Jumat, 30 November 2012

Pertemuan dengan Tupim Si Tupai Pengembara

Di dunia tak bernama itu, musim hujan disebut juga musim tangis. Musim tangis yang memendam tawa sebagaimana benih-benih yang sedang tidur di bawah tanah menunggu rengkuhan matahari. Di musim tangis inilah seekor tupai singgah di suatu tempat dalam pengembaraannya. 

Orang-orang memanggilnya Tupim. Nama ini diberikan kepadanya karena dia seekor tupai kecil dengan pipi yang manis. Tupim; tupai pipi manis. Si Tupim adalah tupai yang senang mengembara. Ia sudah menjelajahi banyak tempat dan melihat banyak hal. Tupim berjalan dengan jubah hitam berkerudung. Dari jauh tupai kecil ini mirip para pengembara gipsi. Tapi ia pengembara biasa, hanya senang berjalan tanpa tujuan. 

Tupim memakai kalung yang terbuat dari rangkaian biji-bijian kesukaannya. Ia selalu mengumpulkan banyak jenis bijih-bijian dari berbagai tempat selama pengembaraan. Pipi yang manis menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap binatang maupun manusia yang dijumpai. Mereka tidak akan segan memberi makanan tanpa diminta. Pandangan mata Tupim yang bening dan penuh kasih itu seakan bicara, mencairkan hati siapapun yang melihatnya. 

Musim tangis baru saja datang. Gerimis biasanya betah turun berlama-lama. Tupim berjalan sendirian dengan jubah hitamnya, menyelusup di antara kaki-kaki manusia, kendaraan yang berseliweran, disilaukan oleh lampu-lampu jalan, papan-papan iklan. Kaki kecil Tupim terasa sangat lelah. Seharian ia berjalan dan ingin sekali rasanya beristirahat sejenak. Pada dinding sebuah bangunan, tak sengaja Tupim melihat poster pertunjukan. Sebuah band bernama Gable dari Perancis bagian utara akan memainkan musik mereka di tempat itu.

Tupim sangat suka mendengarkan musik atau melihat pertunjukan musik. Seringkali ia berhenti dalam pengembaraanya untuk menyaksikan orang-orang memainkan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi indah itu. Kadang ia menjumpai pertunjukan yang membosankan tapi didatangi banyak orang. Lain kali Tupim melihat orang-orang memainkan musik dengan sangat aneh, sampai efek kesedihan mendengar musik itu bertahan selama berhari-hari dalam hatinya. Kadang juga Tupim sedih karena merasa kehilangan ketika aktivitas musikal tidak lagi manual. Orang-orang juga lebih suka menjadi penonton, pasrah mendengar musik yang menyuruk-nyuruk masuk telinga. 

Malam ini Tupim mampir ke kamar saya, sekadar meminta remah roti. Perutnya terlalu lapar. Sambil menyambut sekerat roti dan segelas kopi, Tupim kemudian menceritakan pertunjukan musik yang baru saja ditontonnya. Saya akan menuliskannya dengan campuran ejaan bahasa negeri tupai yang sudah disempurnakan. Bagi yang tidak mengerti, saya mohon maaf. 

Tupim mengawali ceritanya dengan sedikit sumpah serapah. “Gak pa pa ta mas-mase karo mbak-mbak kuwi. Gendheng. Gak lara ta wong-wong kuwi? Saya tak banyak tahu soal musik dan jadi bertanya-tanya apakah ini yang disebut musik kontemporer, avant gardist katanya. Semua hal bisa jadi alat musik, semua boleh jadi perkusi, njuk dithuthuki. Triplek elek barang disuwek-suwek neng ngarep mikropon. Gek kuwi ki nyilih dolanane bocah saka ngendi kok nganti diorak-arik neng nduwur drum barang. Bukane gumun neng yo mung ngrasa aneh wae. Jan wong saiki cen aneh-aneh isine.  

Musik mereka adalah ramuan dari banyak sekali hal. Ana musik cangkem, post rock, sedikit berbau hip hop, malah ana hardcore barang og. Lagu mereka banyak terdengar lebih seperti narasi daripada lirik yang liris. Ana sing nesu lan padu dhewe-dhewe njuk digameli. Aneh tapi segar. Nonton mereka ki dadi memecah bosan saka ngrungokne lagu-lagu kebanyakan. Sebagian lagu mereka pendek. Akeh-akeh mau nganggo basa Inggris. Sing paling ketok kuwi nganggo sudut pandang sato kewan. Ana lagu sing nyritakne bebek buruk rupa, ana sing critane tentang serigala kelaparan, uga akeh suara asu barang.

Mereka memadukan permainan musik dengan teater. Salah satu memakai topeng, menyanyi dan melompat di atas panggung. Pembawaan liriknya juga sangat teatrikal; bengong, kejang-kejang, autis dan ekspresi lain yang kuat muncul pada wajah-wajah kepanasan penuh peluh. Lirik mereka sederhana, kadang konyol, menggelora dan mengandung pelepasan. Mereka memindahkan kebisingan-kebisingan kecil yang tak dihiraukan ke dalam musik, mengundang kehadiran banyak sekali suara. 

Hingar-bingar mereka juga mengandung kematian. Seperti lagu terakhir itu, bercerita tentang orang-orang yang bunuh diri dengan berbagai cara. Pertunjukan mereka ditutup dengan suara flute sengau, sumbang,  melenceng dari tonalitas, rusak tapi indah. Kadang memang sesuatu yang sumbang, sedih dan rusak itu indah, seperti hidup.”

Tupim mengakhiri ceritanya. Ia pamit akan melanjutkan perjalanan. Pengembaraannya memang sangat berbahaya tetapi Si Tupim kadang justru memilih berjalan di malam hari. Ketika saya bertanya kenapa, Tupim sedikit bercerita bahwa mimpi buruk telah mengganggunya di malam-malam sunyi. Ia ingin pengembaraan ini tak selamanya sendiri. Tupim butuh teman hanya ia belum menemukan, hanya ia selalu saja ditinggalkan. Musim tangis masih mengguyurkan gerismis. Tupim mencabut salah satu biji kacang dari kalungnya dan memberikannya kepada saya. “Suatu hari kelak, kacang ini bisa tumbuh sampai ke langit dan menyelamatkanmu, terima kasih untuk roti dan kopinya,” kata Tupim sebelum menutupi kepalanya dengan kerudung hitam lalu menghilang dalam gelap. 


Kamar Kost, 29 November 2012 

Jumat, 23 November 2012

Semalam Menonton “Je vais bien, ne t'en fais pas (I'm Fine, Don't Worry)”


Sebuah keluarga pasti menyimpan suatu rahasia, kadang butuh kebohongan untuk membuatnya tetap menjadi rahasia dan kebohongan ini dapat terus dibenarkan dengan dalih melindungi orang yang kita cintai. Seperti cerita dalam film yang kental dengan nuansa drama ini, kehidupan keluarga dengan sepasang anak kembar (laki-laki dan perempuan) digambarkan dalam sepanjang adegan yang mungkin bagi sebagian orang mampu menggugah emosi.

Je vais bien, net t'en fais pas (I'm Fine, Don't Worry) di rilis di Perancis pada tahun 2006. Film ini disutradarai oleh Philippe Lioret berdasarkan novel karya Oliver Adam yang diterbitkan pada tahun 2000 dengan judul sama. Dibintangi oleh Melanie Laurent yang berperan sebagai Lili dan didukung oleh peran lain yang bermain natural, film drama keluarga ini setidaknya cukup menghibur meski sedikit membosankan di bagian tengah. 

Memotret kehidupan rata-rata keluarga kelas menengah Perancis, adegan pertama film ini diawali dengan cerita ketika Lili (sang adik perempuan) yang baru saja pulang liburan, dikejutkan oleh menghilangnya Loic (sang kakak laki-laki) setelah bertengkar dengan ayah mereka. Loic adalah seorang musisi yang menyukai panjat tebing dimana setiap apa yang dilakukan tak pernah dihargai oleh sang ayah.

Begitu kuatnya hubungan dengan saudara kembarnya, Lili menderita depresi ketika tak satu pun kabar datang dari Loic. Lili menolak makan dan dirawat di sebuah rumah sakit. Saya tak hendak bicara soal diskursus psikiatri yang dengan yakin bisa mengobati Lili dengan mengisolasinya, menyita semua barang-barangnya dan mengancam baru akan dikembalikan setelah Lili bersedia menelan makanan. Kondisi Lili justru semakin memburuk.

Sebuah kartu pos dengan tulisan tangan Loic akhirnya tiba dan Lili berangsur-angsur sembuh. Sepanjang film, penonton seperti digiring untuk berharap menyaksikan pertemuan dramatis antara kakak beradik kembar yang telah lama terpisah. Tetapi tidak, penonton dikejutkan dengan fakta bahwa kartu pos yang datang secara berkala itu ternyata bukan dari Loic melainkan ditulis sendiri oleh ayahnya.

Loic meninggal karena kecelakaan dalam latihan panjat tebing. Orang tua  Lili tak ingin melihat anak perempuannya terlalu sedih dengan menciptakan skenario cerita bohong tentang kartu pos. Sang ayah mengirimkan kartu-kartu itu dari kota-kota berbeda di sekitar mereka tinggal. Di kartu pos itu, sang ayah menuliskan kata-kata yang mengolok-olok dirinya sendiri sebagaimana Loic yang membencinya.   

Film ini dibumbui pula dengan kisah persabatan antara Lili, Lea dan kekasih Lea bernama Thomas. Mereka berkenalan ketika menjadi kasir di supermarket lokal. Lea sendiri adalah perempuan berkulit hitam yang mendapat beasiswa dan sedang menyelesaikan program doktornya di Perancis. Ketika di tanya Lili di sebuah kafe tentang kertas dan buku yang terbuka di meja, Lea menjawab bahwa semua itu adalah hal yang membosankan, tentang politik dan kekuasan di Mozambique. Ya, politik memang membosankan.

Lea pada akhirnya berpisah dengan Thomas. Lili dan Thomas kemudian saling jatuh cinta. Lili berlibur di Saint Aubin bersama Thomas. Setelah bercinta dalam tenda yang diterbangkan badai dan hujan, Lili berteduh di sebuah kafe dan mengenali sosok pria dengan mantel hijau pudar. Ia bukan Loic melainkan ayahnya yang terlihat sedang memasukkan kartu pos dari kota itu. Kebohongan sang ayah terbongkar. Ibunya telah mengetahui semua kebenaran. Ia menangis ketika Lili memberitahunya tentang kartu pos itu. Dan kita semua tahu sang ibu menangis karena apa.

Thomas mengetahui bahwa Loic telah meninggal. Ia melihat batu nisan Loic saat mengunjungi makam neneknya. Pada sebuah minggu yang cerah, Thomas mengunjungi keluarga Lili, tepat di hari ulang tahun ayahnya. Sebelumnya, Lili telah menemukan gitar Loic di bagasi mobil ayahnya saat akan meletakkan hadiah ulang tahun. Sebuah pertemuan, pembicaraan yang kaku antara Thomas, Lili dan keluarganya berlangsung sesaat. Ada semacam ketakutan bahwa semua akan terbongkar dan masing-masing menahan diri untuk tak mengatakan apapun. Mereka pun kemudian keluar untuk makan siang di sebuah restoran.

Akhir film ini dibiarkan mengambang. Penonton dibiarkan membuat akhir dari cerita ini. Dalam percakapan terakhir, Thomas mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan kepada Lili, bukan tentang kematian Loic melainkan sebuah ungkapan cinta. Apa yang akan dilakukan kepada orang yang kita cintai? Mengatakan kebenaran yang menyakitkan atau terus berbohong untuk melindungi perasaannya. Barangkali juga, mereka telah sama-sama tahu dan memilih untuk tidak membicarakannya lagi. Kadang kata-kata memang tak selamanya bisa mengungkap sesuatu yang sedang berkecamuk dalam batin. Bagi orang terdekat, memahami dengan diam mungkin lebih baik daripada mencecar dengan ribuan pertanyaan.

Film ini cukup baik melukiskan persoalan kehidupan keluarga, sebuah keluarga yang tampak biasa dan baik-baik saja tetapi sedang tidak baik-baik saja. Seperti sebagian besar keluarga lain, anak-anak yang memberontak, seorang ayah yang memaksakan kehendak, pertengkaran-pertengkaran, dan setiap keluarga pasti melalui masalah demi masalah sementara hidup tetap akan berjalan digelantungi sekian banyak persoalan.

“Life was full of sound and fury, and in the end, signified nothing,” kata  Shakespeare. Saya lupa dapat kutipan ini dari mana, sepertinya juga dari film. Kalau tak salah ingat filmnya Woody Allen, You Will Meet a Tall Dark Stranger yang terkesan sinis dengan cerita para tokoh penuh masalah dan tak bahagia. Tentang seorang penulis yang tak laku lagi setelah novel pertamanya, seorang istri yang bekerja di galery lukisan dan tertarik pada bosnya, seorang ibu yang sangat mempercayai peramal, seorang ayah yang menikah lagi dengan perempuan sexy dan menguras isi kantongnya. Sedikit berbeda dengan drama komedi Woody Allen, film ini memang terasa lambat, gloomy, tapi tetap menyimpan bagian yang bisa membuat penonton tersenyum.

Saya menonton film ini di LIP. Seharian hujan begini mendatangkan kemurungan tersendiri bagi jiwa-jiwa kosong. Tak sekadar film, kadang tokoh-tokoh menyedihkan itu membuat saya yakin, banyak orang bernasib lebih buruk. Film ini tak lain masih berkutat pada cinta, sebuah ikatan pada saudara, keluarga, kekasih sampai kematian. Ah, tapi film ini membuat saya merasa semakin murung.

Orang-orang senang mengatakan sedang baik-baik saja padahal semua permukaan hanya paradoks bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja. Tak membicarakannya bisa menjadi pilihan, bercerita kepada orang lain juga bisa menjadi pilihan. Kejujuran yang menyakitkan atau kebohongan yang akan lebih menyakitkan. Meski begitu, Lili tak memilih bunuh diri dan tetap melanjutkan hidup dengan tak perlu membicarakan ketidakhadiran sang kakak tercinta. 

Di akhir diskusi yang tak membahas apapun kecuali mengarang-ngarang akhir cerita, segelas teh hangat dan kue disediakan untuk dicicipi. Gerimis tinggal tipis. Teman sebelah di belahan nusantara yang lain itu barangkali sedang tak baik-baik saja. Maka biar saya pinjam dua bait puisi berjudul Pemberian Tahu dari Chairil Anwar ini.

Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Aku pernah ingin benar padamu. Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali.

Kita berpeluk ciuman tidak jemu, Rasa tak sanggup kau kulepaskan. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku. Aku memang tidak bisa lama bersama. Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!”

Ah, tulisan ini rusak karena paragraf-paragraf terakhirnya. Biarlah. Seburuk-buruknya bentuk dan isi tulisan ini adalah untuk melegakan diri saya sendiri setelah menari di bawah hujan seharian.

Kamar Kost, 22 November 2012

Rabu, 07 November 2012

Mari Membual Malam Ini


Sebelum mulai, mari kita mengheningkan cipta, matikan segala musik, Radiohead juga. Dijamin kalau ngeyel tetap mendengarkannya, bahan tulisan dalam otakmu akan menguap jadi kebengongan semata. Kursor di layarmu akan terus berkedip-kedip dalam halaman kosong. Dan dari sini saya memulai, dari racauanya sepagi yang sepertinya telah jelas bahwa semua kemungkinan-kemungkinan telah tertutup, atau sengaja ditutup. Saya sendiri tak menjadikannya soal. Dari awal memang sudah ketahuan ujungnya, memang tidak ada celah.

Siangnya, saya pun terbuai dengan cerita keindahan ta’aruf seorang teman. Sebulan saling mengenal secara serius, suatu kali melalui surat elektronik, si perempuan mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh si laki-laki sepanjang lima belas halaman. Sudah seperti tugas kuliah saja. Begitulah kemudian pertalian mereka akan disahkan bulan depan. Mungkin begitu lebih baik. Tapi saya sendiri masih suka mengalamatkan rasa pada orang-orang tidak jelas macam anda. Setidaknya, itu tidak jadi membuat saya membakar novel-novel yang sudah dibaca. Demikian saya harus memohom maaf kepada pembaca yang tidak mengerti konteks dari dua paragraf pertama ini.

Seharian bertapa dalam kamar mengharuskan saya untuk bergerak dari tempat ini, kemana saja. Sempat saya pernah melihat sebuah banner terpasang di perempatan jalan berisi jadwal pertunjukan teater, kalau tak salah berjudul “Siti Nurbaya”. Karena tidak tahu ini teater darimana, untung-untungan saja saya datang. Alih-alih bisa menonton, malah kehabisan tiket. Seseorang menawari tiket, bapak-bapak di dekat pintu gerbang. Saya menghindar. Ternyata ada seorang laki-laki yang membeli dari bapak-bapak itu. Harganya dua puluh lima ribu. Tiket teater lho, ada calonya. Sambil geleng-geleng kepala, saya pergi. Besok masih ada pertunjukan yang sama. Masih belum tahu apakah akan muncul tulisan berisi celaan seperti biasa.

Sambil menampung asap knalpot dan debu, pikiran ini melayang entah kemana. Beberapa kali suara klakson memperingatkan cara menyetir saya yang sedikit ngawur. Melamun di jalanan itu menyenangkan. Teringat pameran buku yang mulai digelar malam ini, saya memutuskan ke sana. Di halaman sedang ada seremonial pembukaan pameran. Yang  berpidato di atas panggung mengungkapkan optimismenya terhadap minat baca masyarakat yang mulai meningkat. Hal ini tentu harus dibarengi pula dengan jumlah buku dan penerbit yang juga harus meningkat. Yang berpidato di atas panggung itu—dengan nada meyakinkan—berbicara bahwa buku cetak tidak akan kalah dengan maraknya buku digital. Bla..bla..bla...

Pidato itu selesai dan seorang lagi memperingatkan kekeliruan pengucapan frase “Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Sejak undang-undang keistimewaan itu disahkan, kata provinsi dari penyebutan itu seharunya dihilangkan. Begitulah. Tak ambil pusing dengan omongan orang itu, saya langsung masuk ke ruang pameran. Seperti biasa, penerbit-penerbit menjajakan buku-buku dengan label diskon yang digantungkan di atas rak dan tumpukan. Diskonnya memang menggiurkan tapi buku-buku itu tidak.

Sebagian besar pandangan mata saya justru menyapu para pengunjung pameran. Beberapa kali saya melihat laki-laki bersarung. Mereka berjalan, sekadar melihat atau membuka-buka buku. Mereka banyak berkunjung ke stand tertentu dan beberapa yang menjual buku-buku tentang Islam. Pengunjung yang gondrong dan sedikit kumal terlihat mampir ke stand yang menjual buku-buku sastra, politik, sejarah dengan penerbit tertentu pula. Ini hanya observasi selayang pandang. Bualan saya jangan sampai di percaya.

Mampirlah kemudian saya di sebuah stand. Ketika menengok kebelakang, tak sengaja saya melihat Cerpenis itu. Tentu saya mengenali bentuk mukanya yang khas. Pastinya dia tidak mengenal saya. Terbitan kumpulan cerpen terbarunya sedang dijajakan di tumpukan paling depan. Kata salah satu penyair yang meng-update status di facebook, ini salah satu kumpulan cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir. Harganya cuma tiga puluh lima ribu. Baru saja juga digelar acara launching dan bedah bukunya yang tidak dihadiri oleh saya. Ah, siapa saya. Cerpenis itu sedang menggandeng sesosok perempuan, cantik. Terlihat polos dan lugu dengan kaos dan rok panjang sederhana.

Iseng saja saya perhatikan mereka memilih-milih buku. Tapi tak tahu juga akhirnya membeli yang mana. Si perempuan menyodorkan buku tentang kopi. Apa memang sedang marak buku yang membahas tentang itu? Beberapakali juga saya temui website baru yang memperbincangkan soal kopi, di Indonesia tentu saja. Iseng lagi saya pegang-pegang kumpulan cerpennya. Setelah membaca bagian belakangnya lalu saya letakkan lagi. Seberapa banyakkah Cerpenis itu berharap bahwa bukunya akan laku?

Masih tentang Cerpenis itu. Biar saya katakan sebentuk kekaguman pada salah satu cerpennya. Barangkali benar kalau ia sedang menceritakan tanah kelahirannya dan dengan lihai memulainya dari sebuah ungkapan. Siapa nyana kalau ungkapan thai phau ta  Lun Tun! ini berasal dari kekalahan China terhadap Inggris dalam Perang Candu sampai harus meminjamkan Hongkong sebagai ganti rugi perang. Ungkapan yang berarti meriam menembak London ini menyebar ke seluruh penjuru bumi dan menjadi semacam cemooh pada diri sendiri bagi orang Tionghoa.

Ungkapan ini terus dihidupi dan menjadi olok-olok bagi orang yang suka omong besar, suka membual. Thai phau ta  Lun Tun! yang berasal dari sakit hati sejarah, hidup dalam percakapan sehari-hari, dalam gosip, dalam permainan catur, dalam perbincangan anak-anak sekalipun. Ia melebur dalam tradisi-tradisi setempat dan diserap adat. Begitulah Si Cerpenis membuat kisahnya dengan begitu hidup. Silakan dibaca sendiri untuk lebih jelasnya. Saya tak berkapasitas menjelaskannya lebih detail apalagi mengarah ke kritik sastra.

Mirip-mirip tapi beda dengan cerita itu, di bagian bumi nusantara lain, sedang ada yang akan melakukan penelitian berpijak pada sebuah ungkapan. Apa kabar dengan nak mule keto? Kita tunggu saja hasilnya. Saya jamin akan luar biasa. Sekian bualan saya.


Kamar Kost, 7 November 2012

Selasa, 06 November 2012

Dongeng Titah Si Tikus Tanah


Untuk membunuhmu yang sudah beranak pinak dalam pikiranku, akan kukisahkan sebuah cerita. Kisah ini ditulis sambil mendengarkan Cinematic Orchestra yang sekaligus pernah mengiringi ciuman pertama kita. Bagian awal ini memang seharusnya dibuang saja. Tidak penting. Mari kita lewati dan langsung menuju pada cerita sesungguhnya.  

Sudah tiba musim mangga di kampungku. Anak-anak yang lewat tanpa permisi sering mengambili mangga-mangga masak berjatuhan di halaman. Mangga-mangga ini juga punya cerita. Tapi lain kali saja. Sudah hampir jam lima. Saatnya anak-anak menunggu, mengejar kereta mini yang lewat, lalu menaikinya sampai ke ujung gang. Kereta mini berkelap-kelip lampu dan bergambar tokoh kartun itu adalah milik salah satu warga kampung ini.

Kereta itu akan beroperasi di alun-alun kota setiap malam. Anak-anak hanya bisa menaikinya sesaat, gratis hanya sampai ke ujung gang. Jarang sekali mereka bisa melihat alun-alun kota yang sekarang sudah banyak berkeliaran becak dan odong-odong penuh lampu; merah, kuning, hijau dan biru. Mirip yang ada di alun-alun kidul Yogyakarta itu. Keren sekali bukan, kotaku sekarang. Katamu itu ndeso, ndangdut banget. Biarlah. Yang penting sudah ada pertunjukan teater di kota ini.

Nama sebagian anak di sini diilhami dari artis dan peran mereka dalam sinetron. Kalau kalian berkunjung ke kampungku, akan ku kenalkan pada Zahira, Amira, Farel, Acha, dan lain sebagainya. Ada juga kakak beradik yang cakep sekali wajahnya, tidak mirip dengan anak kampung yang sebagian berkulit hitam. Cara bicaranya lucu. Sedikit cedal, pelo kalau bahasa Jawanya. Mereka hidup dengan neneknya. Sang ibu sedang mencari nafkah sampai ke negeri gajah putih. Rumahku juga dikeramik dindingnya. Tapi sumpah. Ibuku bukan TKI.

Pada sore yang berbahagia ini, aku ingin mengumpulkan anak-anak itu untuk mendengar dongeng. Barangkali saja ibu-ibu mereka jarang membacakan cerita sebelum tidur. Kubiarkan mereka duduk melingkar di bawah pohon mangga di halaman rumah. Sebagian sambil memegang jajan lima ratusan yang hanya dengan rengekan terdasyat boleh dibeli. Sebagian menggenggam buah mangga setengah matang, lebih enak kalau digerogoti tanpa dikupas kulitnya. Ibu-ibu masih berceloteh sendiri. Berkumpul di seberang jalan sambil bergosip tentang masakan hari ini. Para ibu yang merebus mie instan, merebus daun krokot, membakar gerih, menanak nasi dan sambal, spesial untuk anak dan suaminya.

Anak-anak sepertinya sudah tak sabar ingin mendengar cerita. Meski mungkin terlalu mengada-ada, kumulai saja kisah tentang Titah. Nama ini adalah kependekan dari tikus tanah. Titah tak betah tiap hari harus selalu berada dalam tanah. Ibunya merasa ia masih terlalu kecil untuk keluar dari lubang sarang mereka. Dunia luar juga terlalu berbahaya baginya. Si Titah terbiasa melihat dalam gelap sehingga sinar matahari akan menyakiti mata. Tikus tanah memang rabun. Aku memeragakan menjadi rabun dan menggapai-gapai wajah mereka. Anak-anak tertawa.

Titah sering mengintip keluar lewat lubang sarang dan melihat istana kerajaan menjulang tinggi. Atap dan dindingnya kekuningan seperti terbuat dari emas. Bagian bawahnya terlihat kehitaman. Di sekitar istana terdapat rerumputan yang hijau dan indah. Ada pula pohon-pohon besar dengan buah kehijauan menjuntai-juntai ke tanah.

Titah benar-benar sudah tidak tahan. Ia meminja izin kepada ibunya untuk melihat istana impiannya. "Siapa tahu di istana itu tinggal seorang tikus cantik berwajah peri seperti dalam dongeng ibu," pikirnya. Dengan berat hati, Ibu Titah akhirnya mengizinkan anaknya untuk pergi mengintip dunia luar. Ibunya berpesan agar Titah tak pergi jauh-jauh dari rumah. Ia hanya diperbolehkan melihat istana yang terletak tak jauh dari lubang sarangnya.

“Aku akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Titah.
“Jangan terlalu jauh meninggalkan sarang, Anakku. Berhati-hatilah terhadap segala macam bahaya.”
“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan berhati-hati. Ibu sudah memberi tahuku bentuk ular, burung, manusia, bunga-bunga, dan aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri.”
“Pergilah, Nak. Pulanglah sebelum senja. Ibu akan menyiapkan makan malam kesukaanmu.”
“Baik, Bu.”
“Sebelum pergi, Ibu punya sesuatu untukmu.”

Ibu Titah mengeluarkan sesuatu dari kotak warisan leluhur. Kotak itu sudah menjadi barang turun menurun. Ia mengeluarkan benda ajaib yang ternyata adalah sebuah kacamata. Titah menerimanya dengan senang hati. Ia mengenakan benda itu yang terus saja melorot karena hidung Titah terlalu kecil. Dengan hati berdebar-debar, Titah keluar dari lubang. Ia tak sabar ingin melihat istana impiannya dan diam-diam menyimpan harapan tentang seorang tikus cantik yang menunggu kedatangannya.

Sampai di luar lubang sarang, Titah mengucek-ngucek matanya sambil berkedip-kedip. Matanya harus menyesuaikan diri dengan cahaya matahari. Pemandangan yang tadinya kabur lama kelamaan menjadi jelas. Tapi betapa kecewa hati Titah. Istana impiannya itu ternyata hanya tumpukan sampah, daun-daun kering. Lantai istana yang terlihat kehitaman itu ternyata hanya abu bekas pembakaran. Kacamata dari ibunya benar-benar merusak mimpinya. Istana impian lenyap seketika.

Titah tak ingin lagi melanjutkan perjalanannya melihat dunia di luar sarang. Ia memutuskan untuk pulang. Segera ia ingin kembali ke lubang sarang. Tiba-tiba terdengar suara berdebam. Tanah bergetar. Titah melihat barisan manusia menuju ke arahnya. Ia melongo saja sambil mengira-ngira apakah yang ia lihat adalah manusia seperti cerita ibunya.

Anak-anak tetap tak mengalihkan perhatian dari ceritaku. Wajah mereka masih bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.

Titah melihat barisan orang berpakaian hitam-hitam dengan celana tiga perempat yang juga hitam. Sebagian besar adalah laki-laki. Mereka membawa berbagai macam peralatan, membawa tongkat kayu, cangkul, sabit. Mereka juga membawa obor dari pelepah-pelepah daun kelapa. Orang-orang itu seperti menggumamkan mantra. Ya ma ra ja. Ja ra ma ya.

Titah mendengar gumaman mereka. Sekilas ia teringat perkataan ibunya tentang mantra kalacakra. Sebuah mantra untuk menolak balak. Manusia-manusia itu sedang memohon agar bisa terbebas dari segala musibah. Titah tak mampu mencerna apa yang terjadi. Pikiran mungilnya terlalu kecil menjangkau apa yang dilihat dan didengarnya. Ia segera berlari menuju lubang tempat tinggalnya. Sekuat tenaga Titah berlari. Sama sekali tak menoleh meski suara gumam manusia-manusia itu semakin keras. Lubang rumahnya memang tak seberapa jauh namun kaki mungil Titah sudah sangat lelah. Kakinya bergetar, antara takut dan lelah. Tanah yang dipijaknya juga semakin keras bergetar.

Hanya ada lubang rumah dan ibunya dalam pandangan Titah. Ia Sama sekali tak bisa menikmati perjalanan pertama keluar sarang. Bunga-bunga dan keindahan yang diimpikannya lewat bersama angin yang meniup tubuh bersimbah peluh. Titah terus berlari. Terus berlari. Terengah-engah.

***

Cerita yang hampir klimaks itu tiba-tiba harus kuhentikan. Hujan deras mendadak datang. Anak-anak berlari berhamburan. Pulang ke rumah sambil menanti ibu mereka menyajikan makan malam. Akhir cerita ini kusimpan sendiri. Mungkin terlalu sadis untuk didengar anak-anak itu. Setidaknya hujan telah menyelamatkan pendengaran mereka dari dongengku yang terlalu ngawur.

Manusia-manusia itu sedang melakukan ritual untuk memburu tikus-tikus yang merusak sawah mereka. Entah sejak kapan mereka tak pernah bicara lagi dengan tikus. Ketika malam tiba, tanpa ampun begitu saja membantai mereka. Ibu Titah mati terpanggang dalam lubang. Tubuhnya kaku, hangus terbakar. Manusia-manusia itu menggunakan alat penyembur api yang dijejalkan ke dalam sarang. Kadang membakar belerang di mulut lubang dan tikus-tikus di dalamnya mati keracunan.

Aku sendiri sibuk mencari Dewi Sri sementara dongeng tentang Titah terasa tak menyisakan pesan apapun bagi anak-anak itu. Barangkali mereka akan kembali mencari cerita dalam sinetron-sinetron. Ada perempun pakai baju kulit harimau dan berlagak bodoh ketarzan-tarzanan. Tak ada yang lebih bodoh dari orang yang menonton cerita itu, malah sudah dilanjutkan sampai season dua.

Di kampungku ada anak perempuan hafal dengan tarian perempuan tarzan itu. Ia memiliki seorang pengikut setia, mengikutinya kemana-mana. Ketika berjalan kemanapun, anak itu selalu membunyikan hape yang memutar lagu-lagu terbaru dari boyband dan girlband idolanya. Aku sering melihatnya lewat di depan rumah. Masih berseragam sepulang sekolah, tangannya menggengam plastik es. Sesekali ia bernyanyi sampil menyedot esnya lewat pipet berwarna merah.

Hujan reda tapi sudah hampir gelap. Beberapa kali terdengar suara mangga jatuh. Seorang anak menghampiri ketika aku masih duduk di teras, “Mbak, sesuk critani neh ya.” Malam ini aku dapat tugas untuk kembali mengarang cerita atau meyampaikan cerita bohong tentang akhir kisah Titah.



Kamar Kost, 6 November 2012