Jumat, 15 November 2013

Hoaaammmm

Mata begitu berat. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tak bisa terpejam. Gonggong anjing di pagi hari. Roti tawar dan susu coklat. Mandi. Makan siang murah. Lalu hujan. Lalu petang. Lalu malam. Siapa yang ingin terpejam ketika semakin segera kita akan berjauhan. Betapa bodoh membicarakan orang-orang itu selepas percintaan yang tak begitu enak dan perih. Tambah perih dalam tawa yang tiba-tiba tangis.

Mendadak semuanya menjadi mendung. Pembicaraan-pembicaraan kita sambil menunggu pesanan makanan tiba atau setelahnya, juga tentang orang-orang di sekitar yang tak pernah kita kenal, sebelumnya tak pernah mengarah kemanapun. Namun akhir-akhir ini, semua seperti sudah jelas akhirnya. Hahaha. Kita masih ragu. Sangat.

Dua helai rambut tumbuh pada tahi lalat di perutmu. Kau tahu apa artinya? Tidak ada. Aku sedang tidak paham dengan tulisan yang baru saja kubaca. Penulisnya seperti ingin menumpahkan banyak hal dalam artikel yang cuma lima puluh halaman saja. Suka sekali ia tak menyelesaikan penjelasannya dan meloncat ke hal lain. Utang penjelasan di depan banyak yang tak terbayarkan sampai tulisan selesai. Orang Jawa itu menyedihkan. Ngawurnya, kalau boleh dibilang, dengan kebudayaan meraka yang sudah banyak dijelaskan para ahli, Bagaimanakah mereka bisa bertahan di tengah jaman amburadul macam begini?

Sementara itu, Paolo Sorrentino sudah membuat film seperti The Great Beauty. Saya sendiri begitu kesulitan membayangkan keberadaan orang-orang yang digambarkan dalam film. Sekumpulan penulis, pelukis, yang setiap malam kerjaannya adalah berpesta. Kosong di dalamnya. Seorang seniman menampilkan sebuah pertunjukan di atas panggung yang menyerupai jalan dengan ujungnya berdiri sebuah tembok. Perempuan itu telanjang, mengecat merah kemaluannya dengan aksen palu arit kecil di sudutnya. Ia mengenakan selendang putih transparan membelit longgar kepalanya. Berteriak, berlari, menabrak tembok hingga kepalanya terluka. Begitu saja. Para penonton bertepuk tangan. Katanya kemudian, begitulah cara dia menangkap vibrasi dunia. Entah apa maksudnya. Tambah aneh-aneh saja kelakukan manusia. Seorang anak bisa tiba-tiba muncul di hadapan ibunya. Telanjang dan mengecat merah seluruh tubuhnya. “Ibu, pipiku selalu bersemu merah ketika melihatmu,” begitu kira-kira katanya. Sudah bisa ditebak, seperti katamu, orang-orang seperti itu pun sudah membusuk. Ah, lawas. Tapi kita juga tak bisa menemukan penjelasan lain. Seperti khayalan yang tak bisa terjangkau.

Menonton Pina juga demikian. Kalau kesemuanya dikatakan sebagai seni tinggi, kebudayaan adiluhung (seandainya itu masih ada), yang ngEropah begitu, bandingan seperti apakah yang bisa kita temukan di sini? Hihihi. Mana berani saya melanjutkan. Lha wong saya ini cuma penonton ludruk, penggemarnya Kartolo yang suka sekali saya kutip dialognya. “Kowe arep opo?” dan dijawablah, “opo-opo arep.”

Orang itu menyebut seni tinggi hanya karena ketika ia datang mengunjungi galeri, atau pameran misalnya, lukisan-lukisan digantung terlalu tinggi. Kita-kita yang pendek ini jadi harus sedikit mendongakkan kepala untuk bisa melihatnya. Begitulah asal mula kenapa suatu seni bisa disebut seni tinggi. Percayalah, cerita ini bukan karangan saya melainkan berasal dari sumber yang heibat sekali.

Menyeruput kopi sambil mendengarkan Faith No More melantunan I Started a Joke. Pada awalmya cuma bercanda. Pada akhirnya, beginilah, seperti yang telah kita duga sebelumnya. Karena kita seringkali menertawakan sesuatu, kita pun boleh jadi sedang ditertawakan, entah oleh siapa dan karena apa.

Hei, apa kau sudah bangun? Jum’atan lho. Eh ya, kamu ndak Islam jadi ya ndak Jum’atan.



Kamar Kost, 15 November 2013

Kamis, 07 November 2013

Sepintas Lalu Soal Festival Teater Yogyakarta 2013

Konon katanya, Festival Teater Yogyakarta 2013 yang diselenggarakan tanggal 16-18 Oktober kemarin berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun lalu panitia mengajukan tema dan siapa saja boleh mengajukan proposal untuk kemudian diseleksi menjadi peserta, tahun ini panitia memanggil kembali sutradara-sutradara terbaik dari festival sebelumnya. Dari sini, para juri dan pengamat akan melihat apakah pilihan mereka di tahun-tahun sebelumnya memang tepat. Tidak akan ada pemenang dalam festival kali ini. Para juri dan pengamat akan memberikan catatan tertulis sebagai bentuk apresiasi terhadap seluruh peserta yang tampil.

Konsep ini memang terkesan tertutup karena tidak memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh kelompok teater untuk memanggungkan karya mereka. Penggunaan konsep seperti ini tentu sudah dipertimbangkan dengan matang dan mungkin tetap ada baiknya, ketika kita bisa melihat proses kreatif dan perkembangan penyutradaraan dari mereka-mereka yang diberi kesempatan untuk menampilkan karyanya.

Saya di sini hanya menjadi penonton yang kebetulan punya banyak waktu luang sehingga bisa menonton semua kelompok yang tampil. Kalau saja saat ini orang seperti Asrul Sani itu masih hidup. Barangkali ia bisa melengkapi kertas kerja yang ditulisnya pada tahun 1973 soal pemikiran dan saran-saran pengembangan seni pertunjukan kontemporer atau modern. Rasanya sulit kita temui orang seperti Asrul di masa ini. Sedangkan saya cuma bisa menuliskan omong kosong macam sampah begini.

Pada saat itu, Asrul meringkas bentuk-bentuk teater yang muncul di Indonesia mulai dari teater yang lahir dari kehidupan masyarakat desa sehari-hari, entah yang bersifat adat maupun agama sampai yang disebutnya sebagai teater modern. Bentuk terakhir itulah yang dulu dikatakannya masih mencari bentuk dan isi. Barangkali sampai sekarang pun teater modern kita masih juga mencari bentuk dan isi. Lalu seperti apakah bentuk dan isi dari teater-teater peserta festival tahun ini?

Di bandingkan dengan tahun lalu, sebagai penonton awam, saya bisa melihat beberapa capaian meskipun saya tidak bisa membandingkan secara utuh bagaimana perkembangan dan capaian dari masing-masing sutradara. Hal ini tentu karena saya bukan orang yang mengamati hasil karya mereka dari waktu ke waktu melainkan hanya cuilan-cuian kecil yang kebetulan melintas di benak saya ketika menulis catatan ini.

Perihal Naskah dan Pementasan
Saya cukup senang ketika seluruh peserta festival teater kali ini tidak ada yang mengadaptasi naskah dari luar secara utuh. Bukannya saya anti sama naskah-naskah yang berbau Eropa atau Amerika melainkan kondisi ini menggambarkan usaha mencari idiom-idiom baru dalam seni pertunjukan yang dekat dengan masyakatnya sendiri. Saya cukup jenuh melihat banyaknya adaptasi naskah-naskah asing yang justru gagal dibawakan karena kesenjangan konteks dan latar cerita. Tentu saja ini tidak menafikan keberhasilan-keberhasilan yang sudah ada, meskipun tidak dapat saya sebutkan karena keterbatasan pengalaman menonton saya.

Hampir seluruh peserta menggunakan langgam Bahasa Jawa dalam pertunjukan mereka. Dekor yang dipakai sebagian masih berbau naturalis dengan usaha menghadirkan kondisi yang kita lihat sehari-hari di atas panggung. Cerita yang dibangun memang cukup beragam, dari yang paling realis, eksperimentasi menghadirkan cerita berlapis di atas panggung dengan men-Jawa-kan naskah Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer, juga usaha untuk membaurkan dua cerita yang berasal dari adaptasi cerpen Gabriel Garcia Marquez dengan kehidupan petani garam di pesisir Pulau Jawa.

Saya akan memulai dari Kapai-Kapai (Atawa Gayuh) yang disutradarai oleh Ibed Surgana Yuga. Naskah Kapai-Kapai sendiri bagi saya cukup menarik dengan lapis-lapis ceritanya. Kalanari Theater Movement menampilkannya di panggung terbuka dan mengadapatasinya dalam Bahasa
Jawa. Karakter Emak diganti dengan Dhalang, tokoh yang membikin skenario untuk mempermainkan nasib Abu, wong cilik yang malang. Dalam skenario asli, perpindahan babak ditandai dengan penutupan layar. Namun, pertunjukan ini mampu mengalirkan perpindahan babak tanpa layar, bahkan dengan pemain utama yang terus-menerus berada dalam jangkauan mata penonton, tanpa mengurangi kadar penyampain pesan bagaimana cerita yang berlapis tersebut dapat sampai dengan baik.

Pertunjukan panggung terbuka memang membawa masalah teknis tersendiri. Beberapa kali dialog tokoh tidak terdengar jelas dan keruwetan panggung yang hanya diterangi cahaya-cahaya kecil dari obor membuat penonton seringkali kehilangan beberapa detail kecil pertunjukan. Pencahayaan dibantu dengan kru yang membawa senter besar di beberapa sudut panggung. Saya cukup terkesan dengan teknik ini. Bahkan, untuk menambah kesan dramatis, seorang kru mengucurkan air lewat selang dari bagian atas panggung untuk mengguyur tubuh Abu beserta istrinya yang kebingungan mencari “kaca tipu daya” (sebuah benda yang dalam naskah bisa dibeli di toko Nabi Sulaiman dan mampu mewujudkan semua impian Abu). Jujur saja saya baru pertama kali menyaksikan hujan buatan dalam teater.

Terlalu muluk kalau dikatakan pencarian dan eksperimentasi seperti ini akan berujung pada mitos total teater dimana usaha untuk menyempurnakan kejanggalan-kejanggalan panggung demi menghadirkan efek hujan misalnya, hanya bisa dilakukan oleh film. Namun, bangunan yang tampak di panggung, maupun yang tak kelihatan, tata musik dari gamelan, dan peradeganan memang bisa sedemikian mengalir dan sangat membantu membangun suasana sepanjang pertunjukan.

Saya tak akan banyak membahas soal naskah dimana Arifin C. Noer manghadirkan nasib Abu, mempertunjukkan mimpinya menjadi seorang pangeran, tipu daya dan persekongkolan. Ah, kalian harus membaca naskah itu. Yang pasti, Dhalang dalam cerita masih otoriter. Dia yang mengarang tipu daya dan akhirnya membunuh Abu sekaligus mimpi-mimpinya. Butuh ruang khusus untuk membedah naskah-naskah Arifin C. Noer, apalagi sebelumnya saya sempat menyaksikan Madekur dan Tarkeni dipentaskan. Kalau saya boleh berlebihan, membaca naskah-naskah Arifin C. Noer itu serasa menemukan permata dalam sajian makan malam di tanggal tua, yang murah dan itu-itu saja.

Berikutnya, Citra Pratiwi adalah sutradara terbaik pada festival teater tahun lalu. Citra punya ide-ide cemerlang namun terasa selalu ada yang janggal dalam pengeksekusian panggungnya. Teaternya tahun lalu sudah pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Dan kali ini, Citra tampil dengan adaptasi cerpen Gabriel Garcia Marquez yang justru menjadi aneh ketika dikontekskan dengan latar petani garam di pesisir Pulau Jawa dan Bali. Kejanggalan utama terletak pada dekor yang memasang kincir angin besar di sisi belakang panggung. Barangkali di Indonesia juga ada yang seperti itu, tetapi ketika melihatnya pertama kali, pikiran saya langsung diarahkan ke negeri-negeri Eropa sana. Sedangkan di hadapan kincir besar itu, pemain-pemain dengan memakai kostum pakaian petani sehari-hari, properti seperti caping dan sebagainya berusaha menggiring penonton bahwa peristiwa itu terjadi di Indonesia. Bentuk dekor apapun sebenarnya sah dalam teater, namun kesatuan citraan dalam satu panggung bagi saya tetap penting.

Dua kontras dari latar dan suasana yang ingin diciptakan masih diperparah dengan gerak dan gestur yang tidak bisa sampai dengan mudah kepada penonton. Kalau penonton tidak membaca cerpen yang dimaksud, juga dengan bantuan sinopsis cerita, orang tidak akan tahu bahwa gerakan yang dilakukan pemain adalah gerakan mengusir kepiting di musim hujan yang merajalela. Seorang perempuan berselendang merah itu juga tidak jelas siapa. Barangkali memang saya saja yang bodoh dan tidak jeli.

Citra menyisipkan nuansa pesisir yang ditandai dengan permainan judi para petani sehabis panen dan ratapan seorang pemain perempuan sambil menyanyikan lagu dangdut. Sayang sekali, musik dangdut yang digunakan masih sangat Melayu, bukan dangdut pantura. Dialek Bahasa Jawa yang digunakan sepertinya juga bukan pesisiran. Selebihnya, musik yang mengisi pertunjukan sebenarnya cukup membantu mengangkat suasana. Kemampuan aktor dalam menampilkan teater tubuh cukup mumpuni juga. Tetapi gerak-gerak itu ingin menampilkan apa? Apakah demi menguatkan apa yang disebut dalam sinopsis sebagai sisi realis fantasi dari cerpen yang diadaptasi?

Menerjemahkan ide dalam panggung memang bukan perkara mudah. Perkara yang tak hanya berada di tangan sutradara melainkan juga melibatkan tata panggung, musik dan aktor-aktornya. Dengan demikian, ide yang baik saja jelas tidak cukup untuk bisa membuat pertunjukan yang baik. Baik di sini pun menurut selera saya, sebuah pertunjukan yang dapat memuaskan saya sebagai penontonnya.

Satu kasus menarik hadir dalam lakon Ora Isa Mati: Isih Akeh Wong Jujur Nang Ngisor Wit Jambu Air. Jarang-jarang saya bisa menyaksikan dua lakon yang sama sebanyak dua kali. Pertama kali saya menyaksikan naskah ini dipentaskan di Balai Budaya Samirana. Konsep yang disuguhkan cukup menarik. Mempertunjukkan teater di tengah kampung menjadi suatu cara untuk mendekatkan seni ke masyarakat. Sayang sekali pada saat itu penonton teaternya lumayan sepi. Barangkali karena bersamaan dengan acara pengajian yang digelar di masjid tak jauh dari tempat pertunjukan. Dua kali pertunjukan itu saya saksikan dan dua kali pula saya masih tertawa-tawa karena dialog dan adegan-adegan aktor yang dibawakan dalam Bahasa Jawa.


Lakon ini cukup komikal, demikian juga dekor yang dibuat lebih sebagai penanda. Pertunjukan kedua dari lakon ini memang terasa lebih matang, baik dari sisi pengolahan adegan (khususnya di akhir) dan penataan musiknya. Pertunjukan pertama yang diadakan di tengah kampung terasa lebih santai. Penonton dari Teater Teman-Temanmu kemungkinan juga dalah teman-teman sendiri. Ketika tampil di gedung yang cukup representatif, jumlah penonton memadati kursi, pertunjukanpun terasa lebih serius meski ia tak kehilangan banyolan yang didukung oleh karikatural para pemainnya. Para aktor seperti menerima energi dari banyaknya penonton yang datang, membantu memaksimalkan pemeranan mereka di atas panggung.

Berbeda halnya dengan lakon Watara dari Teater Slenk, Ora Isa Mati memiliki kedinamisan dialog dan karakter tokoh yang mampu membangun suasana, konflik, hingga penyampaian pesan-pesannya. Sementara itu, Watara tampil dengan sangat datar, sebagaimana hanya selingan di kala senggang. Dekor disajikan dengan memasang dua rumah di atas panggung, yang satu mengesankan terbuat dari tembok, dan satunya terbuat dari anyaman bambu. Pilihan kontras ini mengesankan bahwa kemungkinan cerita akan berisi konflik sosial karena kesenjangan ekonomi. Tapi ternyata tidak. Cerita mengalir dengan sangat datar. Konflik disajikan di akhir, tak terduga dan terkesan dipaksakan. Nyanyian dan tarian memang menyampaikan kehidupan masyarakat petani dengan gerakan-gerakan ketika mereka menanam dan memelihara padi. Fungsinya tidak dilekatkan pada cerita melainkan sebagai selingan yang memisahkan antar babak cerita. Bentuk seperti itu mengingatkan saya pada uraian tentang model-model teater lama. Meskipun karena kemasannya, lakon Watara kemudian bisa disebut sebagai teater baru.

Demikian halnya dengan cerita Nggoleki Jimate Basiyo dari Kandangjaran Teater. Pertunjukannya dibuka dengan tembang lalu mulailah monolog berlama-lama dari seorang tua yang memegangi keris. Sebelumnya saya tidak membaca sinopsis cerita dan baru sadar di bagian akhir bahwa para pemainnya adalah keluarga Basiyo. Bagi mereka yang tidak mengenal Basiyo, teater ini kehilangkan ikatan dengan penontonnya. Pertama karena dialog yang berlama-lama dan kedua karena guyonan yang tidak bisa membuat saya tertawa. Kisah tentang tokoh Basiyo sebagai legenda pertunjukan di Jogja memang menarik. Namun, cerita dan guyonan sepertinya hanya berlaku bagi penonton yang mengerti konteks cerita.

Penonton Teater dan Sawerannya
Keberadaan festival teater seperti ini tampaknya mampu membuka kemungkinan perluasan publik teater. Pertunjukan teater kampus misalnya, kadang hanya mampu menarik penonton yang terdiri dari teman-teman sendiri. Di sini, saya bisa melihat bahwa penonton yang hadir tidak hanya mereka yang setiap harinya bergelut dan akrab dengan teater. Para mahasiswa yang baru datang ke Jogja, yang kemungkinan tak tahu apa-apa tentang teater bisa datang dan ikut menyaksikan pertunjukan. Siapa saja boleh masuk ke gedung pertunjukan. Bagi yang bersandal jepit juga dipersilakan. Kita tak pernah punya budaya untuk mempermasalahkan siapa yang boleh menonton teater sebagaimana yang di Barat sana, hanya mereka yang berjas dan bergaun rapi yang diperbolehkan masuk ke gedung opera.

Festival teater ini kebetulan bersamaan dengan festival film yang digelar di gedung yang bersebelahan. Acara ini masih bersamaan pula dengan konser-konser musik dan sekian banyak peristiwa seni lainnya. Publik akhirnya terpecah untuk menghadiri acara sesuai ketertarikan masing-masing. Meskipun begitu, pengunjung festival teater tak pernah sepi. Kualitas teater tentu tak ditentukan oleh banyaknya penonton. Namun, teater bisa ada karena ada yang menontonnya. Satu orang penonton pun tetap bisa disebut sebagai penonton.

Sebab inilah mengapa teater tetap bisa bertahan. Sejelek-jeleknya sebuah pertunjukan, ia akan tetap punya penontonnya sendiri. Teman saya pernah bercerita. Kebetulan ia adalah mantan aktor teater. Katanya kemudian, teater tak bisa memenuhi idealismenya dalam berkesenian, sepertinya hanya berputar di situ-situ saja. Juga bahwa menjadi pemain teater itu tak bisa menghasilkan uang. Tapi toh, teater tak mati juga. Para seniman teater tentu saja tak bisa menggantungkan hidup dari pertunjukan. Lain soal dengan pentas teater tradisional dimana para pemainnya hanya hidup dari hasil penjualan tiket. Seniman teater, khususnya di Jogja mungin memang tak kehabisan akal untuk dapat sekian proyek, sekian hibah seni, dan sekian-sekian lainnya. Mereka bisa juga mengarang naskah sinetron atau bahkan aktor teater seringkali bisa menjadi artis film. Rasanya hal ini sudah biasa dalam dunia perteateran.

Asalkan masih ada kelompok teater yang pentas, mereka tak akan kekurangan penonton. Entah mereka yang hanya menonton atau yang punya banyak waktu luang untuk sekadar menuliskan celaan dan pujian. Dua kelompok teater yang pentas menyisipkan adegan minta saweran ke penonton. Sekadar buat ongkos jalan, hal ini tentu sah untuk dilakukan karena semua pertunjukan teater dibuka gratis. Saya tidak tahu juga apakah panitia ikut menyediakan ongkos produksi bagi para peserta.

Sampai di sini, saya kehilangan arah untuk melanjutkan tulisan. Seperti halnya pertunjukan-pertunjukan teater kita yang juga tidak tahu mau kemana. Kadang ke sini, kadang ke sana. Kita sama sekali tidak punya arah yang jelas soal yang satu itu. Tapi ya sudahlah. Akhirnya saya tetap bisa bahagia hanya dengan menjadi penonton dan memulis omong kosong seperti ini. Setidaknya bisa membuat lega ketika satu dari sekian banyak hal yang nyumpel bisa keluar dari kepala.

Oktober-November 2013