Kamis, 21 Februari 2013

Banyak Hal Tentang Murung dan Sedikit Wong Kar Wai

Sudah terlalu banyak mendung. Hujan datang tiap siang hingga malam. Cuaca begini bikin orang tambah senang bermalas-malasan. Pikiran nglangut, menulis sambil menepi dengan duduk berjongkok di depan pintu, memandang ke atas. Ada apakah bersembunyi di balik kelabu itu? Orang itu benar-benar terlalu jauh dan rumah ini tiba-tiba seperti bicara tentang banyak hal. Sepertinya saya akan lebih lama berdiam di kamar ini. Kalian bisa bayangkan, lebih dari separuh dekade saya bertapa di sini. Orang-orang berlalu lalang, datang dan pergi sementara saya tetap tinggal. Kadang saya bayangkan semua ini menjadi film yang dipercepat gambarnya, hingga hanya ada larik-larik sosok, langkah kaki, gelap terang yang bergantian dalam hitungan detik.  

Keberadaan yang semakin membusuk membuat saya mengingat sebab musabab segala hal di rumah kost ini. Orang-orang datang membawa cerita lalu pergi setelah menyelesaikan kuliahnya atau pindah. Silakan tanya saya kalau kalian melihat pemandangan-pemandangan ganjil di rumah ini. Jaring-jaring berwarna biru yang dipasang di atas meja makan bulat itupun ada sebabnya. Dulu, atap di atas meja menjadi rumah bagi kelelawar yang datang tiap malam dan membikin kotor meja tiap pagi. Lalu dipasanglah jaring-jaring itu agar kelelawar tak bisa menggelantungkan dirinya pada kayu-kayu penyangga genting.

Kalian juga boleh tanya kenapa ada lampu terpasang di tempat yang tidak penting seperti itu. Sebabnya masih tentang kelelawar. Lampu itu dipasang agar mereka tak datang, takut pada terang. Silakan tanya juga kenapa pohon belimbing yang dulu banyak buahnya itu dipangkas habis sama ibu kost, nenek lampir berambut putih. Atau kenapa bak mandi harus dihancurkan dan diganti dengan ember-ember. Boleh kalian tanya juga tentang kematian bapak pemilik kost sekitar lebih dari setahun lalu. Saya akan dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Semua yang ada di kost ini tiba-tba seperti ingin bercerita. Benda-benda kecil tanpa disadari menemani setiap kejadian dan peristiwa. Barangkali kalian heran kenapa saya betah tinggal dengan ibu kost cerewet dan konservatif, yang di tahun 2013 ini masih memberlakukan jam malam. Kalian bisa bertanya juga tentang penjaga kost, intrik dan perselingkuhannya. Tapi kali ini saya tak akan bercerita banyak tentang itu semua. Saya sedang sakit dibalut sebuah lagu yang sakit pula. Melancholic Bitch melantunkan Taman Bermain Waktu (Lagu Boikot untuk Para Pasifis), “Jangan terjaga. Tak ada apa-apa di luar sana. Jangan terjaga. Di luar sana hanya ada bahaya. Pejamkanlah mata.” Maka jangan pernah percaya dengan kata-kata orang yang sedang bosan dan tidak bertanggung jawab seperti saya, juga tulisan ini.

Kembali saya rela dikutuk karena tak pernah bercerita dengan benar, masih tentang diri sendiri, melulu murung. Seberapapun egoisnya, sebenarnya saya masih tetap memikirkan para pembaca. Setidaknya mereka tidak akan bunuh diri setelah menelan tulisan ini. Saya juga tidak sehebat itu dalam membangun kesedihan lewat kata-kata. Cerita-cerita buntu. Lalu sayapun akan kembali terkagum-kagum kalau ada orang yang bisa membuat cerita demikian menyenangkan, menggugah, kekiri-kirian, semua cerita yang memberi manfaat bagi seluruh manusia dan jagad raya. Sementara itu, jagad sastra juga sedang ramai dengan kasus plagiasi dan soal Andrea Hirata yang menuntut pengkritiknya ke pengadilan. Pejamkan mata.

Sepagi ini saya sibuk rebutan segelas kopi dengan sekawanan semut hitam. Kalian tahu, ini racikan kopi Bali terakhir yang saya punya. Semut-semut itu tak pernah mau peduli. Sambil menahan kesal, semut-semut itu saya usir dengan lembut. Para semut yang sudah mengapung dalam kopi saya ambil satu demi satu dengan jari. Sebagian mati. Sebagian lagi masih mampu berjalan terseok-seok dengan kaki-kaki basah. Segera kopi itu tandas. Kapan-kapan akan saya undang makhluk-makhluk Onet untuk berperang melawan kerajaan semut di kamar ini. Kalian tahu Onet? Itu permainan tidak penting yang hanya membutuhkan kejelian mata. Sudah sampai level lima saya memasangkan makhluk-makhluk Onet sesuai jenisnya dan mereka tampak bahagia. Kalau saja mereka saya undang, tentu dengan senang hati makhluk-makhluk itu akan datang.

Lalu kemarin pagi tepatnya, setelah semalam menonton film-film Wong Kar Wai, layar laptop saya bergerak-gerak aneh tiba-tiba. Kabur. Cahaya-cahaya kehijauan berbaris horizontal muncul memenuhi layar, naik dan turun dengan cepat. Saya mengira ini gara-gara film Wong Kar Wai yang visualnya aneh-aneh itu. Barangkali film-film itu tak mau pergi dan menempel di layar hingga pagi. Tapi bagaimana mungkin. Layar itu sudah pernah saya ganti sekali. Kalau sampai rusak lagi, saya tak akan bisa mengganti untuk menunggu kerusakan berikutnya. Barangkali memang karena Wong Kar Wai.


Film-film Wong Kar Wai memang berbeda dari film Hong Kong yang pernah saya tonton. Malam itu saya menghabiskan empat filmnya sekaligus: Chungking Express (1994), Fallen Angels (1995), Happy Together (1997), dan My Blueberry Nights (2007). Sisa tulisan ini akan bercerita tentang tiga film pertama saja karena yang terakhir sangat berbeda dari tiga lainnya. Dari film-film itu—meski saya belum menonton semua karya Wong Kar Wai—memang sudah tampak jelas kekhasan auteur-nya. Orang itu dengan indah menyeret kameranya, detail memotret benda-benda. Dia menuntun manusia-manusia dalam moment-moment lambat lalu menempatkan mereka di sebuah ruang dan peristiwa. Begitulah Wong Kar Wai memainkan cahaya kota, mempercepat dan memperlambat gambar, mengambil shot dari sudut-sudut tak terduga, lewat cermin, kepulan asap rokok, mengintip di celah kaca eskalator, entah apa lagi.

Keindahan gambar Wong Kar Wai memang mempesona. Saya tak tahu banyak soal perdebatan studi film sejak jaman dahulu kala itu. Tapi kalau saya mau meletakkan Wong Kar Wai, barangkali dia memang berseberangan dengan film-film neo-realisme yang saya tonton belakangan. Sungguh ini sangat subjektif. Tapi bagi saya, cara neo-realisme memperlakukan realitas terasa lebih pas. Estetika Wong Kar Wai itu mendistorsi, montase manipulatifnya serasa tidak memberi kesempatan kepada saya untuk menerjemahkan segala yang ada di balik keindahan gambar. Sekali lagi jangan percaya tulisan saya. Percayalah hanya pada tuhan. Setelah nonton film jangan lupa sembahyang.

Dengan cara berbeda, film-film Wong Kar Wai memang sangat menarik untuk dibahas. Sebut saja lewat kajian pop culture-pop culture-an itu. Kalian bisa melihat Hong Kong dalam film, sebuah kota kosmopolitan, sosok kota yang tak bisa lepas dari pengaruh China dan bekas jajahan Inggris. Di sanalah Hong Kong berada mencari dirinya, kota dan manusia-manusianya penghuninya. Dari tiga filmnya, tema-tema cinta, kesepian, kenangan dan harapan masa depan, tampak mendominasi. Karakter-karakternya adalah orang-orang yang terasing dari kotanya sendiri.

Wong Kar Wai memang ahli menghubungkan mood tokoh dengan atmosfir lingkungan sekitarnya, biasanya dilengkapi dengan musik. Ia lihai mempermainkan warna. Seorang perempuan duduk sendiri di bar sambil menghisap rokok dan gambar pun perlahan dihitam putihkan. Shot itu langsung berefek pada kesedihan dan murung yang menjalar pelan. 

Rangkaian gambar film seringkali menempatkan waktu dalam kenangan, ingatan dan kisah-kisah tokohnya, dan lebih jauh memperlihatkan perubahan Hong Kong itu sendiri. Sebuah kota yang keras lengkap dengan kriminalitas dan berbagai jenis penghuni; para imigran India di Chungking Express, misalnya. Film-film itu menggambarkan kesementaraan. “I do not know who these people are and I do not care, soon they will be history,” kata salah satu tokoh di Fallen Angels. Sebuah hubungan yang tak abadi, putus nyambung dalam kesementaraan, cerita unik itu akan kalian temukan dalam Happy Together. Para tokohnya berjuang untuk sesuatu yang lebih dari kesementaraan, mereka adalah tokoh-tokoh penuh kesedihan yang memperjuangkan sejarahnya sendiri.

Wong Kar Wai bercerita dengan gaya khas monolog para tokohnya. Kedalaman personal tokoh dapat tergali lewat cara ini. Mereka menarasikan kehidupan dan perasaan. Monolog mengalir bersama kamera yang bermain dengan shot, warna serta gerak cepat atau lambat. 

Kalian akan menjumpai musik-musik pengisi yang unik. Saya rasa ini tidak sekedar pelengkap melainkan ikut menghidupkan tokoh-tokoh dan peristiwa. Ada salah satu lagu The Cranberries dalam bahasa Kanton di salah satu filmnya. Gambar-gambar seperti menari bersama iringan musik-musik itu, mengiringi kesepian, masturbasi seorang perempuan, polisi yang mengejar penjahat di kerumunan. Kota menjadi metafor bagi keberadaan tokoh-tokoh dalam film itu. Di sanalah mereka hidup dan berjuang, kesepian di tengah kerumunan. Mari mainkan!  Melancholic Bitch: Noktah Pada Kerumunan.

Kamar Kost, Setelah Tengah Malam, 21 Februari 2013

Minggu, 17 Februari 2013

Tupim’s Diary


Tupim di Pameran Patah Hati


Kalian masih ingat dengan Tupim? Betul, si tupai pipi manis yang suka mengembara kemana-mana sesuka hatinya itu. Kali ini ia datang lagi. Wajahnya benar-benar kosong dan redup karena kesepian. Tupim datang lagi ke kamar saya membawa buntalan cerita pengembaraannya. Kebetulan sekali karena saya juga sedang kesepian. Orang itu terlalu jauh berada di benua seberang lautan. Kabarnya datang lewat kata-kata yang patah dan tak pernah tuntas, menjadi kabar yang tak mengabarkan apapun. Maka biar saya tulisakan saja cerita Tupim di malam Minggu menggalau ini.

Kemarin malam Tupim datang ke sebuah acara pameran patah hati, tepat di saat sebagian besar orang menerima coklat dan bunga mawar dari kekasihnya. Sebelumnya, Tupim dimintai bantuan sahabat dekatnya yang jauh di luar kota untuk mengantarkan sekotak coklat untuk kekasihnya, kepada orang yang perlu diajari bagaimana caranya romantis. Teman Tupim itu sesekali ingin sekali diromantisi oleh kekasihnya yang dingin beku. Setelah tugas mengantar coklat selesai, hujan-hujan Tupim datang ke pembukaan pameran itu. Ia mengajak teman dekatnya bernama Tupilur si tupai pipi telur untuk menemaninya.

Betapa Tupim tak habis pikir bagaimana orang-orang itu memajang benda-benda peninggalan mantan kekasih, entah tanpa atau dengan sisa luka. Tupim dan Tupilur duduk di pojokan berdua sambil menguping pembicaraan hangat antar sepasing kekasih entah sahabat di depan mereka. Lagu-lagu Jalan Pulang menambah kesedihan, mengantarkan pikiran-pikiran masa lalu yang bangkit dari kubur tiba-tiba. Tak sampai selesai, Tupim dan Tupilur memutuskan untuk pulang ketika salah satu kelompok musik pengisi acara mulai menabur kembang dan menyulut kemenyan untuk mendukung penampilan. Di tengah hujan, dingin dan angin, dua tupai kecil itu menyanyikan kembali lagu Jalan Pulang dengan suara sangat keras, tanpa nada. Ya, Tupilur memang tidak bisa menyanyi dengan baik. Lepas.

Cerita Tupim tentang perayaan luka diselesaikannya. Ia tak ingin melanjutkan pengembaraan luka dan patah hati meski pameran itu masih menggelar acara diskusi membahas sejarah patah hati dan acara penutupannya malam ini. Tupim tak ingin datang lagi.

Tupim di Sebuah Mall

Pengembaraan Tupim kembali berhenti pada sebuah mall. Di sana sedang digelar diskon buku-buku. Tak ada yang menarik bagi Tupim. Pameran itu banyak menjajakan novel-novel John Grisham dengan diskon sampai empat puluh persen. Yang menarik bagi Tupim adalah pemandangan-pemandangan ganjil, sesuatu yang bagi banyak orang mungkin tak dipedulikan. Di tangga masuk mall itu, seorang gadis duduk di tangga sambil menulis dengan kertas dan pena. Gadis itu sudah menuliskan dua paragraf pada halaman pertama. Tupim ingin sekali mengintip apa yang sedang dituliskan gadis itu. Tapi ia keburu berdiri, meninggalkan mall bersama kertas dan penanya.

Tupim masuk ke mall itu, betapa ramai orang-orang dengan segala bentuk. Ia bertemu seorang nyonya dengan dua anak dan dua pengasuh perempuannya. Si pengasuh yang menggendong bayi itu memiliki tato bergambar mirip jangkar kapal di punggung tangannya. Barangkali saja itu tato sementara, tapi siapa yang tahu. Tupim tak membeli apapun kecuali memandangi orang-orang berlalu lalang di sekitarnya. Di tengah pameran buku, dilihatnya seorang kakek tua dengan kopyah putih. Kopyah itu dipakai sedikit kebelakang. Dahinya yang mengkilap dibiarkannya terbuka. Kakek berkopyah putih itu sedang membaca halaman belakang buku tentang sejarah kotanya. Barangkali ia hanya tukang becak yang mampir baca, kakek itu pun tidak membeli buku yang sudah beberapa lama diamat-amati dan dibacanya hati-hati.

Di mall itu juga, Tupim membuntuti seorang nenek yang menggendong tas plastik berwarna merah muda. Tupim tidak tahu apa isi tas plastik itu. Dari luar tampak seperti handuk bertumpuk-tumpuk yang diikat dengan tali. Sang nenek hanya mengenakan sandal jepit, rok di bawah lutut berwarna hitam dan kaos lusuh kecoklatan. Sebagian rambutnya memutih dan digelung di belakang kepala. Seorang satpam dengan pentungan dan seragam tampak juga membuntuti nenek itu. Mungkin hanya kebetulan saja Pak Satpam berjalan di belakangnya. Nenek itu hanya berkeliling di lantai pertama, lalu keluar menyeberang jalan menembus hujan.

Tupim ingin segera meninggalkan mall itu. Sambil menunggu hujan sedikit reda, akhirnya ia memesan es krim dan melihat hujan dari balik jendela. Es krim dengan selai strowberi itu tak membuat hatinya lega. Sedikit demi sedikit ia menyendoki es krim tanpa merasakan campuran rasa manis dan kecutnya.

Petualangan Mencari Perpustakaan

Cerita Tupim lalu beralih ke petualangannya di awal minggu ini. Ia mengajak Tupilur (tupai pipi telur) dan Tupila (tupai pipi bola) untuk mencari sebuah perpustakaan yang tersembunyi di desa terpencil. Rumah Tupilur sebenarnya sangat dekat dengan perpustakaan itu. Tapi ia tak pernah mendengar keberadaannya. Alamat dalam website yang menceritakan sedikit tentang perpustakaan itu juga tidak begitu jelas menunjukkan letaknya. Tupim benar-benar penasaran. Konon katanya perpustakaan itu milik Hersri Setiawan. Tupila dan Tupilur hanya dengan samar pernah mendengar nama itu dan tidak juga tahu lebih banyak.

Petualangan tiga tupai itu dimulai di sebuah siang yang panas. Alamat dari website menyebutkan bahwa perpustakaan itu terletak di Desa Lendah. Padahal Tupilur yang penduduk setempat hanya tahu bahwa Lendah adalah nama sebuah kecamatan. Maka berangkatlah mereka menuju kantor kecamatan Lendah. Setibanya di sana, Tupim baru sadar kalau bangunan kantor kecamatan itu sama persis dengan bangunan di daerahnya. Sebuah ruang berbentuk pendopo tanpa dinding berada di tengah dan ruang-ruang kantor yang telah terbagi berdasarkan tugas dan fungsinya itu di bangun separuh keliling pendopo. Di halaman depan sebelah kanan juga terdapat pohon, sangat mirip dengan kantor kecamatan di daerah Tupim. Jangan-jangan memang ada standar pembuatan bangunan kantor kecamatan untuk semua daerah di negeri ini. Luar biasa Orba.

Mereka kemudian bertanya kepada seorang petugas perempuan yang kebetulan hendak keluar ruangan. Petugas itu menjelaskan bahwa selain kecamatan Lendah, ternyata ada juga dusun bernama Lendah. Ia lalu  menunjukkan arah yang langsung dimengerti oleh Tupilur. Berangkatlah mereka ke rumah Pak Dukuh Lendah untuk bertanya dimana letak perpustakaan itu. Pak Dukuh Dusun Lendah ternyata berprofesi sebagai pengepul barang-barang bekas. Setelah bertanya kepada istrinya yang sedang memilah barang bekas di halaman, tiga tupai itu kembali melanjutkan pencarian mereka.

Tibalah akhirnya mereka di sebuah bangunan yang tersembunyi di antara pohon bambu dan rumah penduduk di sekitarnya. Bangunan itu terbuat dari batu bata yang bagian depannya di cat warna warni. Sama sekali tidak tampak bahwa tempat itu menyimpan buku-buku. Perpustakaan terkunci rapat. Tupim, Tupilur dan Tupila hanya bertemu seorang ibu-ibu penduduk sekitar yang duduk di bangku depan bangunan itu dengan dua orang anak perempuan yang menggelayut di kakinya.

Perempuan itu menjelaskan bahwa perpustakaan itu tidak buka setiap hari. Petugasnya sibuk mengajar dan sebagainya. Tetapi biasanya kunci perpustakaan dititipkan kepada seseorang yang tinggal tidak jauh. Perempuan baik hati itu kemudian meminjam sepeda dan memanggilkan mbak-mbak pembawa kunci. Tupim dan temannya pun menunggu. Mereka narsis berfoto-foto di depan dinding yang di cat meriah, suasana anak-anak yang sedang bermain dan belajar di bawah pohon. Di sebelahnya terdapat gambar gedung-gedung tinggi berwarna kelabu.

Tupim dan teman-temannya masih saja bergaya di depan dinding. Sementara mereka tak pernah berpikir bagaimana di abad ke-16, Jose Arcadio Buendia terlongong-longong dengan penemuan yang dibawa oleh Melquiades. Tiba-tiba saja penemuan itu mengingatkannya pada kematian. Bagaimana mungkin manusia yang semakin renta dan akhirnya mati bisa diabadikan gambarnya lewat sebuah plat foto. Sedang istrinya memilih untuk tidak difoto karena tak ingin gambarnya menjadi bahan tertawaan anak cucunya kelak. Jose Arcadio Buendia di kemudian hari, ketika masa sintingannya tiba, pernah menggugat seorang pastor untuk membuktikan keberadaan tuhan dengan menunjukkan fotonya. Memang tak ada hubungannya, kebiasaan tupai muda macam Tupim dengan nukilan cerita Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez itu.

Mbak-mbak pembawa kunci akhirnya tiba. Para tupai menjelaskan maksud kedatangannya dan mbak-mbak itu kemudian menelepon seseorang yang seharusnya memberinya mandat untuk membukakan pintu. Tanpa mandat, mbak-mbak pembawa kunci tidak berani membukakan pintu untuk para tupai. Suara perempuan tersambung dari telepon genggam yang di loudspeaker. Perempuan itu menjelaskan bahwa ia hanya berada di perpustakaan pada hari Sabtu. Para tupai boleh meminjam buku dengan menyerahkan daftar judul yang kemudian akan dicarikan oleh petugas berwenang. Dengan maksud hanya melihat-lihat, akhirnya perempuan itu memberi mandat kepada pembawa kunci untuk mempersilakan para tupai masuk.

Konon katanya izin untuk menjadikan perpustakaan itu sebagai bagian dari perpustakaan daerah Kulonprogo terkesan dipersulit. Keberadaanya sekarang menjadi perpustakaan ilegal. Padahal, kegiatan di perpustakaan sudah banyak, khususnya untuk anak-anak usia es de. Mereka memiliki kelompok teater, kelompok belajar membuat komik, dan sebagainya.

Pertama menginjakkan kaki di ruang perpustakaan itu, suasana sangat lembab. Cukup lembab untuk membuat buku-buku di dalamnya hancur. Lantai dipenuhi debu tebal, tupai-tupai merasakan di telapak kakinya kotoran serangga pemakan kayu yang berceceran. Hanya ada empat rak yang dipajang, masing-masing berisi novel-novel remaja populer, buku-buku anak, buku motivasi dan sangat sedikit bisa ditemukan buku yang berat-berat isinya. Tupim menemukan salah satu karya Pram berjudul Hoakiau di Indonesia, sebuah karya menarik tentang keturunan Cina di zaman kolonial, lengkap dengan angka-angka dan potongan berita koran. Selain itu, tak ada buku menarik yang berhasil ditemukan Tupim.

Kata mbak-mbak pembawa kunci, buku-buku referensi sebagian besar di kunci di sebuah ruangan. Pintu ruangan itu awalnya susah sekali dibuka. Di dalamnya terdapat kardus bertumpuk-tumpuk. Kardus-kardus berdebu yang membangkitkan rasa ingin tahu, buku-buku apa kiranya yang mati suri di dalamnya. Kalian tentu pernah mendengar cerita tentang buku-buku yang hidup di malam hari. Mereka saling memamerkan diri siapa yang paling banyak dibaca orang. Ah, cerita itu tidak penting. Kalau katanya buku-buku itu adalah koleksi pribadi Hersri Setiawan, siapa bisa menyangka di dalamnya terdapat buku-buku berbahasa Rusia, barangkali juga karya-karya Dostoevsky yang belum diterjemahkan.

Sekali lagi mbak-mbak yang dititipi kunci itu meminta maaf kepada Tupim dan teman-temannya karena tak bisa berbuat banyak. Katalog yang sebenarnya ada pun ia tidak tahu disimpan di mana. Ia juga meminta maaf karena Tupim dan teman-temannya melihat-lihat koleksi buku dalam keadaan ruangan yang gelap. Lampu baru saja diganti tetapi sudah rusak lagi. Jendela di ruangan itu juga rusak dan tak bisa dibuka. Rasanya Tupim ingin menangis. Sebelumnya ia pernah ke Perpustakaan Sri Gunting dan mendapati Marquez yang dimakan rayap bagian pojoknya. Betapa sayang. Tupim akhirnya berpamitan dan meminta nomor kontak si penjaga perpustakaan, kalau-kalau saja suatu kali akan kembali ke sana lagi.

Tupim di antara Orang-Orang yang Ngomongin Kebudajaan

Si Tupim nyasar lagi. Ia meninggalkan Tupilur dan Tupila yang tak mau ikut. Ia pun sendirian mengembara. Kali ini sampailah Tupim di sebuah acara jelajah pemikiran Dr. Sjafri Sairin dan Dr. Faruk. Tupim berharap di acara itu akan ada sebuah debat akademis yang seru, mirip seperti obrolan kakak-kakaknya teman sebelah yang pernah disaksikannya sambil terbengong karena tidak mengerti. Sendirian Tupim menaiki gedung Pusat Studi Kebudayaan sampai ke lantai tiga. Ia disambut oleh dua orang perempuan yang memintanya mengisi daftar hadir, memberinya sebotol kecil air mineral dan meminta mengganti uang cetak makalah sebesar lima ribu rupiah.

Tupim masuk ruangan kecil dan sumpek yang sudah penuh dengan orang-orang. Sebagian besar bapak-bapak dan ibu-ibu. Barangkali calon doktor semua. Nugraha Trisnu Brata diminta untuk membedah pemikiran Pak Sjafri sementara Sudibyo diminta membedah pemikiran Om Faruk. Tupim terkejut karena ternyata acara itu juga menjadi perayaan ulang tahun Om Faruk. Sebelum acara dimulai, seorang perempuan masuk ruangan dengan membawa kue dan lilin di atasnya. Orang-orang yang hadir diminta untuk menyanyi dan lilin pun ditiup. Tupim hanya mnghela nafas kecil. Tak ada yang mendengar gerutuannya.

Acara itu berlangsung jauh dari harapan Tupim. Para pembicara dan peserta terkesan hanya ngobrol. Para pembicara itu kebetulan calon doktor dengan promotor orang-orang yang sedang mereka bicarakan. Entah kenapa yang diungkapkan terasa baik-baik semua. Hampir tak ada kritik. Tanggapan dari peserta juga tidak ada yang menarik. Tupim meneguk air dari botol kecilnya. Ia sendiri tidak mengerti apa-apa tentang kebudayaan. Namanya juga kesasar.

Pembicara pertama mulai membicarakan definisi kebudayaan menurut para ahli lalu mengungkapkan pemikiran-pemikiran orang yang sering dipinjam Pak Sjafri ketika mengajar di kelas. Beberapa yang dikutip adalah pendapat James Spradley. Kemudian dibicarakan juga sifat kebudayaan yang berubah, dimana sering hanya struktur permukaannya saja yang berubah sedangkan deep structure-nya tetap sulit berubah. Pak Sjafri katanya juga sering mengelaborasi fenomena liminality yang merujuk pada pemikiran Viktor Turner. Begitulah ia menjelaskan masyarakat galau yang tidak punya rujukan budaya yang jelas, sangat mudah dipengaruhi dan diprovokasi.

Pak Sjafri sering meminjam istilah mentalitas “nrabas” dari Koentjaraningrat. Istilah itu dipakai untuk menyebut orang-orang yang menggunakan jalan pintas, ingin memperoleh hasil banyak tanpa mau bekerja keras. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang relasi personal. Apabila berbicara tentang epistemologi antropologi maka kata pembicara itu, Pak Sjafri termasuk seorang antropolog-fenomenologis.

Selanjutnya, pembicara kedua akan menjelajahi pemikiran Om Faruk. Karena begitu banyaknya, maka ia hanya membahas pemikiran yang tertuang dalam sebuah buku berjudul Women Womini Lupus. Benang merah dari pemikirannya adalah bahwa Om Faruk selalu melihat yang tersirat di balik yang tersurat. Selain membahas gender, Om Faruk juga mengkritik para esensialis dengan penjelasan bahwa budaya itu hasil hibridasi, pertemuan berbagai pusat kebudayaan. Kata pembicara itu, Om faruk dimasukannya sebagai pemikir postruktural.

Tupim sudah bilang bahwa apa yang diungkapkan para penanya tidak ada yang menarik. Para pemikir yang pikirannya sudah dijelajahi lalu diberi kesempatan untuk mengklarifikasi. Om Faruk bilang kalau ram otaknya terbatas sehingga apa yang sudah dia tulis itu banyak yang sudah lupa. Sedari tadi Om Faruk tak berhenti merokok di belakang dengan gayanya yang bagi Tupim terkesan sok itu.  

Sementara itu, Pak Sjafri mencoba untuk menambahkan apa yang belum diungkapkan oleh pembicara. Studi Pak Sjafri tentang buruh membawanya untuk meregister istilah “masyarakat tegel”—e dibaca seperti pada kata terang—dalam ranah akademis. Kata tegel sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang mungkin belum ditemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Pak Sjafri sempat menyebut istilah padanannya dalam bahasa Inggris tetapi Tupim tidak begitu jelas mendengarnya. Tegel berbeda dengan tega. Tega bisa jadi masih memiliki nilai positif tergantung pada penggunaannya, sementara tegel itu mentolo, kok sampai hati. Ia lalu menceritakan kisah Marsinah yang ditusuk kemaluannya itu.

Ketika membicarakan sistem simbol, Geertz menggunakan istilah “model of” dan “model for”. Tupim tidak berani membahasnya lebih lanjut karena ia kurang begitu paham. Pak Sjafri ingin menambahkan satu model yaitu expected model, model seperti apakah yang sebenarnya diharapakan. Sayang sekali tidak ada orang yang menanggapi pemikiran tersebut, seperti halnya register istilah “masyarakat tegel” tadi. Pemikirannya hanya terhenti pada kongres-kongres dan ini sama menyedihkannya dengan buku-buku yang dimakan rayap. Tupim akhirnya pulang dan mendapati Tupila dan Tupilur sudah tidak ada lagi di kamarnya. Dua tupai itu tampaknya sedang mengembara sendiri.

***

Tupim mengakhiri ceritanya. Ia buru-buru pamit pergi karena segera ingin menonton film lagi. Sebelumnya ia sempat bicara ngawur, “jangan-jangan pemberontakan setan di atas sana sudah berhasil dan sekarang mereka duduk di singgasana menggantikan tuhan. Itulah kenapa dunia jadi begini kacau, toh kita tidak ada yang tahu.” Entah dari novel atau film yang mana Tupim mendapatkan pikiran gila semacam itu. Saya sendiri tak ambil peduli. Kopi yang saya suguhkan tidak dihabiskannya.

"Pengembaraan yang tidak nyata dalam film kadang memang lebih menyenangkan," kata Tupim. Sebelumnya sedikit ia mengeluh bahwa sekarang ia tak bisa menonton semua film. Ketika sepuluh menit pertama sudah membosankan, maka Tupim akan segera menggantinya dengan film lain. Ah, mayak sekali dia sekarang. Kalau curhatan Tupim semua ditumpahkan pada saya, kepada siapakah saya akan meluapkan sekian banyak cerita? Saya juga pamit, sudah mengantuk. Tulisan ini barangkali terlalu panjang. Tapi begitulah kalau Tupim sudah bercerita, tidak ada habisnya. Selamat malam.

Semenit Setelah Tengah Malam, Kamar Kost, 17 Februari 2013

Kamis, 14 Februari 2013

Kematian dan Kereta yang Mengapung di Dunia Apu


Sudah beberapa hari ini saya mengapung di dunia Apu, sebuah film yang efeknya bisa tertinggal lumayan lama. Pertama kali saya mengenal Satyajit Ray ketika menonton Pather Panchali (1955). Kala itu saya tak jadi pulang dari kontrakan teman sebelah karena tertawan oleh pesona gambar Pather Panchali yang diputar lewat You Tube. Pertanyaan pertama yang langsung terlontar dari pikiran ketika menonton film itu adalah: sejak kapan film India berisi nyanyi-nyanyi dan nari-nari antar sepasang kekasih, saling mengintip dari balik pohon, sambil berkejaran di padang rumput luas atau taman bunga yang indah? Kesan pertama pada Satyajit Ray (selanjutnya akan saya panggilm Om Ray) akhirnya mengantarkan saya pada Trilogi Apu: tiga film Om Ray tentang biografi kehidupan seorang anak di Bengali, India.  

Pather Pancali bagi saya memiliki efek kejut tersendiri. Setidaknya karena itu adalah film India pertama yang saya tonton dengan kesan sangat berbeda. Dari dulu saya mengenal film India yang dipenuhi oleh pertentangan h­ero dan anti-hero, antara inspektur Vijay dan Tuan Takur, kisah-kisah cinta penuh drama, serta lagu dan tarian-tarian mereka, sepasang kekasih menari di bawah hujan dan di taman-taman. Selebihnya, kita mengenal film-film epos seperti Mahabharata, itu juga dari televisi kita tercinta.

Sejarah film India tercatat sejak Lumiere bersaudara memperkenalkan film mereka pada tahun 1896. Dengan demikian, film India telah melewati jalan panjang sampai meledaknya Bollywood dengan film-film yang sering sekali diputar dan diulang-ulang di televisi kita. Lagu-lagu dan tarian mulai muncul sejak adanya film bicara sekitar tahun 1930-an, dibuat sebagai eskapisme depresi pasca Perang Dunia II. Film-film pada masa itu dibuat penuh melodrama nan romantis dengan lagu dan tarian penuh harapan. Kondisi ini masih lebih baik daripada sebagian besar film Bollywood yang kita tonton saat ini, murni sebagai mesin komersial.

Tahun 1950-an merupakan bagian dari era keemasan perjalanan film India. Selain Om Ray, beberapa sutradara India banyak membuat film sebagai respon atas perubahan sosial seperti modernisasi, tekanan industrialisasi dan urbanisasi. Lewat Pather Panchali, Om Ray berhasil menarik perhatian dunia dengan meraih penghargaan festival film Cannes untuk kategori Best Human Document. Dalam Trilogi Apu, Pather Panchali/ the Song of the Little Road (1955) dan Aparajito/ The Unvanguished (1956) dibuat dengan mengambil narasi novel Bibhutibhusan Banerji (Bandopadhyay). Sedangkan film ketiga, Apur Sansar/ The World of Apu (1959) dibuat dengan mengambil nukilan novel serta pengembangan cerita oleh sang sutradara.

Trilogi Apu bagi saya mampu menempatkan materi lewat bentuk rangkaian gambar yang terkesan eksotis. Pather Panchali bercerita tentang seorang pendeta Brahmin, Harihar yang membawa keluarganya kembali ke desa dengan seorang istri hamil dan anak perempuannya bernama Durga. Pather Panchali dengan Apu kecil yang berlari-lari adalah efek kejut pertama dimana dari mata seorang anak laki-laki itu, dapat ditangkap bagaimana Om Ray membincang realitas lewat citra. Dengan menggunakan aktor non-profesional, latar-latar yang mengeksplorasi alam dan kultur Bengali, rangkaian gambar dalam film ini membuat kesan-kesan menancap kuat tetapi dengan caranya yang halus.

Tragedi hampir dengan seenaknya mengaduk-aduk kehidupan keluarga kecil itu. Hantu-hantu kematian bergentayangan. Trilogi Apu satu demi satu merekam kematian. Pather Panchali membawa kita pada kematian Indir, Sang Bibi yang tergeletak lemah di bawah semak pohon bambu. Lalu rangkaian gambar serangga di permukaan kolam dan Durga yang menari di antara hujan. Alunan musik meninggi seperti jeritan semakin menghidupkan kesan dramatis pada kematian. Durga pun mati sebelum film berakhir.

Aparajito menampilkan kesan berbeda dari film sebelumnya. Keluarga Harihar pindah ke Benares dengan berbagai kesulitan mereka. Harihar menjadi pendeta yang membacakan kitab di pinggir sungai Gangga. Untuk menjadi seorang pendeta tentu harus menjadi Brahmin dan saya baru tahu kalau di India seorang Brahmin bisa begitu miskin. Sang Ibu merasa tidak aman dengan pandangan tetangga laki-lakinya. Apu kecil dulu menemukan guru yang mengajar sambil berjualan di pasar tetapi ketika di kota, ia hanya belajar lewat apa saja yang dilihatnya di jalan dan orang-orang sepanjang Sungai Gangga. Film kedua mengantarkan kita pada tragedi kematian Harihar yang mengharuskan Sang Istri dan Apu harus kembali ke desa.

Apu kecil masih tetap memesona. Kemudian Apu dewasa membawa kita pada hubungan antara Ibu yang kesepian dengan seorang anak yang berambisi untuk belajar di kota. Apu menolak menjadi pendeta dan berniat melanjutkan studinya. Berbeda dengan film pertama yang memanjakan mata dengan gambar-gambar liris, film kedua terasa lebih kuat mengekplorasi sisi-sisi psikologis tokoh-tokohnya. Peralihan antara latar desa dan kota mampu direkam dengan manis, berikut dengan manusia-manusianya. Apu muda yang tidak betah lagi tinggal berlama-lama di sebuah desa yang sepi dan seorang ibu yang mengkhawatirkan masa tuanya, sendirian dan menunggu. Film kedua ini pun diakhiri dengan tragedi kematian Sang Ibu.

Film ketiga sepenuhnya milik Apu. Dunia Apu adalah segala macam kesusahan hidup di kota. Apu tinggal di kamar sempit dengan mimpinya menjadi seorang penulis. Ia hidup sebagai guru les dengan pendapatan hampir tak mencukupi kebutuhan. Dalam film ini, saya tertawan dengan salah satu adegan ketika Apu melamar pekerjaan. Di sebuah pabrik yang mempekerjakan orang untuk memasang label pada botol, para pekerja memandang sosok Apu. Sorot mata mereka bercerita lebih banyak daripada kata-kata. Bagi Apu, pekerjaan itu dapat merusak jiwanya, sementara adegan ini seperti mampu menembus sistem seperti apa yang bekerja di balik orang-orang yang sepanjang hari menempelkan label pada botol.

Perjalanannya ke desa dengan karibnya membawa Apu pada pernikahan tak disengaja. Ia pulang ke kota dengan seorang gadis cantik bernama Aparna dari keluarga kaya. Apu yang miskin dan istrinya yang kaya. Perasaan Aparna ketika pertama kali tiba di kamar Apu digambarkan lewat shot pendek, kamera mendekat pada wajah diikuti shot panjang, kamera menggantikan mata Aparna yang mengintip dunia luar lewat kelambu penutup jendela yang sobek. Pengantin baru ini akhirnya dapat hidup bahagia sampai akhirnya kita dipaksa kembali menemui kematian. Sang istri meninggal ketika melahirkan anak laki-lakinya. Apu mengalami depresi sampai ia tak bisa mendekati anaknya sendiri karena bayangan kematian istrinya. Separuh film ini gelap meski di akhir Apu mampu bangkit dan menerima keberadaan anak laki-lakinya.

Satu lagi hal menarik yang muncul dalam film ini adalah keberadaan kereta. Di setiap film, kereta hadir menemani peristiwa, peradeganan dan kisah dengan sangat berbeda. Dalam film pertama, setelah Apu dan Durga bertengkar karena kertas perak milik sang kakak digunakan Apu untuk membuat mahkota yang terilhami oleh pertunjukan drama yang semalam disaksikannya, Durga membawa adiknya ke sebuah padang rumput sambil menyesap batang tebu. Mereka bermain di bawah tiang listrik. Tak lama kemudian, kereta api tiba dengan gagahnya sambil mengepulkan asap. Om Ray dengan keren menghadirkan ketegangangan antara anak-anak desa yang tak pernah melihat kereta dengan modernitas yang sedang terjadi.

Dalam film kedua, kereta dihadirkan dalam relasi antara Apu yang tinggal di kota dan ibunya yang sendirian di Desa. Bagi sang ibu, kereta adalah harapan yang akan membanya anaknya kembali pulang. Rangkaian gambar ketika sang ibu sering menggelar tikar di bawah pohon menunggu kedatangan Apu dan kembali pulang setelah kereta melintas tanpa anaknya menggambarkan hal itu. Kesendirian sang ibu menjadi semakin nestapa, cahaya meredup, menjelang malam, dan Apu tak datang. Tetapi bagi Apu, kereta menjadi perantara yang membawanya keluar dari kesunyian desa menuju keriuhan kota.

Kehadiran kereta dalam film ketiga sama sekali lain. Apu sudah tinggal di kota dengan kamar yang menghadap bentangan rel. Kereta menjadi musik hidupnya. Suara kereta menjadi bagian kehidupannya bersama Aparna. Kemiripan bunyi seruling Apu dan suara kereta itu terasa dekat dan menyatukan keduanya. Dalam film ketiga, kereta membawa Aparna pulang ke desa yang sekaligus ikut mengantarkan kematiannya, sedangkan apu setia membaca surat-surat dari istrinya sampai berita tragis itu tiba.

Trilogi Apu adalah hidup manusia yang terang dan gelap, naik dan turun. Dari dulu cerita bernuansa biografis selalu menimbulkan ikatan, entah dari novel maupun film. Rangkaian gambar Om Ray memang menawan. Para pengkritiknya bilang kalau film Om Ray banyak mendapat penghargaan internasional karena orang Barat ingin melihat India sebagai abjek. India yang miskin dengan tradisi mereka, orang-orang dan kondisi sosialnya. Barangkali film Om Ray tidak dapat menjadi representasi India, tetapi film-film Bollywood itu tampaknya juga bukan representasi India, dalam hal ini adalah konteks di luar film. Tapi bukankah sudah sejak lama realitas dalam film menjadi realitas dalam dirinya sendiri. Dari cara mengada baru ini, tidak serta merta dapat ditarik premis-premis realitas dari apa yang ada dalam film.

Orang bilang film Om Ray itu neo-realis dan terpengaruh oleh de Sica. Maka saya pun kemudian tertarik untuk melihat Voleur de bicyclette. Tidak berlebihan kalau saya bilang bahwa film ini adalah film terbaik yang pernah saya tonton. Film itu mempunyai makna bahkan ketika konteks dan pemaknaan sosialnya diabaikan. Pesan dalam film tidak dieksplisitkan sebagai pesan. Tesisnya pun sederhana bahkan kata Bazin sampai terasa kejam: di dunia buruh itu, untuk dapat bertahan hidup kaum papa harus saling mencuri. Realitas sosial ditempatkan sebagai latar dari drama moral dan psikologi. Fenomena yang dihadirkan memang sangat konkret. Seorang ayah yang kehilangan sepeda sebagai satu-satunya alat produksi, berusaha menemukan kembali sepeda itu dengan dikuntit sang anak laki-laki. Film itu membangun realitas dalam tontonan, bukan membuat sebuah tontonan menjadi tampak nyata. Sebuah jalinan fenomena yang berada pada tataran kronologi kebetulan. Ilusi atas realitas dapat ditampilkan dengan sempurna bahkan tanpa satupun adegan yang terkesan terlalu dramatis ekstrim.

Pada periode yang sama, di tahun 1950-an tentunya, Indonesia punya Usmar Ismail dan Bactiar Siagian. Begitulah. Dua orang itu bernasib sangat berbeda. Usmar tumbuh menjadi artis besar sedang Bachtiar dikutuk menjadi propagandis komunis. Film-film mereka menggambarkan kondisi masyarakat pasca perang kemerdekaan yang belum menemukan wajahnya. Saya sendiri baru menonton film Usmar yang judulnya Lewat Jam Malam dan Tamu Agung. Sepertinya menarik kalau bisa dibandingkan dengan karya Bactiar Siagian yang sayang sekali tak bisa diakses dengan mudah. Apa yang terjadi di India dan Indonesia pada periode yang sama tentu bisa jadi sangat berbeda. Dengan bahasa sinematografisnya, film mampu mengikat sesuatu di luar dirinya. Rasanya masih ingin mengapung di dunia Apu, dimana gagasan-gagasan merasuki materi, dibaca dalam bentuk dan dinikmati sambil minum kopi. Ah, hari ini saya mau makan coklat sebanyak-banyaknya meskipun harus beli sendiri.  


Kamar Kost Ketika Hujan, 14 Februari 2013

Kamis, 07 Februari 2013

Gambar-Gambar Bergerak Sebelum Lampu Kamar Padam


Kalau ditanya mengapa saya menuliskan hal-hal macam ini di blog, itu sama halnya ditanya mengapa saya hidup. Semua tulisan buruk rupa yang lahir adalah kebutuhan untuk memberi makan bagi diri saya sendiri. Buruk rupa karena saya tak pernah serius menuliskannya, kerena tak ramah pada pembaca dan sangat egois tentunya. Buruk rupa karena penulis malas ini membiarkan ide-idenya terputus begitu saja dan ditulis dengan kalimat melompat-lompat tanpa argumen. Benar-benar kacau. Akhir-akhir ini kebutuhan literer dan visual saya terasa tercukupi dengan film, sebenarnya masih tak pernah merasa cukup. Seandainya ada orang yang menjual waktu dengan harga murah, saya pasti akan membelinya untuk menonton film.

Sesuatu yang sudah berlebih dan menumpuk ini mendesak untuk dikeluarkan. Maka jadilah tulisan ini. Bagi Anda yang sudah muak membaca paragraf pertama, silakan ditinggalkan. Bagi yang masih ingin tahu apa isinya, silakan lanjut membaca. Meski saya selalu terkesan, film yang saya tonton belakangan ini kebanyakan memang bernada redup, bahkan gelap dengan ending menggantung. Kadang malah terkesan terpaksa menyelipkan sepucuk harapan. Tulisan ini sedikit banyak akan membincang tentang film-film yang saya maksudkan. Saya sengaja tak menyebutkan judul-judul film dan orang yang saya maksud karena sudah barang tentu Anda akan sangat mudah menebaknya.

Film-film itu dibuat oleh orang yang menjadi sutradara, penulis naskah sekaligus senang muncul dalam karya-karyanya sendiri. Ia banyak menggunakan latar kota-kota di Amerika dalam filmnya, New York khususnya. Meski berlatar Amerika, pikiran, shot-shot dan gaya film orang itu sangat Perancis. Pernyataan ini bukan pendapat saya tetapi dari masnya teman sebelah dan saya sepakat. Anda bisa menemukannya sendiri dalam film-film yang berlatar Perancis. Tidak hanya itu, eksotisme kota-kota di Eropa juga sering muncul, sebut saja Barcelona.

Orang itu senang sekali mengomentari segala sesuatu. Ia seperti Sukab yang kerap muncul dalam cerita-cerita Seno. Orang itu kadang muncul sebagai bagian dari kelas menengah Amerika. Ia menjadi produser acara televisi, menjadi profesor yang mengajar sastra, penulis novel, wartawan olah raga, pernah juga menjadi seorang pesulap. Beberapa lainnya menjadi karakter aneh seperti orang yang dicatat sejarah karena selalu menjadi orang lain sesuai lingkungannya macam bunglon, seorang pasien yang tiba-tiba dihidupkan kembali setelah dua ratus tahun mengalami koma, juga seorang tester alat-alat aneh yang tiba-tiba menjadi presiden di negeri antah berantah. Ia pernah memerankan biografi seorang kriminal. Yang lebih konyol adalah perannya sebagai sperma. Seberapapun absurd karakternya, orang ini mampu berbohong dengan sangat meyakinkan lewat filmnya.

Kadang filmnya terkesan seperti dokumenter. Beberapa lainnya berkisah tentang bapak-bapak dan ibu-ibu yang mengalami krisis paruh baya, melulu soal cinta, seks, atau ketidakpuasan atas harapan yang kandas pada kenyataan. Sebagai bagian kelas menengah Amerika, orang itu menjadi leluasa membicarakan segala sesuatu. Mereka menyoal filsafat, karya seni seperti lukisan, patung, sastra maupun film itu sendiri. Sebagai seorang profesor dan penulis novel misalnya, ia bisa dengan meyakinkan membandingkan Tolstoy, Turgenev dan Dostoevsky. Kalau karya Tolstoy adalah makanan empat sehat lima sempurna, maka Turgenev adalah hidangan penutup paling menarik, sementara Dostoevsky adalah makanan empat sehat lima sempurna dengan tambahan vitamin dan sebutir permata.

Gambaran orang itu tentang kelas menengah membuat saya merasa sedikit sinis belakangan ini. Mereka dengan mudah mendapat apa yang mereka mau; membeli buku apa saja, melihat-lihat galeri lukisan, menonton opera, mendengarkan Bach, membaca E.E. Cumming sebelum tidur, minum anggur, berdansa cha cha cha (Ups, maaf, berdansa cha cha cha sudah jadi hak paten Om Anwar Congo tampaknya). Film-filmnya yang seperti ini khas muncul pada dekade 80-an sampai 90-an awal dengan bungkus komedi romantis atau murni drama romatis.

Bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya itu dengan mudah jatuh cinta kembali dan saya tak pernah membayangkan bisa begitu rupa terjadi. Sebenarnya memang wajar. Tidak ada yang aneh dari itu semua. Misal dalam salah satu filmnya, seorang profesor bisa tiba-tiba jatuh cinta terhadap pelatih senam. Untuk sesaat ia merasa butuh pembicaraan segar, perbincangan remeh seperti berapa jumlah kalori yang diperlukan setiap hari atau menonton video yang bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak. Awalnya ia bahagia dengan hidupnya yang baru tapi tiba-tiba pembicaraan seperti itu menjadi memuakkan. Bayangkan ketika pacar barunya membicarakan astrologi dan tofu di antara teman-temannya yang intelektual itu. Ia tiba-tiba merasa muak lalu kembali kepada istrinya yang memiliki level selera setara.

Hubungan bapak-bapak dan ibu-ibu itu terlihat sama labilnya dengan anak muda. Namun tentu dengan segala bentuk persoalan yang sama sekali lain dan lebih kompleks. Ini juga yang membuat saya semakin sinis dengan hubungan-hubungan yang seperti itu. Ah, tapi itukan orang Amerika. Gambaran hubungan dalam film-film Indonesia masih banyak yang percaya dengan cinta sejati (which is itu bullshit) atau memang hal semacam itu masih ada di sini. Berapa lama orang akan bisa bertahan hidup dengan orang yang sama tanpa topan dan badai. Barangkali itu cuma hubungan khas kelas menengah yang sangat mungkin bisa terjadi pada siapapun. Maaf, sinisme semacam ini seharusnya dibuang ke laut saja.

Lalu seperti apakah kisah kita? Pahit tentu kalau diceritakan dari akhir kisahnya. Bisa jadi terasa asin ketika bercerita tentang fragmen ciuman dan airmata. Kita masih punya cerita manis apabila kenangan-kenangan tertentu diisolasi dan diceritakan sebagai bagian yang tak mampu menggambarkan keseluruhan. Barangkali juga asam, sebuah cerita tentang pertengkaran-pertengkaran kecil karena hal kecil, dan pelukanku untukmu meski kau tak mandi dua hari. Hoaks. Ironis. Mirip sekali dengan film-film yang belakangan ini saya tonton. Sangat ironis.

Orang itu masih saja memerankan tokoh dengan gaya serupa meskipun karakternya berbeda. Menjadi seseorang yang mudah panik, gugup, berbicara dengan sedikit tergagap sambil tetap terlalu kritis terhadap segala sesuatu. Kadang ia menyukai anak-anak dan ingin menjadikan mereka seperti dirinya. Tetapi di lain waktu ia bisa sangat tidak menginginkan anak. Menyenangkan memang melihat banyak film berbeda dengan tipe mirip seperti itu. Anda dengan mudah akan menemukan benang tipis maupun kasar yang tergurat dalam setiap karyanya, seperti sebuah tanda tangan. Film-film itu seperti puzzle kehidupannya. Sesuatu yang tidak Anda temukan dalam satu film akan terjawab ketika menonton film lainnya. Dan hal yang sangat jelas bisa ditandai adalah musik-musik jazz pengisi film yang serupa.

Lewat film-filmnya, orang itu seperti mendokumentasikan kesedihannya sendiri dengan bungkus rapi berbagai macam omongan soal seni. Tetapi ini sungguh menarik, setiap monolog dan dialog membuat kita menyimak baik-baik bagaimana seorang tokoh memandang dunia dan orang-orang di sekitarnya. Saya sendiri sangat menikmati setiap narasi dengan dukungan latar dan musik dalam setiap film, khususnya film-film di awal kariernya.

Guyonannya memang kadang masuk dan kadang juga lewat begitu saja. Pernah ia seperti bicara dengan penonton di depan kamera mempertanyakan suatu hal yang persis saya pertanyakan juga. Saya pun seakan-akan bisa berbincang dengan orang itu melalui layar. Barangkali hanya sebuah kebetulan. Orang itu memang senang menyuguhkan hal yang berat-berat, memberondong penonton dengan debat-debat filosofis dan tetek bengeknya. Dia pikir saya ngerti, ta?

Ia mengaku tak percaya tuhan, tak percaya pada ilmu pengetahuan dan menyebut kepercayaanya sebagai teleological existential atheis. Binatang apakah ini? Silakan Anda jawab sendiri. Persoalan eksistensi memang kerap muncul dalam filmnya. Bisa panjang kalau diuraikan. Ada satu film tentang seorang tokoh yang tiba-tiba keluar dari layar. Ia jatuh cinta pada perempuan yang menonton film itu sebanyak lima kali berturut-turut. Drama perebutan cinta sang perempuan oleh aktor sebenarnya dan karakter yang diperankan terjadi. Benturan antara yang nyata dan tidak nyata, tokoh rekaan dan manusia—digambarkan manis di sini meski ujungnya tetap pahit.  

Dua kali setidaknya saya pernah menjumpai orang itu hampir mati. Pertama karena diagnosa dokter yang mengatakan kemungkinan tumor di otaknya. Kedua karena ditembak salah satu penggemar ketika ia memerankan sosok sutradara film komedi terkenal yang mana sangat mirip dengan dirinya sendiri. Orang itu sempat mengalami depresi karena sadar bahwa filmnya jauh dari realitas. Ia merasa tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mengentaskan kemiskinan, para penderita kanker dan segala penderitaan dunia. Lalu tiba-tiba ia menyadari hidupnya sangat tidak berarti.

Ungkapan Tolstoy menjadi pas di sini, “The only absolute knowledge attainable by man is that life is meaningless.” Ungkapan ini pun menjadi sub judul di salah satu filmnya. Orang ini beberapa kali kehilangan arah. Mungkin juga diantara Anda pernah mengalaminya. Meskipun begitu, ia selalu bisa mendapati dirinya kembali lewat momentum yang kadang sangat sedehana. Hanya dengan memandang perempuan yang dicintai sambil mendengar musik dan menyendok es krim sedikit demi sedikit. Orang itu akhirnya bisa mendapatkan hidupnya kembali. Ternyata hidup masih indah.

Di akhir filmnya yang lain, orang itu pernah mati. Sedikit lain karena film ini mengambil latar Rusia pada masa perang melawan Napoleon. Orang itu mati setelah dipenggal karena percobaan pembunuhan terhadap Napoleon. Sebuah kematian yang bahagia. Ia dijumpai sosok malaikat dan mendapat pengampunan tuhan pada malam sebelumnya. Malaikat itu berkata bahwa ia tak akan mati esok hari meski ia akhirnya mati juga. Sebuah film yang menarik, membicarakan tentang cinta dan kematian dengan kutipan-kutipan para filsuf pengisi dialog antar tokoh. Anda akan menemukan Spinoza dan debat-debat konyol soal moral di sini.  Film yang ini masih kental dengan nuansa komedi dan mengingatkan saya pada cerita Gogol tentang dua laki-laki bertetangga yang saling bertengkar karena hal-hal remeh.

Di lain film, idenya tentang orang yang bisa dihidupkan kembali di masa depan mirip dengan cerita Poe tentang mumi dari Mesir kuno yang juga dihidupkan kembali oleh para ilmuwan. Keseluruhan cerita memang sama sekali berbeda tetapi kisah semacam itu serasa menggelitik. Kalaupun yang demikian itu bisa benar-benar terjadi, orang tak perlu bersusah payah menggali sejarah. Anda juga bisa menemukan satir manis tentang masa depan kapitalisme dalam film ini.

Seandainya ada yang ingin menuliskannya dengan serius. Banyak sekali hal-hal menarik dari orang ini dan film-filmnya. Setidaknya beberapa kali dia berhasil membuat saya menderita setelah menonton. Sepertinya menarik melihat perjalanan film-filmnya dari tahun 70-an sampai sekarang. Saya sendiri menonton filmnya-filmnya secara terbalik. Film-Film awalnya baru banyak saya tonton belakangan. Kalau berkenan, Anda bisa menemui orang itu pada setiap dekade perjalanan kariernya dan menuliskan masing-masing kekhasan atau gayanya. Genre filmnya juga tampak mengalami perubahan dan belakangan semakin bervariasi. Artis filmnya juga berubah dari waktu ke waktu, meskipun ia terbilang banyak menggunakan artis yang sama dalam beberapa film di setiap periode waktu tertentu. Kalau ada yang tertarik lagi, bisa dilihat juga bagaimana film-film itu menyerempet filsafat, seni,  psikologi, psikiatri, dan sedikit politik dalam narasi dan dialog.

Rasanya film orang itu memang cukup bergizi—mengimbangi banyaknya produksi film holywood yang bisa dihitung dengan jari ketika bicara kualitas—yang tentu saja ini subjektif menurut saya. Membicarakan pengaruh barangkali juga menarik, misalnya pengaruh Ingmar Bergman dan Fellini dalam film-film orang itu. Pengaruh selalu mengalir dalam darah meski pengaruh bukan berarti meniru. Orang itu sungguh punya gaya tersendiri dalam menulis dan menyutradari film-filmnya. Gayanya yang sok pintar itu membuat saya suka. Kepintaran yang seringkali melelehkan hati perempuan. Saya tahu itu bukan dimaksudkan untuk membodohi penonton karena barangkali saja ia menganggap penontonnya sama pintar dengannya, atau bahkan lebih pintar.

Saking banyaknya, saya jadi bingung akan menuliskan apalagi. Betapa tidak tertatanya sesuatu dalam otak saya ini. Dan sepertinya tidak akan ada senja sore ini. Langit sedang cerah tetapi gelap. Sementara film-film itu tak pernah menginginkan dirinya selesai. Mereka menambatkan kesan pada mata orang-orang. Tokoh-tokohnya berkeliaran, berpindah dari layar menuju pikiran. Mengapa mengajari diri sendiri terus-menerus tak pernah cukup untuk dunia ini? Sedang kita masih saja menjejalkan diri di tangan orang-orang yang mengajari kita dengan begitu membosankan. Bodohnya, kita masih dengan senang hati membayar mereka begitu mahal. Lalu, akan menonton apalagi setelah ini?


Menuju Senja, Kamar Kost, 7 Februari 2013