Senin, 03 Agustus 2015

Sebuah Upaya Untuk...

Bodoh sekali. Seharian ini aku menunggumu. Kedatanganmu yang dramatis dan mengejutkan dua hari lalu membuatku terus berpikir bahwa kau bisa datang begitu saja dengan tiba-tiba, tanpa kabar dan berita sebelumnya, dengan peluh dan napas yang tinggal setengah-setengah. Mungkin tidak hanya pada senja kau bisa muncul dengan tiba-tiba di depan pintu rumahku. Bisa jadi kau akan muncul di tengah malam atau di pagi buta. Begitu singkatnya pertemuan itu hingga aku masih belum percaya kalau dua hari lalu kita benar-benar bertemu. Dan aku masih membuatkanmu kopi, menemanimu makan, lalu mengantarmu pulang ketika purnama ikut menyambut kesedihan kita yang sudah begitu usang.

Begitu melihatmu, image yang muncul dalam kepalaku sungguh mirip adegan film dimana aku ingin berlari memelukmu, mengusap peluhmu, menghujanimu dengan ciuman dan kata-kata rindu. Rasanya memang tidak ada penghalang bagiku untuk melakukannya tapi entah kenapa aku sangat menahan diri. Mungkin kau juga begitu. Sebegitunya aku berusaha menahan diri hingga pada akhirnya hanya bisa mrebes mili.

Kau mengabarkan kelulusanmu. Iya, aku tahu. Kau bahagia dengan itu? Mungkin iya, begitulah rasanya bahagia ketika seorang anak yang dibanggakan bisa membuat orang tuanya lega. Pembicaraan singkat itu sudah jelas menempatkan kita pada posisi dan tangung jawab yang harus ditanggung sendiri-sendiri. Tidak bisa bersama? Sudah jelas tidak.

Aku senang kau marah-marah dan memaksaku menyelesaikan kuliah. Masih sempat pula kau membawakanku buku sementara gono gini kita entah bagaimana nasibnya. Aku membacanya sedikit. Masmu mungkin tertarik dengan bahasan soal film Islam-islaman yang dalam Ayat-Ayat Cinta, Islam dicitrakan sebagai sesuatu yang glamour. Aku masih ingat Masmu pernah bilang begitu. Aku senang meski hanya sempat mendengar sedikit cerita tentang buku, film, dan kabar teman-temanmu. Sudah lama aku tidak mendengar orang ngomong seng. Aku sudah menonton Z (1969), film Costa Gavras yang kau bicarakan. Filmnya agak datar meskipun ending-nya membahagiakan. Aku sempat menonton beberapa filmnya yang lain: Missing dan Amen yang bagiku cukup membosankan. Plotnya lumayan tapi filmnya terasa begitu sepi, seperti tanpa upaya untuk melibatkan emosi penonton, bahkan musik latar pun tampaknya jarang terdengar. Tapi dia cukup punya gaya. Cerita detektif atau pencarian orang hilang memang tidak perlu sedramatis Hitchcock meramunya. Kau tahu sendiri bahwa aku menyukai film-film yang bisa membuatku terhubung dengan ilusi dalam layar, salah satunya lewat ikatan emosi. Beda dengan Dardenne bersaudara. Meskipun jarang pula melibatkan musik dan lebih memilih noise, fokusnya terhadap subjek bisa membuatku terhubung, seperti kembali menikmati Bresson yang kekinian.

Aku juga menonton God Help the Girl (2014), tipikal film musikal yang indie-indie-an. Entahlah. Kau tahu aku jarang membaca dan kerjaanku cuma menonton saja. Tapi setelah sekian lama aku tak menulis akhirnya aku bisa kembali menulis meski cuma jadi curhatan nggrantes. Bayangin dah kalau kamu mau datang lagi. Kelar lah tesisku. Masem... Kau belum bertemu ibuku. Aku mengkhawatirkan kesehatanmu hingga tak berani memintamu untuk datang sekali lagi. Ada yang masih terasa mengganjal. Tapi tak apa kalau kau tak datang lagi. Mungkin dua tahun lagi. Mungkin tidak akan pernah lagi. Tak apa.

Aku ingin bilang terima kasih. Aku ingin bilang maaf dan entah karena apa aku masih tidak bisa merasakan kalau kita benar-benar sudah berpisah. Memang sudah? Memang kita pernah bersama? Ah.  

3 Agustus 2015