui perjodohan, macam Siti Nurbaya, macam Hidjo dan Wungu dalam novel itu. Segala hal macam begini saat ini mungkin masih bisa ditertawakan. Hangat dan siapa bisa tahu apa yang nanti terjadi.    

Mengiyakan salah satu bagian buku yang juga dipunyai teman sebelah, membaca Student Hidjo memang lebih mirip seperti menonton pertunjukan. Kita dibawa dalam suasana-suasana vivid dan sephia masa lalu ketika para borjuis-borjuis kecil Indonesia sedang nyaman menikmati hidup sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Barangkali sudah banyak orang membahas Student Hidjo sebagai sebuah karya yang dibilang di sampul belakangnya sebagai sastra perlawanan dan dianggap sastra kanon Balai Pustaka sebagai bacaan liar. Soal ini tidak akan dibahas di tulisan ini. Membincang politik sastra di sini tak akan ada habisnya.

Apa yang memungkinkan Student Hidjo hadir pada tahun 1919 tak bisa dilepaskan dari pengarangnya. Marco, bagi sebagian orang mungkin sudah mulai berusaha memunculkan semangat untuk bersatu dalam komunitas imajiner bernama Indonesia. Kritik-kritik dihadirkan dalam cerita tokoh-tokohnya bahwasannya Marco ingin mengisi sesuatu yang tadinya absen dari penceritaan sejarah. Kata teman sebelah, ia sama sekali tak menganggap keberadaan pemerintah kolonial melalui kehidupan tokoh-tokohnya. Karakter-karakter dalam Student Hidjo adalah manusia-manusia pada massanya yang bergerak dalam pusaran Jawa-Belanda dengan segala silang tradisi dan gaya hidupnya. Mari kita simak bagaimana Marco melukiskan Hidjo.

Fragmen Kebimbangan Hidjo dan Romantisme

Para pengarang tampaknya memang suka membuat karakter-karakter bimbang, seperti halnya banyak manusia lain atau bahkan dirinya sendiri. Kebimbangan menunjukkan sebuah langkah sebelum pilihan ditentukan. Tentunya sebagian dari kita juga pernah mengalaminya. Si tokoh utama kita kali ini, Hidjo adalah seorang anak priyayi Jawa yang sengaja dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studinya demi mengangkat derajat keluarga. Sampai di Belanda, Hidjo bertemu dengan Betje, anak seorang directeur maatschapij dimana Hidjo tinggal selama di Belanda. Hidjo yang semula dikenal sebagai kutu buku, bahkan mendapat julukan pendito sampai onzijdig atau banci akhirnya terbujuk oleh rayuan Betje dan dimulailah fragmen percintaan terlarang di antara mereka. Membaca bagian ini akan memunculkan gambaran seorang pemuda malu-malu dan gadis cantik yang merayu.

Kebimbangan Hidjo sebagai manusia Jawa dengan nilai-nilai yang dibawanya dibenturkan dengan kehidupan modern di Belanda. Hal ini dilukiskan di awal novel dengan fragmen Hidjo menonton opera Faust di Koninklijke Schouwburg. Faust adalah dirinya yang hanya senang dengan ratusan buku yang dimiliki, tenggelam di dalamnya sampai tak sadar bahwa rambutnya mulai memutih. Diceritakan bahwa tiba-tiba Faust mencintai seorang perempuan bersuami dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Ia kemudian melakukan perjanjian dengan setan. Akibat kelakukan itu, segala kekayaan dan kepandaian yang dimiliki akhirnya hilang musnah.

Hidjo pun bimbang karena perubahan gaya hidup di Belanda memunculkan pertaruangan dalam hatinya yang sedikit banyak membuatnya tak bisa belajar dengan tenang. “Kalau besok saya sudah tua dan bertindak seperti Faust, lebih baik hal itu kulakukan saja sekarang. Sebab waktu ini saya sebagaimana kebiasaan anak muda yang suka plesiran, itu tidak ada jeleknya. Karena adat semacam itu sudah dipandang umum. Tetapi kalau besok saya sudah berambut putih, berbuat seperti Faust, bah.... begitulah kata Hidjo seorang diri, sewaktu dia hendak tidur.” Demikianlah Marco menggambarkan kebimbangan Hidjo.

Hidjo kembali bimbang karena panggilan pulang ke Jawa membawanya pada perempuan yang sedang menantinya. Ia telah dijodohkan dengan Raden Adjeng Biru. Hidjo menyukainya tapi juga menyukai Raden Adjeng Wungu yang anak Regent Jarak. Kisah perjodohan pun berubah. Hidjo akhirnya menikah dengan Wungu, sementara Biru dengan Raden Mas Wardojo, kakak laki-laki Wungu. Kisah ini pun berakhir dengan bahagia. Dalam kerangka perjodohan pun semua ternyata masih bebas menentukan pilihannya. Begitulah kebebasan memilih secara sederhana diangkat dalam novel ini.

Membaca bagian per bagian dalam novel ini terkesan mirip sebuah adegan yang terputus-putus lalu disatukan dalam sebuah pertunjukan yang utuh. Selain kebimbangan tokoh Hidjo, romantisme sepertinya menjadi bumbu yang menarik dalam novel ini. Sudah lama saya tak membaca ataupun melihat adegan macam ini dilukiskan begini manis. Saya akan cuplikkan sedikit fragmen percakapan Hidjo dan Biru. Barangkali subyektif kalau saya menyebutnya romantis.

“Djo, mari melihat bioscoop atau wayang orang!” kata Raden Ajeng sambil tangannya memegang tangan Hidjo.
Nee, Lieve.” [Tidak, Sayang] kata Hidjo dengan suara yang tidak begitu keras membisikkan ke telinga Raden Ajeng seolah-olah hendak menciumnya.
“Kita mencari Restoran yang sedikit remang-remang dan ngobrol saja di situ!”
Raden Ajeng hatinya berdebar mendengar kata-kata Hidjo yang luar biasa itu seraya berkata, “Hari ini kamu tampak sangat baik sekali Djo!” Raden Ajeng sambil mengencangkan pegangan tangannya serta kepalanya disandarkan di pundak Hidjo sebagai tanda cinta.
“Nanti saya hendak berkata kepadamu!” kata Hidjo sambil menunjukkan tanda cintanya yang dengan memegang kerembong sutra tuan putri.
“Akan berkata apa? Lekas!” kata Raden Ajeng tidak sabar dan suaranya itu dipecah untuk menarik hati Hidjo.
“Kalau nanti sudah duduk!” jawab Hidjo menepuk pundak Raden Ajeng membalas cintanya.

Fragmen novel yang tak bisa dilepaskan dari soal asmara ini memiliki tenaga sendiri untuk melukiskan bentuk asmara pada zamannya. Kata Pram di salah satu esainya, asmara selamanya merupakan suatu batas peggaris yang membuat hidup sesuatu makhluk cerai berai dalam fragmen-fragmen yang kadang-kadang satu sama lain tak punya sangkut paut sedikit pun jua. Lewat cerita asmara Hidjo sendiri pun, Marco dapat bicara tentang banyak hal, dari kebimbangan sampai soal kesadaran pribumi.

Kata teman sebelah, dia sempat merasa lucu saja membaca novel ini. Lho, kok tiba-tiba begini ceritanya. Lho, kok tiba-tiba sampai di sini. Katanya lagi, bentuk novel ini memang mirip karya jurnalisme, tak heran karena Marco juga seorang jurnalis. Novel ini pun ditulisnya di penjara sebelum dipindahkan ke Blora.

Melihat Pribumi dalam Bahasa Alegoris Marco

Manusia Hindia yang Jawa dilukiskan Marco lewat penggambaran tokoh-tokohnya. Kentalnya kisah cinta menjadi bungkus yang apik untuk menyisipkan serangkaian bahasa alegoris dimana Marco bisa dengan leluasa menggambarkan posisi manusia-manusia Hindia dihadapkan dengan budaya Belanda serta mulai munculnya perkumpulan-perkumpulan besar seperti Sarekat Islam.

Para bangsawan dan saudagar Hindia zaman dulu ternyata kaya raya. Mereka digambarkan Marco dengan sedikit kesan glamor. Entah apakah bisa disebut kelas menengah, Biru digambarkan sebagai sosok perempuan bangsawan yang cantik dan mahal. Bayangkan segenap pakaian yang dikenakan Biru hanya untuk berjalan-jalan ke kebun binantang. Marco menggambarkan sebuah malam yang lebih terang karena beberapa sinar berlian yang dipakai para bangsawan dan saudagar. Subang Biru seharga f.2000, entah harga ini setara berapa, membacanya tetap terkesan mahal. Cahaya lampu listrik belomba dengan kilau berlian. Biru mengenakan baju berwarna kuning yang berkilauan ditempa sinar lampu. Selain itu, Biru juga masih mengenakan selendang sutera dengan selop model terbaru.

Penggambaran serupa banyak bertebaran di sepanjang novel ketika mengisahkan pertemuan keluarga-keluarga bangsawan Hindia. Mereka menggunakan kereta terbaik, cara makan dengan duduk melingkar menghadap meja, dan sebagainya. Kelas bansawa pribumi, baik yang saduagar maupun pejabat sepertinya tak banyak punya beda dengan gaya hidup orang-orang Belanda di Hindia.

Marco barangkali ingin bicara tentang kesetaraan. Kesetaraan antara Hindia dan Belanda, antara yang dijajah dan penjajahnya. Mungkin ia belum membayangkan Hindia tanpa Belanda. Kalau meminjam istilah teman sebelah. Barangkali pemikiran Marco yang diselipkan dalam novel ini termasuk aspek-aspek revolusionernya. Seperti halnya yang dikatakan oleh ayah Hidjo dalam cuplikan di bawah ini,

“Saya ini seorang saudagar saja, kamu tahu sendiri, ini waktu orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang jadi pegawainya gouvernement. Kadang-kadang kita punya sanak sendiri yang sama turut gouvernement, dia tidak suka kumpul dengan kita, sebab pikirannya dia orang lebih tinggi derajadnya daripada kita orang yang sama jadi saudagar atau tani. Maksud saya buat mengirim Hidjo ke negeri Belanda itu tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita orang ini bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja, tandanya anak kita bisa belajar juga seperti anaknya regent-regent atau pangeran-pangeran...”

Marco sempat mengkritik cara pandang para bumiputera terhadap Belanda. Dalam hal ini, ia masih bicara dalam kerangka bumiputera Jawa. Anak bumiputera digambarkan Marco memiliki ketakutan terhadap Belanda. Sejak zaman kompeni, bumiputera banyak diinjak-injak, diperas dan dirampas harta bendanya hingga masih saja mereka memandang orang Belanda lebih tinggi dan selalu pantas dihormati. Orang Belanda tak banyak ambil pusing dan senang-senang saja dengan perilaku bumiputera terhadapnya. Marco menggambarkan orang Belanda dengan perangai kurang halus yang selalu membalas perlakuan bumiputera dengan kekasarannya. Anak-anak Jawa sering ditakut-takuti orang tuanya dengan sosok orang Belanda dan inipun terbawa hingga mereka dewasa, “Hai, diam ada Belanda!”

Marco lewat novel ini juga mempersoalkan penggunaan bahasa. Anak-anak bumiputera yang tidak mengerti bahasa Belanda sebagian besar menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa “kromo inggil” kepada Belanda. Sedangkan Belanda yang enggan mempelajari bahasa melayu dan kromo inggil menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah.

Jika m.i. belum memperkenalkan diri, si Jawa tidak usah menyebut dengan sebutan “tuan” atau “ndoro”, bila Belanda menyebut “man”. Dalam bahasa Belanda pun demikian juga. Dalam bahasa ini hanya sedikit sekali bedanya antara tinggi (kromo inggil) dengan rendah (kasar/ ngoko). Sebab itu, banyak Belanda yang tidak mau diajak berkata dalam Bahasa Belanda. Baik! Tetapi m.i. jangan juga diajak berbicara dengan bahasa Jawa Tinggi kalau ia tak mau. Mengenai masalah kehormatan pun tak ada bedanya. Heran saya, di Nederland, Belanda itu, sering berkata bahwa kita itu Slaafsch (seperti budaknya). Meski di Hindia ia sering dijongkoki.

Tak banyak pengarang pada masa ini yang sadar akan bentuk-bentuk bahasa yang menyebar dan membuat pribumi berada dalam posisi sangat direndahkan oleh orang-orang Belanda. Padahal, orang-orang Belanda yang datang ke Hindia bisa jadi hanya berasal dari kelas rendah atau bahkan hanya bekas kuli. Orang bumiputera yang tidak pernah ke Belanda menganggap mereka berasal dari kelas bangsawan atau kelas terhormat.  Di Hindia mereka bisa menyombongkan diri, menghina dan menganggap orang Hindia hanya sebagai budak belian. “Lebih keterlaluan lagi, seperti binatang!”, kata Marco.

Marco menunjukkan paradok ketika Hidjo berangkat ke Belanda sampai kedatangannya di sana. Orang-orang Belanda justru sangat menghormatinya. Sebaliknya di Hindia, orang-orang Belanda itu bisa sangat congkak. Demikianlah Marco memaparkan sedikit persoalan inferiority complex yang sampai sekarang mungkin masih menghinggapi bangsa ini. Soal ini bisa kita baca dalam beberapa fragmen novelnya.

Waktu Hidjo turun dari kapal, di pelabuhan sudah berdesak-desakan orang-orang yang datang dengan kapal Gunung, keadaan itulah sungguh luar biasa bagi Hidjo. Bukan karena kebagusan pakaian orang-orang yang ada di situ, tetapi luar biasa sebab mulai ini waktu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda, orang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan amat besar kepala... (Hlm. 58)

Sesudahnya Hidjo dan Leeraar-nya turun dari kapal, terus ke hotel, kedatangannya di situ dihormati betul oleh sekian budak hotel, sebab mereka memikirkannya, kalau ada orang baru datang dari tanah Hindia, mesti banyak uang, lebih-lebih kalau orang Jawa. Dari itu, Hidjo tertawa dalam hati melihat keadaan serupa itu, karena dia ingat nasib bangsanya yang ada di tanahnya sana dihina oleh bangsa Belanda kebanyakan (Hlm. 58)

Demikianlah Marco melihat pribumi pada masa itu dengan segala posisi dirinya, dihadapkan pada tradisi Jawa yang tidak begitu mudahnya dilepaskan. Modernitas mulai masuk di bawa Belanda dan orang-orang pribumi berpendidikan Eropa yang telah kembali pulang. Segala bentuk perubahan yang terjadi selama kolonialisme Belanda ini membuat Hindia semakin menjadi kantung penuh rupa-rupa manusia.

Menginjak bagian akhir, sempat menghadirkan fragmen pergerakan yang ditandai dengan kemunculan kongress Sarekat Islam. Marco menggambarkannya dengan ribuan orang yang berbondong-bondong menuju Sriwedari. Commissaris politie dan seluruh pegawainya sudah siap menjaga tempat itu sampai serdadu tambahan juga didatangkan dari Magelang untuk berjaga-jaga seandainya akan terjadi kerusuhan dalam konggres. Marco pun menulis, “Sepanjang jalan di kota Solo, penuh dengan orang-orang yang akan datang di Sriwedari, untuk melihat vergadering itu. Pada waktu itu, seolah-olah semua orang Hindia sudah bersatu hati dan bersama-sama menuju ke tempat yang berperikemanusiaan.” Sarekat Islam sebagai sebuah organisasi besar pada masa itu diandaikan telah mampu menyatukan pribumi. Imajinasi Marco ini mungkin bisa juga disebut revolusioner.

Dan di akhir tulisan, saya akan tuliskan beberapa aspek revolusioner dalam novel Student Hidjo versi teman sebelah. Novel ini dikatakan revolusioner karena Hidjo sudah menjalani percintaan terlarang dengan seorang perempuan Belanda. Aspek lain tampak pada fragmen ketika Hidjo menonton opera Faust, naik trem, sampai pertukaran jodoh yang dilakukannya. Meski dengan nada bercanda, barangkali saja di antara para pembaca yang budiman ada yang mau menganggukkan kepala dengan pendapat teman sebelah di atas.

Saya menyukai ironi dan alegori dalam Student Hidjo. Sebuah perkawinan paling pas antara estetika sebuah cerita novel dan kondisi sosial budaya pada zamannya. Hidjo bisa menjadi sosok mimic man dalam tradisi poskolonial ditengah superioritas Barat yang menguasainya. Hidjo mampu menjadi seorang flaneur di negeri orang dengan plesirannya menonton opera sampai menginap di sebuah hotel. Ah, betapa banyak Hidjo yang disampulanya terlihat necis itu belum bisa saya tulisakan. Tulisan ini memang hanya sekadarnya. Hanya menunjukkan beberapa bagian novel yang saya suka saja. Tulisan ini pun sudah tertunda sekian lama dan jadi tak jelas argumennya. Sekian tulisan yang sedikit kacau ini saya buat, semoga semakin banyak orang yang jadi ingin membaca Student Hidjo sendiri.  

Agustus – Oktober 2012