Selasa, 28 Mei 2013

Jesus of Montreal: Percobaan “Menanam” Teater dalam Sinema


Adegan pertama, nukilan fragmen drama yang diadaptasi dari novel Dostoevsky, The Brothers Karamazov memberi arahan sederhana bahwa Jesus of Montreal (1989) akan melibatkan teater di dalamnya. Denys Arcand dalam filmnya kali ini menjalin narasi-narasi yang saling berpotongan dengan menggabungkan dua bentuk media berbeda yaitu teater dan sinema. Berbeda dengan bagaimana Peter Brook menfilmkan Marat Sade, yang mencoba memindahkan teater dan panggungnya dalam sinema, Denys Arcand menyuguhkan keduanya sekaligus. Penonton dapat menyaksikan film sekaligus teater lewat alur cerita yang ditawarkan Arcand.

Dalam The Last Metro (1980), Truffaut memang menempatkan teater sebagai salah satu subjek penting dalam filmnya. Meski demikian, film itu bukan tentang teater melainkan kisah cinta, orang-orang di dalamnya serta konteks cerita yang menjadi aspek penting untuk ditonjolkan. Apa yang berbeda dengan Jesus of Montreal? Percobaan Arcand dengan “menanam” teater yang “tidak biasa” terbukti mampu menjadikan sistem dalam filmnya menghasilkan kesan tersendiri dibandingkan berbagai eksperimentasi perkawinan antara teater dan sinema sebelumnya.

Mementaskan tragedi itu berbahaya. Tokoh utama dalam film ini, Daniel Coulombe, menerima tawaran seorang pastur untuk menerjemahkan ulang kisah penderitaan Jesus dan tragedi penyalibannya dalam konsep yang lebih “modern”. Daniel kemudian merekrut beberapa aktor, menulis ulang naskah, dan menjadikannya sebuah pertunjukan teater yang pada akhirnya justru ditentang oleh gereja. Saya tidak akan menuliskan beragam tafsir kisah Jesus di sini. Hal yang lebih menarik bagi saya adalah bagaimana film ini mampu bekerja dalan dua level medium berbeda yaitu sebagai sinema dan sebagai teater. 

Jesus of Montreal memuat pergantian antara model naratif dan dramatik berbentuk fiksi ganda: cerita film dan cerita teater di dalamnya. Keduanya berjalan bersamaan secara paralel dalam wujudnya sebagai teks. Jesus of Montreal dapat dikatakan menjadi sebuah film tentang teater dan orang-orang di dalamnya. Setiap aktor menerima perannya, menikmatinya, bahkan mempengaruhi kehidupan nyata mereka. Banyak ironi yang ditampilkan di sini, kisah Jesus yang kadang mirip dengan kehidupan Daniel sendiri. Suatu kali ia membubarkan sebuah audisi iklan yang memaksa aktrisnya telanjang. Seorang aktris yang justru menemukan dirinya lewat perannya dalam teater, bukan sebagai model sebagaimana hidupnya sehari-hari. Iblis muncul dalam media, televisi dan iklan, datang lewat tawaran seorang pengacara yang berjanji akan membuat Daniel terkenal dengan menjual terbitan tentang diri dan karya-karyanya.   

Kesuksesan pertunjukannya memang banyak dipuji orang tetapi teater itu harus dihentikan karena tak lagi mendapat izin dari gereja. Akhir hidup Daniel tragis. Ia sekarat setelah pementasan terakhirnya dibubarkan aparat secara paksa atas alasan keamanan. Kekacauan antara aparat dan penonton yang tak rela pertunjukan dibubarkan berujung pada  kecelakaan yang menimpa Daniel. Kepalanya tertimpa salib dan harus dilarikan ke sebuah rumah sakit yang digambarkan begitu sibuk dan menyedihkan. Daniel tersadar lalu berjalan menuju sebuah stasiun kereta bawah tanah. Peran Lothaire Bluteau, baik sebagai Daniel maupun sebagai Jesus menjadi fokus yang mampu menyerap perhatian saya sepanjang film. Dalam adegan menjelang kematiannya, Daniel berperan sangat dramatis. Setelah muntah melihat aktor utama dalam teater The Brothers Karamazov di awal film dengan wajah terpampang pada papan iklan cologne, ia menghampiri orang-orang secara acak dan mengabarkan pesan-pesan aneh. Akhir film tak kalah dramatis. Daniel mati tetapi orang lain bisa hidup karena jantung darinya dan seorang nenek bisa kembali melihat karena mata yang didonorkannya.


Mari kita kembali pada bentuk teater yang ditawarkan dalam film ini. Konsep teater yang berhasil diciptakan oleh Daniel bagi saya menarik. Fragmen pertunjukan yang ditampilkan telah melampaui model panggung yang statis, menemukan bentuk relasi yang berbeda antara aktor dan penonton. Film ini bahkan memperlihatkan wilayah belakang panggung yang tak mungkin bisa disaksikan oleh penonton teater pada umumnya. Para aktor berlarian berganti kostum dan kembali dengan peran berbeda. Efek-efek yang ditampilkan dalam teater banyak disempurnakan oleh peran kamera seperti ketika Daniel berjalan di atas air, juga pada saat dipaku di atas salib. Daniel membawa konsep teaternya dengan melibatkan penonton sedekat mungkin dengan aktor dan panggung. Para aktor berdialog dengan penontonya, membawa mereka seperti tour dari satu set penggung ke set panggung berikutnya (performance in motion). Latar teater yang digunakan pun beragam. Mulai dari alam terbuka, terowongan kereta sampai ruangan bawah tanah.


Peran sinema telah membuka banyak ruang baru dalam pertunjukan teater. Lewat shot pendek atau close-up pada aktor ketika bermain, ruang antara penonton teater dalam film maupun kita sebagai penonton film menjadi begitu dinamis. Ketika pertunjukan teater berlangsung, perangkat kamera beralih ke dalam pikiran penonton, seolah-olah kita diajak untuk benar-benar melihat pertunjukan teater tanpa perangkat kamera. Penonton dapat menyaksikan perpindahan adegan, antara narasi teater dengan narasi film dengan mulus. Peradeganan dalam film ini mengkonstruksi jarak, relasi antara penonton dengan panggung dan penonton dengan layar lewat persinggungan dua bentuk media dalam level fiksinya masing-masing, bergantian antara teater dan film. 

Jesus of Montreal memasuki wilayah kompleksitasnya dari segi bentuk, narasi dan benturan-benturan yang ingin dihadirkan, soal teater dan posisi seni yang diambilnya, soal tragedi dan komedi dalam hidup sehari-hari, soal yang nyata dan absurd dalam mayarakat kita, media, dan sebagainya. Saya rasa film ini bisa dinikmati siapa saja, tidak hanya mereka yang mengerti soal teater tentunya. Film ini menyuguhkan keramaian dimana kita bisa membuka kembali kitab suci, mengulang membaca Dostoevsky, menghujat televisi dan iklan-iklannya, semakin mencintai teater, semakin banyak nonton film, dan segala remah-remah lain yang bisa kita jumpai di film ini.


Kamar Kost, 28 Mei 2013


Jumat, 17 Mei 2013

Adegan Film Random dalam Komposisi yang Tidak Dimengerti


Mana mungkin saya mengenal Schubert dan Ravel kecuali hanya pernah sepintas lalu mendengar nama mereka. Dua hari lalu, empat orang Prancis membawakan komposisi mereka di IFI Jogja. Musik seperti itu tidak sepenuhnya bisa saya nikmati dengan perut keroncongan. Seperti biasa sepanjang mereka memainkan musik, pikiran saya memutar gambar dan cerita-cerita.

Menonton pertunjukan musik klasik hanya bisa membuat saya menahan nafas. Sementara mbak-mbak di belakang malah mengobrol sendiri. Penonton musik kali ini memang layak mendapat perhatian. Dari sekian banyak orang yang memenuhi ruangan, kira-kira berapakah yang bisa mengenali komposisi yang sedang dimainkan? Rasanya memang menggelikan ketika semua penonton bertepuk tangan sebelum salah satu komposisi selesai dimainkan. Tentu ini bisa dimaklumi. Saya sendiri termasuk orang yang datang tanpa tahu musik seperti apakah yang akan saya dengarkan.

Tulisan ini sungguh bukan tentang apapun. Sekadar mengurai ruwet yang sudah benar-benar kusut. Di depan ada peta, wilayah baru yang akan dijelajahi menghantui dengan ketersesatan, ketidakcermatan, keberanian malu-malu, ketidakmampuan membaca setiap lekuk belokan, tanjakan dan turunan, lembah dan pegunungan, jalan datar dan terjal. Selalu begitu. Pada akhirnya peta hanya berada di tangan dan saya pun tidak pernah kemana-kemana. Bahkan di tempat dimana saya tidak kemana-mana inipun bisa menyesatkan. Iya, memang saya bukan anak yang baik.

Musik klasik entah kenapa bisa membawa saya membayangkan adegan-adegan film kartun. Cerita dua ekor kunang-kunang bernama Lemomo dan Lemimi muncul perlahan. Masih dengan iringan komposisi meliuk-liuk, lembut dan keras, dua binatang kecil itu murung di pojokan tangga karena datang terlambat dan tak dapat kursi. Di musim semi yang indah, mereka terbang merendah di tengah jalan-jalan kota. Di sudut jalan, mereka masuk ke sebuah gedung teater. Pada masa itu Edith Piaf masih sering manggung. Bertemulah dua binatang kecil itu dengan Marion. Perempuan cantik sekaligus bintang teater itu adalah istri Lucas Steiner, sutradara teater terkenal yang harus bersembunyi di basement rumah karena nama belakangnya itu membuat ia sangat bermasalah. Bisnis teaternya harus bertahan di tengah perang. Teater, hidup manusia, perang, setelah perang, entah apa lagi.

Suatu hari Lemimi membayangkan sedang membaca buku terjemahan Asrul Sani berjudul Persiapan Seorang Aktor karya Stanislavski. Tidak ada yang benar-benar ia pahami. Bahkan peta di tangannya belum terbuka. Bagaimana dengan Asrul yang sudah menjelajah demikian luas, sastra, teater dan film.

Maaf kalau tulisan kali ini benar-benar tidak ramah pembaca. Saya hanya ingin tumpah di sini. Sebentar saja. Sedikit saja.

Ketika menonton proses penyutradaaran dan cuplikan pertunjukan teater dalam film The Last Metro yang disutradarai Truffaut, rasanya ada yang berbeda. Berakting tidak berlebihan tapi tetap dramatis itu tampaknya belum banyak bisa saya temukan sepanjang karir kepenontonan teater saya di Jogja sejak 2006. Ketika menerjemahkan buku itu, Asrul tentu sadar betul bahwa tugasnya tidak hanya menerjemahkan tetapi juga memikirkan kecocokan sebuah sistem atau metode berakting dengan konteks teater di Indonesia. Tidak ada resep yang menjamin seorang aktor bisa bermain dengan baik, semua teknik, metode, hanya menjadi bagian dari jalan menumbuhkan kreativitas.

Lemomo hinggap di salah satu fragmen gambar film Ivan The Terrible yang sedang di bahas Barthes dalam esainya tentang Makna Ketiga itu. Gambar penobatan Ivan ketika kepalanya disiram dengan dua baskom berisi koin emas itu memang mengesankan. Saya sendiri tidak begitu menikmati ketika menonton film itu, kecuali hanya terpukau dengan ekspresi orang-orangnya. Orang bisa belajar banyak bagaimana bentuk-bentuk efek yang ditimbulkan oleh penggunaan cahaya dan bayangan. Menontonnya seperti hanya memenuhi kewajiban, fardhu ain bagi anak film untuk menonton Esenstein. Barthes memeras adegan dalam film melalui fragmen gambar. Waktu filmis harus dihentikan untuk mendekati makna. Ketika gambar kembali diletakkan dalam peradeganan, dengan waktu yang dipercepat atau diperlambat, makna itu bisa saja hilang, katanya.

Ternyata Kino Eye itu film anak-anak ya. Saya jatuh cinta sama film itu. Lemomo sudah nonton? Oh, dia sedang sibuk baca komik rupaya. Komik berwarna yang ada pohon berdaun pink.

Pagi ini diajak ngopi. Sedang malas benar. Semua jadi tak semenyenangkan sebagaimana mestinya. Penyebabnya jelas dan tentu tak bisa dituliskan di sini. Sampai dimana perjalanan komposisi tadi? Sudah hampir sampai pada komposisi keempat. Eksperimentasi film dokumenter mungkin dapat mengurangi rasa bosan. Film dokumenter itu tidak melulu harus berisi wawancara. Banyak hal yang diletakkan di dalamnya. Eh ya, ini tentang Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, sebuah dokumenter yang bisa dibilang kaya. Begitu banyak sudut yang ingin direkam: sosok Misbach, tentang film, arsip, sinematek, dan banyak hal lain. Begitu banyaknya gambar dan pesan memaksa saya untuk merekonstruksi sendiri pecahan-pecahan gambar dan ide yang berserakan sepanjang film. Banyak yang ingin disampaikan sebenarnya bukan berarti mengabaikan kedalaman. Bentuk ini baik dipakai sebagai pengantar bagi mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang Miscbah, sejarah film Indonesia, carut marut kearsipan film kita, dan sebagainya.

Lemimi tersesat tapi harus bersyukur karena masih dianggap anak oleh ibunya. Sampailah ia di sebuah padang tandus. Ibunya sedang menangis di sana. Sepertinya komposisi Schubert yang sedang dimainkan itu. Lemimi terkejut. Seekor kadal menjulurkan lidah hendak memakannya. Potongan bagian dari Celebration of the Lizard benar-benar mengagetkan, membuyarkan lamunan Lemimi tentang ibunya.
Wake Up!
You can’t remember where it was
Had this dream stopped?

Lemomo kemana ya? Ah, kasihan sekali. Dia kecemplung gelas kopi.

Senso (1954) dan L’innocente (1976) memang sangat berbeda dengan La Terra Trema (1948). Jelas saja, yang terakhir itu sering disebut neorealis sedangkan dua yang pertama bukan. Tiga film itu sama-sama disutradarai oleh Visconti. Bukannya saya membenci melodrama. Kadang saya pun bisa menikmatinya. Biasanya saya akan mengidentifikasikan diri dengan peran utama perempuannya. Demikian juga ketika saya memperlakukan dua film yang saya sebut pertama di atas. Saya membenci perempuan-perempuan dalam film itu. Narasi generik cinta dan perselingkuhan yang tak berujung bahagia, perempuan-perempuan lemah dan menderita. Tetapi narasi generik itu berhasil ditempatkan dengan baik. Orang bisa menertawakan kehidupan para bangsawan yang tidak pernah risau soal uang tapi justru gila karena kisah cinta taik kucing. Film-film itu mirip opera atau teater lengkap dengan set dan kostum megah. Fantasi dalam kastil-kastil kitsch dibangun lewat sosok-sosok tokohnya. Narasi itu juga diletakkan dalam konteks yang menarik. Dalam Senso, di balik kisah epik drama perselingkuhan itu, Visconti menggambarkan bulan-bulan terakhir okupasi Austria di Italia.

Sudahi saja ya, kapan-kapan saya meracau lagi. Lemomo masih kecemplung kopi. Lemimi tersesat di padang tandus. Mereka tidak bertemu. Yang satu masuk ke adegan film ini, satunya lagi nyasar ke adegan film itu. Tidak pernah lagi bertemu.

Pertunjukan musik selesai. Penonton bertepuk tangan, bertepuk tangan tak habis-habis. Lampu ruangan menyala kekuningan.

Kamar Kost, 17 Mei 2013