Sabtu, 15 Juni 2013

Kfgkjlshgskdjfcmbvmnz (Judul yang Tidak Perlu Ada)

Tidak bisa tidur semalam itu sungguh menyiksa. Sementara rasa sakit dan orang yang terjaga di depan laptopnya itu semakin memuakkan saja. Dia, sekumpulan daging yang kebetulan punya wajah bernada suram dan sedikit mesum. Pagi ini serasa ingin mengunyah batu. Sebelum batu-batu itu dipakai untuk merajam kita, untuk setiap dusta dan airmata yang kita ciptakan bagi para ibu.

Di tempat itu pula aku tak bisa bermimpi. Ada yang menyerapnya diam-diam, entah kasur tipis yang menempel pada lantai atau memang tempat itu dibuat khusus agar kedap dari mimpi. Hari ini, aku ingin mempercepat kepulangan. Pagi menggelayut di jalan-jalan. Hampir semua pagi selalu terlambat kita saksikan. Sedikit kabut turun. Macam inikah pagi yang katanya indah dalam sajak dan lagu-lagu?

Menelan lagu seperti obat tidur. Seseorang bernyanyi dengan suara hampir seperti berbisik, bising dalam lagunya sendiri. Gelap. Tidak ada tulisan di meja sarapan. Tiga gelas bekas kopi terguling salah satunya. Tikus-tikus semakin merajalela di rumah ini. Tiba-tiba sudah sore saja. Hujan mengucapkan terimakasih pada uap-uap sepi yang keluar dari cerobong kepala orang-orang tak punya kerjaan. Tidur lagi tanpa mimpi.

Apa yang tersisa dari gembel-gembel pinggiran kota barangkali hanya tinggal fantasi, imajinasi, ilusi dan sakit. Dodes-ka-den adalah salah satu dari sedikit film Akira Kurosawa yang ditampilkan dengan warna, berkebalikan dengan kondisi orang-orang yang digambarkan di dalamnya. Tinggal di perkampungan kumuh jauh dari hingar bingar Tokyo, seorang anak dengan keterbelakangan mental menirukan suara kereta, judul film itu diulang-ulang mirip dengan suara kereta. Penonton yang tak ingin masuk dalam imajinasinya hanya akan menemukan banyak kejanggalan yang terkesan dibuat-buat. Bagi mereka yang mengijinkan dirinya sendiri untuk masuk dalam film, suara anak itu akan terus terngiang-ngiang di kepala. Dodes-ka-den... dodes-ka-den...

Anak yang menderita keterbelakangan mental itu hanya tinggal dengan ibunya dalam suatu hubungan yang menarik. Dinding rumahnya dipenuhi lukisan-lukisan ekspresionis khas gaya anak-anak yang semuanya bercerita tentang kereta. Sedikit surealis, Kurosawa kadang mengecat langit menjadi terlalu jingga, senja yang dipadukan dengan wajah polos bocah kereta atau dikontraskan dengan riasan mengerikan dari pengemis dan anaknya.

Teman-teman sepermainan menyebut anak itu si troli aneh. Setiap hari ia mengimajinasikan dirinya sebagai masinis dan keretanya, berkeliling kampung sambil terus mengulang suara kereta dari mulutnya. Dodes-ka-den memiliki kesan phonetik yang menempatkan bocah kereta pada tatatan karakter yang berbeda, sesuatu yang terasing dari dunia luar dan asyik dalam dunianya sendiri. Anak itu adalah pembuka kisah dengan rangkaian gerbong berisi manusia-manusia penghuni perkampungan kumuh. Gerbong-gerbong yang pada suatu kali akan menjelma kereta sendiri, datang dan pergi dalam waktu hidupnya sendiri-sendiri. Film ini punya banyak karakter yang masing-masing mampu berkisah. Bocah kereta adalah penanda sekaligus rantai yang menghubungkan cerita masing-masing karakter itu. 

Kalau boleh mengandaikan kereta sebagai kehidupan, berangkat di pagi hari dan akan berhenti dengan pasti. Maka demikianlah hidup orang-orang itu. Dalam film ini, kita akan bertemu dengan seorang pelukis yang segera mengemasi alat lukisnya dan menyingkir dari rel imajinasi yang diciptakan si anak troli. Kita akan bertemu juga dengan dua orang pasangan suami istri. Para suami bekerja di siang hari, saling berteman baik dan selalu pulang dalam keadaan mabuk. Tanpa sadar mereka sering bertukar pasangan dan bertingkah seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Sekumpulan ibu-ibu terlihat mencuci piring, mengelilingi kran air yang barangkali hanya satu-satunya berada di daerah itu. Kerjaan mereka hanya membicarakan para tetangga dan tak pernah diperlihatkan punya kegiatan lain selain berkumpul di tempat yang sama sepanjang hari. Hidup orang-orang ini selalu sama. Kalau saja ada istilah naik turunnya kehidupan, mungkin cerita mereka kadang kala sedikit naik, tapi banyak turunnya, atau bahkan tak berubah.

Si pengemis dan anak laki-lakinya tinggal di sebuah mobil rongsokan. Setiap hari mereka hidup dari usaha si anak untuk mengambil sisa-sisa makanan dari restoran. Karena tak punya rumah itulah, si bapak mengajak anaknya bermimpi membangun rumah dengan desain-desain bergaya Eropa, dimulai dari gerbang, pintu, halaman yang luas sampai cat apa yang cocok. Bahkan ketika si anak sudah sekarat karena keracunan makanan, si bapak masih membayangkan membuatkan anaknya sebuah kolam yang luas. Imajinasi itu ditampilkan dengan gambar-gambar artifisial. Tampilan imajinasi tersebut barangkali memang menjadi pilihan sang sutradara untuk melukiskan mimpi-mimpi mereka, semacam utopia yang ditempatkan Kurosawa dalam distopia.

Seorang gadis yang menumpang di rumah bibinya harus bekerja keras membuat bunga kertas untuk menghidupi pamannya yang pemabuk. Gadis itu diperkosa pamannya di atas ceceren bunga kertas. Wajah layu gadis itu kontras dengan bunga kertas merah buatannya ketika ia tanpa daya menuruti keinginan pamannya. Beberapa waktu kemudian, gadis itu dikabarkan menikam seorang laki-laki yang berusaha menolong dan memberi perhatian padanya. Kita hanya bisa mengira bahwa membunuh—bagi gadis itu—membuat cinta si lelaki tetap bisa disimpannya dalam hati.

Lalu kita akan menjumpai sebuah keluarga dengan banyak anak. Sang istri hamil besar dan suaminya bekerja membuat sikat pembersih dari kayu. Anak-anak itu konon katanya tidak hanya mempunyai satu bapak. Meski demikian, sang bapak tetap mencintai anak-anaknya. Seorang bapak yang tidak hanya dimaknai secara biologis tetapi laki-laki yang menjadi pelindung dan membawa kebahagiaan di tengah anak-anaknya. Masih ada lagi kisah tentang seorang laki-laki kesepian dan seorang lagi pekerja kantoran yang takut dengan istrinya.  

Sebagai penonton, barangkali akan lebih menarik ketika kita bisa masuk dalam dunia dan cerita tokoh-tokoh dalam film. Bisa saja mereka kita anggap sebagai orang-orang aneh tetapi banyak hal bisa ditemukan ketika sedikit saja kita mau memasuki ketidaksadaran mereka. Keputusan-keputusan yang mereka ambil menjadi sangat logis dalam dunia psikotik orang-orang itu. Kurosawa masih menempatkan pahlawan dalam filmnya. Berbeda dengan gambaran seorang samurai gagah perkasa di banyak film Kurosawa sebelumnya, pahlawan dalam film ini adalah kakek tua dengan laku hidupnya sendiri. Ia adalah seseorang yang bisa mempersilakan pencuri masuk dan menunjukkan dimana ia menyimpan barang berharganya. Kakek itu juga ikut menyelesaikan persoalan seseorang yang datang ke rumahnya, ingin bunuh diri sekaligus menginginkan kehidupan.

Dalam film ini, Kurosawa menawarkan mimpi, imajinasi, fantasi dalam realitas, kesedihan sekaligus kebahagiaan. Lukisan Kurosawa kali ini mengandung kesamaran dari banyak paduan peradeganan dan karakter-karakter yang sama-sama punya nyawa untuk menghidupkan film, seperti halnya siluet bocah troli di balik pintu, menutup hari dengan gerakan-gerakan imajiner yang bisa kita nikmati lewat nyala lampu rumahnya. 

Tulisan tentang Dodes-ka-den tidak selesai. Tiba-tiba saja semua menjadi memuakkan. Ada yang ingin dilanjutkan tapi tak bisa keluar, tidak mengerti apa yang ingin dibicarakan. Aku tak mengerti apa-apa tentang film dan kalimat-kalimat itu menjadi terasa sangat tidak penting. Sampai jumpa pada tulisan selegenje selanjutnya.


Kamar Kost, Menuju Senja 15 Juni 2013