Kamis, 06 November 2014

Hai

Sudah sekian bulan blog tidak terisi. Sejenak aku mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hiruk pikuk dunia. Soal cinta jangan ditanya lagi. Tambah runyam dan menggantung tanpa keberanian untuk menyelesaikan. Soal tesis apalagi. Sama sekali belum bertambah juga itu jumlah halaman. Semuanya terbengkalai. Banyak juga cerita menarik terlewat. Mungkin karena aku terlalu jarang tertawa dan disibukkan oleh hal-hal yang tak seharusnya menyibukkan. Aku begitu sibuk tak melakukan apapun, entah menulis, entah membaca atau menonton film sekadarnya.

Sejak pertemuan terakhir denganmu, wahai teman sebelah (jabatannya sekarang sudah diturunkan kembali secara sepihak. Sudah bukan bebeb lagi), jujur aku begitu banyak merasa kehilangan. Buntu sudah menjadi kepastian. Dan sekarang apa yang bisa kulakukan dengan tidak banyak mendengar cerita-cerita darinya. Teman sebelah sibuk bekerja dan aku sibuk membayangkannya bekerja, pekerjaan maha berat, mengubah dunia. Kalaupun aku diajaknya bicara suatu hari nanti ketika kita bertemu kembali, tentu aku akan kesulitan untuk mengerti, meski setidaknyambung apapun, aku dan teman sebelah akan selalu punya sambungan untuk pembicaraan kami. Hubungan semacam ini tidak mudah didapat. Seumur hidup memang cuma ada satu teman sebelah.

Malam ini ada IDRF, hal yang membuatku akhirnya bisa ngetik lagi. Rasanya memang belum kehilangan kemampuan untuk hal-hal semacam ini. Menuangkan nggrantes lewat tulisan dan tak malu dibaca banyak orang. Beberapa hari di jogja ini serasa hidup kembali, ada kelegaan yang luar biasa meski hanya sesaat. Kangen urip gathel sama teman sebelah itu jelas. Jelas sekali rasanya ketika mengambil motor di kontrakannya, membuka kamarnya yang berdebu dan sejenak membaringkan tubuh di kasur jahanam itu. “Menggigil adalah menghafal rute menuju ibukota tubuhmu,” kubayangkan kau berbisik di telinga sambil memelukku, mengutip sebait puisi.

Siapa yang akan kuceritai tentang film-film yang kutonton atau novel-novel yang kubaca, sementara komunikasi kita semakin jarang. Aku tak pernah lagi menanyakan apakah kau sudah makan, sudah mandi, sudah gosok gigi, sedang apa, sama siapa, melakukan apa, dimana, dan segalanya. Demikian juga denganmu. Cukup rasanya memastikan bahwa kita masih sama-sama tetap bisa hidup meskipun tidak berdekatan, tidak lagi bersama. Apa yang kaubayangkan tentang diriku mungkin berbeda tapi ini memang terlalu sakit. Dan tentu saja tak bisa kuceritakan semuanya di sini. Aku memilih pergi meninggalkan dunia kita meski tak ingin. Kau tahu bagimana itu terjadi.

Hari-hari di jogja rasanya terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja di dalam kamar kost meski tidur seharian di kost rasanya lebih melegakan daripada tidur seharian di rumah. Aneh, bukan? Begitupun aku masih menjadi tahanan yang wajib lapor tentang segala sesuatu yang aku lakukan di sini. Mereka lega pula karena kau tak ada di sini. Tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Rasanya seperti tidak menjadi manusia. Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.

Tema IDRF tahun ini cukup menarik. Membaca lakon-lakon awal kemerdekaan. Hari ini ada dua lakon yang dibacakan. Lakon Usmar Ismail berjudul Liburan Seniman (1944) dan Drama Rekonstruksi Rapat BPUPKI dan PPKI oleh Muhammad Anis Ba’asyin. Sebuah lakon yang kuat akan mampu mengundang perhatian penonton meski hanya dibacakan. Liburan Seniman memang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya walau hanya dua babak yang dibacakan. Konon katanya lakon ini masuk ke periodesasi propaganda dalam rentang periode lakon Indonesia setelah periode romantis dan sebelum masuk ke periode revolusi. Wow, ada yang meneliti hal beginian ternyata. Katanya juga, lakon Usmar selalu lolos dari sensor Jepang meski di dalamnya banyak mengandung unsur propaganda.

Lakon kedua dibacakan dengan terlalu banyak guyon. Aku tak menyalahkan hal itu dan sangat menghargai model interpretasi naskah segila apapun. Tapi dalam soal ini,  aku sayang pada naskahnya, merasa kasihan pada penulisnya yang sudah susah payah merekonstruksi ulang. Dalam bayanganku malah tergambar adegan film yang merekam kejadian itu. Lengkap dengan karakter tokoh dan bangunan suasana pada masa itu.

IDRF hari kedua tampaknya tidak akan pernah kusaksikan. Aku akan kembali mengasingkan diri. Semoga setelah ini akan lebih banyak tulisan menye-menye yang muncul kembali. Menye-menye yang sangat berarti buatku. Menulis masih membuatku merasa hidup. Dan memang sekarang aku masih hidup. Kau tahu, kadang kau menjadi saluran yang menghubungkanku dengan pengetahuan-pengetahuan. Menjauhnya aku darimu sedikit banyak juga menjauhkanku dengan pengetahuan-pengetahuan. Aku tidak tahu bahwa di Blitar, ada rakyat yang baru saja mereklaim tanahnya. Dan aku masih tidak mengerti apa yang dibicarakan Bruno Latour bahwa keseluruhan itu selalu lebih kecil dari bagian-bagiannya.

Segeralah bertemu dengan perempuan yang mengenal Arthur Rimbaud. Mungkin aku akan merasa lebih baik kalau kau yang jahat padaku, bukan sebaliknya. Kumpulan puisi Mira Sato kau tinggal di kontrakan rupanya. Padahal aku ingin kau membacanya di saat-saat buntu dengan tetek bengek teori, jurnal, dan pekerjaanmu. Salam buat teman-temanmu di sana. Semoga usaha kalian mengubah dunia tidak akan sia-sia, setidaknya akan ada malaikat yang mencatat kebaikan kalian semua demi cita-cita luhur kalian itu. Amin.  



Kamar Kost, 6 November 2014