Sabtu, 31 Mei 2014

Jalan Buntu, Gang Guanjiwa

Meskipun efeknya hanya bertahan sepanjang jalan pulang ke kostan, aku cukup menyukai malam ini. Rekor pertunjukan musik yang berefek paling lama buatku tetap dipegang Melbi. Sebagai pembuka, malam ini Jambul bikin meleleh. Terutama untuk lagu 69 di 98 sama Kota yang Tak Pernah Bermimpi. Sayang sekali tidak ada Mas Ipang dan Bung Arie O. Padahal dulu katanya mereka mau launching album juga. Kapan jadinya??? Huaaaa... lagu itu bikin sedih. Ini bukan karena tidak ada yang bisa diajak ber-69. Haha. Di sana, orang berbagi kesedihan, kesepian, kerinduan, kenangan, bicara kota, tapi aku kembali seperti kehilangan diri ketika masuk kamar. Sriinggg... semacam ada yang merenggutku lalu menimpuki dadaku. Rasanya sesak.

Sebagai sebuah pertunjukan musik, Menyusuri Jalan Pulang bisa dibilang berhasil. Konsepnya jelas, dari tata panggung hingga nomor lagu yang dibawakan. Lagu baru mereka cukup lumayan. Beberapa lagu dengan bit cepat mengingatkan kembali pada musik-musik Dewa 19. Aku tak tahu banyak soal musik jadi tak banyak pula yang bisa kukatakan. Aku suka isian gitar sama efeknya Damar. Begitulah.


Hai Mas..

Persiapan Seorang Aktor



Nguing...Nguing...










Ada yang terlupa. Sebenarnya tadi Jambul mainnya sama mas-mas satu lagi, tapi ternyata di kamera tidak ada fotonya.

Dan selarut ini kau masih berdiskusi tingkat dewa dengan para dewa nun jauh di sana. Bikin tambah sedih. T_T

Kamis, 29 Mei 2014

Buntu

Okay. Aku akan menulis kalau kamu balik. Okay. Kamu akan balik kalau aku menulis. Terus ini ketemunya di mana? Setiap hari aku membuka folder sialan itu dan tak lama kemudian menutupnya kembali. Dari seratus menit paket telepon yang gantian kita pasang tiap malam, berapa menit habis sudah untuk membahas persoalan menulis dan mengumpati kemacetan kota brengsek yang sekarang kau tinggali. Dan mas mu yang satu itu sungguh-sungguh menunjukkan perhatian terhadap nasib kita berdua. Beberapa kali dia mengirim pesan pendek secara tiba-tiba, selalu menanyakanmu juga.

Sebagian besar sudah kuceritakan padamu apa saja yang kulakukan kemarin. Aku menonton mas mas yang genjrang genjreng main gitar klasik. Suara gitarnya bersaing dengan orkes keriut kursi penonton. Sering sekali penonton memperbaiki duduknya, barangkali bosan, barangkali mengantuk. Komposisi-komposisi yang dimainkannya terasa lamaaaaaa sekali. Mas mas itu bermain gitar seperti tak mengeluarkan tenaga. Jari-jarinya panjang, bergerak dengan indah.

Dan aku teringat kamu. Kau bermain gitar dengan jari-jarimu yang mudah basah. Mas mas di panggung itu berubah menjadi kau. Karena terlalu rapatnya not dan mungkin tingkat kesulitan dari sonata-sonata yang kau bawakan terlalu tinggi, jari-jarimu menjadi terlalu basah. Sangat basah. Keringat mengucur dari ujung jari-jarimu. Benar-benar mengucur seperti air mancur, bercipratan kemana-mana, membasahi panggung, mengguyur muka penonton yang duduk tenang di barisan depan. Tapi kau sangat menikmati permainanmu, sedikit menggoyang kepala ketika memainkan nada dengan tekanan tertentu. Matamu sesekali terpejam ketika memainkan bagian dengan petikan lembut, membukanya kembali saat harus memetik dengan sedikit keras, lalu kau mengakhiri permainanmu. Kau berdiri sambil memegang gitarmu, membungkuk sedikit memberi hormat pada penonton, lalu melangkah mundur dan sedikit membungkuk sekali lagi. Tepuk tangan terdengar begitu meriah. Para penonton sangat menyukai kucuran keringat yang memancar dari jarimu itu. Rasanya asin-asin segar mirip minumam isotonik bermerk keringat. Adegan seperti itulah yang kulihat ketika sekian detik aku tak bisa menahan kantuk.  

Mungkin aku terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini. Jarang sekali aku berbicara dengan orang. Hidupku seperti fiksi. Juga ketika kemarin aku datang ke sebuah acara bedah novel Kelir Slindet. Ada banyak kesamaan-kesamaan yang kutemukan dari apa yang kubaca akhir-akhir ini dan memang begitulah yang dikatakan oleh pembicaranya. Pak Profesor menemukan bahwa novel itu penuh situasi paradoksal, bergaya mozaik, seperti kolase, menyelaraskan tradisionalisme dan modernisme. Novel itu, katanya adalah pemberontakan penulis yang diproyeksikan lewat tokoh-tokohnya.

Pembicara satunya lagi adalah orang yang sedang menulis ensiklopedia fiksi Indonesia. Dia banyak cerita soal tokoh-tokoh dalam novel itu. Novel itu sangat mirip dengan Ronggeng Dukuh Paruk, basis ceritanya menyangkut musik yang hidup di masyarakat. Caranya menggambarkan latar juga mirip, banyak menggarap soal kuburan, melibatkan roh yang masuk ke tubuh penari, tokoh utamanya perempuan, dan mungkin masih banyak kesamaan lain. Ada semacam kecenderungan yang sama dalam penulisan novel-novel berlatar agraris. Selain Ronggeng Dukuh Paruk, Pak Profesor juga menyebutkan beberapa kesamaan dengan Jatisaba.

Peruangan dalam novel dibangun atas kontradiksi yang terus bekerja. Ini bisa dilihat dari kata kunci yang muncul dari novel ini: tarling dangdut, kasidah, musholah, warung remang-remang, haji, telembuk/lonte, ustadz, pemabuk, intip, dakwah, judi, madrasah, TKW, Indramayu. Soal intip mengintip ini juga muncul di novel terbaru Eka Kurniawan. Sama-sama jadi adegan pembuka.  Dulu, PKI tak pernah menang di Indramayu meskipun menggarap soal-soal telembuk dan semacamnya itu.

Karena sudah dibahas sedemikian rupa, aku tak jadi membeli novelnya. Pengarangnya cerita juga soal proses kreatifnya. Novel itu sebenarnya hanya sepertiga bagian dari keseluruhan novel yang ditulis setebal kira-kira 750 halaman. Penerbit baru bersedia menerbitkan yang sepertiga itu atas alasan pemasaran dan sebagainya. Itupun sudah banyak dipotong, adegan coli sambil liat penyanyi tarling dangdut misalnya.

Entahlah, meskipun dibilang itu berdasarkan observasi langsung di kampungnya sendiri, bersifat etnografis, atau apapun sebutannya sama sekali tidak menarik minatku. Tawaran apakah yang diberikan novel itu? Model cerita penuh paradoks itukah? Kontras antara Haji, Bos Walet, telembuk dan pemabuk itukah? Lawas. Hmmm... sayangnya aku tidak mengerti soal kritik sastra. Tapi aku suka ada yang menulis tentang Indramayu, geografis dan budayanya tentu menarik. Okay Mas, istrimu cantik. Aku liat akting kalian di Mata Tertutup.

Dangdut pantura memang lagi tren sekarang, apalagi banyak yang bahas soal kultural kultural studisan, menyebut panggung dangdut Indramayu sebagai kenyataan hibrida. Asyek... Pertunjukan tarling (yang mungkn lebih klasik) seringkali diselipi pula dengan drama. Bahasanya dan ceritanya cukup menarik untuk dilihat lebih jauh. Kalau awalnya dari tarling begitu, terus sekarang yang banyak dikenal adalah dangdut pantura seperti Monata atau OM Sera, itu pergeserannya, jenisnya yang lain, atau percabangannya atau bagaimanakah? Kalau dari tonalitas, terdengar jelas ada percamuran Sunda dan Jawa, agak berbeda dengan dangdut. Ah, banyak pertanyaan mulai menggantung-gantung meskipun aku sudah mencoba tak mempedulikannya. Ini masih belum ngomong panggung. Dari fisiknya misalnya, dari yang cuma gelaran tikar hingga panggung dengan kubah melengkung di atasnya. Ah, tapi ini mau sampai di mana? Rasa-rasanya potret yang kuperoleh hanya permukaan, bahkan belum bisa disebut sebagai permukaan, begitu banyak label bertebaran.

Aku tak punya bayangan soal tarling. Jadinya ya buka Youtube meski cuma serampangan:

atau


Dengerin juga dramanya meskipun gak ngerti bahasanya:

Dan ini salah satu panggungnya:

Melihat-lihat semua itu, serasa banyak hal yang campur baur dan memang tidak nyambung. Tapi ya buat apa aku mencarinya lebih jauh. Aku jadi ingat Tubuh Ketiga meskipun pilihan visualisasi atas hasil riset mereka di Indramayu sedikit janggal. Sudahlah. Cukup.


Kamar Kost, 29 Mei 2014


Senin, 19 Mei 2014

Semacam Emboh

Aku ini gampang sekali ditebak. Tulisan yang muncul di blog ini sebagian besar adalah tulisan galau. Kalau tidak ada tulisan, berarti aku sedang tidak galau, kawan. Sungguh kasihan bukan?

Kau tau apa jawaban Paijem ketika ditanya apa yang akan dilakukan setelah pesta pernikahannya? Bukan bulan madu, bukan mencari rumah baru, tapi membayar hutang. Paijem, perempuan sabahabatku itu akan menanggung sendiri seluruh biaya pernikahannya,  empat bulan lagi. Kau bisa bayangkan sepasang pengantin yang biasanya tak perlu banyak mengurus tetek bengek berbiaya, harus berpikir keras untuk tidak membuat malu keluarga di hadapan orang. Pernikahan memang tak hanya bisa diselesaikan ketika dua orang bersepakat untuk menjalani hidup bersama selamanya. Kau akan diributkan dengan urusan kadar kepantasan pesta. Semiskin-miskinnya dirimu, orang-orang itu tetap mengharapkan makanan yang layak di hari pernikahanmu. Tapi aku tak hendak memikirkannya. Rasanya cukup muskil untuk kita.

Masa depan macam apakah yang sudah nyata-nyata bisa ditebak seperti itu? Seperti kalau orang bertanya padaku apa rencanaku setelah lulus, maka dengan berat aku akan menjawab: berusaha mencri cara agar bisa putus denganmu. Masa depan semacam itu bukan masa depan. Itu hanya kenyataan yang kebetulan ada di waktu yang bukan sekarang atau masa lalu. Sejauh mana pula orang akan berharap pada masa depan yang tak tertebak itu, yang kalau kata orang di sebuah film diistilahkannya dengan l’avenir[i]. Kau pernah menonton TiMer[ii]? Film bodoh itu bahkan sudah mengkhayalkan berapa lama orang bisa menemukan belahan jiwanya dengan menanam alat semacam countdown timer di pergelangan tangan. Alat itu akan berbunyi ketika kau bertatapan dengan belahan jiwamu. Cerita film lalu dihias dengan beberapa kebohongan, serta konsekuensi-konsekuensi hubungan percintaan yang muncul gara-gara alat aneh itu. Lucu sekali bukan? Ketika semua hal sudah bisa diprediksi, dijadwalkan, direncanakan, ah, manusia tidak akan mengenal lagi kejutan.
  
Kau tahu, aku menangis menonton Scenes From a Marriage[iii]. Aku tak bisa membayangkan bisa serasional orang-orang itu. Aku selalu kesulitan menjelaskan apa yang kurasakan, seperti kehilangan semua majas yang mungkin diciptakan manusia untuk mengungkapkan permisalan-permisalan. Bayangkan seorang suami yang tiba-tiba meninggalkan istrinya, lalu mereka bertemu lagi beberapa tahun kemudian, menjadi sama-sama dewasa dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Ah, kau memang harus menontonnya sendiri dan mulailah membayangkan aku yang menangis menonton film itu sambil mengumpat-umpat: Jancuk!

Tampaknya aku terlalu banyak menonton film-film yang tak kutahu lagi juntrungnya. Jarang sekali sekarang aku bisa menemukan film yang bisa kutonton sampai habis tanpa memencet keyboard bergambar panah ke kanan untuk mempercepat jalannya. Begitulah kuhabiskan waktu dan ini benar-benar gawat. Selalu ada kegelisahan yang tak bisa disembuhkan dengan menonton film atau membacai novel. Aku sudah tahu kenapa, tentu karena aku tak melakukan apa yang harus kulakukan. Aku tidak memaksa diriku hingga membentur dinding. Padahal dinding-dinding sudah demikian menghimpit. Ketika sudah membuka folder sialan itu, aku merasa begitu muak, dengan segera meng-klik tanda silang berwarna merah di pojok kanan layar laptop. Berapa banyak orang menasihati dan menyemangatiku, tapi entahlah. Bukan berarti aku tak menghargai perhatian mereka. Betapa bebal otak ini!

Beginilah, kalau kau ingin tahu apa yang kulakukan setelah kau pergi ke kota brengsek itu. Aku membiarkan waktu lewat begitu saja. Orang macam apa yang seolah-olah membiarkan waktu lewat di depannya, bahkan hampir menganggapnya tak ada. Aku hidup dari suara adzan ke suara adzan, antara makan, tidur dan berak. Betapa menyedihkan. Keadaan ini semakin melarat-larat, berlarut-larut dan aku tak bisa menghancurkan kurungan kebosanan pasif ini.

Mari sedikit melompat, kalau kau bandingkan cara orang bercerita, mungkin ini tak bisa dibandingkan, tapi cobalah kau tengok Tart di Bulan Hujan[iv] dan Surga Sungsang[v]. Yang pertama adalah kumpulan cerpen sedangkan yang disebut kedua adalah novel pendek yang pada awalnya aku sangka pula sebagai kumpulan cerpen yang disatukan. Sebut saja keduanya mencoba mengungkap absurditas manusia dan dunianya meski dengan cara yang sama sekali berbeda. Aku cukup suka keduanya. Bagiku cara bercerita bukan menjadi pokok persoalan. Entah apakah Surga Sungsang itu mampu mengambil alur dari Murakami, menggabungkannya dengan Lukisan Neraka Akutagawa lalu membuat latar mirip yang mirip dengan Seratus Tahun Kesunyian, dengan bumbu imajinasi surealis yang membuat otakku membayangkan bentuk-bentuk aneh dari gambaran itu, bagiku sungguh tak ada masalah. Memang tak ada yang benar-benar baru di permukaan bumi. Lain dengan Tart di Bulan Hujan yang menyuguhkan cerita-cerita ringan, dengan tokoh-tokoh tahun 80-an yang mungkin terasa berjarak untuk dibaca hari ini. Kadang kau bisa mengerutkan dahi di akhir cerita atau sekadar tersenyum kecut saja.

Tambera[vi]. Ya, Tambera. Bagi sebagain orang mungkin cerita itu tak beda jauh dengan kisah Hanafi yang mencintai Corrie. Tambera mencintai Clara. Meski sedikit beda konteksnya, tetap cuma Minke yang bisa menikahi Annelies. Lain kali akan kutuliskan kisah itu secara terpisah.

Rasanya tak ada yang menyenangkan kecuali membaca novel sambil leyeh-leyeh di sofa. Begitulah kebanyakan novel-novel abad ke-19 diciptakan untuk membuat orang bersantai. Sekarang? Entahlah saya masih membaca sendirian. Kesel tenan padahal tak berpikir apapun. Mungkin kalau kau kembali ke kota ini, aku sudah tidak mengerti lagi apa yang kau bicarakan. Bacaanmu sudah tingkat dewa begitu, lokal-global begitu. Wuah, kamu keren sekali pasti. Dan barangkali kau akan menjumpaiku menjelma perempuan biasa-biasa saja, dengan legging bunga-bunga, yang sudah melupakan semua bacaan dan hanya suka menonton film yang sedang tayang di bioskop. Saat itu, kau dengan yakin akan mulai menjauh, kembali ke kota brengsek itu. Seperti itukah cara membuatmu meninggalkanku.   

Arrrrrggghhh...... Aku tak bisa menghubungimu. Frustasi sekali kalau begini. Kota itu, dan saudara Y yang terhormat memang brengsek sekali. Lebay, ah. Embohlah.

Kamar Kost, 19 Mei 2014




[i] Film yang dimaksud adalah sebuah dokumenter berjudul Derrida (2002), disutradarai oleh Kirby Dick dan Amy Ziering Kofman. Istilah tersebut dipakai sekenanya dalam tulisan ini.
[ii] Disutradarai oleh Jac Schaeffer, rilis pada tahun 2009.
[iii] Film yang disutradarai Ingmar Bergman. Film ini ditayangkan dalam bentuk mini seri televisi dan versi film panjangnya dirilis tahun 1974. Kalau kau lihat trivia di IMDb, setelah film ini tayang di Swedia, kasus perceraian meningkat tajam dan jumlah pasangan yang menggunakan jasa konsultan pernikahan meningkat pula dua kali lipat.
[iv] Kumpulan cerpen Bakdi Soemanto, Jakarta: Penerbit Buku Kompas (2014).
[v] Buku cerita Triyanto Triwikromo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (2014).
[vi] Novel karya Utuy Tatang Sontani, Jakarta: Balai Pustaka (2002). 

Jumat, 09 Mei 2014

Karena Aku Tak Lebih Pintar Dari Tembok

Orang yang lebih pintar daripada tembok tentu saja tak akan menulis hal semacam ini. Fak! Sudah tanggal sembilan saja sementara halaman tesis tak kunjung bertambah. Bulan kemarin sudah tak nulis di blog. Sekarang malah isinya cuma kepengen mengumpat saja.

Kau tahu, pagi tadi ada orang ngomongin identitas, desertasinya tentang orang Dayak. Semua yang datang ke acara itu mendapat buku. Kertas bukunya bagus, dari jenis yang mengkilat dan licin itu. Kau tahu, lebih dari separuh isinya adalah deskripsi wilayah penelitian: luas wilayah, jumah penduduk. Bukan berarti itu tak penting, apalagi penelitiannya dilakukan di lima Kabupaten. Konon katanya, orang Dayak yang sudah mengalami marginalisasi sekian tahun lamanya sejak jaman Belanda mulai bangkit karena terpilihnya seorang gubernur dari orang Dayak. Tapi ibu itu tak bisa menjelaskan kenapa si gubernur bisa menang dengan lonjakan suara yang cukup signifikan di hari menjelang pemilihan. Orang yang diwawancara sebagian besar birokrat sementara tokoh masyarakat cuma beberapa orang saja. Hal yang kecil-kecil jadi tak kelihatan. Ah, tapi aku ini tahu apa. Desertasi itu sudah diujikan dihadapan sembilan orang profesor dan tak diragukan lagi kesahihannya, bisa dipertanggungjawabkan kadar keilmiahannya. Salamku buat ibu-ibu penulis desertasi itu. Penampilannya sungguh sangat dharma wanita sekali.

Malam ini tak ada yang bisa kupikirkan dengan jernih. Membaca Percikan Revolusinya Pram membuatku merasa murung, tercenung lama sekali. Beralih ke 1Q84 Murakami juga tidak bisa memperbaiki pikiranku yang kacau. Kenapa bisa kacau? Barangkali karena kurang dipakai untuk berpikir. Semua kejadian begitu cepat dan lewat-lewat begitu saja tanpa bekas berarti. Alasan-alasan untuk tak segera menulis tesis semakin tak bisa kutemui dan aku tak selamanya bisa lari. Katamu, sudah cukup kita bahagia. Sudah saatnya kita membahagiakan para Ibu yang bersedih dan khawatir cukup lama.

Lalu akupun teringat Huzun. Seorang kawan memberikan film pendek itu dengan catatan kaki: proses penyuntingannya belum selesai. Di tengah film masih ada suara kamera jeprat jepret dan mixingnya juga belum dilakukan dengan sempurna. Awalnya aku tak tahu apa artinya Huzun. Mesin pencari menautkan kata itu dengan bagaimana Orhan Pamuk menggambarkan Istanbul yang diungkapkan dengan adegan seorang anak kecil yang membuka jendela dan melihat kota. Huzun punya akar kata yang sedikit berbeda dengan penggunaannya sekarang. Dulunya lebih menggambarkan sesuatu yang transendental, melibatkan manusia dengan tuhannya. Sekarang, Huzun barangkali dekat dengan melankolia. Aku tak tahu lebih banyak lagi.

Teguh Hari, sutradara film itu membawa Huzun ke wilayah personal, tentang seorang pria yang ditinggal mati istrinya. Kritikus film yang keren-keren mungkin bisa bicara banyak tentang film ini. Soal keterbelahan manusia, keterasingan yang disembunyikan di wilayah paling dalam. Kemurungan yang membabi buta dan berujung pada kegilaan, atau apapunlah istilahnya.

Catatan saya sederhana. Film ini seperti tak kuat menanggung beban berat dari judul yang dipanggulnya. Film ini gak Huzun banget deh. Ekspetasi orang menonton film pendek tentu berbeda dengan menonton film panjang. Lewat durasinya itu, film pendek dituntut untuk menyajikan gambaran peristiwa maupun cerita dengan kuat. Orang mengharapkan kejutan atau sesuatu yang menohok dalam momentum yang pas. Dan karena durasinya itu pula penonton bisa lebih detail memperhatikan dan menangkap kesan. Tidak ada persoalan dengan visualisasi ide. Orang yang ditinggal mati istri yang sangat dicintainya, yang baru 13 tahun menikah memang bisa berkelakuan seperti itu, menciumi baju-bajunya atau menciptakan percakapan imajiner seolah-olah istrinya masih ada. Tapi pilihan untuk bertumpu pada satu aktor ini cukup beresiko, bahkan fatal ketika si aktor gagal membangun suasana.

Narasi dalam film inipun janggal. Unsur puitiknya terkesan dipaksakan. Saya tak bisa membayangkan pasangan suami istri berbicara dengan nada seperti itu. Maka bukan melankolia yang bisa ditangkap ketika menonton film ini melainkan seorang mas-mas yang membuatku bertanya, “Mas-mase iki gak pa pa ta?”.

Saat acara makan malam imajiner, mas mas pemain film ini mengenangkan adegan ciuman pertama mereka di sebuah rumah sakit ketika menunggui teman mereka yang sakit. Narasi pada bagian ini terasa genit sekali. Bahwa ciuman itu rasanya seperti pulang ke rumah setelah lelah mencari arah. Aku tak bisa membayangkan metafor ini. Lain kali mungkin aku akan berciuman sambil memikirkan kalimat tersebut. Kalimat berikutnya juga menampilkan perbandingan sesuatu yang seolah bertolak belakang, “entah mana yang lebih keras, debar jantung kita atau kesunyian malam.” Itu juga kalau aku tak salah dengar.

Cukup sudah dengan Huzun. Aku masih tak mengerti apakah ikan di film itu sebenarnya mati atau hidup. Setelah si aktor meletakkan sepatu di atas televisi, jam menunjukkan pukul setengah sebelas lebih sedikit, telepon genggam tergeletak di atas meja lalu terlihat seekor ikan mengambang, jatuh perlahan ke dasar toples yang menampungnya. Di tengah film, ikan itu sempat terlihat hidup dan di akhir film diperlihatkan bahwa ikan itu mati. Mungkin memang kematian si istri ingin digambarkan akan terus dihidupi oleh si suami, yang kebetulan Islam dan punya tradisi berkirim doa atau selamatan setelah tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, dan seterusnya, atau dengan terus menghidupkannya lewat benda-benda peninggalan sang istri, misalnya dengan mengajak berdansa atau mengajak bicara baju istrinya yang disampirkan pada sandaran kursi. Hmmm. Usaha untuk menampilkan sense puitik ketimbang depresi yang terus menggerogoti manusia memang patut di hargai tapi ya itu, film ini kurang huzun (sebagai sebuah konsep dalam bayanganku). 

Film Ifa Isfansyah yang berjudul Mayar (2003) juga tak terlalu berkesan. Aku nggak ngerti dia ini mau ngomong apa. Bahwa hidup manusia memang serba tak jelas, bahwa Jogja itu tak lebih baik dari Jakarta, mencampurkan urusan cinta dengan politik menjelang pilihan kepala desa, antara gambar petai dan cabe. Hufff. Aku memang payah. Seolah-olah hanya mau bilang kalau film yang aku tonton belakangan ini elek kabeh gara-gara tesis yang tak kunjung ditulis. Sungguh tak adil memang. Tapi ini cuma tulisan orang yang tak lebih pintar dari tembok. Ah, tapi tidak. Film Sugiharti Halim (2008) karya Ariani Darmawan cukup lumayan kok. Gambar dan pesannya sederhana. Tak terlalu ruwet dan terasa pas dengan durasinya. Setidaknya itu film-film pendek yang aku tonton belakangan. Film-film pendek baru entah bisa didapat dimana. Orang-orang itu sudah jauh sekali berlari. Aku masih membusuk di sini. 

Rasanya ingin sekali ikut kelas menulis kritik film. Biar bisa bener kalau nulis. Gak cuma ngasal dan tergantung mood macam begini. Keingingan tinggal keinginan. Kurang niat sebenarnya. "Alah, ngomong thok, ngomong seng, duduk blek," Kata semut yang nyelonong lewat. Aku mau cerita lebih banyak tapi males ngetik. "Yaelah mbak, molas males ae, durung males urip toh? Mbake kurang piknik nih. Ahihihihihi....," tiba-tiba ada suara Bernard Bear yang muncul dari gambar di atas meja laptop di kontrakan Indra, suara tawanya masih terngiang sampai sekarang. Ahihihihihi... Dasar beruang sialan!

Kamar Kost, 9 Mei 2014