Sabtu, 22 Februari 2014

You Ain’t Seen Nothing Yet: Pertunjukan Ulang “Eurydice” dalam Citra Sinematik Alain Resnais

Saya mendengar nama Jean Anouilh pertama kali dari naskah teaternya berjudul Thieves’ Carnival yang diterjemahkan Asrul Sani. Dan beberapa waktu yang lalu saya kembali menemukan naskahnya yang lain berjudul Eurydice menjadi bagian dari film Alain Resnais: You Aint’t Seen Nothing Yet. Film ini menarik bagi saya karena bisa mendengar naskah Anouilh diucapkan dengan bahasa aslinya. Aktifitas menulis naskah menemukan realisasinya dalam pertunjukan dan pertunjukan menemukan dirinya lewat kehadiran penonton, sementara penonton juga bukan ujung akhir dari rangkaian tersebut melainkan menjadi awal dari suatu proses resiprokal yang terus berkesinambungan. Demikian halnya dengan Resnais yang melihat naskah tersebut dipentaskan kemudian menciptakannya kembali dalam filmnya kali ini.

Eurydice ditampilkan sebagai subjek cerita dimana narasi film hanya menjadi pembungkus yang menonjol di bagian awal dan akhir. Anouilh menulis naskah tersebut pada awal 1940-an ketika Jerman menduduki Prancis. Sebuah kisah tragis yang bernada pesimis memang. Begitu dekatnya cinta dan kematian yang ternyata hanya dibedakan oleh satu huruf vokal saja: l'amour dan la mort. Tahun 1950, Jean Cocteau membuat film berdasarkan mitos serupa. Namun, ia hanya menggunakan mitos tersebut untuk mengungkapkan perangkat simbolnya sendiri. Lewat kamera dan lingkupnya, penonton diajak menembus cermin Cocteau sebagai pintu menuju dunia kematian, sebuah adegan dan simbol yang bisa dimaknai apapun. Lantas apa yang menarik dari Resnais?

Resnais selalu memiliki perlakuan unik terhadap teks sastra sebagai salah satu bagian dasar dari filmnya, termasuk naskah drama. Setelah Hiroshima Mon Amour (1959), karena saya belum sempat menikmati film-film Resnais yang dibuat belakangan, saya menantikan film-film serupa yang tidak hanya melakukan adaptasi terhadap karya sastra tetapi juga menambahkan citraan-citraan baru di dalamnya. Tak terkecuali dengan film ini, Resnais menunjukkan bagaimana gambar-gambar diproduksi dengan rangkaian teks sastra di kepala. Dalam tujuh dekade karirnya, Resnais masih setia bermain-main di wilayah ingatan manusia yang kali ini melibatkan sebuah nasakah drama dan ingatan para aktornya.

You Ain’t Seen Nothing Yet diawali dengan rangkaian adegan paralel yang dipercepat. Para aktor diminta berkumpul di sebuah rumah untuk mendengarkan pesan terakhir dari sahabat sekaligus orang yang pernah menyutradarai pertunjukan teater mereka. Di rumah besar itu, orang yang dikabarkan telah meninggal tersebut muncul dalam rekaman video dan meminta para aktor untuk menyaksikan pertunjukan ulang Eurydice yang dulu pernah mereka perankan. Dari sinilah lapis-lapis struktur dalam film ini mulai dimainkan.

Naskah Eurydice ditulis Anouilh dengan menulis kembali mitos Orpheus yang digambarkannya sebagai seorang pemain violin di restoran pinggir stasiun, sementara Eurydice sebagai salah satu aktris kelompok teater. Lapis pertama dalam film memperlihatkan video pertunjukan yang ditonton oleh aktor-aktor yang pernah memerankan karakter-karakter tersebut. Sepanjang menonton video, masing-masing aktor menyusuri kembali ingatan dalam dialog-dialog yang dulu pernah mereka ucapkan.

Lapis kedua merupakan transposisi citra sinematik yang lebih kompleks. Latar rumah besar dimana para aktor duduk menonton video, dengan pelan dan lembut berubah menjadi latar dalam naskah drama: restoran pinggir stasiun dan sebuah kamar hotel. Aktor-aktor yang menonton video tersebut memerankan kembali karakter-karakter yang dulu pernah mereka mainkan. Ingatan aktor tidak hanya akan bercerita tentang dialog seperti apa yang pernah mereka ucapkan melainkan dengan seluruh proses pembentukan karakter mereka berikut naskah, latar, panggung dan peran-perannya.

Gambaran ingatan aktor benar-benar diwujudkan Resnais dalam rangkaian adegan panjang. Resnais membuat khayalan kolektif sekelompok aktor yang duduk menonton di tempatnya masing-masing, seolah-olah sedang berdialog satu sama lain tetapi sebenarnya mereka hanya berdialog dengan layar yang menampilkan video pertunjukan. Sedangkan bagi penonton film itu sendiri, seberapapun banyaknya dimensi ruang yang dihadirkan dalam film, penonton hanya dapat menikmati layar dua dimensi yang tak dapat ditembus. Meskipun demikian, setiap karakter berikut cerita yang membentuknya akan selalu menjadi penghubung ruang, waktu dan psikologis antara film dan penontonnya.

Resnais menghadirkan tiga pasang karakter Orpheus dan Eurydice yang bisa jadi mewakili tiga generasi. Dalam video yang diperlihatkan, naskah Eurydice ditampilkan dengan latar berbeda. Para aktor menggulingkan drum besar yang kemudian ditata menjadi meja-meja restauran. Sebuah bandul dilepaskan sebagai pengganti jam besar yang terletak di stasiun dalam naskah aslinya. Mise-en-scene dalam video tersebut sudah mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini, apalagi saya yang menyukai teater. Naskah yang sama bisa jadi ditampilkan dengan sangat berbeda di tiap zaman. Orang akan selalu menerjemahkan, membaca dan menulis ulang sesuai dengan zamannya. Bahkan, gaya akting pun bisa kita saksikan perbedaannya dalam tiga generasi yang memerankan Orpheus dan Eurydice.

Di beberapa bagian, Resnais membuat dua wilayah antara aktor dalam video dan para aktor yang menontonnya bisa saling menembus, saling berdialog. Wilayah-wilayah cermin dimainkan dengan capaian teknis film yang memperlihatkan keterlibatan spasial dan emosional antara penonton video dan layar di hadapan mereka. Resnais dengan cantik mendekatkan kamera, membuat lingkaran di seputar wajah para aktor dan menggelapkan sisi luarnya. Ekspresi aktor tampak kuat dengan teknik ini, ekspresi yang memperlihatkan wajah-wajah yang larut menatap layar, menatap diri dengan peran masing-masing dalam video. Para aktor tidak hanya mengingat, melainkan juga memaknai sambil memandang pertunjukan dalam video sebagai persona, semacam topeng-topeng yang sempat dikenakan dan mungkin masih tersisa dalam diri mereka.

Resnais bahkan membelah layar menjadi dua atau empat bagian untuk menghadirkan adegan yang sama, namun diperankan oleh aktor yang berbeda. Di beberapa bagian, Resnais menggunakan trik-trik sulap yang sekilas terlihat naif. Seorang aktor bisa tiba-tiba menghilang dan muncul perlahan. Teknik tersebut barangkali dapat dibaca sebagai suatu cara untuk menguatkan surealitas naskah aslinya. Namun bisa jadi Resnais ingin mengatakan bahwa keajaiban dalam film memang tidak dapat bertahan selamanya, sebagaimana panggung teater bagi seorang aktor. Menjadi Eurydice hanya akan bertahan dalam hitungan jam dan selebihnya, seorang aktor akan memerankan peran-perannya yang lain.

Cerita film ini pun sebenarnya tidak terlalu jauh dengan kisah cinta Opheus dan Eurydice. Di awal film, penonton sudah diberi tahu kalau sutradara yang meninggal tersebut adalah orang yang kerap gagal dalam kisah percintaannya di dunia nyata. Di akhir film, sang sutradara memang dikabarkan tak jadi meninggal. Ia muncul setelah video pertunjukan selesai diputar. Namun tak lama kemudian, pada sebuah pagi, sang sutradara terlihat menceburkan diri ke kolam dan ditemukan meninggal. Lalu film pun ditutup dengan adegan seorang gadis muda yang muncul sembunyi-sembunyi di pemakaman. Sang sutradara terkesan seperti Eurydice yang kembali ke dunia nyata namun tetap berakhir di dunia kematian, wilayah yang digambarkan Resnais sebagai hutan gelap berwarna kebiruan dengan selimut kabut dan asap-asap tipis.  

Dalam naskah drama maupun filmnya, kisah ini memang diselimuti adegan-adegan sureal yang ironisnya justru bisa dicapai dengan sempurna lewat perangkat kamera dan mode penyuntingan gambar film. Mitos Orpheus adalah cerita masa lalu yang dalam sekian tahun telah dipelintir, digarisbawahi bahkan disalahartikan oleh sekian banyak penulis maupun pembuat film. Lewat Anouilh, dan yang kita saksikan sekarang adalah film Alain Resnais, cerita ini menjadi milik masa kini, bahkan menarik rasa ingin tahu seseorang untuk menelusurinya kembali, jauh ke belakang. Mitos atau apapun sebutannya akan selalu menyediakan diri untuk ditafsir ulang sekaligus menyusun sendiri petualangannya dari zaman ke zaman.

Apa yang kita saksikan dalam film Resnais memang belum memperlihatkan apapun, sebagaimana judul film itu berusaha untuk mengajak penonton menziarahi kembali, menemukan metafor dan alegori tentang cinta dan kematian yang telah dituturkan lewat begitu banyak cerita. Satu hal yang nyata dari film Resnais maupun naskah drama Anouilh adalah: perempuan akan bertemu dengan laki-laki, lalu berpisah, entah oleh kematian atau cinta yang selalu kalah dengan kenyataan.

Ditulis ketika hujan deras dan berniat membuat pengantar untuk Bab 2. Sebuah niat yang urung karena saya terlalu merindukan seseorang. Jadi, salahkan saja orang itu kalau saya malah menulis hal-hal semacam ini. Huft.

22 Febuari 2014

Rabu, 05 Februari 2014

Merekam Pemuda Jeruk Keprok yang Menemani Saya Makan Malam Sambil Menulis Sepanjang Satu Setengah Halaman

Warung makan pinggir jalan itu sepi. Ketika saya tiba, hanya ada dua laki-laki yang makan malam di sana. Satu laki-laki sudah beranjak pergi. Satu lagi langsung menyita perhatian saya. Di depannya tampak segelas air putih yang tinggal dua per tiga tersisa. Tak ada lagi makanan. Mungkin dia sudah menghabiskannya dan menyuruh si penjual untuk membersihkan meja. Benda yang tampak di depannya adalah dua buah buku. Satu buku sedang dibuka-bukanya. Satu lagi tergeletak di meja, agak ke samping. Bersamaan dengan saat makanan saya tiba, pemuda itu meletakkan buku yang dibacanya lalu mengambil buku tulis bersampul kartun burung-burung marah (angry birds). Ia mulai menulis.

Pemuda itu memakai kaos oranye warna jeruk bertuliskan Qur’anic Writing. Hmmm... ini pasti metode menulis mutakhir yang bisa membuat penggunanya disayang tuhan dan masuk surga. Karena warna kaosnya itulah saya kemudian memanggilnya Pemuda Jeruk Keprok. Malam ini terang benderang, tapi rambut dan wajah Pemuda Jeruk Keprok tampak basah. Ia tentu saja tidak habis kehujanan, mungkin ia habis mencuci muka atau bisa jadi wajahnya basah karena keringat kelelahan, efek sehabis makan atau satu bidang di otaknya sedang kebakaran sehinga harus segera diselamatkan dengan menulis.

Barangkali ia merasa kalau saya perhatikan. Mungkin juga tidak karena begitu asyiknya ia menulis. Kadang-kadang bibirnya seperti menggumamkan sesuatu. Sekilas memandang ke depan tapi pikirannya tak pernah melayang-layang. Saya seperti melihat tokoh-tokoh cerita sedang berloncatan dari tinta penanya. Alur-alur berkelok-kelok dan bercabang-cabang menganak sungai. Lancar sekali ia menulis, batin saya. Ia hanya pernah berhenti beberapa detik untuk kemudian melanjutkan menulis lagi.

Wajah pemuda itu sebenarnya tak asing. Ingatan saya tentang wajah orang cukup lumayan meski sampai sekarang keadaannya tetap demikian: saya mengingat banyak wajah yang tidak pernah mengingat wajah saya. Haha.  Kemarin malam, saya melihat pemuda dengan gaya kemayu itu datang bersama temannya yang penulis di sebuah acara yang isinya juga kebanyakan penulis. Dengan temannya itu, Pemuda Jeruk Keprok membicarakan sebuah buku yang sudah diterbitkan beberapa kali dan membandingkan penyuntingannya. Pemuda Jeruk Keprok masih saja menemukan dua kata ‘dan’ dalam satu kalimat di buku itu. Entah sudah cetakan keberapa, buku itu masih juga jelek suntingannya.

Tentu saja ingatan dan kuping saya ini tidak akurat. Jadi apa yang saya tuliskan di sini sebatas reka-reka belaka. Saya tak menghitung berapa sendok nasi yang sudah masuk ke mulut. Dan Pemuda Jeruk Keprok masih saja menulis. Huruf-hurufnya berjejer kecil-kecil dan rapi. Satu halaman penuh ia isi hanya dengan beberapa kali jeda, sesekali melihat ke depan atau meneguk air putih. Beberapa waktu berselang, ia terlihat membuka halaman sebelumnya dan di sana sudah pula penuh dengan tulisan. Entah sudah berapa lama Pemuda Jeruk Keprok berapa di warung makan itu. Ia sekilas membacai lagi tulisannya yang kelihatan hampir tanpa coretan. Sesekali ia juga membukai halaman belakang buku bersampul burung-burung marah itu. Di sana pun sudah ada tulisannya. Otak saya sungguh penuh ide usil dan iseng. Ah, tapi tetap saja saya hanya duduk di tempat dan membayang-bayangkan sendiri apa yang sedang ditulisnya.

Pemuda Jeruk Keprok bagi saya menjadi pemandangan ganjil karena biasanya orang mengobrol atau memainkan gadget sembari makan. Ia duduk sendirian. Saya pun demikian. Mata kami tak pernah bertemu. Tampaknya ia sungguh sibuk dengan pikirannya. Sesekali ia menulis sambil memegang dahi. Sementara saya senang-senang saja melihatnya menulis begitu. Lancar sekali ia menulis. Pasti sebelum memulai ia membaca bismillah dulu. Pemuda Jeruk Keprok juga membuat saya iri. Ia bisa menulis di mana saja. Beda dengan saya yang cuma jadi manusia kamar tapi juga gak nulis-nulis, yang ketika berada di keramaian terlalu asyik memandangi banyak hal dengan pikiran mengembara entah sampai di mana.

Sudah satu setengah halaman, ia tiba-tiba membuka tutup bawah pena birunya. Ada satu bagian dari pena itu yang jatuh ke meja. Pemuda Jeruk Keprok memungut dan memasangnya kembali. Saya tidak tahu apakah penanya bermasalah. Karena tak lama setelah itu, Pemuda Jeruk Keprok mengambil jaket yang dari awal berada di pangkuannya. Ia membalik jaket itu dan mengenakannya. Dalam hati saya merasa sedih karena Pemuda Jeruk Keprok pasti akan segera pergi sehingga saya akan kehilangan kesenangan kecil malam ini.

Ketika ia berdiri dan membayar, saya segera menyusul si Pemuda Jeruk Keprok. Siapa tahu saya bisa mengintip buku apa yang sedang dibawanya itu. Pada akhirnya saya bisa melihat judul salah satu buku yang ia bawa, The Secret karangan Rondha Byrne. Njegleg sudah bayangan saya tentang Pemuda Jeruk Keprok. Meskipun tentu ada banyak kemungkinan kenapa Pemuda Jeruk Keprok membawa buku itu. Bisa jadi ia akan mengkritisi buku itu secara Qur’an-ni atau bisa pula ia tak sengaja menemukan buku itu di pinggir jalan (kemungkinan ini sungguh kecil. Buku-buku tak pernah berceceran di jalanan). Mungkin juga ia sedang memunguti kata-kata mutiara dari buku itu untuk mengejek orang-orang yang sudah tidak berpikir soal makan hari ini, yang percaya bahwa kaya dan sukses itu akan terwujud dengan berpikir positif dan membayangkannya setiap saat (orang miskin kemungkinan tidak akan percaya dengan buku ini). Bisa juga ia sedang menuliskan jalan menuju kesuksesannya yang akan dia baca ketika bangun tidur sebelum memulai hari. Entahlah. Dan tentu saja masih banyak kemungkinan lain. Pemuda Jeruk Keprok cepat sekali menghilang. Saya sama sekali tak bisa menemukan jejaknya sesaat setelah membayar makanan yang berlangsung hanya beberapa detik.

Tulisan ini mungkin sangat terkesan diselesaikan dengan paksa, sudah pasti tidak sebanding dengan judulnya yang panjang. Menceritakan kembali ingatan saya tentang Pemuda Jeruk Keprok ternyata tak menghabiskan halaman sebanyak apa yang ia tuliskan sepanjang saya makan malam. Tentu karena saya bukan Funes si Memorius, tokoh dalam cerita Borges yang digambarkan bisa mengingat segalanya. Kalau saja saya adalah Funes (meskipun saya sangat tidak menginginkan punya ingatan sepertinya), maka saya akan mengingat berapa kali Pemuda Jeruk Keprok melihat ke depan, masing-masing pada pukul berapa, berapa kali ia menghentikan penanya, berapa kali ia menggumam, atau kendaraan apa saja yang lewat ketika Pemuda Jeruk Keprok menuliskan satu huruf di atas kertasnya. Betapa cukup menyenangkannya ketemu Pemuda Jeruk Keprok malam ini. Salam hangat dari saya.

Kamar Kost, 5 Februari 2014