Jumat, 26 Juli 2013

Apapunlah

Seseorang terdengar sedang mencacah-cacah sayur di dapur. Entah sedang menumbuk apa hingga malam menjadi begitu berisik dibuatnya. Senyap dengan berat hati harus lenyap sesaat. Tetes-tetes air terdengar beraturan mengalir dari kran kamar mandi. Seorang lagi sebentar-sebentar terkikik menyaksikan drama korea yang sudah ditontonnya hampir dua hari tanpa berhenti kecuali untuk makan, sebentar tidur, berak dan mandi. Semalaman masih melanjutkan keributan. Sampai adzan subuh, mata tetap menyala. Seorang lagi meringkuk dengan badan kaku dan pegal-pegal. Betapa tidak melalukan apapun bisa sedemikian melelahkannya. 

Setidaknya, menulis begini bisa membuang kebuntuan yang semakin lama semakin mengental. Orang jadi tak bisa beripikir. Sambil tertawa sejenak lalu sedikit mendesah, saya akan berkata bahwa ini tidak tentang kangen yang berlarut-larut. Rasanya saya tak pernah berubah untuk urusan-urusan cengeng dan melankolis. Maaf saja kalau sumpek macam begini hanya bisa dikurangi dengan membuangnya, maaf saja kalau memang sengaja saya sebar untuk bisa dibaca. Tulisan-tulisan gombal yang akan menghapus kotoran dengan kotoran yang lain.

Perempuan itu masih terjebak di dalam cerita Lukisan Neraka karya Akutagawa. Api menjilati tubuhnya dengan gambaran sempurna tentang kengerian dan hal buruk yang tak bisa dibayangkan. Sementara, kisah cinta Hemingway dan Gellhorn yang difilmkan Philip Kaufman entah mengapa tak begitu menarik. Editing yang mengubah-ngubah warna untuk memberi ilusi tentang kejadian di masa lalu terasa mengganggu. Gabungan antara gambar film dan potongan-potongan dokumenter perang saudara di Spanyol itu seperti memaksakan tokoh cerita untuk masuk ke dalamnya.

Kisah cinta orang-orang besar memang seringkali tak berjalan mulus. Padahal kisah mereka bisa dibilang fantastis. Penulis besar dan wartawan perang. Bercinta di tengah bom yang menghujani hotel tempat mereka menginap di Spanyol, tinggal di sebuah rumah besar di Kuba,  bertemu Zhou Enlai di China, hahaha. Tetap saja si perempuan akhirnya minta cerai dari Hemingway yang kelewat egois. Lagi-lagi Hemingway adalah salah satu penulis yang mati bunuh diri dengan menembakkan senapan di kepalanya.    

Setidaknya Hemingway and Gellhorn adalah salah satu film yang saya tonton sampai selesai dalam durasinya yang sekitar dua setengah jam itu. Sebelumnya, beberapa kali memutar film tak pernah ada yang selesai ditonton. Saya merindukan gambar yang aneh-aneh dan cerita yang tidak biasa, tapi bukan film bergenre Sci-Fi. Kira-kira film apa ya? Atau auteur siapakah yang menurut kalian punya keunikan, selain yang kira-kira sudah pernah saya tulis sebelumnya.

Katanya hari ini hari puisi? Hari lahir Chairil. Di beranda facebook, terlihat ada penyair yang bilang kalau itu cuma halusinasi dan omong kosong. Ada juga yang bilang kalau hari ini saatnya puisi melepaskan dirinya sendiri, diksi lepas dari makna yang diinginkan penyairnya. Ada juga yang menghadiahi puisi dengan sepasang sepatu dan hp terbaru, biar sekali-kali puisi bisa berlari kepadanya, menghubunginya, memberikan dirinya buat si penyair, syukur-syukur bisa mejeng di koran minggu. Lama sekali saya tak menulis puisi. Kata-kata mampat saja di kepala. Beberapa kali saya coba menuliskannya lagi lalu berakhir pada ctrl + a + del, atau menyobek halaman kertas yang berisi sebaris, dua baris kata.

Tidak ada yang bisa diajak bicara. Orang-orang sedang sibuk berbelanja atau menyiapkan beragam makanan untuk berbuka. Siang ini mendung. Zizek sama Chomsky itu sedang mendebatkan apa sih?  Bebeb lagi apa? Bosan sekali di sini.

Beberapa waktu lalu saya menemukan kumpulan ceita fiksi Misbach Yusa Biran yang judulnya Oh, Film. Pasti telat saya baca yang beginian. Cerita-cerita itu wow banget ya. Setiap cerita sebagian besar menceritakan nasib tokoh yang miris. Dunia film tahun 50-an digambarkan lewat orang-orang di dalamnya, seorang bintang film baru, wartawan film, tukang bikin cerita film, seniman-seniman Senen, dan segala hal-hal kecil yang bagi generasi sesudahnya tak pernah bisa dibayangkan tanpa cerita-cerita seperti ini.

Masih banyak sebenarnya. Saya pengen nulis soal film lagi meski sebenarnya sama sekali gak ngerti. Apa ya...hmmm....


Kamar Kost, 26 Juli 2013


Senin, 08 Juli 2013

Abwesenheit


Sebut saja saya hipster kalau menonton Melbi berulang-ulang dan tak pernah bosan bisa membuat sebutan itu melekat. Konser malam itu entah kenapa bisa membuat saya tidak bisa tidur sebagaimana ketika pertama kali menyaksikan aksi panggung mereka. Belum ada lagu baru dan hanya sedikit perubahan aransemen. Barangkali memang tidak ada yang istimewa. Gaya menyanyi Ugo di atas panggung juga masih begitu-begitu saja, tampil dengan kaos dan celana hitam, kacamata besar bundar dengan bingkai merah, dan jam tangan berwarna sama melingkar di tangan kirinya.  


Inilah catatan kesan saya atas penampilan mereka di FKY dua hari lalu. Sebelum tampil, Ugo sempat meminta maaf karena Yosi terlambat datang dan akan menyusul. Tempat bagi Yosi dibiarkan kosong dengan gitar yang disandarkan di dekatnya. Lebih dari separuh pertunjukan, Yosi tak juga muncul lalu Ugo pun nyeletuk tentang performance in the absence. Kalau tidak salah konsep itu muncul sekitar tahun 60-an dan 70-an di dunia seni pertunjukan, mencoba mengkritik konsep klasik teater dan opera yang masih fokus pada kehadiran aktor dan peran, figur, tubuh, kesetiaan pada teks. Sejak tahun 80-an, orang mulai mempertanyakan subjek dan identitas yang diterjemahkan menjadi bentuk-bentuk koreografi berisi patahan, perubahan bentuk, penghilangan tubuh, dan sejenisnya.

Ketidakhadiran pun ternyata membutuhkan ruang. Dari sepintas kalimat Ugo itulah saya mulai melihat konser musik malam itu sebagai sebuah pertunjukan yang utuh. Peran Ugo tidak dapat saya hindari selalu menyita perhatian. Posisi vokalis di atas panggung memang menguntungkan untuk mendapat perhatian. Dari Ugo saya mendapat remah-remah moving pleasure. Sebenarnya ini tidak penting untuk dibahas, tapi diam-diam saya selalu memperhatikan cara dia mengangkat kaleng bir, menenggaknya, menghisap sam soe dan membiarkan asapnya membangun efek ketika mengalir dari sela jari yang menggenggam mikropon.

Departemental Dities and Other Verses dan Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco menjadi semacam penghangat awal. Dua lagu itu berakhir seperti mengambang dan tak bilang-bilang. Lalu mulai naik pada nomor-nomor selanjutnya; Bulan Madu, On Genalogy of Melancholia, 7 Hari Menuju Semesta dan selanjutnya. Pada jeda pergantian setiap lagu, saya menemukan ruang kosong bagi imajinasi. Ugo memainkan perannya dengan baik, sebagai aktor yang bertahan hidup di atas panggung, sebagai penampil lirik, juga sebagai suguhan drama bagi penonton. Gerakan-gerakan Ugo adalah pelengkap cerita dengan caranya, ketika musik meninggi, asap-asap berhembus dari pojok-pojok panggung bersama lampu yang berkilat-kilat berganti warna.

Sebelum dibawakan, lagu Tentang Cinta selalu diberitakan Ugo sebagai lagu tersulit yang pernah dimainkan Melbi. Demikian juga bagaimana ia mengisi pengantar untuk lagu-lagu lain dengan pesan berbeda. Di depan mereka ada penonton dan secara sederhana, kalimat-kalimat pendek itulah yang menghubungkan musisi dengan penontonnya. Saya tidak tahu banyak soal musik, tapi jelas tugas seorang vokalis tidak hanya menyanyi di atas panggung. Ia setidaknya bisa mengarahkan persepsi, bagaimana orang bisa menikmati keseluruhan pertunjukan musik, menikmati urat-urat di leher sang penyanyi yang menegang ketika meneriakkan bait-baik lirik.

Peran Ugo barangkali memang berbeda dengan konduktor yang memiliki kuasa penuh atas sebuah konser. Seorang konduktor bisa membuat semua musisi patuh, selain pada deretan not, juga pada gerakan tangannya, membuat penonton menahan nafas dan tidak bicara selama pertunjukan. Tampaknya tidak ada yang bisa berkuasa penuh dari sebuah pertunjukan musik. Semua mengalir.

Ugo menarik diri sedikit ke belakang. Ruang panggung di depan dibiarkan kosong. Tempat yang disediakan untuk Yosi semakin terlihat menonjol meskipun barangkali penonton tidak akan memperhatikannya dan lebih memusatkan perhatian ke bagian belakang.  Ruang kosong selama Yosi belum tampak akhirnya menjadi tempat dimana penonton bisa merasa terganggu karena ketidaklengkapan sebuah pertunjukan tapi sekaligus sejenak bisa menjadi tempat singgah  dari nguing-nguing suara perangkat elektronik Yennu atau dentuman drum yang menggebu.

Bagi saya, ketidakhadiran Yosi di awal tetap membuat semacam kesan menunggu yang mau tidak mau membangun imajinasi tentang apa saja yang dilakukannya ketika tidak sedang memegang gitar di atas panggung. Tiba-tiba seperti ada kamera yang menyorot ketika Yosi menutup pintu rumah, berjalan dengan tergesa sampai akhirnya bisa menyusul membawakan dua lagu terakhir sebelum pertunjukan selesai.

Ketidakhadiran Yosi di awal adalah bagian dari keseluruhan element pertunjukan, suara-suara dari lampu sorot, asap, teks, musik, dan ruang kosong di atas panggung yang juga bisa bersuara dengan merdunya. Ketika seorang aktor tidak tampak di atas panggung, ia bertanggung jawab atas proses kehadiran dan penghadiran kembali. Ketika tak ada yang terlihat, penontonlah yang akan menemukannya sendiri. Mungkin hanya sedikit saja yang sadar, menggapai kosong dengan dramatik ruang dan wakunya, yang semakin banyak saja diekplorasi dalam pertunjukan-pertunjukan modern saat ini.

Kali ini tidak seperti menunggu Godot yang tak pernah muncul. Yosi akhirnya datang dengan kaos kecoklatan bertuliskan kutipan dari salah satu tokoh film tahun 60-an yang kurang lebih berbunyi:  Darwin is wrong. Man is still an ape. Barangkali juga bukan tokoh film itu rujukannya.

Dalam pengembaraannya menuju semesta, Joni dan Susi ketemu Pacar Senja yang sedang bulan madu sendirian di atas menara. Mereka bercakap sebentar lalu meneruskan perjalanan masing-masing.

Ah, saya terlalu berlebihan menuliskan hal-hal semacam ini.


***

Pulang lewat jam malam memaksa saya untuk meminjam kamarmu. Di sebelah, sepasang kekasih mengunci mimpi dalam gelap. Di kamar itu, tak bisa memejam menunggu pagi. Kau tak ada di sini. Baru dua hari saja, kamarmu telah dihuni debu, jaring laba-laba dan barangkali juga makhluk bermata hijau itu. Dari sebagian karpet biru maupun petak ubin yang pernah menyentuhmu, rak-rak berisi buku dengan judul yang selalu ada kata Indonesianya, ingatan-ingatan menemukan rantainya. Berpikir tentang detail bisa menggelembungkan, membunuh waktu sampai  hampir enam jam lamanya. Pagi menepi juga setelah semalam ia berlayar entah kemana.


Kamar Kost, 7 Juli 2013