Minggu, 12 Januari 2014

Selegenje Selanjutnya

Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Aku mampat, bahkan untuk sekadar menulis curhat, aku tak mampu membuat sedikit pun cerita yang bisa menggembirakanmu. Aku tidak tahu apakah kemurungan ini akan berakhir ketika kau datang. Penyebabnya jelas, bahwa aku tak bisa beranjak dari tempat membusukku sekarang. Tak hanya sudah mengakar, berlumut, bahkan aku sudah terkubur, bertahun-tahun lamanya, menjadi jasad renik tak berarti. Minggu ini belum tentu menjadi minggu depan. Minggu depan masih entah kapan datang. Aku senang kau menulis. Setidaknya melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan. Tapi tidak denganku. Aku tak begitu berniat untuk mengejar apapun.

Maka aku akan bercerita tentang cerita hantu-hantu yang termasyur itu, kisah yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkanku. Hantu-hantu lebih nyata dalam kehidupanku ketimbang apa yang diceritakan pengarang itu. Beberapa ceritanya cukup kuat. Aku menyukai Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut, juga Teknik Mendapatkan Cinta Sejati. Kau baca saja cerita yang pertama karena aku malas mengungkapkan alasanku di sini. Di cerita yang kusebutkan kedua, aku menyukainya karena ada beberapa kalimat yang terasa pas dengan hal-hal keji yang sedang berkecamuk dalam hati. Dalam cerita-cerita lainnya, kau bisa menjumpai para gali, petrus dan bumbu-bumbu politis lainnya, soal anggota DPR dan penyanyi dangdut juga ada, soal warna kuning yang menenggelamkan kota. Entahlah, aku tidak banyak membaca hingga aku tak bisa memberi penilaian apapun.

Aku akan kembali pada persoalan hantu-hantu dan bagaimana mereka bisa menjadi nyata dalam kehidupanku. Sore tadi ada Jathilan di Lapangan Terban. Para pemainnya masih belia. Barangkali seusia anak SMP. Di atas selembar spanduk yang dipajang di panggung, terlihat tulisan yang menunjukkan bahwa pertunjukan itu disebut sebagai jathilan kreasi baru. Aku tak mengerti. Mungkin karena penambahan seperangkat drum dalam musiknya, dan penambahan lagu-lagu campursari yang dibawakan para pemusik. Jathilan biasanya hanya diiringi musik, tanpa syair.

Aku melihat anak-anak itu menari, tapi tidak dalam tingkatan trans yang sebenarnya. Gerakan mereka hanya seperti ketika kita menari dan begitu merasa menikmatinya sambil setengah memejam mata. Tidak ada atraksi spektakuler. Tidak ada pula acara makan beling atau adegan mengupas kelapa dengan gigi. Anak-anak itu hanya memakan dupa yang menyala, bunga dan menyucup minyak srimpi dalam botol bayi. Mereka menari sambil sesekali bergantian bermain di kubangan lumpur yang sengaja dibuat di pojok panggung.

Tempat pertujukan mereka tak begitu luas, tak sampai menghabiskan setengah lapangan. panggung itu dipagari bambu membentuk persegi. Setengah sisanya dihuni para pedagang bakso, es krim dan berbagai makanan kecil lain. Anak-anak kecil berkerumun bersama para ibu. Dari luar pagar pembatas, beberapa orang terlihat sibuk memegang hp, memutar perekam video dan jadilah dokumentasi dari sebuah pertunjukan jathilan. Sore ini, lebih dari sepuluh orang sudah membuat film dokumenter lewat kamera hp mereka.

Beberapa remaja bergerombol. Aku baru melihat banyak remaja yang mirip-mirip penampilannya dengan remaja kampungku. Para remaja putri kelihatan senang sekali meluruskan rambutnya. Mereka datang ke lapangan dengan baju terbaik. Celana jeans ketat berwarna warni dengan atasan model-model masa kini. Mereka sibuk berfoto-foto, bergaya dengan rambut sedikit menutupi muka dan bibir sedikit dimonyongkan. Tak ada orang menenteng kamera mahal di sini. Hampir semua yang datang adalah orang kampung sekitar. Mereka menoton dan merekam peristiwa.

Aku tak melihat banyak hantu datang. Mungkin bukan hantu, tapi jin. Aku sendiri tak begitu jelas dengan perbedaannya. Seorang penari berguling-guling di tanah. Aku tak melihat ada jin yang menyusup ke tubuhnya. Aku hanya melihat banyak makhluk berwajah buruk di sekitar panggung dan di sebelah laki-laki berikat kepala hitam. Laki-laki itu bertugas menjaga pertunjukan berikut para penarinya. Mereka terus saja menari hingga senja hampir menghilang.

Sudah lama sekali aku menutup mataku dan tak lagi melihat hantu-hantu. Sore ini aku melihat mereka lagi. Hantu-hantu itu menyedihkan. Sama menyedihkannya dengan orang-orang yang menonton, sama menyedihkannya dengan para penari yang wajahnya ditutup bedak tebal dan riasan aneh-aneh. Hei, inilah seni tradisi.

Seorang anak kecil berkulit putih sekali, telanjang, duduk sambil memeluk lutut di antara bapak-bapak yang membawa anjing. Anjing mereka menyalak-nyalak garang. Si anak melihat mata anjing itu dan menemukan dirinya sendiri. Wajahnya sedih seperti ingin menangis. Aku melewatinya tanpa berkata apapun ketika berjalan pulang.

Jangan percaya ceritaku. Semua yang kulihat tentang hantu dan jin-jin itu hanya imajinasiku. Kau tahu kalau aku sudah tidak sakti lagi. Aku sudah tak bisa menebak hujan seperti dulu. Tentu saja ini bukan salahmu. Tapi aku ingin menyalahkanmu atas semua kemurungan ini. Aku sama sekali tak keberatan dengan kehilangan-kehilangan yang menyertaiku sejak aku menemukanmu, meski aku benar-benar ingin menyalahkanmu. Kau tahu, kau sering membuatku menangis di malam hari.

Baru saja aku bertemu dengan Roberto Benigni yang berperan sebagai sopir taksi dalam film Jim Jarmusch berjudul Night on Earth (1991). Ia mengoceh ketika melihat sebuah hotel bernama Genius. Lalu mengarang cerita bahwa orang-orang pintar sedang bertemu dan menginap di sana. Ya, kalau kau tak mendapat kamar di Hotel Genius, kau bisa datang ke Hotel Imbisil. Ocehannya berlanjut dengan pengakuan dosa konyol yang membuat seorang Bishop mati di kursi belakang taksinya. Ocehan yang murni improvisasi, tak ada dalam skrip. Sosoknya mengingatkanku pada Woody Allen dan aku sangat merindukannya. Kau pamer sudah menorrent Blue Jasmine. Dengan seenaknya kau cerita hanya berani menonton sepuluh menit pertama, sedangkan aku hampir pingsan ingin menontonnya di sini. Aku tak akan menyuruhmu lagi untuk segera kembali. Aku sama sekali tak punya hak untuk itu. Tapi aku kangen sama Woody Allen.

Beginilah kalau dasarnya aku bukan tukang bikin cerita. Betapa dungu soal alur dan cara bikin kalimat yang baik dan benar. Masih ada satu makhluk yang nangkring di atas tumpukan buku. Aku tak menghiraukannya. Aku hanya pura-pura melihat makhluk-makhluk menyedihkan itu sebagai salah satu cara untuk membuatku lebih baik.

Kemarin aku berjanji pada diriku sendiri untuk menulis. Aku tak peduli jadinya tulisan seperti apa. Dengan ini setidaknya aku sudah memenuhi janjiku. Aku masih berhutang pada diriku sendiri satu tulisan lagi di luar kewajiban yang harus segera dikerjakan. Sudahlah, aku muak sekali denganmu.


Kamar Kost, 12 Januari 2014