Rabu, 25 September 2013

Catatan Singkat Menonton Street Ballad: A Jakarta Story

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menonton Street Ballad: A Jakarta Story di IFI Yogyakarta bersama seorang kawan. Pada awalnya, saya menonton film ini karena rasa penasaran yang lebih bersifat emosional, bahwa subjek utama dalam film adalah tetangga saya sendiri yang sama-sama berasal dari Ngawi. Film dokumenter bagi saya memiliki tantangan tersendiri untuk tidak membuat bosan penontonnya sehingga saya pun berharap bahwa dokumenter kali ini mampu disajikan dengan tidak membosankan. Dari segi ini, Street Ballad berhasil mengangkat sosok Titi Juwariyah sebagai seseorang pengamen jalanan di Jakarta. Dengan tampilan adegan-adegan yang dibangun naik turun, penonton seringkali ikut tertawa atau larut dalam kesedihan ketika Titi mencurahkan isi hatinya.

Film ini memang diperuntukkan bagi tayangan dokumenter televisi Amerika. Benar saja, adegan pertama ketika Titi menceritakan kehidupannya dengan nada yang terdengar dibuat-buat langsung menggiring saya pada kesan tayangan dokumenter televisi kita yang dikemas sangat dramatis dan penuh air mata. Untungnya, tidak keseluruhan film dituturkan dengan cara yang sama. Penonton masih bisa menikmati variasi tuturan baik dari cerita Titi, orang-orang dekatnya, maupun gambar-gambar dalam film yang berbicara dengan sendirinya.

Sepanjang film berdurasi hampir satu jam tersebut, tampak usaha Daniel Ziv untuk melekatkan subjek dengan kota lengkap dengan segala bentuk permasalahan yang dihadapi seorang Titi. Narasi seperti ini sebenarnya lazim kita temui, bahwasannya persoalan orang-orang pinggiran tersebut masih begitu menarik di mata orang asing. Selama lima tahun kamera mengikuti kehidupan Titi, cerita yang terbangun sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Penonton bisa saja kagum dengan sosok Titi, bisa juga bersimpati dengan nasibnya, lalu setelahnya?

Dokumenter ini memuat rekaman momen-momen dalam hidup Titi yang terjadi selama lima tahun sang sutradara mengikuti dan merekam subjeknya. Dalam rentang waktu tersebut, keberadaan kamera seharusnya sudah tidak lagi dirasakan subjek. Namun sebagai penonton, ada kesan-kesan janggal di beberapa adegan ketika kehadiran kamera terasa masih berjarak dan tidak mampu melebur seperti sewaktu Titi mengunjungi keluarga dan anaknya di desa. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi karena intensitas kamera dengan kota tentu lebih banyak daripada ketika Titi pulang ke kampungnya. Tetapi saya tetap terganggu dengan beberapa adegan seperti ketika Titi membawa kedua orang tua dan anaknya ke sebuah pematang sawah, lalu menyanyikan lagu Wuyung dengan gitar, bapaknya mengelus kepala Titi sementara ibunya menangis sesenggukan mengingat masa kecil Titi. Betapa dramatis!

Kita bisa membayangkan berapa banyak gambar diambil dan berapa banyak sudah dibuang demi mendapatkan momen-momen menarik dalam kehidupan Titi selama rentang waktu pembuatan film. Isian musik dalam film yang cukup banyak dan sebagian berasal dari lagu-lagu ciptaan Titi sebenarnya telah ikut menghidupkan susana, menjadikan beberapa bagian terkesan seperti fiksi drama. Meskipun sebuah dokumenter pasti akan memuat kadar fiksinya sendiri, harapan saya sebagai penonton tetap tertuju bahwa realitas yang hadir adalah realitas yang terkesan wajar, yaitu segala keseharian Titi yang kemungkinan juga berisi rutinitas paling membosankan. 

Kisah Titi mengingatkan saya pada Keluarga Joad dalam novel The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Ketika desa tak mampu lagi menawarkan apapun untuk mengubah hidup sesorang, kota menjadi salah satu harapan, meskipun kehidupan di kota bisa jadi lebih berat. Desa menjadi masa lalu dan kota adalah masa kini dan masa depan. Titi memilih kehidupan keras di kota, lengkap dengan persoalan si suami yang tak bekerja tapi juga tak merelakan Titi hidup di jalanan hingga malam. Setiap hari, Titi naik turun metro mini dan bus kota setelah memandikan anak dan memberinya sarapan. Persolan ekonomi dihadapi karena si suami tidak memiliki penghasilan tetap sementara keluarganya di kampung juga masih membutuhkan kiriman uang. Di kota, ia tinggal di rumah mertuanya yang mewajibkannya mengekan jilbab. Titi dengan bandelnya mengenakannya dari rumah lalu dilepaskannya sebelum mengamen. Karakter Titi tampak kuat dalam adegan ini. Demikian juga ketika ia bicara soal pendidikan atau keharusannya untuk hidup mandiri meskipun menderita.

Gambaran bahwa pendidikan masih menjadi tempat gantungan nasib seseorang tampak muncul di film ini. Bagi Titi, hal yang bisa mengubah nasibnya adalah selembar ijazah. Untuk itulah ia belajar mati-matian demi lulus ujian kejar paket C. Setidaknya ketika ia tidak banyak bisa mengirim uang ke kampung, membawa selembar ijazah adalah kebanggaan tersendiri. Film ini menggambarkan bagaimana Titi berusaha keras untuk belajar, berjuang mengubah nasibnya. Ia membaca buku di bus kota, belajar bersama teman di kamar kontakannya sampai pada akhirnya ia lulus dan berpidato di hari penerimaan ijazah.  

Pertanyaan salah satu penonton di akhir film seakan membuka ruang di balik gambar dan adegan. Jadi apakah Titi sekarang? Kita banyak mendengar kisah pengamen yang tiba-tiba jadi terkenal karena ajang pencaian bakat, ditemukan seorang produser, ditelan industri hiburan lalu tak berapa lama kemudian sudah menghilang. Apa yang didapatkan subjek dalam film ini selama lima tahun hidupnya tak lepas dari kamera? Sang sutradara kemudian bercerita bahwa Titi beberapa kali juga mendapatkan bagian ketika produksi filmnya mendapatkan dana. Meskipun demikian, uang yang didapatkan selalu tak bisa bertahan lama. Entah karena kebutuhan mendesak atau dipinjamkan kepada saudara atau tetangga yang lebih membutuhkan.

Persoalan tentang identitas muncul juga di sesi tanya jawab. Para pengamen, anak jalanan adalah mereka yang selalu mencari identitasnya di tengah hiruk pikuk perkotaan. Karakter Titi dalam usaha mencari identitasnya, salah satunya agar ia menjadi seseorang yang berijazah memang cukup kuat hadir. Hal serupa juga terlihat dari bagaimana ia mengungkapkan pendapat-pendapatnya di beberapa adegan.

Tapi bagi saya yang menarik adalah Daniel sendiri, orang asing yang membuat film pertamanya dengan mengangkat kisah Titi. Apakah karena Daniel orang asing, yang tentu juga menarik bagi Titi sehingga ia mau menerima tawaran sebagai bintang film atas hidupnya sendiri? Selain persoalan dana, yang katanya selalu tekor itu, Daniel menjawab pertanyaan bahwa selama ia membuat film, tak ada kisah-kisah seram seperti diganggu preman. Apakah ini juga karena Daniel orang asing? Jakarta di sepanjang film tampak selalu aman. Kota dan orang-orangnya tampak bersahabat dengan beberapa gambar bernuansa kekuningan. Seseorang yang bertanya seolah tak percaya mengingat Jakarta yang sepengetahuannya begitu menyeramkan.

Film dokumenter akan selalu memuat transisi bahwa yang kita lihat sehari-hari akan tetap menjadi konstruksi. Kita bisa mendapati semacam jenjang dari kehidupan sehari-hari dengan keseharian Titi dalam film. Kamera menangkap keseharian, mengikuti subjek, berlari, menangkap momen-momen, lalu masuk proses editing dan sampai ke penonton yang akan membanding-bandingkan kehidupan dalam film dan kehidupan sebagaimana adanya. Sebagai penonton, saya pun sebenarnya mengharapkan eksperimentasi lebih dari sebuah film dokumenter, terlepas dari film tersebut adalah film pertama yang dibuat oleh sang sutradara. 

Film ini hadir pula dengan versi panjang yang mengangkat kehidupan dua pengamen lain yang akan segera tayang di bioskop. Jarang-jarang rasanya ada film dokumenter yang bisa masuk bioskop. Gambaran karakter Titi adalah gambaran masyarakat yang umum dijumpai di negeri ini. Kalaupun film ini dianggap mampu keluar dari karakter subjek dan berbicara lebih luas tentang masyarakat kita, maka gambaran itulah yang akan disaksikan sekian banyak orang yang entah akan ditangkap sebagai sekadar simpati, menginspirasi, sedikit gelap atau menangkap semburat optimisme dari orang-orang yang susah hidupnya tapi bisa tetap bahagia dengan bernyayi sepanjang hari.


Kamar Kost, 24 September 2013


Selasa, 17 September 2013

Mengurai Sumpek

Hari ini sengaja saya mengikuti sebuah kuliah umum bertema politik uang dengan pembicara Edward Aspinall dan Mada Sukmajati. Dua-duanya adalah profesor politik kenamaan, yang disebut pertama berasal dari Australia dan yang satunya lagi dari negara kita tercinta. Niat mengikuti kuliah umum itu sebenarnya sebatas menjadikannya pancingan agar saya sedikit demi sedikit mulai mendekati lagi disiplin ilmu politik yang semakin hari semakin menjauh dari hidup saya.

Ilmuwan politik luar negeri barangkali memang banyak yang senang dengan studi komparatif. Tampaknya mereka itu tak pernah kekurangan biaya riset, bahkan sampai dibuang-buang dan dijadikan bahan proyek kerjasama di sini. Kita bisa bayangkan berapa banyak biaya untuk penelitian yang dilakukan di banyak negara. Aspinall sendiri melakukan risetnya di beberapa negara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina. Inti dari risetnya adalah mencari modus-modus politik uang dalam pemilu di negara-negara tersebut.

Istilah politik uang ternyata juga dikenal di lain negara. Di awal presentasinya, Aspinall memperlihatkan beberapa spanduk berisi kampanye politik dan pesan-pesan untuk menolak politik uang. Di Penang misalnya, Aspinall memperlihatkan sebuah spanduk bertuliskan, “Tolak Politik Wang.” Kalau di Indonesia ada yang dinamakan“serangan fajar”, istilah serupa ternyata juga ditemukan di Thailand dengan sebuatan “the night of the barking dogs”, atau di Papua Nugini yang dikenal dengan istilah “malam setan”. Istilah-istilah tersebut biasanya mengacu pada kondisi sebelum pemilihan dimana uang mulai disebar kepada pemilih agar mereka memilih kandidat tertentu.

Dalam politik uang, muncul istilah patronase dengan ciri penggunaan sumber-sumber material. Modusnya bisa bermacam-macam mulai dari dibagi secara langsung kepada pemilih, diberikan kepada orang yang berpengaruh, atau disampaikan kepada komunitas tertentu dalam jumlah yang terbatas: misalnya sumbangan semen untuk pembangunan jalan. Istilah lain dalam politik uang yang kerap muncul adalah klientelisme. Istilah ini mengacu pada jaringan yang digunakan untuk pendistribusian materal tersebut. Bentuknya bisa dari patron ke klien atau face to face (hubungan yang saling kenal, ada mekanisme pertukaran, loyalitas, dsb).

Apa yang kemudian diperbandingkan dari banyak negara yang menjadi fokus kajian adalah kapan bentuk-bentuk tertentu dianggap efektif dan kapan politisi akan mengambil strategi lain; bagaimana bentuk-bentuk jaringan yang muncul, dan perbandingan penyebab serta dampak dari politik uang di masing-masing daerah.

Studi literatur banyak menyebutkan bahwa politik uang di Filipina cenderung dimainkan olah klan, di Indonesia lebih banyak karena pengaruh bos lokal dan politik dinasti, di Thailand dimainkan oleh broker sementara di Malaysia muncul karena kebijakan dan mekanisme partai.

Di Indonesia, jaringan yang dipakai biasa disebut dengan “tim sukses”. Ada banyak ragam istilah yang mengacu pada struktur yang mirip, seperti di NTT disebut sebagai “tim keluarga”. Tim Sukses merupakan struktur yang fungsi dasarnya menghubungkan calon dan pemilih lewat beberapa level mulai dari tim inti yang kemudian dibagi secara teritorial (koordinator kecamatan, koordinator desa, koordinator TPS, sampai relawan yang langsung berhubungan dengan pemilih). Struktur ini digambarkan mirip dengan piramida dan hampir bisa ditemukan di banyak daerah di Indonesia yang kemudian disebut Aspinall sebagai “brokerage pyramid”.

Siapakah para tim sukses ini? Mereka adalah orang awam yang memiliki skill tertentu, orang yang memiliki dana seperti kontraktor dengan kepentingan jelas: mendapat proyek setelah si calon menang, dan orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Mereka yang tergabung dalam tim pemenangan calon berfungsi untuk mengetahui preferensi pemilih (yang mendukung, yang abu-abu, yang menolak), serta mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan.

Muncul dilema ketika seorang calon terlalu bergantung pada anggota tim. Bagaimana menjaga loyalitas mereka? Orang yang bergabung dalam tim tentu memiliki motivasi yang bermacam-macam. Aspinall memilahnya menjadi tiga. Pertama, aktivist broker yang mendukung calon karena kedekatan ideologi, hubungan keluarga, kesamaan etnis, dimana mereka cenderung setia terhadap calon. Kedua, clientelist broker yang motivasi utamanya adalah materi tetapi berorientasi pada masa depan. Mereka biasanya bergabung ke calon yang memiliki peluang untuk menang. Ketiga, opportunist broker yang bergabung dengan seorang calon dengan kalkulasi jangka pendek. Mereka biasanya bergabung ke calon yang memiliki banyak uang.

Permasalahannya kemudian adalah struktur tim sukses tersebut menjadi sangat rapuh. Dua persoalan yang sering muncul dikategorikan Aspinall dalam predation dan defection. Predation terkait dengan semua perilaku predatory macam korupsi, pencurian, penipuan, intinya adalah mereka yang memakan uang calon untuk kepentingannya sendiri. Sementara defection merupakan sebutan untuk mereka yang bermain di dua kaki, perilaku pengkhianatan, dan sebagainya.

Pada bagian selanjutnya, Aspinall menyampaikan rencana riset kerjasama dengan Polgov untuk melakukan penelitian terkait praktik politik uang di 30 daerah di Indonesia termasuk tingkat 1, tingkat 2 dan 3. Riset ini akan melibatkan 60 orang peneliti dengan metode observasi langsung, pendampingan atau shadowing terhadap anggota tim dan wawancara. Fokus risetnya adalah melihat struktur tim dan strategi pemenangan calon serta penggunaan jaringan, baik formal maupaun informal. Hayo, buat yang mau nulis tesis atau skripsi terkait bisa kontak-kontak Polgov.

Tidak ada yang mengejutkan dari temuan Aspinall. Entah karena politik yang sudah tidak seksi lagi seperti pacar senja yang sekarang sering kehujanan atau karena saya yang sedang suka sinis saja.  

Saya tak memperhatikan moderatornya berbicara. Mari kita lanjutkan, mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Prof. Mada. Saya tak akan berpanjang lebar menuliskannya. Intinya adalah melawan politik uang bisa dilakukan dengan meningkatkan rasionalitas pemilih. Caranya? Polgov saat ini sedang mengembangkan instrumen yang disebut dengan rasiometri. Apakah itu? Semacam pendidikan politik dimana seorang pemilih akan memilih berdasaran informasi yang didapatkannya: mulai dari mengumpulkan informasi, mengolah informasi sampai menentukan keputusan.

Sebenarnya banyak hal yang membuat saya tambah buntu dengan ide-ide seperti ini. Tapi ya apa boleh buat. Saya sangat salut dengan semua pihak yang masih optimis bahwa negara ini bisa diperbaiki. Sip lah pokoknya.

Pertanyaan-pertanyaan diskusi sebenarnya sangat menarik tapi tak banyak yang bisa ditanggapi dalam forum. Teman saya seangkatan yang mirip intel lengkap dengan penyamarannya menggunakan rambut palsu itu ternyata cukup setia mengikuti kuliah sampai sesi pertanyaan tiba. Ia duduk paling belakang, dipojokan, dan tak terlihat. Dia itu benar-benar seperti intel dengan kebiasaan mencurigakan: langsung menghilang setelah kelas usai. Kali ini dia berkomentar bahwa temuanmu itu, wahai Aspinall, hanya sedikit saja yang bisa menggambarkan realitas yang sebenarnya. Ia lalu menyodorkan fakta-fakta yang seolah-olah berasal dari tim sukses itu sendiri.

Satu lagi teman seangkatan saya angkat bicara. Ia bercerita tentang hasil temuan risetnya bahwa duit yang dibagikan saat pemilu bisa demikian beragamnya di setiap daerah, berkisar dari 50 sampai 100 ribu untuk daerah Jawa, bisa sampai 500 ribu per kepala untuk daerah Buton, apa Belitung ya? Haduh, saya kurang menyimak.

Bapak-bapak yang sedang studi S3 di Brawijaya berkomentar juga. Betapa tidak enaknya ketika ia harus mempresentasikan hasil risetnya, yang juga berarti membuka banyak kejelekan negerinya, beberapa hari lagi di Flinders University.

Beberapa hal barangkali luput dari catatan karena obrolan saya dengan teman yang duduk di sebelah soal riset tesisnya. Wow, dia masih baca Hegel sodara-sodara. Luar biasa! Tidak sopannya, dia langsung pergi begitu saja setelah mengatakan pada saya bahwa dia punya koleksi seratus film yang harus ditonton sebelum mati.

Sungguh tulisan ini tidak seperti judulnya. Harusnya diberi judul “Manambah Sumpek”. Hari ini saya seperti ditampar juga. Begitu lho seharusnya anak politik itu, mari bicara patronase, mari bicara politik uang, mari bicara rasiometri, lalu ngapain saya ini muter-muter Rusia mencari bagaimana pabrik cinema mencetak bentuk film-filmnya, melakukan sensor, mengganyang film-film luar, merancang tema-tema tertentu yang harus disetujui negara. Sebenarnya ini juga politik yang mirip dengan apa yang ada di buku Khrisna Sen itu. Ah, ndak ngerti saya. Mari bobok saja.


Kamar Kost, 16 September 2013  

Jumat, 13 September 2013

Sekadarnya Cerita

Suatu kali aku terbangun dengan pipi yang berubah menjadi insang. Karena merasa sesak dan kesulitan bernafas, aku berlari menuju kamar mandi, mencelupkan wajahku ke dalam air dan baru merasa lega kembali. Sejak saat itu aku harus hidup di air. Aku berusaha bertahan di darat dengan sebuah toples berisi air di kepalaku. Kalau kau pernah melihat Spongebob berkunjung ke rumah Shandy si tupai, begitulah aku menirunya untuk bertahan hidup di darat sementara. 

Aku tak bisa berhenti menangis dan tak tahu apa yang harus kulakukan. Dengan terpaksa aku tinggal di sebuah kolam ikan di belakang kostan yang ditinggalkan pemiliknya. Kolam itu kotor, penuh lumpur dan sedikit berbau busuk. Aku terus saja menangis karena ingin sekali mengabarkan keadaanku kepadamu. Sehari saja tak ada kabar dariku, rupanya kau sudah mencariku. Memang sedikit aneh karena biasanya kita sering tak saling memberi kabar dan seolah-olah tak ada yang terjadi.

Kau benar-benar datang mencariku. Aku mendengar suara motor Shogun birumu berhenti di samping kost yang kebetulan dekat dengan kolam tempatku hidup sekarang. Tiba-tiba saja kau menengok ke arah kolam dan melihatku. Kau begitu kaget dan mulai mendekat. Aku hanya bisa sedikit saja memperlihatkan wajahku ke permukaan. Ah, rasanya kita sama-sama ingin berciuman tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau mencondongkon tubuh dan kepalamu ke arah kolam tapi kita tetap tak bisa berciuman.

Lama kita berusaha agar bibir-bibir bisa saling bersentuhan tapi segala upaya sepertinya tak akan berhasil. Putus asa dengan usahamu, kau lalu menyuruhku segera mengenakan toples dan memboncengku dengan Shogun birumu, motor legendaris yang barangkali pernah memuat sekian banyak bokong perempuan sebelum aku datang. Jarak antara kostku dan kontrakanmu memang tak begitu jauh. Kau menurunkanku di sebuah kolam lain, bersama ikan-ikan yang dipelihara orang untuk usaha restoran dengan tempat-tempat makan mengambang di permukaannya. Air di sini memang lebih bersih tapi itu tetap saja tak bisa membuatku nyaman. Seorang kawan mendadak datang membawa seperangkat peralatan musik. Kebetulan kawan yang kita kenal itu memang sedang masyur dengan bandnya. Dia menyanyikan sebuah lagu untuk kita. “Duduk. Berdua. Di pinggir kolam. Ikan-ikan Berenang di kaki kita....” Lalu kau hanya bisa mencium toples di kepalaku setelah lagu itu selesai dinyanyikan.

Aku terbangun dan geragapan. Rupanya itu hanya mimpi setelah sebelumnya kita pernah mengkhayalkan hal serupa terjadi. Setelah bercinta, imajinasi kita seringkali melayang kemana-mana, dalam cerita-cerita komik, atau hanya khayalan-khalayan dari antah berantah.

Seperti biasa, sepagi kau berjuang mengeluarkan dahak dan melawan sesak. Setelahnya seharian kita terus saja tidak melakukan apa-apa kecuali membaca novel atau tenggelam dalam film-film. Kau banyak berkometar tentang Wong Kar Wai setelah menonton As Tears Go By, Days of Being Wild dan In The Mood for Love. Kau selalu melihat film-film itu dengan detail. Kau mengagumi bokong Maggie Cheung, menemukan properti seperti lampu dan kipas angin yang selalu hadir dari film ke film, juga menganalisa warna kertas dinding dan segala bentuk penataan ruang lainnya yang benar-benar dipikirkan oleh art director maupun sutradara. Kau bilang juga bahwa semua tulisan tentang film tidak akan sebanding dengan segala yang ada dalam film itu. Ya, itu benar, Bahkan Bazin sendiri mengakui bahwa menulis film itu sebenarnya hal yang sangat sulit. Apalagi tulisanku yang cuma bisa bikin hoaks orang yang membacanya.

Kita sempat saling diam ketika aku tak merasa perlu untuk mengurusmu saat sakit seperti itu. Kadang aku merasa sangat tidak ingin membahagianmu. Kepastian akan akhir dari kitalah yang membuatku seperti itu. Tapi ketika saling diam, sebentar saja, sudah membuatku demikian tak enak hati. Si Mbok malah menanyakanmu dalam teleponnya dan akupun bergegas menemuimu. Paginya, kau meninggalkanku dengan sisa sakitmu. Aku mengantarmu ke stasiun menuju Surabaya demi sebuah kesenangan mengerjai Maba. Aku tak rela kau pergi, tapi siapakah aku yang bisa tidak mengizinkanmu berangkat? Sudahlah.

Setidaknya hari ini pipiku tidak dikutuk berubah menjadi insang. Entah kenapa aku semakin keterlaluan bahkan kadang tidak mempu mengontrol diri. Semakin banyak perkataan bodoh, kelakuan gila, aku ingin menemui Si Mbok dan mencium kakinya. Tak mengapa jika mukaku sekalian di sepak, siapa tahu aku bisa melihat surga di sana.  


Kamar Kost, Jumat 13 September 2013

Rabu, 04 September 2013

Cerita Sekadarnya

Kau datang pada kemarau dengan udara begitu dingin di pagi hari. Aku menjemputmu. Begitu saja kita kembali bertemu. Wajahmu kusut dan mengkilap berlumur asap bus kota. Ingin sekali rasanya aku tak mengenalmu lagi. Tapi segalanya kembali berjalan seperti biasa. Aku membantumu membersihkan kamar sementara kau menyeduh dua gelas kopi robusta Bali. Ada lagu dari gitar tanpa senar ketiga. Sebentar cium, masih bau asap bus kota. Seteguk peluk, sedikit menyisa aroma perempuan sepanjang perjalanan. Setelah kasur dijemur, menuntaskan pekerjaan tangan.

Kau membawakanku buku-buku. Novel-novel Duras, Proust, dan kumpulan cerpen Akutagawa. Aku sedang malas membacanya. Di sebelah kamarmu, seorang kekasih yang baik membuat kristik, menjalin benang bersilang-silang membentuk beruang lucu demi sebuah kado ulang tahun gadisnya. Ide untuk membahagiakan orang lain memang luar biasa, katamu. Tentu saja kau tak perlu melakukannya untukku. Aku cukup bahagia ketika kau berkenan mengunduh film-film apa saja yang kuinginkan.

Aku selalu ingin memperlakukanmu sebagai orang asing. Maka jangan heran kalau aku menonton Hiroshima, mon amour dengan reaksi seperti itu, meringkuk tanpa ekspresi di depan laptop. Alain Resnais selalu memukau dengan montase-montase cerdasnya. Sejak Night and Fog (1955) dan Last Year at Marienbad (1961), Resnais terlihat kerap mengeksplorasi waktu, fantasi dan ingatan, mengolah masa lalu dan masa depan. Namun dalam Hiroshima, mon amour, emosi yang solid menjadi semacam dasar yang kuat untuk membuatku terpaku atas gambar dan dialog dalam film itu sampai-sampai aku tak bisa menjelaskannya kepadamu. Film itu seperti menguasai, memakanku mentah-mentah dan pada akhirnya membuat seolah-olah aku telah mengerti sesuatu. Padahal, ketika gambar-gambar yang lekat itu menghilang, aku kembali merasa tak mengerti apapun. Bagimu barangkali itu hanya film membosankan tentang cinta-cintaan yang menye-menye. Entahlah.

Aku memang ingin kita saling merasa asing. Karenanya aku selalu menceritakan sesuatu dengan sepotong-sepotong. Kau tak akan mengerti apapun demikian juga denganku. Mencurahkan perasaan seolah-olah hanya akan membuatku semakin dekat.Bertahun-tahun kemudian, ketika aku telah melupakanmu, semua cerita dan tulisan tentangmu hanya akan menjadi simbol kisah untuk ditertawakan dan dilupakan. Karena selain kematian, satu hal yang pasti adalah bahwa kita akan berakhir.

Betapapun menyedihkannya kelak, saat ini kita masih bisa menertawakannya. Pada sebuah perbincangan sebelum makan malam, ketika kau memintaku mengambilkan nasi untuk piringmu, aku bercerita tentang tokoh utama novel Michelle. Begitulah, kita tidak akan menikah karena tak rela anak kita kelak bernasib nggrantes seperti tokoh utama novel itu. Bukankah ayah dan ibunya menikah beda agama? Hindu dan Islam pula.

Maka jalan satu-satunya untuk mengakhiri hubungan kita adalah dengan aku memakai legging bunga-bunga. Hahaha. Di jalanan, kita sering melihat mbak-mbak dengan legging bunga-bunga lalu kau bilang kita akan putus kalau aku memakainya. Ah, hanya dengan begitu kita masih bisa tertawa-tawa di lampu-lampu merah, pada setiap pemberhentian dan jeda. Di atas segala ekspektasi orang bahwa kita akan berakhir karena beda agama, atau karena tak direstui orang tua, dan ternyata pada akhirnya hanya karena aku memakai legging bunga-bunga.

Menonton film terbaru Wong Kar Way selalu mampu menciptakan efek khusus. Kita pun menamainya “Wkwkwkwkwkwkw...Effect” yang merupakan kependekan dari nama sutradara itu. The Grandmaster adalah versi lain atas dua film yang pernah dibuat tentang kisah kepahlawaan guru silat pertama China yang mengajar aliran Wing Chun. Dua film pertama berating 8,1 dan 7,5 di IMDb sedangkan film Wong Kar Way hanya mendapakan 6,6 saja. Peduli setan dengan rating. Kita tetap bisa menikmatinya dan menemukan sekian banyak adegan film lain dalam The Grandmaster: ada ciuman gaya Spiderman, gaya bertarung The Matrix dan Kungfu Hustle, stasiun kereta Harry Potter, dan sekian banyak film lain. Telapak tanganku pun jadi demikian terlatih menangkis seranganmu setelah menonton film itu. Betapa menyenangkan kebodohan-kebodohan kita.

Aku masih mendengarkan soundtrack film Magnolia. Aimee Mann sedang melantunkan lagu tentang angka satu yang paling kesepian. Kau datang menjemputku untuk bermalam minggu. Bercelana pendek dan belum mandi sementara aku begitu cantik dan wangi. Kau harus menunggui sebuah film selesai diunduh sebelum buru-buru menjemputku yang sudah kelaparan. Aku sendiri tak habis pikir kenapa aku mau dengan orang sepertimu. Kita makan dengan menu paling sederhana di akhir bulan. Kau sumpek karena tak juga tergerak untuk mengerjakan tanggungan proposal. Sama halnya sepertiku. Terus saja kau bicara tentang kesumpekanmu. Aku diam mendengarkan meskipun dalam hati bergemuruh entah karena apa. Tapi pada akhirnya kita tetap bersama menonton pertunjukan di tempat yang cukup jauh dari kota ini.

Mereka melakukan pertunjukan musik cangkem. Eksplorasi dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu dolanan yang sederhana dengan nada-nada dan perubahan bentuk lagu yang unik. Pertunjukan paruh pertama masih bisa dinikmati meskipun kita datang terlambat. Penonton penuh bahkan sampai tumpah. Pada paruh kedua, para penampil mulai aneh-aneh. Aku sendiri masih bisa menikmati suluk dan mantra kalacakara yang didengungkan pelan tapi dalam tempo cepat. Pertunjukan semakin terasa aneh ketika para perempuan berlagak berada di sebuah pesta dan mulai memainkan air dengan tenggorokan mereka. Tambah aneh lagi ketika dua orang saling beradu tanda dengan desah dan bahasa mata sambil memukul-mukul meja.

Aku mengagumi ide pertunjukan malam itu meski eksekusinya tak seperti yang diharapkan. Barangkali memang aku yang terlalu tinggi mengharapkan sesuatu yang mengejutkan bisa muncul. Kau yang orang Bali ikut ngamuk ketika ada gerakan tangan khas tari Bali seolah-olah diperlakukan semena-mena. Dalam hal-hal tertentu kau memang sedikit berlebihan. Kalau menurutku, meskipun mereka menggerakkan tangan seperti itu, tidak semata-mata menempatkannya dalam konteks tarian yang khusus. Mungkin bisa dibilang hanya semacam meminjam gerakan untuk digunakan sesuai dengan pesan yang ingin mereka sampaikan. Aku sendiri tak banyak mengerti tentang seni pertunjukan, juga orang-orang musikologi yang dengan rendah hati masih bersedia mengeksplorasi suara-suara dari mulut mereka sendiri. Selalu ada batas yang membuatku bertanya-tanya apakah hanya sampai di sana? Padahal seharusnya tentu bisa lebih dari sekadar itu.

Menemui kawan yang juga sama-sama kesepian menjadi salah satu rutinitas kita setelah makan malam. Sejak kedatanganmu, sudah dua kali kita menyambangi kostnya, minta kopi dan camilan. Senang rasanya punya teman seorang musisi masyur. Kita mendengarkan lagunya yang seram-seram penuh cinta. Selalu teman kita yang satu itu punya bahan bercanda yang membuat kita bisa tertawa. Setelah guyonan rasisnya, ia bercerita bagaimana ia mengalami dementia setelah menonton film-film tahun 50-an dan 60-an dariku. Dipertengahan film, ia kehilangan dirinya, siapa namanya, darimana ia berasal, dan teman sebelah kamarnya kemudian membantunya kembali mengenal kata-kata. Dia belajar bahwa benda-benda itu disebut pintu, gelas, meja.    

Sudah siang lagi di kontrakanmu. Semalam tanpa mimpi aku terlelap. Sampai dikostan, hardisk berisi film tak bisa dibuka. Maka demikianlah curhat kali ini harus diakhiri. Aku tak bisa berpikir lagi.


Kamar Kost, 4 September 2013