Jumat, 07 Maret 2014

Haihai...

Hai semua, apa kabar? Pembaca blog ini memang tidak banyak. Tapi saya cukup senang punya pembaca setia yang mungkin hanya ada satu atau dua orang saja. Kalau dilihat statistiknya, sejak tahun 2008 saya posting tulisan, baru sekitar 36.000 orang yang pernah membuka blog ini, tentu saja saya tidak masuk hitungan. Satu tulisan rata-rata bisa dibaca belasan hingga ratusan orang. Tugas-tugas kuliah saya zaman dulu seringkali terlihat punya lebih banyak pembaca daripada tulisan curhat nan geje. Ah, tapi angka-angka ini tak begitu penting. Tulisan-tulisan saya juga tidak begitu penting isinya. Termasuk juga yang ini.

Saya selalu punya alasan untuk tidak segera mengerjakan hal yang seharusnya dikerjakan. Alasan yang dibuat-buat hingga membuat banyak orang disekitar saya jadi sumpek melihat saya begini. Mungkin karena saya juga tak segera berani untuk memcoba. Padahal ada banyak orang yang sedang menunggu. Saya pun sudah menunggu sekian lama. Ah, tambah tidak jelas saja.

Baru saja saya ketemu Paijem, teman saya yang mungkin sudah beberapa kali muncul dalam blog ini. Dia lagi galau. Dari hari ke hari dia merasa tambah bodoh saja. Sama halnya dengan saya, dia juga sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan. Sekarang dia kerja di spa setelah sebelumnya tak betah jadi asisten manager sebuah perusahaan ritel. Seringkali saya mendengar kegalauannya. Kalau masalah galau hatinya mungkin tidak akan saya ceritakan di sini. Yang dia ceritakan tadi adalah kegalauan bahwa ilmu yang didapatnya selama empat tahun kuliah seperti menguap tak berbekas. Seringkali dia terkejut ketika mendengar bahasa atau istilah ilmiah, lalu beberapa detik kemudian baru menyadari bahwa dulu dia jelas tahu dan mempelajari hal itu.

Paijem itu pinter lho (pujian ini bukan karena dia sudah mentraktir saya makan bakso dan segelas es teh). IPK-nya lebih dari 3,5. Sejak SMP hingga SMA juga dia sudah pinter. Kalau tak sengaja ketemu teman-teman sekolahnya, yang sekarang rata-rata sudah sukses dan sudah kemana mana, Paijem kadang mikir juga, nasib orang memang lain-lain, dulunya begini sekarang bisa begitu. Beberapa waktu lalu dia mengirimi saya pesan pendek berbunyi begini: “Wanita jeruk purut. Malam sunyi jadi selimut. Layar laptop sesungguhnya mulai bersungut. Capai ia diajaknya begadang hingga larut. Wanita jeruk purut. Dalam dunianya dia larut.” Hahaha... Si Paijem itu tentu sudah membaca tulisan saya yang gak mutu tentang Pemuda Jeruk Keprok.

Malam ini Paijem bercerita tentang wawancaranya di sebuah perguruan tinggi swasta untuk posisi peneliti. Betapa bolong pikirannya ketika ditanyai apa kira-kira sambungan ilmu yang sudah pernah ia pelajari dengan teologi. Bahkan Paijem sendiri tidak ingat menjawab apa. Mungkin dia bisa menjelaskan kepada orang biasa seperti saya, tapi tidak dihadapan seorang romo yang sudah tujuh tahun belajar tentang Islam di Mesir. Ia lalu ditanya tentang skripsinya. Bolonglah lagi pikiranya, hampir dia tak ingat apa kesimpulan dari skripsi kerennya tentang Muslim Tionghoa di Yogyakarta. Paijem ingin membaca lagi, menulis lagi dan itu yang saya suka darinya.

Tak butuh banyak rencana, saya dan Paijem bisa menonton film di LIP malam ini. Sebuah film berjudul The Girl on the Train (2009) yang disutradarai oleh Andre Techine. Komentar Paijem tentang film itu singkat saja, bahwa dia ndak ngerti. Dan mungkin memang begitu. Film itu terlalu riuh berkisah tapi tidak meletakkan fondasi yang kuat di dasar ceritanya. Ada banyak ide disampirkan dan berseliweran namun terkesan tidak tuntas.

Film itu bercerita tentang seorang gadis pencari kerja. Ibunya mendorongnya untuk menjadi sekretaris di sebuah firma hukum milik kawan bapaknya. Si gadis tiba-tiba bertemu dengan seorang pemuda. Tak lama kemudian, si pemuda mendekam di penjara karena berurusan dengan obat terlarang. Situasi demikian membuat si gadis menciptakan kebohongan bahwa pada suatu hari ia diserang oleh kelompok anti semit di kereta hanya karena ia membawa kartu nama pengacara Yahudi kenalan bapaknya. Media membuat ulah gadis itu jadi berita penting dan besar sampai-sampai presiden ikut berkomentar. Dampak dari ulah di gadis ini tidak dikembangkan. Alur cerita justru berbelok ke arah lain. Penonton jadi dibuat menunggu-nunggu kelanjutan cerita yang berakhir dengan datar saja. Si gadis mengaku dan berkat bantuan si pengacara, ia mendapat keringanan dari hukuman penjara dan denda akibat perbuatannya.

Karakter gadis yang menciptakan kebohongan publik itu tidak dieksplorasi secara mendalam. Film ini tampaknya tak terlalu tertarik untuk menjelaskan sesuatu dengan detail, padahal sisi psikologis tokoh utama sebenarnya sangat menarik. Penonton kelelahan mencerna semua yang dimasukkan dalam cerita: tentang keluarga si pengacara, seorang ibu yang mendorong terlalu keras kepada anaknya untuk sebuah pekerjaan, isu anti semit, sebuah upacara bar mitzvah, hubungan si gadis dan cucu laki-laki pengacara, semua terasa terlalu kompleks dan besar. Saya belum melihat film Techine yang lain sehingga tak tahu juga seperti apa kekhasan dan kecenderungan sutradara ini. Acara menonton diakhiri dengan menggigit biskuit yang cuma nyangkut di sela gigi.

Setelah menonton film, saya melanjutkan percakapan dengan paijem sambil makan bakso. Beberapa kali Paijem menghubungi kekasihnya yang mungkin sudah akan pulang kerja. Tak ada yang mengangkat telepon di seberang sana. Di layar hape Paijem tampak foto kekasihnya itu. Paijem berkata kalau dia suka mengganti-ganti foto pacarnya itu sesuai dengan moodnya. Kami berbincang tentang hal-hal remeh, menggosipkan orang-orang terdekat kami, soal hati, nasib, dan entah apalagi. Paijem mau menikah sebentar lagi. Katanya lagi, susah nyari cincin karena jari pacarnya lebih kecil dari jarinya yang njemblek-njemblek itu. Model yang tak disukai terpaksa dibeli dan siap dijual lagi kalau ada keperluan mendadak. Fiuh.

Sekian salam dan sapa saya, khususnya buat para pembaca tercinta yang mungkin cuma satu atau dua orang saja.


Kamar Kost, 6 Maret 2014