Jumat, 18 Januari 2013

Para Toean, Prijaji dan Njai-Njai: Tentang Tiga Cerita Fiksi Tirto Adhi Soerjo


Selamat Pagi. Ada ‘wow’ mengapung di cangkir kopi. Entah kenapa saya merasa disuruk-suruk untuk menuliskannya pagi ini. Tulisan buruk rupa tentang cerita luar biasa, yang barangkali juga tidak penting bagi sebagian orang. Telat sekali saya membacanya, rasanya pahit seperti saya seorang yang telat dan semua orang di dunia sudah membacanya. Kata teman sebelah, lebih baik telat daripada telat sekali, bukan?

Banjir sedang mengaliri jalan-jalan Ibu Kota, demikian juga dengan saya yang sedang kebanjiran ini, kebanjiran apa? Ah, tidak penting. Hanya berdoa saja yang bisa saya lakukan untuk saudara-saudara di Jakarta. Sedangkan di sini, saya masih membaca novel dan menonton film setiap hari sambil bernyanyi,  “dan berholiday...tak pernah usai...”. Benar-benar hidup cap...

Setelah membaca Student Hidjo yang dengan bahasanya telah membuat saya meletup-letup, kemarin saya dipukau oleh tiga karya fiksi Tirto Adhi Soerjo (selanjutnya akan disingkat dengan T.A.S) dalam Sang Pemula.[1] Sungguh akan sangat naif kalau membaca karya ini dengan prasangka moral. Konteks pada zaman cerita itu dibuat jelas sangat berbeda dengan sekarang. Tapi dari cerita-cerita itu, kita bisa menemukan jejak bagaimana hal-hal serupa tetap bisa terjadi sampai hari ini.

Ketika membandingkan dua karya pertama T.A.S yaitu Cerita Nyai Ratna dan Membeli Bini Orang, 1909, pembaca akan dengan mudah menemukan kemiripan tema. Dua-duanya berkisah tentang dunia pernyaian, cerita tentang pribumi yang menjual istrinya kepada lintah darat Belanda untuk membayar utang, soal kepriyayian pada masa itu dan sosok pembaca kartu, peramal nasib yang kerap muncul. Kehadiran si peramal ini sebenarnya cukup menarik untuk dibahas lebih panjang. Orang-orang Belanda itu ternyata ikut percaya juga pada mereka, yang bekerja kadang bukan dengan keahlian membaca kartu melainkan keahlian mengatur siasat, bagaimana nyai ini bisa jadi sama tuan itu, dan sebagainya. Ceritanya memang hanya berputar pada nyai-nyai yang dipelihara Belanda, lalu nyai-nyai yang memelihara laki-laki pribumi.

Dalam pengantar bagian ketiga Sang Pemula, Pram banyak bertutur bagaimana perubahan sosial pada saat itu mampu direkam T.A.S meski dalam karya yang nge-pop. Dunia pergundikan memang dianggap sebagai hal biasa. Perempuan-perempuan yang menjadi nyai itu tidak hanya berasal dari golongan rendah tetapi juga golongan menengah. Justru, perempuan yang menjadi nyai akan terangkat derajatnya.

Para Raja dan Bangsawan Jawa mungkin memiliki kebiasaan sama soal memelihara perempuan tetapi para tuan Belanda menempatkan nyainya dalam strata yang sedikit berbeda. Mereka bahkan akan mengusahakan pendidikan bagi anak dari seorang nyai sampai ke Eropa. Para pejabat Belanda di Hindia sebagian besar adalah keturunan nyai-nyai dengan tuannya. Mereka memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dibanding bangsawan pribumi asli.

Nyai-nyai ini mendapat gaji, rumah, sawah, bahkan uang pensiun serta hak untuk menuntut lepas dari tuannya. Ruang lingkup gerak dan pergaulan mereka lebih luas daripada perempuan bangsawan Hindia. Memang sedikit menyakitkan membaca cerita ini. Kita akan dituntun untuk membayangkan konteks pada masa itu, bagaimana relasi sosial, politik dan ekonomi yang terjadi antara nyai-nyai dengan tuannya, maupun kondisi Hindia secara lebih luas.

Cerita T.A.S tak bisa dilepaskan dari sejarah sosial budaya pada abad 19 dan awal abad 20. Soal nyai-nyai tampaknya memang sudah menjadi fenomena biasa dan dapat diterima umum. Dalam ceritanya, penggambaran T.A.S atas kondisi pada zamannya dengan bahasa Melayu pasar yang digunakan telah memukau saya. Orang-orang bicara dengan campuran antara bahasa Sunda, Jawa, Belanda, dengan efek khusus yang ditimbulkan ketika membaca. Pembaca bisa merasakan sendiri bagian ketika Nyai Ratna sedang berbirahian—dalam istilahnya T.A.S—dengan seorang mahasiswa kedokteran bernama Sambodo. Saya cuplikkan saja di sini, atau barangkali memang hanya saya yang mendapat sensasi tertentu ketika membaca ini, maaf jika demikian.

“Ratna semakin terpikat pada pemuda yang tidak saja cakap itu juga pandai bicara dan pintar membawa pembicaraan yang menyenangkan hatinya.
-        Tuan suka gula biet?
-        Dengan segala senang hati, jiwa.
-        Berapa? Satu? Dua?
-        Kalau tidak disendok, kalau dijumput dengan jari yang elok itu, satu saja cukup.
-             Enakan dijumput dengan jari saja. Kobokan tak ada, hendak ambil malas. Bujang udah pada capek.
-        Biar saya seka dengan lidah saya.
-             Coy ... mana mungkin. Lah, lelaki jaman sekarang. Pandai ambil hati perempuan. Mentang-mentang lidah tidak bertulang.
-        Coba kemarikan kalau tidak percaya.
Ratna lalu menghampiri tempat duduk pemuda itu, mengulurkan jarinya yang habis mengambil gula. Oleh pemuda itu jari Ratna digigit sampai menjerit, menariknya dan mencubit pada tamunya, seraya mengomel:
-        Benci gua. Coba sampai luka begini.
-             Ya Robbi, ya Rasul, kasihan, ampun, ampun, kasihan betul. Sakit? Tanya pemuda itu sambil memeluk Ratna dan menciumnya gemas.” (Halaman, 382)

Saya tidak bisa membayangkan penggunaan bahasa yang lugas seperti ini ternyata justru mampu menampilkan efek visual yang sangat jelas. Di sebuah ruang tamu rumah loji dengan perabot mewah, Ratna yang ditinggal suaminya sebagai Kapten Kapal, bertemu dan berasyik masyuk dengan Sambodo. Ahahaha... Perselingkuhan menjadi semacam sifat alami dalam percintaan yang mungkin seringkali masih kita jumpai sampai sekarang. Kalaupun bukan tubuh, siapa tak mengaku kalau hati dan pikirannya pernah berselingkuh.

Kisah Ratna berakhir tragis (sambil menepuk perut dan mengucap mantra ‘amit-amit jabang bayi’). Ratna urung kawin dengan Sambodo. Suami Ratna bangkrut, bahkan berusaha mencuri harta miliknya. Ratna yang di awal cerita digambarkan begitu cantik, menjadi rebutan bangsawan dan tuan-tuan Belanda menjadi lontang-lantung nasibnya. Ia kembali menjadi nyai seorang Belanda dan dikabarkan tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Sedikit subyektif saya berpanjang lebar dengan cerita ini karena unsur kesamaan nama yang tidak disengaja.

Sedikit meloncat, bukan kebetulan kalau sehari sebelumnya saya menonton film The Lover yang diadaptasi dari novel Marguirite Duras. Kalau dicari-cari kesamaannya, maka saya menemukan bentuk kemiripan dari cerita kehidupan percintaan antar ras, tragis dan selalu tak berakhir bahagia. Setelah menonton filmnya, saya baru mengerti apa yang dimaksud Masnya teman sebelah tentang keintiman antara sastra dan film. Novelnya intim dengan dengan gaya tutur orang pertama, sering disebut juga sebagai nukilan kehidupan Duras sendiri. Sedangkan filmnya sangat intim dengan kamera yang sering menampilkan gambar-gambar close-up, bahkan sampai ke permukaan kulit. Film ini berkisah tentang percintaan gadis Prancis dan Pria Cina dewasa yang berlatar di Vietnam, koloni Prancis pada waktu itu. Sebuah kisah cinta remaja yang tidak biasa. Keintiman antara gambar dan narasi dalam film ini memang asyik. Lho, kok jadi ngomongin film. Sebelum jauh, mari kita kembali.   

Saya tidak tahu bagaimana Pram menggolongkan dua cerita sebelumnya sebagai cerita pop dan cerita ketiga yang berjudul Busono, 1912 adalah termasuk jenis sastra. Cerita pop, kata Pram, ditulis hanya untuk dijual kepada mereka yang memerlukan hiburan. Sedangkan Busono, 1912 memuat pergulatan mimpi-mimpi T.A.S dengan kenyataan yang harus dihadapinya. Memang sangat disayangkan bahwa hanya sebagian kecil saja dari cerita ketiga ini yang bisa diselamatkan.

Dari cerita ketiga yang kental dengan unsur otobiografi T.A.S, kita bisa menemukan kemunculan kesadaran pribumi lewat jurnalisme, selain juga tetap dengan kisah percintaan Busono. Sebagai gambaran sosok pribadi T.A.S, kita akan mendapati pemikiran-pemikiran awalnya, bagaimana ia mengkritik para priyayi baik besar maupun kecil yang dengan mudahnya bisa disogok. Itu juga karena gaji mereka sangat rendah dengan jenjang pangkat yang jauh. Akan saya kutipkan lagi bagian dalam cerita Busono, 1912.

“Apakah bangsa lain itu semua jadi pegawai gubermen? Tidak, bukan? Apakah kita kekurangan modal? Sama sekali tidak. Modal cukup banyak pada kita, asal mau mencarinya saja. Apalagi kalau kita mau bersemboyan sedikit-sedikit menjadi bukit. Berbagai onderneming, pabrik, toko, kongsi itu, semua milik orang Eropa, atau miliki bangsa lain, di samping milik Sri Ratu ada perorangan dan ada milik bersama. Mereka, bangsa Eropa, mengumpulkan modal sedikit sedikit dan setelah terkumpul mereka lalu mendirikan kongsi besar. Selain untuk mencari keuntungan, mereka juga memberikan pekerjaan kepada bangsanya, juga kepada kita, tapi yang Cuma sedikit hasilnya. Ini disebabkan karena bangsa kita tak memasukkan modal ke dalamnya. Mengapa kita tak mau mencontoh?” (Halaman, 482)

Di zaman itu ternyata sudah ada yang berpikir demikian di negeri ini. Pada bagian akhir cerita yang terputus tak diketahui lanjutannya ini, Busono akhirnya mampu menerbitkan koran mingguan atas usahanya sendiri dan bantuan modal dari seorang bupati. Jujur saya belum membaca bagian awal Sang Pemula yang merupakan tulisan Pram tentang biografi T.A.S. Kalau lebih jauh ditelusuri, tentu akan banyak hal menarik dari kehidupan dan perjuangannya sebagai tonggak penting berdirinya jurnalisme pribumi.

Demikianlah Hindia pada masanya digambarkan dalam cerita soal pernyaian disamping kemunculan tokoh luar biasa seperti T.A.S yang dipersonifikasikan Pram sebagai sosok Minke dalam tetraloginya. Sebelum membaca tiga karya fiksi T.A.S, Pram memberitahu saya di bagian pengantar bahwa guling atau bantal panjang yang kita dekap tiap malam itu adalah warisan masa pernyaian untuk peradaban baru. Orang Inggris mengejeknya dengan nama Dutch wife alias “bini Belanda”. Saat ini kita hanya melihatnya sebagai guling, sesuatu yang tampak. Sedangkan bagian-bagian yang hilang di belakang suatu materi berbentuk guling itu sendiri tak terekam jejaknya dalam ingatan. Rasanya ini menjadi contoh menarik untuk menggambarkan obrolan soal Bergson dan materi, antara teman sebelah dan Masnya yang satunya di sebuah warung kopi beberapa waktu lalu.

Kalau sekarang kita banyak dihadapkan dengan urusan moral, moralisasi, ah, capek sekali. Dan betapa senang saya bisa menelusuri kembali bahasa berlekuk liku dan berpilin pintal yang berasal dari masa lalu. Nah, daripada sibuk bicara soal moral, sibuk mengomentari soal calon hakim yang bikin guyonan tidak lucu itu, tak ada salahnya kalau kita baca lagi tiga karya fiksi T.A.S. Setelahnya, bolehlah kita mengaca apakah kita termasuk pembesar-pembesar jang doeloe kena critiknja karena kelakoennja jang koerang senonoh.

Kamar Kost, 17 Januari 2013



[1] Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003). Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah tulisan Pram tentang Tirto Adhi Soerjo. Bagian kedua memuat karya-karya non fiksi dan karya jurnalistik Tirto Adhi Soerjo pada masanya dan bagian ketiga memuat tiga karya fiksinya: Cerita Nyi Ratna Betapa seorang isetri setia telah menjadi jahat Satu Cerita yang sungguh sudah terjadi di Jawa Kulon; Membeli Bini Orang, 1909 Sebuah Cerita Yang Sungguh Sudah Terjadi Di Periangan; Busono, 1912. 

Rabu, 16 Januari 2013

Musik Jazz Bungkus Daun Jati


Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton salah satu film dokumenter karya Garin Nugroho, Teak Leaves at The Temples (2007, 71 menit). Matahari hampir tergelincir ke barat ketika film ini diputar bersama Nanang R Hidayat, art director yang ikut menggarap film ini. Teak Leaves at The Temples menjadi semacam video klip panjang atas pertunjukan musik free jazz dari kolaborasi Guerino Mazzola (piano), Heinz Geisser (perkusi) dan Norris Jones a.k.a Sirone (bass) yang bermain di tiga candi; Borobudur, Prambanan dan Boko.

Dari beberapa film dokumenter yang pernah saya tonton, bentuk seperti ini memang baru kali ini saya jumpai. Sebuah dokumenter dengan banyak lapis di dalamnya, tak hanya merekam tapi juga ikut mengkonstruksi. Sebagai sebuah dokumenter musik, Teak Leaves at The Temples menggabungkan jazz dengan unsur-unsur seni masyarakat lokal. Film ini menggendeng beberapa komunitas seni akar rumput di lereng Merapi seperti Komunitas Lima Gunung, Seni Sono Ensambel, dan beberapa nama lain yang saya tidak bisa mengingatnya.

Ada dialog antara bentuk dan gagasan yang ingin ditampilkan dalam film. Saya setuju dengan teman sebelah bahwa film ini memang tidak menyuguhkan titik temu antara visual yang ditampilkan dengan free jazz itu sendiri. Keduanya seperti berdiri dalam ruang terpisah dan bahkan musik jazznya terasa mengganggu. Tapi justru itulah yang membuat film ini terkesan asyik. Harmonisasi musik tradisional dengan kemantapan ritmenya diusik oleh kehadiran jazz dengan nada tak beraturannya. Keduanya tidak bertemu tapi tetap menggelinding bersama.  

Terlepas dari unsur musik yang tidak akan diuraikan lebih panjang lagi, narasi film ini menjadi menarik dengan kehadiran banyak seniman, masyarakat lokal dan peran besar kamera yang menjaga ritme antara narasi visual dan musik. Kita diperkenalkan kepada sosok Ismanto dengan pakaian Superman dan filosofi hidupnya, yang punya tuhan sangat cair seperti musik jazz itu sendiri. Garin juga menampilkan sosok penari yang selalu muncul mengawali setiap scene yang menandai bahwa film ini seperti terbagi menjadi tiga bagian sebagaimana bangunan candi; kamadhatu, rupadhatu dan bagian puncak atau arupadhatu.  

Mas Nanang kemudian lebih banyak bercerita soal teknis bagaimana menerjemahkan ide-ide Garin dalam bentuk gambar maupun properti-properti yang digunakan. Ia bercerita bagaimana membuat, mengangkut ke lokasi sampai menyalakan seribu lampion untuk mempercantik pertunjukan musik jazz di sekitar Candi Borobudur. Ia bercerita juga ketika harus mencari daun-daun jati sampai blusukan ke pasar Kranggan dini hari.

Dalam proses pembuatannya, banyak hal spontan yang dilakukan. Konsep memang telah disiapkan tetapi ketika dalam perjalanan banyak menemukan hal baru, tak ingin menyia-nyiakan keindahan yang berceceran, maka itulah yang dipungut sepanjang perjalanan. Banyak film yang berangkat dari narasi tertulis tapi Garin mencoba untuk membuat filmnya dari narasi-narasi lisan. Film ini mengumpulkan segala sesuatu yang tampak indah, belanja gambar kalau dalam istilahnya Mas Nanang. Semua gambar yang telah terkumpul kemudian diserahkan kepada Garin dalam proses penyuntingan. Beginilah jadinya. Sebuah mozaik yang ketika ditonton lagi akan tetap susah mengingat dengan tepat scene apa yang akan muncul kemudian.

Mengapa daun jati? Pertanyaan ini muncul selama proses diskusi. Pada bagian pertama, seorang perempuan menari dengan selembar daun jati yang masih segar. Mengawali bagian kedua, perempuan itu menari dengan daun jati sedikit layu dan beberapa lembar lain berserakan disekitarnya. Mengawali bagian ketiga, perempuan itu menari dengan selembar daun jati kering. Tarian senja dengan efek suara dari selembar daun jati yang diremas-remas.

Film ini tentu saja bersifat sangat cair. Terbuka terhadap segala bentuk penafsiran. Daun jati mampu menimbulkan efek suara yang khas. Ia juga banyak dijumpai di daerah sekitar Candi Boko. Di balik segala filosofinya, kita bisa melihat fungsi dan kedekatan daun jati dengan masyarakat desa. Daun jati bisa jadi bungkus tempe bongkrek kalau dalam Ronggeng Dukuh Paruknya Ahmad Tohari yang difilmkan jadi Sang Penari itu. Daun jati bisa jadi bungkus nasi pecel yang ikut mempengaruhi rasanya. Daun jati menjadi semacam ikon dalam film yang dapat ditafsir apa saja, menerjemahkan segala macam makna dalam sebuah bentuk dengan kesan artistiknya.

Eksperimentasi bentuk film semacam ini mungkin tak asing bagi Garin. Menonton film ini langsung mengingatkan saya pada Opera Jawa. Garin menyuguhkan banyak sekali metafor lewat gerak, tembang, bahkan seni instalasi. Narasi besar kisah Sinta, Rama dan Rahwana di-Jawa-kan dengan gerak hasrat Siti yang mengintip-ngintip.  Seorang perempuan yang menari dengan kukusan nasi, perempuan yang tersesat di labirin sabut kelapa dan tergoda nyala lilin-lilin serta uantaian kain merah, tembang orang-orang kecil yang kebingungan akan ikut dengan siapa, relasi cinta segitiga dan ketimpangan sosial yang diaduk menjadi satu dalam film itu.

Dibandingkan dengan Opera Jawa yang dibayangi oleh narasi berat kisah Ramayana—meski narasi inilah yang justru menyelamatkan film—Teak Leaves at The Temples lebih mengalir lancar. Bahasa visual Garin menyajikan persepsi atas kehidupan sehari-hari yang tampak sederhana menjadi sesuatu yang sama sekali lain. Kehidupan di sebuah pasar dibingkai ulang dan gambar-gambar itupun menyanyikan musiknya sendiri lewat suara mesin jahit, suara kerupuk yang digoreng di sebuah wajan besar, suara besi yang sedang dipipihkan di tengah arang membara.

Tentu saja ketika pertunjukan free jazz ini didokumentasikan begitu saja, orang akan merasa bosan setengah mati menontonya. Free jazz bagi sebagian orang mungkin masih suilit dinikmati, apalagi karena telinga kita terbiasa mendengarkan musik-musik penuh harmoni. Tetapi dengan visualisasi, ada banyak hal menarik diperlihatkan dalam film ini. Seorang pemain piano bermain di tengah reruntuhan bangungan sehabis gempa Jogja. Di belakangnya, seorang anak meniup gelembung sabun dengan wajah datar, juga beberapa anak lain yang mengelilingi pemain jazz itu. Lalu kita diperkenalkan dengan komunitas Daging Tumbuh yang seperti menebarkan harapan dengan lukisan-lukisan di reruntuhan bangunan. Saya sendiri suka sekali dengan adegan orang-orang yang dipotret mirip foto keluarga, berjajar begitu saja dengan ekspresi datar menatap kamera.

Hal yang berkesan jadinya memang bukan musik yang mengisi film tetapi beraneka rupa seni, nenek-nenek yang menyanyi tanpa ekspresi, mengucap selamat datang kepada para tamu diiringi irama alu dan lesung saling beradu. Pada akhirnya di sebuah senja, Si Penari berjalan ke arah bukit dengan payungnya, disusul dengan dua orang laki-laki tua, lalu muncul Ismanto dengan pakaian Supermannya, berlari jenaka seperti ingin terbang. Dari begitu banyak suara, mozaik yang beraneka rupa sepanjang film dirangkum dalam momen adegan penutup ini. Film ini lebih seperti karnaval, lebih ekspresif dari sekadar instrumental. 

Maaf karena tulisan ini seperti terputus dan hanya sekadar menuliskan kesan. Tapi, seberapapun saya terkesan, toh film ini juga tidak akan ditonton banyak orang. Sayang sekali, bukan? Arrrrggggg, saya ingin menulis tesis soal film, sumpah!

Kamar Kost, 16 Januari 2013