Rabu, 31 Desember 2014

Mendung Akhir Tahun

Kau pernah merindukan seseorang hingga sakit? Aku pernah dan itulah yang saat ini kualami. Pola tidur dan makanku kacau. Penyakit maag tambah parah. Hawa dingin pegunungan kadang tak tertahankan. Apakah kau juga pernah membayangkan bahwa rindu dapat menyebabkan kematian? Sepertinya tidak. Kau punya banyak cara untuk mengalihkan perhatian dengan segala bentuk kesibukanmu. Rasanya aku tidak lagi bisa menulis dengan baik, meskipun tulisanku juga tak pernah baik. Setahun ini terlalu banyak hal berat terjadi. Hari ini gerimis. Aku teringat musik latar piano hujan Eric Satie yang mengiringi aktivitas kamar kita, sesuatu yang mustahil untuk bisa kembali terjadi.

Aku senang mendengar kau telah menyelesaikan tulisanmu. Sedangkan aku terjebak di sini, tidak, aku menjebak diriku sendiri di sini dan mulai sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tentang hal yang sama, yang selalu mereka ulang kembali seolah mereka begitu peduli dengan nasib manusia yang sedang ditanyainya, meskipun sebenarnya mereka sama sekali tak peduli bahwa sekadar pertanyaan bisa menjadi begitu mengganggu. Maka uruslah hidup kalian sendiri. 

Sebentar lagi tahun berganti. Kau pasti ingat beberapa malam pergantian tahun yang pernah kita lewati; tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga, ah. Dan saat ini aku hanya bisa mengetikkan kalimat-kalimat buruk sambil meneteskan air mata. Langit di luar mulai gelap diiringi suara serangga musim hujan yang hanya bisa dinikmati mereka yang sedang patah hati. Jadi, sudah berapa perempuan kau tiduri? Jim Morrison melantunkan puisi:

Whiskey Mystics and Men

Well I'll tell you a story of whiskey and mystics and men. And about the believers and how the whole thing began. First there were women and children obeying the moon. Then daylight brought wisdom and fever and sickness too soon.

You can try to remind me instead of the other you can. You can help to insure that we all insecure our command. If you don't give a listen, I won't try to tell your new hand. This is it, can't you see that we all have our ends in the band?

And if all of the teachers and preachers of wealth were arraigned. We could see quite a future for me in the literal sands.

And if all of the people could claim to inspect such regret. Well, we'd have no forgiveness, forgetfulness, faithful remorse. So, I tell you, I tell you, I tell you we must send away. We must try to find a new answer instead of a way.

Orang-orang di luar ribut membicarakan pesawat jatuh. Angin bertiup lembut.

Sementara kau membaca komik, aku akan menyeduh kopi dan menyiapkan setangkup roti tawar dengan selai susu coklat. Lalu aku akan menyusul membaca novel dan menghabiskan hari begitu saja. Mengenang hal itu, aku semakin tidak peduli dengan dunia dan tenggelam dalam ingatan-ingatan ketika sepenuhnya kita bisa bersama. Kau tahu apa yang bisa menyembuhkanku? Belum ada. Aku masih sekarat di sini dan usaha apapun yang dilakukan orang-orang yang katanya menyayangiku itu, hanya sedikit bisa mengalihkan perhatianku. Selebihnya, aku kembali tenggelam. Ini lebih dalam, sangat lebih dalam dari yang pernah kualami. Sulit sekali ternyata. 

Saat ini aku punya teman kecil. Namanya Ipang, usianya hampir tiga tahun. Dia yang setiap hari menemaniku menonton film dan menungguiku menuliskan ini. Betah sekali ia menonton bahkan ketika dia tidak tahu dialog dan jalan ceritanya. Film-film yang ditontonnya tertanam kuat di kepala lalu keesokan harinya akan menjadi bahan cerita menarik buat teman-teman sebayanya. Tentu saja film yang kutonton bersamanya adalah film-film yang memang layak ditonton anak-anak. Aku juga mengajarinya ekspresi terkejut yang khas kita. Dan dimarahilah aku oleh ibunya karena sudah banyak memberi pengaruh buruk.

Rasanya belum ada waktu untuk mengambil buku-bukumu dan mengembalikannya. Aku tidak tahu bagaimana kita akan mengatur harta gono gini yang tak ternilai harganya itu. Buku-buku itu kita beli atau kita print dengan mengurangi jatah makan, dengan mencari alasan untuk minta tambahan uang pada ibu-ibu kita. Di setiap buku itu, akan ada ingatan bahwa kita pernah membelinya bersama dengan segenap percakapan-percakapan bodoh yang menyertainya. Itulah yang tidak akan pernah bisa kita temukan pada siapapun, ketika kita masing-masing telah bersama orang lain. Tak ada gantinya dan bagimanakah cara kita agar sama-sama bisa saling melepaskan dengan penuh keikhlasan.

Orang-orang di kampung ini sedang suka membeli motor secara kredit. Entah disengaja atau tidak, dalam sehari ada empat orang yang motornya datang. Empat orang itupun masih memiliki hubungan keluarga. Entah dengan apa mereka akan mencicil motor itu tiap bulannya. Mungkin mereka akan pasrah kalau suatu saat tak bisa mengangsur, motor itu akan diambil kembali. Saat motor itu datang, para tetangga akan berkerumun untuk menonton.

Sedikit banyak aku belajar bagaimana orang-orang ini mengatur ekonomi rumah tangga mereka. Begitu ada uang, akan langsung dihabiskan dan saat paceklik, mereka punya keyakinan tinggi bahwa mereka tak akan kelaparan. Salah satu caranya adalah dengan berhutang.

Usaha-usaha mandiri tak begitu berkembang karena manajemen yang hancur-hancuran. Sedikit banyak pula aku tahu tentang manajemen truk pengangkut pasir dan batu. Salah satu ganjalan berkembangnya usaha adalah karena kewajiban sewa yang harus mereka bayar tiap bulan. Mereka menggunakan truk dari jalur leasing dan biaya sewanya tak sebanding dengan penghasilan. Biaya perawatan kendaraan juga cukup mahal, belum lagi ditambah dengan resiko kecelakaan yang tak bisa diprediksi, masih harus berpikir pula kalau sewaktu waktu harus setor kepada polisi karena sebagian besar sopir truk ini tak memiliki izin mengemudi. Fiuh.

Kau masih ingat bagaimana kita mengarang asal mula suatu kata? Konyol sekali bukan. Aku merindukanmu. Lewat lagu-lagu yang kausarankan untuk kudengar. Aku mendengarmu. Aku mendengar sesak napasmu di malam dan pagi hari. Aku mendengar keluh kesahmu. Aku mendengar kau yang tak bisa menerima alasan-alasan yang kubuat-buat karena tak sanggup pula kuceritakan  hal yang sebenarnya. Aku mendengar klak klik mouse dan keletak keletik jarimu dia atas keyboard. Aku mendengarmu menyeruput kopi menggunaan gelas kita. Aku mendengar semuanya. Suara-suara tentangmu begitu berisik. Maka biar kusudahi saja tulisan ini. Selamat malam.

30 Desember 2014

Kamis, 06 November 2014

Hai

Sudah sekian bulan blog tidak terisi. Sejenak aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hiruk pikuk dunia. Soal cinta jangan ditanya lagi. Tambah runyam dan menggantung tanpa keberanian untuk menyelesaikan. Soal tesis apalagi. Sama sekali belum bertambah juga itu jumlah halaman. Semuanya terbengkalai. Banyak juga cerita menarik terlewat. Mungkin karena aku terlalu jarang tertawa dan disibukkan oleh hal-hal yang tak seharusnya menyibukkan. Aku begitu sibuk tak melakukan apapun, entah menulis, entah membaca atau menonton film sekadarnya.

Sejak pertemuan terakhir denganmu, wahai teman sebelah (jabatannya sekarang sudah diturunkan kembali secara sepihak. Sudah bukan bebeb lagi), jujur aku begitu banyak merasa kehilangan. Buntu sudah menjadi kepastian. Dan sekarang apa yang bisa kulakukan dengan tidak banyak mendengar cerita-cerita darinya. Teman sebelah sibuk bekerja dan aku sibuk membayangkannya bekerja, pekerjaan maha berat, mengubah dunia. Kalaupun aku diajaknya bicara suatu hari nanti ketika kita bertemu kembali, tentu aku akan kesulitan untuk mengerti, meski setidaknyambung apapun, aku dan teman sebelah akan selalu punya sambungan untuk pembicaraan kami. Hubungan semacam ini tidak mudah didapat. Seumur hidup memang cuma ada satu teman sebelah.

Malam ini ada IDRF, hal yang membuatku akhirnya bisa ngetik lagi. Rasanya memang belum kehilangan kemampuan untuk hal-hal semacam ini. Menuangkan nggrantes lewat tulisan dan tak malu dibaca banyak orang. Beberapa hari di jogja ini serasa hidup kembali, ada kelegaan yang luar biasa meski hanya sesaat. Kangen urip gathel sama teman sebelah itu jelas. Jelas sekali rasanya ketika mengambil motor di kontrakannya, membuka kamarnya yang berdebu dan sejenak membaringkan tubuh di kasur jahanam itu. “Menggigil adalah menghafal rute menuju ibukota tubuhmu,” kubayangkan kau berbisik di telinga sambil memelukku, mengutip sebait puisi.

Siapa yang akan kuceritai tentang film-film yang kutonton atau novel-novel yang kubaca, sementara komunikasi kita semakin jarang. Aku tak pernah lagi menanyakan apakah kau sudah makan, sudah mandi, sudah gosok gigi, sedang apa, sama siapa, melakukan apa, dimana, dan segalanya. Demikian juga denganmu. Cukup rasanya memastikan bahwa kita masih sama-sama tetap bisa hidup meskipun tidak berdekatan, tidak lagi bersama. Apa yang kaubayangkan tentang diriku mungkin berbeda tapi ini memang terlalu sakit. Dan tentu saja tak bisa kuceritakan semuanya di sini. Aku memilih pergi meninggalkan dunia kita meski tak ingin. Kau tahu bagimana itu terjadi.

Hari-hari di jogja rasanya terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja di dalam kamar kost meski tidur seharian di kost rasanya lebih melegakan daripada tidur seharian di rumah. Aneh, bukan? Begitupun aku masih menjadi tahanan yang wajib lapor tentang segala sesuatu yang aku lakukan di sini. Mereka lega pula karena kau tak ada di sini. Tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Rasanya seperti tidak menjadi manusia. Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.

Tema IDRF tahun ini cukup menarik. Membaca lakon-lakon awal kemerdekaan. Hari ini ada dua lakon yang dibacakan. Lakon Usmar Ismail berjudul Liburan Seniman (1944) dan Drama Rekonstruksi Rapat BPUPKI dan PPKI oleh Muhammad Anis Ba’asyin. Sebuah lakon yang kuat akan mampu mengundang perhatian penonton meski hanya dibacakan. Liburan Seniman memang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya walau hanya dua babak yang dibacakan. Konon katanya lakon ini masuk ke periodesasi propaganda dalam rentang periode lakon Indonesia setelah periode romantis dan sebelum masuk ke periode revolusi. Wow, ada yang meneliti hal beginian ternyata. Katanya juga, lakon Usmar selalu lolos dari sensor Jepang meski di dalamnya banyak mengandung unsur propaganda.

Lakon kedua dibacakan dengan terlalu banyak guyon. Aku tak menyalahkan hal itu dan sangat menghargai model interpretasi naskah segila apapun. Tapi dalam soal ini,  aku sayang pada naskahnya, merasa kasihan pada penulisnya yang sudah susah payah merekonstruksi ulang. Dalam bayanganku malah tergambar adegan film yang merekam kejadian itu. Lengkap dengan karakter tokoh dan bangunan suasana pada masa itu.

IDRF hari kedua tampaknya tidak akan pernah kusaksikan. Aku akan kembali mengasingkan diri. Semoga setelah ini akan lebih banyak tulisan menye-menye yang muncul kembali. Menye-menye yang sangat berarti buatku. Menulis masih membuatku merasa hidup. Dan memang sekarang aku masih hidup. Kau tahu, kadang kau menjadi saluran yang menghubungkanku dengan pengetahuan-pengetahuan. Menjauhnya aku darimu sedikit banyak juga menjauhkanku dengan pengetahuan-pengetahuan. Aku tidak tahu bahwa di Blitar, ada rakyat yang baru saja mereklaim tanahnya. Dan aku masih tidak mengerti apa yang dibicarakan Bruno Latour bahwa keseluruhan itu selalu lebih kecil dari bagian-bagiannya.

Segeralah bertemu dengan perempuan yang mengenal Arthur Rimbaud. Mungkin aku akan merasa lebih baik kalau kau yang jahat padaku, bukan sebaliknya. Kumpulan puisi Mira Sato kau tinggal di kontrakan rupanya. Padahal aku ingin kau membacanya di saat-saat buntu dengan tetek bengek teori, jurnal, dan pekerjaanmu. Salam buat teman-temanmu di sana. Semoga usaha kalian mengubah dunia tidak akan sia-sia, setidaknya akan ada malaikat yang mencatat kebaikan kalian semua demi cita-cita luhur kalian itu. Amin.  



Kamar Kost, 6 November 2014

Senin, 02 Juni 2014

Nge-Float

Aku tidak tahu apa jadinya kalau seusai menonton Float aku jadi menginap di kontrakanmu. Betapa nggrantesnya. Mereka memang keren, tidak perlu dipertanyakan lagi. Selama ini aku mendengarkan Float sebagai musik kamar, sambil mengingat-ingat setiap "Tiga Hari Untuk Selamanya" yang pernah kita alami beberapa kali. Dan ketika menyaksikan live-nya, wow.... Di lagu terakhir, senar gitar mas mas berkaos Jew Tube itu sempat putus, tapi mereka tetap kembali, membawakan satu lagu lagi karena penonton tak mau bubar setelah Surrender selesai dinyanyikan. Padahal, lagu itu menjadi semacam klimaks sebelum akhirnya harus diakhiri dengan Too Much This Way.  
























Konser-konser yang kusaksikan belakangan hanya menjadi semacam acara senang-senang yang tak menyenangkan. Melayang-layang lalu jatuh dengan kerasnya: mak gedebuk. Lara, cuk... ngerti gak sih kowe kuwi? yo ngerti sih, tapi piye meneh.

Kene nyedhak kene, tak dongengi. Jaman mbiyen ana mbok rondho ndhandhapan nduwe anak papat. Jenenge: Kado, Tengeng, Rawis karo Sabar. Mbareng segone wis mateng, anake papat sing lagi dolanan ning latar njuk diceluk kon mangan. Ben praktis, lek nyeluk anake mau nganggo disingkat: do..ngeng..wis..bar.. Wis yo, muah..muah.. 

Sabtu, 31 Mei 2014

Jalan Buntu, Gang Guanjiwa

Meskipun efeknya hanya bertahan sepanjang jalan pulang ke kostan, aku cukup menyukai malam ini. Rekor pertunjukan musik yang berefek paling lama buatku tetap dipegang Melbi. Sebagai pembuka, malam ini Jambul bikin meleleh. Terutama untuk lagu 69 di 98 sama Kota yang Tak Pernah Bermimpi. Sayang sekali tidak ada Mas Ipang dan Bung Arie O. Padahal dulu katanya mereka mau launching album juga. Kapan jadinya??? Huaaaa... lagu itu bikin sedih. Ini bukan karena tidak ada yang bisa diajak ber-69. Haha. Di sana, orang berbagi kesedihan, kesepian, kerinduan, kenangan, bicara kota, tapi aku kembali seperti kehilangan diri ketika masuk kamar. Sriinggg... semacam ada yang merenggutku lalu menimpuki dadaku. Rasanya sesak.

Sebagai sebuah pertunjukan musik, Menyusuri Jalan Pulang bisa dibilang berhasil. Konsepnya jelas, dari tata panggung hingga nomor lagu yang dibawakan. Lagu baru mereka cukup lumayan. Beberapa lagu dengan bit cepat mengingatkan kembali pada musik-musik Dewa 19. Aku tak tahu banyak soal musik jadi tak banyak pula yang bisa kukatakan. Aku suka isian gitar sama efeknya Damar. Begitulah.


Hai Mas..

Persiapan Seorang Aktor



Nguing...Nguing...










Ada yang terlupa. Sebenarnya tadi Jambul mainnya sama mas-mas satu lagi, tapi ternyata di kamera tidak ada fotonya.

Dan selarut ini kau masih berdiskusi tingkat dewa dengan para dewa nun jauh di sana. Bikin tambah sedih. T_T

Kamis, 29 Mei 2014

Buntu

Okay. Aku akan menulis kalau kamu balik. Okay. Kamu akan balik kalau aku menulis. Terus ini ketemunya di mana? Setiap hari aku membuka folder sialan itu dan tak lama kemudian menutupnya kembali. Dari seratus menit paket telepon yang gantian kita pasang tiap malam, berapa menit habis sudah untuk membahas persoalan menulis dan mengumpati kemacetan kota brengsek yang sekarang kau tinggali. Dan mas mu yang satu itu sungguh-sungguh menunjukkan perhatian terhadap nasib kita berdua. Beberapa kali dia mengirim pesan pendek secara tiba-tiba, selalu menanyakanmu juga.

Sebagian besar sudah kuceritakan padamu apa saja yang kulakukan kemarin. Aku menonton mas mas yang genjrang genjreng main gitar klasik. Suara gitarnya bersaing dengan orkes keriut kursi penonton. Sering sekali penonton memperbaiki duduknya, barangkali bosan, barangkali mengantuk. Komposisi-komposisi yang dimainkannya terasa lamaaaaaa sekali. Mas mas itu bermain gitar seperti tak mengeluarkan tenaga. Jari-jarinya panjang, bergerak dengan indah.

Dan aku teringat kamu. Kau bermain gitar dengan jari-jarimu yang mudah basah. Mas mas di panggung itu berubah menjadi kau. Karena terlalu rapatnya not dan mungkin tingkat kesulitan dari sonata-sonata yang kau bawakan terlalu tinggi, jari-jarimu menjadi terlalu basah. Sangat basah. Keringat mengucur dari ujung jari-jarimu. Benar-benar mengucur seperti air mancur, bercipratan kemana-mana, membasahi panggung, mengguyur muka penonton yang duduk tenang di barisan depan. Tapi kau sangat menikmati permainanmu, sedikit menggoyang kepala ketika memainkan nada dengan tekanan tertentu. Matamu sesekali terpejam ketika memainkan bagian dengan petikan lembut, membukanya kembali saat harus memetik dengan sedikit keras, lalu kau mengakhiri permainanmu. Kau berdiri sambil memegang gitarmu, membungkuk sedikit memberi hormat pada penonton, lalu melangkah mundur dan sedikit membungkuk sekali lagi. Tepuk tangan terdengar begitu meriah. Para penonton sangat menyukai kucuran keringat yang memancar dari jarimu itu. Rasanya asin-asin segar mirip minumam isotonik bermerk keringat. Adegan seperti itulah yang kulihat ketika sekian detik aku tak bisa menahan kantuk.  

Mungkin aku terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini. Jarang sekali aku berbicara dengan orang. Hidupku seperti fiksi. Juga ketika kemarin aku datang ke sebuah acara bedah novel Kelir Slindet. Ada banyak kesamaan-kesamaan yang kutemukan dari apa yang kubaca akhir-akhir ini dan memang begitulah yang dikatakan oleh pembicaranya. Pak Profesor menemukan bahwa novel itu penuh situasi paradoksal, bergaya mozaik, seperti kolase, menyelaraskan tradisionalisme dan modernisme. Novel itu, katanya adalah pemberontakan penulis yang diproyeksikan lewat tokoh-tokohnya.

Pembicara satunya lagi adalah orang yang sedang menulis ensiklopedia fiksi Indonesia. Dia banyak cerita soal tokoh-tokoh dalam novel itu. Novel itu sangat mirip dengan Ronggeng Dukuh Paruk, basis ceritanya menyangkut musik yang hidup di masyarakat. Caranya menggambarkan latar juga mirip, banyak menggarap soal kuburan, melibatkan roh yang masuk ke tubuh penari, tokoh utamanya perempuan, dan mungkin masih banyak kesamaan lain. Ada semacam kecenderungan yang sama dalam penulisan novel-novel berlatar agraris. Selain Ronggeng Dukuh Paruk, Pak Profesor juga menyebutkan beberapa kesamaan dengan Jatisaba.

Peruangan dalam novel dibangun atas kontradiksi yang terus bekerja. Ini bisa dilihat dari kata kunci yang muncul dari novel ini: tarling dangdut, kasidah, musholah, warung remang-remang, haji, telembuk/lonte, ustadz, pemabuk, intip, dakwah, judi, madrasah, TKW, Indramayu. Soal intip mengintip ini juga muncul di novel terbaru Eka Kurniawan. Sama-sama jadi adegan pembuka.  Dulu, PKI tak pernah menang di Indramayu meskipun menggarap soal-soal telembuk dan semacamnya itu.

Karena sudah dibahas sedemikian rupa, aku tak jadi membeli novelnya. Pengarangnya cerita juga soal proses kreatifnya. Novel itu sebenarnya hanya sepertiga bagian dari keseluruhan novel yang ditulis setebal kira-kira 750 halaman. Penerbit baru bersedia menerbitkan yang sepertiga itu atas alasan pemasaran dan sebagainya. Itupun sudah banyak dipotong, adegan coli sambil liat penyanyi tarling dangdut misalnya.

Entahlah, meskipun dibilang itu berdasarkan observasi langsung di kampungnya sendiri, bersifat etnografis, atau apapun sebutannya sama sekali tidak menarik minatku. Tawaran apakah yang diberikan novel itu? Model cerita penuh paradoks itukah? Kontras antara Haji, Bos Walet, telembuk dan pemabuk itukah? Lawas. Hmmm... sayangnya aku tidak mengerti soal kritik sastra. Tapi aku suka ada yang menulis tentang Indramayu, geografis dan budayanya tentu menarik. Okay Mas, istrimu cantik. Aku liat akting kalian di Mata Tertutup.

Dangdut pantura memang lagi tren sekarang, apalagi banyak yang bahas soal kultural kultural studisan, menyebut panggung dangdut Indramayu sebagai kenyataan hibrida. Asyek... Pertunjukan tarling (yang mungkn lebih klasik) seringkali diselipi pula dengan drama. Bahasanya dan ceritanya cukup menarik untuk dilihat lebih jauh. Kalau awalnya dari tarling begitu, terus sekarang yang banyak dikenal adalah dangdut pantura seperti Monata atau OM Sera, itu pergeserannya, jenisnya yang lain, atau percabangannya atau bagaimanakah? Kalau dari tonalitas, terdengar jelas ada percamuran Sunda dan Jawa, agak berbeda dengan dangdut. Ah, banyak pertanyaan mulai menggantung-gantung meskipun aku sudah mencoba tak mempedulikannya. Ini masih belum ngomong panggung. Dari fisiknya misalnya, dari yang cuma gelaran tikar hingga panggung dengan kubah melengkung di atasnya. Ah, tapi ini mau sampai di mana? Rasa-rasanya potret yang kuperoleh hanya permukaan, bahkan belum bisa disebut sebagai permukaan, begitu banyak label bertebaran.

Aku tak punya bayangan soal tarling. Jadinya ya buka Youtube meski cuma serampangan:

atau


Dengerin juga dramanya meskipun gak ngerti bahasanya:

Dan ini salah satu panggungnya:

Melihat-lihat semua itu, serasa banyak hal yang campur baur dan memang tidak nyambung. Tapi ya buat apa aku mencarinya lebih jauh. Aku jadi ingat Tubuh Ketiga meskipun pilihan visualisasi atas hasil riset mereka di Indramayu sedikit janggal. Sudahlah. Cukup.


Kamar Kost, 29 Mei 2014


Senin, 19 Mei 2014

Semacam Emboh

Aku ini gampang sekali ditebak. Tulisan yang muncul di blog ini sebagian besar adalah tulisan galau. Kalau tidak ada tulisan, berarti aku sedang tidak galau, kawan. Sungguh kasihan bukan?

Kau tau apa jawaban Paijem ketika ditanya apa yang akan dilakukan setelah pesta pernikahannya? Bukan bulan madu, bukan mencari rumah baru, tapi membayar hutang. Paijem, perempuan sabahabatku itu akan menanggung sendiri seluruh biaya pernikahannya,  empat bulan lagi. Kau bisa bayangkan sepasang pengantin yang biasanya tak perlu banyak mengurus tetek bengek berbiaya, harus berpikir keras untuk tidak membuat malu keluarga di hadapan orang. Pernikahan memang tak hanya bisa diselesaikan ketika dua orang bersepakat untuk menjalani hidup bersama selamanya. Kau akan diributkan dengan urusan kadar kepantasan pesta. Semiskin-miskinnya dirimu, orang-orang itu tetap mengharapkan makanan yang layak di hari pernikahanmu. Tapi aku tak hendak memikirkannya. Rasanya cukup muskil untuk kita.

Masa depan macam apakah yang sudah nyata-nyata bisa ditebak seperti itu? Seperti kalau orang bertanya padaku apa rencanaku setelah lulus, maka dengan berat aku akan menjawab: berusaha mencri cara agar bisa putus denganmu. Masa depan semacam itu bukan masa depan. Itu hanya kenyataan yang kebetulan ada di waktu yang bukan sekarang atau masa lalu. Sejauh mana pula orang akan berharap pada masa depan yang tak tertebak itu, yang kalau kata orang di sebuah film diistilahkannya dengan l’avenir[i]. Kau pernah menonton TiMer[ii]? Film bodoh itu bahkan sudah mengkhayalkan berapa lama orang bisa menemukan belahan jiwanya dengan menanam alat semacam countdown timer di pergelangan tangan. Alat itu akan berbunyi ketika kau bertatapan dengan belahan jiwamu. Cerita film lalu dihias dengan beberapa kebohongan, serta konsekuensi-konsekuensi hubungan percintaan yang muncul gara-gara alat aneh itu. Lucu sekali bukan? Ketika semua hal sudah bisa diprediksi, dijadwalkan, direncanakan, ah, manusia tidak akan mengenal lagi kejutan.
  
Kau tahu, aku menangis menonton Scenes From a Marriage[iii]. Aku tak bisa membayangkan bisa serasional orang-orang itu. Aku selalu kesulitan menjelaskan apa yang kurasakan, seperti kehilangan semua majas yang mungkin diciptakan manusia untuk mengungkapkan permisalan-permisalan. Bayangkan seorang suami yang tiba-tiba meninggalkan istrinya, lalu mereka bertemu lagi beberapa tahun kemudian, menjadi sama-sama dewasa dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Ah, kau memang harus menontonnya sendiri dan mulailah membayangkan aku yang menangis menonton film itu sambil mengumpat-umpat: Jancuk!

Tampaknya aku terlalu banyak menonton film-film yang tak kutahu lagi juntrungnya. Jarang sekali sekarang aku bisa menemukan film yang bisa kutonton sampai habis tanpa memencet keyboard bergambar panah ke kanan untuk mempercepat jalannya. Begitulah kuhabiskan waktu dan ini benar-benar gawat. Selalu ada kegelisahan yang tak bisa disembuhkan dengan menonton film atau membacai novel. Aku sudah tahu kenapa, tentu karena aku tak melakukan apa yang harus kulakukan. Aku tidak memaksa diriku hingga membentur dinding. Padahal dinding-dinding sudah demikian menghimpit. Ketika sudah membuka folder sialan itu, aku merasa begitu muak, dengan segera meng-klik tanda silang berwarna merah di pojok kanan layar laptop. Berapa banyak orang menasihati dan menyemangatiku, tapi entahlah. Bukan berarti aku tak menghargai perhatian mereka. Betapa bebal otak ini!

Beginilah, kalau kau ingin tahu apa yang kulakukan setelah kau pergi ke kota brengsek itu. Aku membiarkan waktu lewat begitu saja. Orang macam apa yang seolah-olah membiarkan waktu lewat di depannya, bahkan hampir menganggapnya tak ada. Aku hidup dari suara adzan ke suara adzan, antara makan, tidur dan berak. Betapa menyedihkan. Keadaan ini semakin melarat-larat, berlarut-larut dan aku tak bisa menghancurkan kurungan kebosanan pasif ini.

Mari sedikit melompat, kalau kau bandingkan cara orang bercerita, mungkin ini tak bisa dibandingkan, tapi cobalah kau tengok Tart di Bulan Hujan[iv] dan Surga Sungsang[v]. Yang pertama adalah kumpulan cerpen sedangkan yang disebut kedua adalah novel pendek yang pada awalnya aku sangka pula sebagai kumpulan cerpen yang disatukan. Sebut saja keduanya mencoba mengungkap absurditas manusia dan dunianya meski dengan cara yang sama sekali berbeda. Aku cukup suka keduanya. Bagiku cara bercerita bukan menjadi pokok persoalan. Entah apakah Surga Sungsang itu mampu mengambil alur dari Murakami, menggabungkannya dengan Lukisan Neraka Akutagawa lalu membuat latar mirip yang mirip dengan Seratus Tahun Kesunyian, dengan bumbu imajinasi surealis yang membuat otakku membayangkan bentuk-bentuk aneh dari gambaran itu, bagiku sungguh tak ada masalah. Memang tak ada yang benar-benar baru di permukaan bumi. Lain dengan Tart di Bulan Hujan yang menyuguhkan cerita-cerita ringan, dengan tokoh-tokoh tahun 80-an yang mungkin terasa berjarak untuk dibaca hari ini. Kadang kau bisa mengerutkan dahi di akhir cerita atau sekadar tersenyum kecut saja.

Tambera[vi]. Ya, Tambera. Bagi sebagain orang mungkin cerita itu tak beda jauh dengan kisah Hanafi yang mencintai Corrie. Tambera mencintai Clara. Meski sedikit beda konteksnya, tetap cuma Minke yang bisa menikahi Annelies. Lain kali akan kutuliskan kisah itu secara terpisah.

Rasanya tak ada yang menyenangkan kecuali membaca novel sambil leyeh-leyeh di sofa. Begitulah kebanyakan novel-novel abad ke-19 diciptakan untuk membuat orang bersantai. Sekarang? Entahlah saya masih membaca sendirian. Kesel tenan padahal tak berpikir apapun. Mungkin kalau kau kembali ke kota ini, aku sudah tidak mengerti lagi apa yang kau bicarakan. Bacaanmu sudah tingkat dewa begitu, lokal-global begitu. Wuah, kamu keren sekali pasti. Dan barangkali kau akan menjumpaiku menjelma perempuan biasa-biasa saja, dengan legging bunga-bunga, yang sudah melupakan semua bacaan dan hanya suka menonton film yang sedang tayang di bioskop. Saat itu, kau dengan yakin akan mulai menjauh, kembali ke kota brengsek itu. Seperti itukah cara membuatmu meninggalkanku.   

Arrrrrggghhh...... Aku tak bisa menghubungimu. Frustasi sekali kalau begini. Kota itu, dan saudara Y yang terhormat memang brengsek sekali. Lebay, ah. Embohlah.

Kamar Kost, 19 Mei 2014




[i] Film yang dimaksud adalah sebuah dokumenter berjudul Derrida (2002), disutradarai oleh Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman. Istilah tersebut dipakai sekenanya dalam tulisan ini.
[ii] Disutradarai oleh Jac Schaeffer, rilis pada tahun 2009.
[iii] Film yang disutradarai Ingmar Bergman. Film ini ditayangkan dalam bentuk mini seri televisi dan versi film panjangnya dirilis tahun 1974. Kalau kau lihat trivia di IMDb, setelah film ini tayang di Swedia, kasus perceraian meningkat tajam dan jumlah pasangan yang menggunakan jasa konsultan pernikahan meningkat pula dua kali lipat.
[iv] Kumpulan cerpen Bakdi Soemanto, Jakarta: Penerbit Buku Kompas (2014).
[v] Buku cerita Triyanto Triwikromo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (2014).
[vi] Novel karya Utuy Tatang Sontani, Jakarta: Balai Pustaka (2002). 

Jumat, 09 Mei 2014

Karena Aku Tak Lebih Pintar Dari Tembok

Orang yang lebih pintar daripada tembok tentu saja tak akan menulis hal semacam ini. Fak! Sudah tanggal sembilan saja sementara halaman tesis tak kunjung bertambah. Bulan kemarin sudah tak nulis di blog. Sekarang malah isinya cuma kepengen mengumpat saja.

Kau tahu, pagi tadi ada orang ngomongin identitas, desertasinya tentang orang Dayak. Semua yang datang ke acara itu mendapat buku. Kertas bukunya bagus, dari jenis yang mengkilat dan licin itu. Kau tahu, lebih dari separuh isinya adalah deskripsi wilayah penelitian: luas wilayah, jumah penduduk. Bukan berarti itu tak penting, apalagi penelitiannya dilakukan di lima Kabupaten. Konon katanya, orang Dayak yang sudah mengalami marginalisasi sekian tahun lamanya sejak jaman Belanda mulai bangkit karena terpilihnya seorang gubernur dari orang Dayak. Tapi ibu itu tak bisa menjelaskan kenapa si gubernur bisa menang dengan lonjakan suara yang cukup signifikan di hari menjelang pemilihan. Orang yang diwawancara sebagian besar birokrat sementara tokoh masyarakat cuma beberapa orang saja. Hal yang kecil-kecil jadi tak kelihatan. Ah, tapi aku ini tahu apa. Desertasi itu sudah diujikan dihadapan sembilan orang profesor dan tak diragukan lagi kesahihannya, bisa dipertanggungjawabkan kadar keilmiahannya. Salamku buat ibu-ibu penulis desertasi itu. Penampilannya sungguh sangat dharma wanita sekali.

Malam ini tak ada yang bisa kupikirkan dengan jernih. Membaca Percikan Revolusinya Pram membuatku merasa murung, tercenung lama sekali. Beralih ke 1Q84 Murakami juga tidak bisa memperbaiki pikiranku yang kacau. Kenapa bisa kacau? Barangkali karena kurang dipakai untuk berpikir. Semua kejadian begitu cepat dan lewat-lewat begitu saja tanpa bekas berarti. Alasan-alasan untuk tak segera menulis tesis semakin tak bisa kutemui dan aku tak selamanya bisa lari. Katamu, sudah cukup kita bahagia. Sudah saatnya kita membahagiakan para Ibu yang bersedih dan khawatir cukup lama.

Lalu akupun teringat Huzun. Seorang kawan memberikan film pendek itu dengan catatan kaki: proses penyuntingannya belum selesai. Di tengah film masih ada suara kamera jeprat jepret dan mixingnya juga belum dilakukan dengan sempurna. Awalnya aku tak tahu apa artinya Huzun. Mesin pencari menautkan kata itu dengan bagaimana Orhan Pamuk menggambarkan Istanbul yang diungkapkan dengan adegan seorang anak kecil yang membuka jendela dan melihat kota. Huzun punya akar kata yang sedikit berbeda dengan penggunaannya sekarang. Dulunya lebih menggambarkan sesuatu yang transendental, melibatkan manusia dengan tuhannya. Sekarang, Huzun barangkali dekat dengan melankolia. Aku tak tahu lebih banyak lagi.

Teguh Hari, sutradara film itu membawa Huzun ke wilayah personal, tentang seorang pria yang ditinggal mati istrinya. Kritikus film yang keren-keren mungkin bisa bicara banyak tentang film ini. Soal keterbelahan manusia, keterasingan yang disembunyikan di wilayah paling dalam. Kemurungan yang membabi buta dan berujung pada kegilaan, atau apapunlah istilahnya.

Catatan saya sederhana. Film ini seperti tak kuat menanggung beban berat dari judul yang dipanggulnya. Film ini gak Huzun banget deh. Ekspetasi orang menonton film pendek tentu berbeda dengan menonton film panjang. Lewat durasinya itu, film pendek dituntut untuk menyajikan gambaran peristiwa maupun cerita dengan kuat. Orang mengharapkan kejutan atau sesuatu yang menohok dalam momentum yang pas. Dan karena durasinya itu pula penonton bisa lebih detail memperhatikan dan menangkap kesan. Tidak ada persoalan dengan visualisasi ide. Orang yang ditinggal mati istri yang sangat dicintainya, yang baru 13 tahun menikah memang bisa berkelakuan seperti itu, menciumi baju-bajunya atau menciptakan percakapan imajiner seolah-olah istrinya masih ada. Tapi pilihan untuk bertumpu pada satu aktor ini cukup beresiko, bahkan fatal ketika si aktor gagal membangun suasana.

Narasi dalam film inipun janggal. Unsur puitiknya terkesan dipaksakan. Saya tak bisa membayangkan pasangan suami istri berbicara dengan nada seperti itu. Maka bukan melankolia yang bisa ditangkap ketika menonton film ini melainkan seorang mas-mas yang membuatku bertanya, “Mas-mase iki gak pa pa ta?”.

Saat acara makan malam imajiner, mas mas pemain film ini mengenangkan adegan ciuman pertama mereka di sebuah rumah sakit ketika menunggui teman mereka yang sakit. Narasi pada bagian ini terasa genit sekali. Bahwa ciuman itu rasanya seperti pulang ke rumah setelah lelah mencari arah. Aku tak bisa membayangkan metafor ini. Lain kali mungkin aku akan berciuman sambil memikirkan kalimat tersebut. Kalimat berikutnya juga menampilkan perbandingan sesuatu yang seolah bertolak belakang, “entah mana yang lebih keras, debar jantung kita atau kesunyian malam.” Itu juga kalau aku tak salah dengar.

Cukup sudah dengan Huzun. Aku masih tak mengerti apakah ikan di film itu sebenarnya mati atau hidup. Setelah si aktor meletakkan sepatu di atas televisi, jam menunjukkan pukul setengah sebelas lebih sedikit, telepon genggam tergeletak di atas meja lalu terlihat seekor ikan mengambang, jatuh perlahan ke dasar toples yang menampungnya. Di tengah film, ikan itu sempat terlihat hidup dan di akhir film diperlihatkan bahwa ikan itu mati. Mungkin memang kematian si istri ingin digambarkan akan terus dihidupi oleh si suami, yang kebetulan Islam dan punya tradisi berkirim doa atau selamatan setelah tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, dan seterusnya, atau dengan terus menghidupkannya lewat benda-benda peninggalan sang istri, misalnya dengan mengajak berdansa atau mengajak bicara baju istrinya yang disampirkan pada sandaran kursi. Hmmm. Usaha untuk menampilkan sense puitik ketimbang depresi yang terus menggerogoti manusia memang patut di hargai tapi ya itu, film ini kurang huzun (sebagai sebuah konsep dalam bayanganku). 

Film Ifa Isfansyah yang berjudul Mayar (2003) juga tak terlalu berkesan. Aku nggak ngerti dia ini mau ngomong apa. Bahwa hidup manusia memang serba tak jelas, bahwa Jogja itu tak lebih baik dari Jakarta, mencampurkan urusan cinta dengan politik menjelang pilihan kepala desa, antara gambar petai dan cabe. Hufff. Aku memang payah. Seolah-olah hanya mau bilang kalau film yang aku tonton belakangan ini elek kabeh gara-gara tesis yang tak kunjung ditulis. Sungguh tak adil memang. Tapi ini cuma tulisan orang yang tak lebih pintar dari tembok. Ah, tapi tidak. Film Sugiharti Halim (2008) karya Ariani Darmawan cukup lumayan kok. Gambar dan pesannya sederhana. Tak terlalu ruwet dan terasa pas dengan durasinya. Setidaknya itu film-film pendek yang aku tonton belakangan. Film-film pendek baru entah bisa didapat dimana. Orang-orang itu sudah jauh sekali berlari. Aku masih membusuk di sini. 

Rasanya ingin sekali ikut kelas menulis kritik film. Biar bisa bener kalau nulis. Gak cuma ngasal dan tergantung mood macam begini. Keingingan tinggal keinginan. Kurang niat sebenarnya. "Alah, ngomong thok, ngomong seng, duduk blek," Kata semut yang nyelonong lewat. Aku mau cerita lebih banyak tapi males ngetik. "Yaelah mbak, molas males ae, durung males urip toh? Mbake kurang piknik nih. Ahihihihihi....," tiba-tiba ada suara Bernard Bear yang muncul dari gambar di atas meja laptop di kontrakan Indra, suara tawanya masih terngiang sampai sekarang. Ahihihihihi... Dasar beruang sialan!

Kamar Kost, 9 Mei 2014

Jumat, 07 Maret 2014

Haihai...

Hai semua, apa kabar? Pembaca blog ini memang tidak banyak. Tapi saya cukup senang punya pembaca setia yang mungkin hanya ada satu atau dua orang saja. Kalau dilihat statistiknya, sejak tahun 2008 saya posting tulisan, baru sekitar 36.000 orang yang pernah membuka blog ini, tentu saja saya tidak masuk hitungan. Satu tulisan rata-rata bisa dibaca belasan hingga ratusan orang. Tugas-tugas kuliah saya zaman dulu seringkali terlihat punya lebih banyak pembaca daripada tulisan curhat nan geje. Ah, tapi angka-angka ini tak begitu penting. Tulisan-tulisan saya juga tidak begitu penting isinya. Termasuk juga yang ini.

Saya selalu punya alasan untuk tidak segera mengerjakan hal yang seharusnya dikerjakan. Alasan yang dibuat-buat hingga membuat banyak orang disekitar saya jadi sumpek melihat saya begini. Mungkin karena saya juga tak segera berani untuk memcoba. Padahal ada banyak orang yang sedang menunggu. Saya pun sudah menunggu sekian lama. Ah, tambah tidak jelas saja.

Baru saja saya ketemu Paijem, teman saya yang mungkin sudah beberapa kali muncul dalam blog ini. Dia lagi galau. Dari hari ke hari dia merasa tambah bodoh saja. Sama halnya dengan saya, dia juga sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan. Sekarang dia kerja di spa setelah sebelumnya tak betah jadi asisten manager sebuah perusahaan ritel. Seringkali saya mendengar kegalauannya. Kalau masalah galau hatinya mungkin tidak akan saya ceritakan di sini. Yang dia ceritakan tadi adalah kegalauan bahwa ilmu yang didapatnya selama empat tahun kuliah seperti menguap tak berbekas. Seringkali dia terkejut ketika mendengar bahasa atau istilah ilmiah, lalu beberapa detik kemudian baru menyadari bahwa dulu dia jelas tahu dan mempelajari hal itu.

Paijem itu pinter lho (pujian ini bukan karena dia sudah mentraktir saya makan bakso dan segelas es teh). IPK-nya lebih dari 3,5. Sejak SMP hingga SMA juga dia sudah pinter. Kalau tak sengaja ketemu teman-teman sekolahnya, yang sekarang rata-rata sudah sukses dan sudah kemana mana, Paijem kadang mikir juga, nasib orang memang lain-lain, dulunya begini sekarang bisa begitu. Beberapa waktu lalu dia mengirimi saya pesan pendek berbunyi begini: “Wanita jeruk purut. Malam sunyi jadi selimut. Layar laptop sesungguhnya mulai bersungut. Capai ia diajaknya begadang hingga larut. Wanita jeruk purut. Dalam dunianya dia larut.” Hahaha... Si Paijem itu tentu sudah membaca tulisan saya yang gak mutu tentang Pemuda Jeruk Keprok.

Malam ini Paijem bercerita tentang wawancaranya di sebuah perguruan tinggi swasta untuk posisi peneliti. Betapa bolong pikirannya ketika ditanyai apa kira-kira sambungan ilmu yang sudah pernah ia pelajari dengan teologi. Bahkan Paijem sendiri tidak ingat menjawab apa. Mungkin dia bisa menjelaskan kepada orang biasa seperti saya, tapi tidak dihadapan seorang romo yang sudah tujuh tahun belajar tentang Islam di Mesir. Ia lalu ditanya tentang skripsinya. Bolonglah lagi pikiranya, hampir dia tak ingat apa kesimpulan dari skripsi kerennya tentang Muslim Tionghoa di Yogyakarta. Paijem ingin membaca lagi, menulis lagi dan itu yang saya suka darinya.

Tak butuh banyak rencana, saya dan Paijem bisa menonton film di LIP malam ini. Sebuah film berjudul The Girl on the Train (2009) yang disutradarai oleh Andre Techine. Komentar Paijem tentang film itu singkat saja, bahwa dia ndak ngerti. Dan mungkin memang begitu. Film itu terlalu riuh berkisah tapi tidak meletakkan fondasi yang kuat di dasar ceritanya. Ada banyak ide disampirkan dan berseliweran namun terkesan tidak tuntas.

Film itu bercerita tentang seorang gadis pencari kerja. Ibunya mendorongnya untuk menjadi sekretaris di sebuah firma hukum milik kawan bapaknya. Si gadis tiba-tiba bertemu dengan seorang pemuda. Tak lama kemudian, si pemuda mendekam di penjara karena berurusan dengan obat terlarang. Situasi demikian membuat si gadis menciptakan kebohongan bahwa pada suatu hari ia diserang oleh kelompok anti semit di kereta hanya karena ia membawa kartu nama pengacara Yahudi kenalan bapaknya. Media membuat ulah gadis itu jadi berita penting dan besar sampai-sampai presiden ikut berkomentar. Dampak dari ulah di gadis ini tidak dikembangkan. Alur cerita justru berbelok ke arah lain. Penonton jadi dibuat menunggu-nunggu kelanjutan cerita yang berakhir dengan datar saja. Si gadis mengaku dan berkat bantuan si pengacara, ia mendapat keringanan dari hukuman penjara dan denda akibat perbuatannya.

Karakter gadis yang menciptakan kebohongan publik itu tidak dieksplorasi secara mendalam. Film ini tampaknya tak terlalu tertarik untuk menjelaskan sesuatu dengan detail, padahal sisi psikologis tokoh utama sebenarnya sangat menarik. Penonton kelelahan mencerna semua yang dimasukkan dalam cerita: tentang keluarga si pengacara, seorang ibu yang mendorong terlalu keras kepada anaknya untuk sebuah pekerjaan, isu anti semit, sebuah upacara bar mitzvah, hubungan si gadis dan cucu laki-laki pengacara, semua terasa terlalu kompleks dan besar. Saya belum melihat film Techine yang lain sehingga tak tahu juga seperti apa kekhasan dan kecenderungan sutradara ini. Acara menonton diakhiri dengan menggigit biskuit yang cuma nyangkut di sela gigi.

Setelah menonton film, saya melanjutkan percakapan dengan paijem sambil makan bakso. Beberapa kali Paijem menghubungi kekasihnya yang mungkin sudah akan pulang kerja. Tak ada yang mengangkat telepon di seberang sana. Di layar hape Paijem tampak foto kekasihnya itu. Paijem berkata kalau dia suka mengganti-ganti foto pacarnya itu sesuai dengan moodnya. Kami berbincang tentang hal-hal remeh, menggosipkan orang-orang terdekat kami, soal hati, nasib, dan entah apalagi. Paijem mau menikah sebentar lagi. Katanya lagi, susah nyari cincin karena jari pacarnya lebih kecil dari jarinya yang njemblek-njemblek itu. Model yang tak disukai terpaksa dibeli dan siap dijual lagi kalau ada keperluan mendadak. Fiuh.

Sekian salam dan sapa saya, khususnya buat para pembaca tercinta yang mungkin cuma satu atau dua orang saja.


Kamar Kost, 6 Maret 2014 

Sabtu, 22 Februari 2014

You Ain’t Seen Nothing Yet: Pertunjukan Ulang “Eurydice” dalam Citra Sinematik Alain Resnais

Saya mendengar nama Jean Anouilh pertama kali dari naskah teaternya berjudul Thieves’ Carnival yang diterjemahkan Asrul Sani. Dan beberapa waktu yang lalu saya kembali menemukan naskahnya yang lain berjudul Eurydice menjadi bagian dari film Alain Resnais: You Aint’t Seen Nothing Yet. Film ini menarik bagi saya karena bisa mendengar naskah Anouilh diucapkan dengan bahasa aslinya. Aktifitas menulis naskah menemukan realisasinya dalam pertunjukan dan pertunjukan menemukan dirinya lewat kehadiran penonton, sementara penonton juga bukan ujung akhir dari rangkaian tersebut melainkan menjadi awal dari suatu proses resiprokal yang terus berkesinambungan. Demikian halnya dengan Resnais yang melihat naskah tersebut dipentaskan kemudian menciptakannya kembali dalam filmnya kali ini.

Eurydice ditampilkan sebagai subjek cerita dimana narasi film hanya menjadi pembungkus yang menonjol di bagian awal dan akhir. Anouilh menulis naskah tersebut pada awal 1940-an ketika Jerman menduduki Prancis. Sebuah kisah tragis yang bernada pesimis memang. Begitu dekatnya cinta dan kematian yang ternyata hanya dibedakan oleh satu huruf vokal saja: l'amour dan la mort. Tahun 1950, Jean Cocteau membuat film berdasarkan mitos serupa. Namun, ia hanya menggunakan mitos tersebut untuk mengungkapkan perangkat simbolnya sendiri. Lewat kamera dan lingkupnya, penonton diajak menembus cermin Cocteau sebagai pintu menuju dunia kematian, sebuah adegan dan simbol yang bisa dimaknai apapun. Lantas apa yang menarik dari Resnais?

Resnais selalu memiliki perlakuan unik terhadap teks sastra sebagai salah satu bagian dasar dari filmnya, termasuk naskah drama. Setelah Hiroshima Mon Amour (1959), karena saya belum sempat menikmati film-film Resnais yang dibuat belakangan, saya menantikan film-film serupa yang tidak hanya melakukan adaptasi terhadap karya sastra tetapi juga menambahkan citraan-citraan baru di dalamnya. Tak terkecuali dengan film ini, Resnais menunjukkan bagaimana gambar-gambar diproduksi dengan rangkaian teks sastra di kepala. Dalam tujuh dekade karirnya, Resnais masih setia bermain-main di wilayah ingatan manusia yang kali ini melibatkan sebuah nasakah drama dan ingatan para aktornya.

You Ain’t Seen Nothing Yet diawali dengan rangkaian adegan paralel yang dipercepat. Para aktor diminta berkumpul di sebuah rumah untuk mendengarkan pesan terakhir dari sahabat sekaligus orang yang pernah menyutradarai pertunjukan teater mereka. Di rumah besar itu, orang yang dikabarkan telah meninggal tersebut muncul dalam rekaman video dan meminta para aktor untuk menyaksikan pertunjukan ulang Eurydice yang dulu pernah mereka perankan. Dari sinilah lapis-lapis struktur dalam film ini mulai dimainkan.

Naskah Eurydice ditulis Anouilh dengan menulis kembali mitos Orpheus yang digambarkannya sebagai seorang pemain violin di restoran pinggir stasiun, sementara Eurydice sebagai salah satu aktris kelompok teater. Lapis pertama dalam film memperlihatkan video pertunjukan yang ditonton oleh aktor-aktor yang pernah memerankan karakter-karakter tersebut. Sepanjang menonton video, masing-masing aktor menyusuri kembali ingatan dalam dialog-dialog yang dulu pernah mereka ucapkan.

Lapis kedua merupakan transposisi citra sinematik yang lebih kompleks. Latar rumah besar dimana para aktor duduk menonton video, dengan pelan dan lembut berubah menjadi latar dalam naskah drama: restoran pinggir stasiun dan sebuah kamar hotel. Aktor-aktor yang menonton video tersebut memerankan kembali karakter-karakter yang dulu pernah mereka mainkan. Ingatan aktor tidak hanya akan bercerita tentang dialog seperti apa yang pernah mereka ucapkan melainkan dengan seluruh proses pembentukan karakter mereka berikut naskah, latar, panggung dan peran-perannya.

Gambaran ingatan aktor benar-benar diwujudkan Resnais dalam rangkaian adegan panjang. Resnais membuat khayalan kolektif sekelompok aktor yang duduk menonton di tempatnya masing-masing, seolah-olah sedang berdialog satu sama lain tetapi sebenarnya mereka hanya berdialog dengan layar yang menampilkan video pertunjukan. Sedangkan bagi penonton film itu sendiri, seberapapun banyaknya dimensi ruang yang dihadirkan dalam film, penonton hanya dapat menikmati layar dua dimensi yang tak dapat ditembus. Meskipun demikian, setiap karakter berikut cerita yang membentuknya akan selalu menjadi penghubung ruang, waktu dan psikologis antara film dan penontonnya.

Resnais menghadirkan tiga pasang karakter Orpheus dan Eurydice yang bisa jadi mewakili tiga generasi. Dalam video yang diperlihatkan, naskah Eurydice ditampilkan dengan latar berbeda. Para aktor menggulingkan drum besar yang kemudian ditata menjadi meja-meja restauran. Sebuah bandul dilepaskan sebagai pengganti jam besar yang terletak di stasiun dalam naskah aslinya. Mise-en-scene dalam video tersebut sudah mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini, apalagi saya yang menyukai teater. Naskah yang sama bisa jadi ditampilkan dengan sangat berbeda di tiap zaman. Orang akan selalu menerjemahkan, membaca dan menulis ulang sesuai dengan zamannya. Bahkan, gaya akting pun bisa kita saksikan perbedaannya dalam tiga generasi yang memerankan Orpheus dan Eurydice.

Di beberapa bagian, Resnais membuat dua wilayah antara aktor dalam video dan para aktor yang menontonnya bisa saling menembus, saling berdialog. Wilayah-wilayah cermin dimainkan dengan capaian teknis film yang memperlihatkan keterlibatan spasial dan emosional antara penonton video dan layar di hadapan mereka. Resnais dengan cantik mendekatkan kamera, membuat lingkaran di seputar wajah para aktor dan menggelapkan sisi luarnya. Ekspresi aktor tampak kuat dengan teknik ini, ekspresi yang memperlihatkan wajah-wajah yang larut menatap layar, menatap diri dengan peran masing-masing dalam video. Para aktor tidak hanya mengingat, melainkan juga memaknai sambil memandang pertunjukan dalam video sebagai persona, semacam topeng-topeng yang sempat dikenakan dan mungkin masih tersisa dalam diri mereka.

Resnais bahkan membelah layar menjadi dua atau empat bagian untuk menghadirkan adegan yang sama, namun diperankan oleh aktor yang berbeda. Di beberapa bagian, Resnais menggunakan trik-trik sulap yang sekilas terlihat naif. Seorang aktor bisa tiba-tiba menghilang dan muncul perlahan. Teknik tersebut barangkali dapat dibaca sebagai suatu cara untuk menguatkan surealitas naskah aslinya. Namun bisa jadi Resnais ingin mengatakan bahwa keajaiban dalam film memang tidak dapat bertahan selamanya, sebagaimana panggung teater bagi seorang aktor. Menjadi Eurydice hanya akan bertahan dalam hitungan jam dan selebihnya, seorang aktor akan memerankan peran-perannya yang lain.

Cerita film ini pun sebenarnya tidak terlalu jauh dengan kisah cinta Opheus dan Eurydice. Di awal film, penonton sudah diberi tahu kalau sutradara yang meninggal tersebut adalah orang yang kerap gagal dalam kisah percintaannya di dunia nyata. Di akhir film, sang sutradara memang dikabarkan tak jadi meninggal. Ia muncul setelah video pertunjukan selesai diputar. Namun tak lama kemudian, pada sebuah pagi, sang sutradara terlihat menceburkan diri ke kolam dan ditemukan meninggal. Lalu film pun ditutup dengan adegan seorang gadis muda yang muncul sembunyi-sembunyi di pemakaman. Sang sutradara terkesan seperti Eurydice yang kembali ke dunia nyata namun tetap berakhir di dunia kematian, wilayah yang digambarkan Resnais sebagai hutan gelap berwarna kebiruan dengan selimut kabut dan asap-asap tipis.  

Dalam naskah drama maupun filmnya, kisah ini memang diselimuti adegan-adegan sureal yang ironisnya justru bisa dicapai dengan sempurna lewat perangkat kamera dan mode penyuntingan gambar film. Mitos Orpheus adalah cerita masa lalu yang dalam sekian tahun telah dipelintir, digarisbawahi bahkan disalahartikan oleh sekian banyak penulis maupun pembuat film. Lewat Anouilh, dan yang kita saksikan sekarang adalah film Alain Resnais, cerita ini menjadi milik masa kini, bahkan menarik rasa ingin tahu seseorang untuk menelusurinya kembali, jauh ke belakang. Mitos atau apapun sebutannya akan selalu menyediakan diri untuk ditafsir ulang sekaligus menyusun sendiri petualangannya dari zaman ke zaman.

Apa yang kita saksikan dalam film Resnais memang belum memperlihatkan apapun, sebagaimana judul film itu berusaha untuk mengajak penonton menziarahi kembali, menemukan metafor dan alegori tentang cinta dan kematian yang telah dituturkan lewat begitu banyak cerita. Satu hal yang nyata dari film Resnais maupun naskah drama Anouilh adalah: perempuan akan bertemu dengan laki-laki, lalu berpisah, entah oleh kematian atau cinta yang selalu kalah dengan kenyataan.

Ditulis ketika hujan deras dan berniat membuat pengantar untuk Bab 2. Sebuah niat yang urung karena saya terlalu merindukan seseorang. Jadi, salahkan saja orang itu kalau saya malah menulis hal-hal semacam ini. Huft.

22 Febuari 2014

Rabu, 05 Februari 2014

Merekam Pemuda Jeruk Keprok yang Menemani Saya Makan Malam Sambil Menulis Sepanjang Satu Setengah Halaman

Warung makan pinggir jalan itu sepi. Ketika saya tiba, hanya ada dua laki-laki yang makan malam di sana. Satu laki-laki sudah beranjak pergi. Satu lagi langsung menyita perhatian saya. Di depannya tampak segelas air putih yang tinggal dua per tiga tersisa. Tak ada lagi makanan. Mungkin dia sudah menghabiskannya dan menyuruh si penjual untuk membersihkan meja. Benda yang tampak di depannya adalah dua buah buku. Satu buku sedang dibuka-bukanya. Satu lagi tergeletak di meja, agak ke samping. Bersamaan dengan saat makanan saya tiba, pemuda itu meletakkan buku yang dibacanya lalu mengambil buku tulis bersampul kartun burung-burung marah (angry birds). Ia mulai menulis.

Pemuda itu memakai kaos oranye warna jeruk bertuliskan Qur’anic Writing. Hmmm... ini pasti metode menulis mutakhir yang bisa membuat penggunanya disayang tuhan dan masuk surga. Karena warna kaosnya itulah saya kemudian memanggilnya Pemuda Jeruk Keprok. Malam ini terang benderang, tapi rambut dan wajah Pemuda Jeruk Keprok tampak basah. Ia tentu saja tidak habis kehujanan, mungkin ia habis mencuci muka atau bisa jadi wajahnya basah karena keringat kelelahan, efek sehabis makan atau satu bidang di otaknya sedang kebakaran sehinga harus segera diselamatkan dengan menulis.

Barangkali ia merasa kalau saya perhatikan. Mungkin juga tidak karena begitu asyiknya ia menulis. Kadang-kadang bibirnya seperti menggumamkan sesuatu. Sekilas memandang ke depan tapi pikirannya tak pernah melayang-layang. Saya seperti melihat tokoh-tokoh cerita sedang berloncatan dari tinta penanya. Alur-alur berkelok-kelok dan bercabang-cabang menganak sungai. Lancar sekali ia menulis, batin saya. Ia hanya pernah berhenti beberapa detik untuk kemudian melanjutkan menulis lagi.

Wajah pemuda itu sebenarnya tak asing. Ingatan saya tentang wajah orang cukup lumayan meski sampai sekarang keadaannya tetap demikian: saya mengingat banyak wajah yang tidak pernah mengingat wajah saya. Haha.  Kemarin malam, saya melihat pemuda dengan gaya kemayu itu datang bersama temannya yang penulis di sebuah acara yang isinya juga kebanyakan penulis. Dengan temannya itu, Pemuda Jeruk Keprok membicarakan sebuah buku yang sudah diterbitkan beberapa kali dan membandingkan penyuntingannya. Pemuda Jeruk Keprok masih saja menemukan dua kata ‘dan’ dalam satu kalimat di buku itu. Entah sudah cetakan keberapa, buku itu masih juga jelek suntingannya.

Tentu saja ingatan dan kuping saya ini tidak akurat. Jadi apa yang saya tuliskan di sini sebatas reka-reka belaka. Saya tak menghitung berapa sendok nasi yang sudah masuk ke mulut. Dan Pemuda Jeruk Keprok masih saja menulis. Huruf-hurufnya berjejer kecil-kecil dan rapi. Satu halaman penuh ia isi hanya dengan beberapa kali jeda, sesekali melihat ke depan atau meneguk air putih. Beberapa waktu berselang, ia terlihat membuka halaman sebelumnya dan di sana sudah pula penuh dengan tulisan. Entah sudah berapa lama Pemuda Jeruk Keprok berapa di warung makan itu. Ia sekilas membacai lagi tulisannya yang kelihatan hampir tanpa coretan. Sesekali ia juga membukai halaman belakang buku bersampul burung-burung marah itu. Di sana pun sudah ada tulisannya. Otak saya sungguh penuh ide usil dan iseng. Ah, tapi tetap saja saya hanya duduk di tempat dan membayang-bayangkan sendiri apa yang sedang ditulisnya.

Pemuda Jeruk Keprok bagi saya menjadi pemandangan ganjil karena biasanya orang mengobrol atau memainkan gadget sembari makan. Ia duduk sendirian. Saya pun demikian. Mata kami tak pernah bertemu. Tampaknya ia sungguh sibuk dengan pikirannya. Sesekali ia menulis sambil memegang dahi. Sementara saya senang-senang saja melihatnya menulis begitu. Lancar sekali ia menulis. Pasti sebelum memulai ia membaca bismillah dulu. Pemuda Jeruk Keprok juga membuat saya iri. Ia bisa menulis di mana saja. Beda dengan saya yang cuma jadi manusia kamar tapi juga gak nulis-nulis, yang ketika berada di keramaian terlalu asyik memandangi banyak hal dengan pikiran mengembara entah sampai di mana.

Sudah satu setengah halaman, ia tiba-tiba membuka tutup bawah pena birunya. Ada satu bagian dari pena itu yang jatuh ke meja. Pemuda Jeruk Keprok memungut dan memasangnya kembali. Saya tidak tahu apakah penanya bermasalah. Karena tak lama setelah itu, Pemuda Jeruk Keprok mengambil jaket yang dari awal berada di pangkuannya. Ia membalik jaket itu dan mengenakannya. Dalam hati saya merasa sedih karena Pemuda Jeruk Keprok pasti akan segera pergi sehingga saya akan kehilangan kesenangan kecil malam ini.

Ketika ia berdiri dan membayar, saya segera menyusul si Pemuda Jeruk Keprok. Siapa tahu saya bisa mengintip buku apa yang sedang dibawanya itu. Pada akhirnya saya bisa melihat judul salah satu buku yang ia bawa, The Secret karangan Rondha Byrne. Njegleg sudah bayangan saya tentang Pemuda Jeruk Keprok. Meskipun tentu ada banyak kemungkinan kenapa Pemuda Jeruk Keprok membawa buku itu. Bisa jadi ia akan mengkritisi buku itu secara Qur’an-ni atau bisa pula ia tak sengaja menemukan buku itu di pinggir jalan (kemungkinan ini sungguh kecil. Buku-buku tak pernah berceceran di jalanan). Mungkin juga ia sedang memunguti kata-kata mutiara dari buku itu untuk mengejek orang-orang yang sudah tidak berpikir soal makan hari ini, yang percaya bahwa kaya dan sukses itu akan terwujud dengan berpikir positif dan membayangkannya setiap saat (orang miskin kemungkinan tidak akan percaya dengan buku ini). Bisa juga ia sedang menuliskan jalan menuju kesuksesannya yang akan dia baca ketika bangun tidur sebelum memulai hari. Entahlah. Dan tentu saja masih banyak kemungkinan lain. Pemuda Jeruk Keprok cepat sekali menghilang. Saya sama sekali tak bisa menemukan jejaknya sesaat setelah membayar makanan yang berlangsung hanya beberapa detik.

Tulisan ini mungkin sangat terkesan diselesaikan dengan paksa, sudah pasti tidak sebanding dengan judulnya yang panjang. Menceritakan kembali ingatan saya tentang Pemuda Jeruk Keprok ternyata tak menghabiskan halaman sebanyak apa yang ia tuliskan sepanjang saya makan malam. Tentu karena saya bukan Funes si Memorius, tokoh dalam cerita Borges yang digambarkan bisa mengingat segalanya. Kalau saja saya adalah Funes (meskipun saya sangat tidak menginginkan punya ingatan sepertinya), maka saya akan mengingat berapa kali Pemuda Jeruk Keprok melihat ke depan, masing-masing pada pukul berapa, berapa kali ia menghentikan penanya, berapa kali ia menggumam, atau kendaraan apa saja yang lewat ketika Pemuda Jeruk Keprok menuliskan satu huruf di atas kertasnya. Betapa cukup menyenangkannya ketemu Pemuda Jeruk Keprok malam ini. Salam hangat dari saya.

Kamar Kost, 5 Februari 2014

Minggu, 12 Januari 2014

Selegenje Selanjutnya

Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Aku mampat, bahkan untuk sekadar menulis curhat, aku tak mampu membuat sedikit pun cerita yang bisa menggembirakanmu. Aku tidak tahu apakah kemurungan ini akan berakhir ketika kau datang. Penyebabnya jelas, bahwa aku tak bisa beranjak dari tempat membusukku sekarang. Tak hanya sudah mengakar, berlumut, bahkan aku sudah terkubur, bertahun-tahun lamanya, menjadi jasad renik tak berarti. Minggu ini belum tentu menjadi minggu depan. Minggu depan masih entah kapan datang. Aku senang kau menulis. Setidaknya melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan. Tapi tidak denganku. Aku tak begitu berniat untuk mengejar apapun.

Maka aku akan bercerita tentang cerita hantu-hantu yang termasyur itu, kisah yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkanku. Hantu-hantu lebih nyata dalam kehidupanku ketimbang apa yang diceritakan pengarang itu. Beberapa ceritanya cukup kuat. Aku menyukai Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut, juga Teknik Mendapatkan Cinta Sejati. Kau baca saja cerita yang pertama karena aku malas mengungkapkan alasanku di sini. Di cerita yang kusebutkan kedua, aku menyukainya karena ada beberapa kalimat yang terasa pas dengan hal-hal keji yang sedang berkecamuk dalam hati. Dalam cerita-cerita lainnya, kau bisa menjumpai para gali, petrus dan bumbu-bumbu politis lainnya, soal anggota DPR dan penyanyi dangdut juga ada, soal warna kuning yang menenggelamkan kota. Entahlah, aku tidak banyak membaca hingga aku tak bisa memberi penilaian apapun.

Aku akan kembali pada persoalan hantu-hantu dan bagaimana mereka bisa menjadi nyata dalam kehidupanku. Sore tadi ada Jathilan di Lapangan Terban. Para pemainnya masih belia. Barangkali seusia anak SMP. Di atas selembar spanduk yang dipajang di panggung, terlihat tulisan yang menunjukkan bahwa pertunjukan itu disebut sebagai jathilan kreasi baru. Aku tak mengerti. Mungkin karena penambahan seperangkat drum dalam musiknya, dan penambahan lagu-lagu campursari yang dibawakan para pemusik. Jathilan biasanya hanya diiringi musik, tanpa syair.

Aku melihat anak-anak itu menari, tapi tidak dalam tingkatan trans yang sebenarnya. Gerakan mereka hanya seperti ketika kita menari dan begitu merasa menikmatinya sambil setengah memejam mata. Tidak ada atraksi spektakuler. Tidak ada pula acara makan beling atau adegan mengupas kelapa dengan gigi. Anak-anak itu hanya memakan dupa yang menyala, bunga dan menyucup minyak srimpi dalam botol bayi. Mereka menari sambil sesekali bergantian bermain di kubangan lumpur yang sengaja dibuat di pojok panggung.

Tempat pertujukan mereka tak begitu luas, tak sampai menghabiskan setengah lapangan. panggung itu dipagari bambu membentuk persegi. Setengah sisanya dihuni para pedagang bakso, es krim dan berbagai makanan kecil lain. Anak-anak kecil berkerumun bersama para ibu. Dari luar pagar pembatas, beberapa orang terlihat sibuk memegang hp, memutar perekam video dan jadilah dokumentasi dari sebuah pertunjukan jathilan. Sore ini, lebih dari sepuluh orang sudah membuat film dokumenter lewat kamera hp mereka.

Beberapa remaja bergerombol. Aku baru melihat banyak remaja yang mirip-mirip penampilannya dengan remaja kampungku. Para remaja putri kelihatan senang sekali meluruskan rambutnya. Mereka datang ke lapangan dengan baju terbaik. Celana jeans ketat berwarna warni dengan atasan model-model masa kini. Mereka sibuk berfoto-foto, bergaya dengan rambut sedikit menutupi muka dan bibir sedikit dimonyongkan. Tak ada orang menenteng kamera mahal di sini. Hampir semua yang datang adalah orang kampung sekitar. Mereka menoton dan merekam peristiwa.

Aku tak melihat banyak hantu datang. Mungkin bukan hantu, tapi jin. Aku sendiri tak begitu jelas dengan perbedaannya. Seorang penari berguling-guling di tanah. Aku tak melihat ada jin yang menyusup ke tubuhnya. Aku hanya melihat banyak makhluk berwajah buruk di sekitar panggung dan di sebelah laki-laki berikat kepala hitam. Laki-laki itu bertugas menjaga pertunjukan berikut para penarinya. Mereka terus saja menari hingga senja hampir menghilang.

Sudah lama sekali aku menutup mataku dan tak lagi melihat hantu-hantu. Sore ini aku melihat mereka lagi. Hantu-hantu itu menyedihkan. Sama menyedihkannya dengan orang-orang yang menonton, sama menyedihkannya dengan para penari yang wajahnya ditutup bedak tebal dan riasan aneh-aneh. Hei, inilah seni tradisi.

Seorang anak kecil berkulit putih sekali, telanjang, duduk sambil memeluk lutut di antara bapak-bapak yang membawa anjing. Anjing mereka menyalak-nyalak garang. Si anak melihat mata anjing itu dan menemukan dirinya sendiri. Wajahnya sedih seperti ingin menangis. Aku melewatinya tanpa berkata apapun ketika berjalan pulang.

Jangan percaya ceritaku. Semua yang kulihat tentang hantu dan jin-jin itu hanya imajinasiku. Kau tahu kalau aku sudah tidak sakti lagi. Aku sudah tak bisa menebak hujan seperti dulu. Tentu saja ini bukan salahmu. Tapi aku ingin menyalahkanmu atas semua kemurungan ini. Aku sama sekali tak keberatan dengan kehilangan-kehilangan yang menyertaiku sejak aku menemukanmu, meski aku benar-benar ingin menyalahkanmu. Kau tahu, kau sering membuatku menangis di malam hari.

Baru saja aku bertemu dengan Roberto Benigni yang berperan sebagai sopir taksi dalam film Jim Jarmusch berjudul Night on Earth (1991). Ia mengoceh ketika melihat sebuah hotel bernama Genius. Lalu mengarang cerita bahwa orang-orang pintar sedang bertemu dan menginap di sana. Ya, kalau kau tak mendapat kamar di Hotel Genius, kau bisa datang ke Hotel Imbisil. Ocehannya berlanjut dengan pengakuan dosa konyol yang membuat seorang Bishop mati di kursi belakang taksinya. Ocehan yang murni improvisasi, tak ada dalam skrip. Sosoknya mengingatkanku pada Woody Allen dan aku sangat merindukannya. Kau pamer sudah menorrent Blue Jasmine. Dengan seenaknya kau cerita hanya berani menonton sepuluh menit pertama, sedangkan aku hampir pingsan ingin menontonnya di sini. Aku tak akan menyuruhmu lagi untuk segera kembali. Aku sama sekali tak punya hak untuk itu. Tapi aku kangen sama Woody Allen.

Beginilah kalau dasarnya aku bukan tukang bikin cerita. Betapa dungu soal alur dan cara bikin kalimat yang baik dan benar. Masih ada satu makhluk yang nangkring di atas tumpukan buku. Aku tak menghiraukannya. Aku hanya pura-pura melihat makhluk-makhluk menyedihkan itu sebagai salah satu cara untuk membuatku lebih baik.

Kemarin aku berjanji pada diriku sendiri untuk menulis. Aku tak peduli jadinya tulisan seperti apa. Dengan ini setidaknya aku sudah memenuhi janjiku. Aku masih berhutang pada diriku sendiri satu tulisan lagi di luar kewajiban yang harus segera dikerjakan. Sudahlah, aku muak sekali denganmu.


Kamar Kost, 12 Januari 2014