Senin, 03 Agustus 2015

Sebuah Upaya Untuk...

Bodoh sekali. Seharian ini aku menunggumu. Kedatanganmu yang dramatis dan mengejutkan dua hari lalu membuatku terus berpikir bahwa kau bisa datang begitu saja dengan tiba-tiba, tanpa kabar dan berita sebelumnya, dengan peluh dan napas yang tinggal setengah-setengah. Mungkin tidak hanya pada senja kau bisa muncul dengan tiba-tiba di depan pintu rumahku. Bisa jadi kau akan muncul di tengah malam atau di pagi buta. Begitu singkatnya pertemuan itu hingga aku masih belum percaya kalau dua hari lalu kita benar-benar bertemu. Dan aku masih membuatkanmu kopi, menemanimu makan, lalu mengantarmu pulang ketika purnama ikut menyambut kesedihan kita yang sudah begitu usang.

Begitu melihatmu, image yang muncul dalam kepalaku sungguh mirip adegan film dimana aku ingin berlari memelukmu, mengusap peluhmu, menghujanimu dengan ciuman dan kata-kata rindu. Rasanya memang tidak ada penghalang bagiku untuk melakukannya tapi entah kenapa aku sangat menahan diri. Mungkin kau juga begitu. Sebegitunya aku berusaha menahan diri hingga pada akhirnya hanya bisa mrebes mili.

Kau mengabarkan kelulusanmu. Iya, aku tahu. Kau bahagia dengan itu? Mungkin iya, begitulah rasanya bahagia ketika seorang anak yang dibanggakan bisa membuat orang tuanya lega. Pembicaraan singkat itu sudah jelas menempatkan kita pada posisi dan tangung jawab yang harus ditanggung sendiri-sendiri. Tidak bisa bersama? Sudah jelas tidak.

Aku senang kau marah-marah dan memaksaku menyelesaikan kuliah. Masih sempat pula kau membawakanku buku sementara gono gini kita entah bagaimana nasibnya. Aku membacanya sedikit. Masmu mungkin tertarik dengan bahasan soal film Islam-islaman yang dalam Ayat-Ayat Cinta, Islam dicitrakan sebagai sesuatu yang glamour. Aku masih ingat Masmu pernah bilang begitu. Aku senang meski hanya sempat mendengar sedikit cerita tentang buku, film, dan kabar teman-temanmu. Sudah lama aku tidak mendengar orang ngomong seng. Aku sudah menonton Z (1969), film Costa Gavras yang kau bicarakan. Filmnya agak datar meskipun ending-nya membahagiakan. Aku sempat menonton beberapa filmnya yang lain: Missing dan Amen yang bagiku cukup membosankan. Plotnya lumayan tapi filmnya terasa begitu sepi, seperti tanpa upaya untuk melibatkan emosi penonton, bahkan musik latar pun tampaknya jarang terdengar. Tapi dia cukup punya gaya. Cerita detektif atau pencarian orang hilang memang tidak perlu sedramatis Hitchcock meramunya. Kau tahu sendiri bahwa aku menyukai film-film yang bisa membuatku terhubung dengan ilusi dalam layar, salah satunya lewat ikatan emosi. Beda dengan Dardenne bersaudara. Meskipun jarang pula melibatkan musik dan lebih memilih noise, fokusnya terhadap subjek bisa membuatku terhubung, seperti kembali menikmati Bresson yang kekinian.

Aku juga menonton God Help the Girl (2014), tipikal film musikal yang indie-indie-an. Entahlah. Kau tahu aku jarang membaca dan kerjaanku cuma menonton saja. Tapi setelah sekian lama aku tak menulis akhirnya aku bisa kembali menulis meski cuma jadi curhatan nggrantes. Bayangin dah kalau kamu mau datang lagi. Kelar lah tesisku. Masem... Kau belum bertemu ibuku. Aku mengkhawatirkan kesehatanmu hingga tak berani memintamu untuk datang sekali lagi. Ada yang masih terasa mengganjal. Tapi tak apa kalau kau tak datang lagi. Mungkin dua tahun lagi. Mungkin tidak akan pernah lagi. Tak apa.

Aku ingin bilang terima kasih. Aku ingin bilang maaf dan entah karena apa aku masih tidak bisa merasakan kalau kita benar-benar sudah berpisah. Memang sudah? Memang kita pernah bersama? Ah.  

3 Agustus 2015

Selasa, 20 Januari 2015

Dini Hari, Hal-Hal yang Kutemui dalam Perjalanan Pulang dari Tempat Pertapaan

Aku menyebut mereka sebagai teman-teman kalong, kepada siapa saja yang tak pernah tidur di malam hari, yang menemaniku dalam perjalanan pulang, sekitar empat puluh lima menit waktu tempuhnya, bisa lebih cepat kalau mau ngebut. Saat dini hari, jalanan begitu sepi dan merekalah yang biasanya kutemui. Apakah kau masih tidak tidur di malam hari? Kalau aku masih setiap hari. Paling cepat aku tidur jam tiga pagi. Jangan tanya aku melakukan apa hingga tak pernah tidur, yang pasti bukan menulis. Aku belum bisa menjawabnya. Baiklah, kali ini akan kuceritakan tentang apa saja yang kutemui dalam perjalanan pulang saat dini hari. Aku ingin kau melihatku kali ini. Akan kukenalkan kau pada jalan, malam, dan hal-hal yang mungkin kau temui. Maka aku akan memberitahumu dengan rinci, bila suatu hari kau melakukan perjalanan sepertiku, kau tak akan menemui banyak kesulitan, meski ini juga tak mungkin terjadi. 

Bisa dipastikan kalau kau memacu motor dengan kecepatan 60-70 km/jam pada pukul tiga dini hari, kau akan bertemu dengan udara dingin yang mampu menembus jaket murahan seperti yang kukenakan. Aku tidak punya jaket anti dingin seperti punyamu itu. Udara dingin semakin mengakrabi dan aku sangat berterima kasih kepadamu atas jurus rahasia mengeluarkan angin dari dalam tubuh yang kau ajarkan padaku. Salah satu teman dari udara dingin yang sering kujumpai adalah kabut. Seandainya kau bertemu butiran-butiran air yang rapat dan lembut itu, kau tentu harus mengurangi kecepatan karena jarak pandang akan berkurang. Apabila kabut datang, kau bisa memakai siasat melawan dinginmu, berteriak-teriak atau bernyanyi kencang-kencang. Tidak ada yang akan mendengarmu, tidak ada pula yang akan menganggapmu gila. Saat-saat inilah kau akan bertemu dengan teman-teman kalong lain. Mereka akan mendahuluimu atau sebaliknya, sambil kau harus terus waspada dan  berhati-hati menghindari lubang-lubang jalan.

Teman kalong yang pertama dan cukup berbahaya adalah penjual sayur. Di kehidupan sebelumnya, mungkin mereka ini adalah para pembalap dunia. Mereka biasanya kulakan sayur sejak pagi buta. Segala macam sayuran, bahan makanan, sampai jajanan, dibungkusi dengan plastik lalu ditata, diletakkan atau dicantelkan dalam kerangjang. Setiap hari mereka membonceng keranjang yang penuh dengan muatan. Sebagian besar dari mereka laki-laki. Mereka berkendara dengan kecepatan tinggi, padahal motornya kadang sudah tak layak lagi, yang terpaksa harus dipacu begitu rupa. Penjual sayur biasanya tidak melakukan perjalanan sendirian. Kau akan bertemu dengan lima orang sekaligus yang bisa mendahuluimu secara bergantian. Kalau sedang malang, mereka tanpa sadar bisa kehilangan barang dagangannya di jalan. Kalau barang dagangannya tidak diiikat kuat, bisa jadi akan jatuh di jalanan. Jangan heran kalau kau bertemu segepok kerupuk yang jatuh dijalanan, pernah pula bungkusan kresek hitam berisi roti bolang-baling. Barang-barang yang terjatuh ini pun bisa jadi bahaya. Kalau kau menghindarinya saat kecepatan motor tinggi, akan sangat beresiko mengganggu keseimbangan. Kau boleh memungut barang-barang yang terjatuh itu, meski aku tak pernah melakukannya.

Kalau kau pulang agak pagi menjelang terang, biasanya kau akan banyak bertemu dengan truk tangki pengangkut air. Mendahului mereka ini gampang-gampang susah. Laju mereka kadang memang tidak terlalu kencang. Tapi karena sempitnya jalan, susah untuk mengambil tempat sebelum menyalip. Kau harus memastikan dulu bahwa tidak ada kendaraan lain yang melaju dari arah berlawanan dalam jarak dekat. Yang menyebalkan, kalau mereka sedang melaju kencang sedangkan kesempatan untuk mendahului tak datang-datang. Kau harus rela mengekor mereka dengan menghirup karbon monoksida dan bau solar yang memuakkan. Kalau sudah begitu, jaket harus dicuci sampai rumah, termasuk juga muka. Sebentar kau mungkin akan merasa hangat karena asap knalpot yang meniup-niup tubuhmu, tapi ini sungguh memuakkan.

Truk tangki tak beda jauh dengan truk bermuatan pasir atau batu. Mereka biasanya berangkat dini hari untuk mengambil muatan. Bahkan, ada yang tujuannya sampai ke Kulon Progo. Beberapa truk akan mengambil muatan di daerah utara. Aku tidak terlalu banyak tau kemana mereka pergi, juga tidak tertarik untuk mengikuti mereka. Kau harus berhati-hati kalau ingin mendahului mereka di jalan menanjak. Truk-truk itu akan berjalan sangat lambat. Lebih lambat lagi kalau truk itu sudah bermuatan, tapi ini jarang terjadi. 

Teman-teman kalong lain adalah orang-orang yang entah kemana tujuannya. Mereka biasanya berkendara sendirian atau berboncengan. Aku tidak tahu mereka akan pergi kemana. Sebagian memang bisa ditebak. Kalau yang membawa tas besar dan kardus-kardus, mereka mungkin sedang diantar untuk bepergian jauh naik bus atau kereta. Kalau ada anak muda yang membawa tas punggung besar, mereka mungkin mahasiswa yang akan kembali ke kota tempat mereka kuliah. Kalau malam minggu, kau bisa mencurigai sepasang laki-laki dan perempuan yang berboncengan mesra sebagai pasangan selingkuh, tapi ini tentu imajinasi yang terlalu berlebihan.

Bicara soal malam minggu, teman-teman kalong lain adalah anak-anak muda yang sering mengadakan balapan. Mereka bergerombol di pinggir jalan sepi, biasanya pada track lurus yang cukup panjang. Aku belum pernah menyaksikan balapan mereka seperti apa, belum pernah pula aku diberhentikan karena jalannya mereka sita sementara. Mereka anak-anak berusia es em pe hingga es em a, yang biasa terlihat duduk atau nongkrong-nongkrong di pinggir jalan sambil merokok dan mengobrol dengan asiknya.

Di daerah selatan, sekitar tempat pertapaan, kau akan banyak menjumpai orang-orang yang sering ngawur jalannya. Mereka berkendara tanpa pernah menghidupkan lampu di malam hari, tanpa pernah menghidupkan lampu sen jika belok. Padahal, jalanan naik turun begitu sungguh berbahaya kalau tiba-tiba ada orang di depanmu, belum lagi kalau hujan dan jalanan licin. Sempat suatu kali aku ingin berhenti dan bertanya kepada mereka. Maksud mereka itu apa? Apakah dengan begitu mereka merasa hebat? Orang-orang sama sekali tak sayang pada nyawa sendiri. Orang-orang yang sungguh menyebalkan. Mungkin kalau kau yang bertemu mereka, semua pisuhan dan nama-nama hewan di kebun binatang akan kau keluarkan.

Kau juga harus berhati-hati dengan mobil-mobil yang berpapasan denganmu. Kau harus benar-benar memperlambat laju motormu. Lampu mobil mereka seringkali menyilaukan mata. Untuk sesaat jalanan bisa sama sekali tak terlihat. Untunglah mataku masih bisa diajak berkompromi, tapi kurasa matamu tidak. Kalau sempat bertemu mereka, titip pisuhan bertubi-tubi dan keluarkanlah semua nama-nama hewan di kebun binatang hingga kau lega. Pengendara mobil kurang ajar seperti itu akan sangat sering kau temui. Seolah-olah hanya mereka saja yang punya mobil, yang punya lampu paling terang sedunia hingga kami yang cuma naik motor ini didzolimi seenaknya.   

Kau juga akan menemui hal-hal tak terduga di jalanan. Suatu hari, aku pernah menjumpai orang mati yang dikuburkan dini hari. Aku sempat terkejut karena tiba-tiba terlihat banyak orang berdiri di tengah jalan. Kukira sedang ada kecelakaan atau mungkin sedang ada balapan, ternyata tidak. Setahun yang lalu, bapak dan ibuk pernah mengalami kecelakaan di daerah itu juga. Aku sempat merasa miris. Ah, sudah setahun rupanya. Orang-orang itu membawa tongkat bercahaya merah dan menyuruhku berhenti sebentar sampai mobil jenasah masuk dalam pelataran kuburan yang kebetulan ada di pinggir jalan. Kalau biasanya orang mati itu dipikul, yang ini dinaikkan mobil bak terbuka. Cukup aneh rasanya. Memang di beberapa tempat, orang mati harus segera dikuburkan jam berapapun ia meninggal. Kalau ada yang mati jam 12 malam, setelah persiapan semua selesai, akan langsung dikuburkan dengan segera. Kukira memang seperti itu juga kebiasaan di daerah ini. Tapi ternyata tidak. Keesokan harinya, aku mendengar cerita bahwa orang yang dikubur semalam adalah penderita AIDS. Katanya, mayat dengan perlakuan khusus itu dikuburkan oleh petugas berwenang dari dinas kesehatan yang sudah berpengalaman.
 
Selain teman-teman kalong, kau akan menemui hal-hal lain yang cukup berbahaya. Di daerah sekitar kuburan yang kuceritakan tadi, sering ada mangga jatuh yang kalau kau tak sengaja melindasnya. Mangga-mangga itu licin dan bisa jadi akan membuatmu tergelincir, paling tidak hilang keseimbangan. Setelah hujan atau angin tiba, kau harus berhati-hati dengan ranting patah yang menghadang di tengah jalan. Kalau kau tak hati-hati, patahan ranting itu bisa nyrimpet kaki atau masuk jeruji roda. Kau harus berhati-hati pula dengan kucing yang tiba-tiba menyebrang. Mereka seringkali sangat mengagetkan. Kalau sudah kepepet, tabrak saja mereka, meski aku juga tidak tahu apakah kucing yang mati itu lebih baik daripada kau yang mati. Konon katanya menabrak kucing hingga tewas bisa membawa sial. Kalau kau terburu-buru dan tak sempat mengambil mayat kucing itu untuk dikuburkan dengan layak, keesokan harinya kau harus memandikan motormu dengan air kembang lalu membuat bubur merah putih agar sang sial tidak menempel padamu. Mengingat kau yang kacau akhir-akhir ini, coba ingat-ingatlah apakah kau pernah menabrak kucing? Atau apakah kau pernah pipis sembarangan di bawah pohon? Aku tahu kau tidak akan percaya ucapanku.

Mungkin bagian inilah yang akan paling kau sukai. Kalau kau lapar pada dini hari dalam perjalanan pulang, akan kutunjukkan padamu tempat-tempat makan yang cukup lumayan. Kau bisa mampir di Pasar Kerten. Pasar itu selalu ramai sejak dini hari. Ada penjual nasi pecel, soto, penyetan, garang asem dan sebagainya. Aku pernah mencoba penjual yang di tengah. Agak kurang enak masakannya. Cobalah penjual yang di pinggir, paling selatan. Aku pernah makan dengan ibuku di sana. Semangkuk soto, nasi pecel dengan lauk ati ayam dan dua gelas teh hangat cukup lima belas ribu saja. Kata ibuku, soto di situ tidak ada rasanya. Cobalah menu lainnya. Kau bisa makan sambil menikmati suasana riuh para pedagang. Suara orang yang memecah kelapa, tawar menawar, dan kalau kau beruntung, kau bisa menguping pembicaraan menarik di antara mereka. Kau bisa makan juga di daerah Paron. Setelah melewati pasar, ada jalan sedikit menikung, sebuah warung nasi pecel buka malam hari, sebelah kanan jalan dari arah selatan. Karena sebagian pengunjungnya adalah laki-laki, aku tak pernah mampir ke sana. warung itu ramai sekali meski kata orang masakannya tak begitu enak, mungkin karena orang-orang itu lapar. Ada desas-desus juga kalau penjual nasi pecel itu punya pesugihan hingga warungnya tak pernah sepi, tapi jangan percaya yang terakhir kukatakan itu.

Dua kali kau akan menjumpai pasar. Pada hari-hari pasaran tertentu, pasar-pasar ini ramai sekali. Orang-orang berseliweran tanpa memperhatikan jalan. Siapkanlah jarimu untuk memencet klakson. Sangat disarankan kalau kau ingin mayak dengan membunyikan klaksonmu berulang-ulang. Orang-orang itu tak pernah peduli dengan motor yang lewat ketika menyebrang. Sembarangan sekali. Pelankan motormu. Kau boleh mengumpat orang-orang yang sudah keterlaluan ngawurnya. Kalau untuk itu, aku yakin kau sudah tidak perlu disuruh lagi. Ah, helmku yang bermerk dan berwarna sama denganmu, bahkan sama-sama dibelikan oleh para ibu itu sudah dipinjam orang dan tak dikembalikan. Suatu pertanda!

Satu hal lagi yang paling berbahaya adalah pikiranmu sendiri. Aku sering melamun saat berkendara sendirian di jalanan sepi dan dingin. Seringkali kau yang melintas di kepalaku. Mampirlah ke rumah. Aku menunggumu. Lain kali akan kuceritakan  tempat pertapaan itu. Kalau boleh mengambil gambarnya, akan kutunjukkan padamu. Sampai ketemu.

20 Januari 2015

Rabu, 07 Januari 2015

Menonton Film-Film Tentang Penulis Tapi Gak Bisa Segera Menulis

Mengawali tahun, rasanya aku akan menuliskan sesuatu yang lagi-lagi tidak bermanfaat bagi kemashlahatan umat. Ini tentang film-film yang bercerita soal penulis. Ceritanya macam-macam. Sebagian sangat tidak menarik, bahkan, tokoh penulis tidak menjadi inti cerita melainkan sekadar tempelan saja. Bentuknya macam-macam pula. Sebagian berisi biopic yang menggambarkan bahwa beberapa penulis besar tingkat dunia adalah seorang homoseksual.

Aku ingin tahu ceritamu. Sungguh aku ingin pula mengikuti film-film baru yang hangat tayang di bioskop. Aku ingin menonton Senyap. Kau cerita soal lubang hitam Nolan? Film-film Indonesia sekarang tampaknya banyak yang menarik meskipun tak terjangkau olehku, Pendekar Tongkat Emas itu film macam apa? Di kota busuk ini tidak ada bioskop. Orang-orang ramai membicarakan sesuatu yang ingin kutonton tapi tak kesampaian. Ah, sudahlah. Rasanya lelah menggerutu di sini, tambah lelah dengan mendengarkan lagu-lagu yang kucuri dari laptopmu.

Baru saja aku menonon Ruby Sparks (2012). Ceritanya sederhana dan sangat mudah ditebak. Seorang penulis jatuh cinta dengan tokoh rekaannya. Tokoh itu tiba-tiba muncul menjadi gadis yang nyata, yang kehidupannya bisa dikendalikan oleh penulis itu, lengkap dengan perasaan-perasaannya. Kau bisa menebak kelanjutan ceritanya bukan? Awalnya mereka hidup bahagia, lalu tidak lagi, lalu si penulis membebaskan tokohnya itu, menuliskan pengalaman anehnya menjadi sebuah buku dan pada suatu pagi yang indah mereka dipertemukan kembali di sebuah taman. Tidak ada yang menarik dari film ini. Aku tak lagi bisa melihat film dengan baik seperti ketika aku bisa mendengarkan komentarmu.

Kau sudah menonton Capote (2005) bukan? Kau betah menonton film panjang itu. Betapa kau sangat menghargai usaha seorang penulis untuk menghasilkan sebuah karya. Bukan sebuah proses yang mudah dan singkat tentunya. Before Night Falls (2000) bercerita tentang seorang penulis Kuba, Reinaldo Arenas. Sayangnya, film ini tidak begitu baik menceritakan latar belakang kisah yang terjadi ketika Castro memimpin. Barangkali juga otakku yang tak mampu menampung setiap detail adegan dalam film itu.

Tidak banyak yang bisa diambil dari menonton film-film tentang penulis. Kadang kau akan menemukan ide cerita yang menarik atau tips-tips menulis yang berceceran di sana-sini. Seorang penulis novel atau cerita pendek harus memiliki kemampuan untuk menggiring pembaca pada setiap tahapan alur cerita, mungkin bisa menggunakan teka-teki sekaligus menyediakan satu demi satu kunci untuk membuka teka-teka itu. Kau bisa juga menuliskan detail spesifik untuk memperdalam dan membuat pembaca masuk ke dalam ceritamu. Tapi ya begitulah, film-film itu tidak mampu mengenyangkanku. Kau juga akan menemukan beberapa kesamaan nasib dari penulis-penulis itu. Hidup mereka kebanyakan tidak bahagia. Sylvia Plath mati bunuh diri, Sylvia (2003), begitu juga dengan banyak penulis lain. Kalau kau buka hardisku, akan kutunjukkan film-film apa saja yang sudah kutonton. Itupun kalau kita masih bisa bertemu lagi dan bisa saling mencuri. Aku bertemu Rimbaud dalam salah satu film yang kutonton. Katanya, love doesn’t exist

Kau bisa mendapati cerita konyol seperti ini: seorang penulis beserta keluarganya menempati sebuah rumah tua dengan alasan tertentu. Dan kau tahu, rumah itu ternyata berhantu. Seorang gadis kembar sering muncul. Dulunya, semua anggota keluarga penghuni rumah itu mati terbunuh oleh sang ayah. Arwah si ayah itulah yang kemudian merasuki si penulis. Selama sebulan menulis, orang itu ternyata hanya menuliskan kalimat yang sama. Aku tak ingat bunyi kalimat itu. si penulis jadi gila dan membunuh istri dan anaknya sendiri. Kalau tak salah, itu film Martin Scorsese. Adalagi cerita begini: seorang penulis terkenal mengalami kecelakaan ketika badai salju. Ia ditolong oleh penggemar berat novelnya yang terobsesi dengan tokoh utama. Si penggemar ini punya masa lalu yang mengerikan sebagai perawat. Kelakuannya berubah ketika tau akhir cerita bahwa si tokoh utama dibunuh oleh penulisnya. Ia kemudian memaksa si penulis untuk menuliskan kembali cerita yang diinginkan penggemarnya itu. Begitulah.   

Aku sudah menonton film-film Danny Boyle. Aku suka caranya meningkatkan tensi dengan musik-musik latar bertempo cepat. Soal musik latar dalam film, aku menonton sebuah dokumenter tentang sejarah musik dalam cinema. Kau yang mengkopikannya. Kadang kita tak pernah sadar bahwa pada film-film tertentu, seorang penata musik benar-benar memikirkan bagaimana mengawal tokoh lewat musik maupun efek suara sehingga menimbulkan kesan tertentu kepada penontonnya. Tidak hanya montase dan rangkaian adegan, atau cara-cara pengambilan gambar, suara punya peran yang tak kalah penting. Image adalah esensi dari cinema dengan suara yang selalu mengawani dalam menciptakan sense bagi para penontonnya.

Tokoh-tokoh utama memiliki leitmotif yang membuat penonton mengenalinya dan tanpa disadari menggiringnya berpindah dari satu adegan ke adegan lain, dari perhatian ke satu tokoh ke tokoh yang lain. Musik dalam cinema mengalami pergeseran dari masa ke masa, dari orkestra yang mengisi pemutaran film bisu, penggunaan lagu-lagu pop yang populer pada zaman film itu dibuat, hingga perangkat elektronik dengan sejuta tobol-tombolnya. Kita bisa melihat transformasi image dalam film, demikian juga kita akan bisa melihat tranformasi suara. Seorang musisi bisa jadi juga seorang fisikawan. Seni dan teknologi bercumbu mesra di sini. Ada penata-penata musik legendaris yang isian musiknya menjadi arketip. Kau akan menemukan musik yang mirip antara film King Kong yang kemudian muncul kembali di film Inception. Sayang sekali dokumenter ini hanya membahas musik-musik dalam film Hollywood.

David Cronenberg punya versi cerita film menarik soal penulis, Naked Lunch (1991). Yang ini beda dari yang lain. Di film itu, kau akan bertemu makhluk-makhluk menjijijkkan, termasuk mesin ketik yang bisa berubah menjadi serangga berlendir dan bisa berbicara. Dalam The Pillow Book (1996) kau akan bertemu dengan gambar-gambar bertumpuk dan berulang yang sangat menggangu, tapi dengan cerita cukup menarik, tentang seorang perempuan yang terobsesi dengan salah satu seni klasik Cina, kaligrafi yang dituliskan pada tubuh manusia. Pada akhirnya, ia menuliskan karyanya pada tubuh-tubuh laki-laki.

Masih banyak yang ingin kuceritakan. Sayangnya hanya jadi sekilas-sekilas begini. Aku minum kopi Kapal Api di sini. Gak enak sekali. Bolehlah kalau kau mau mengirimkan kopi Kupu-Kupu Cap Bola Dunia. Selamat sore. Kapan kita ke Warung Giras? Sudah adakah stok Aroma Bandung di sana?

7 Januari 2015