TBY, 28 Desember 2011. Penghujung tahun selalu menyimpan kejutan. Bukan kebetulan kalau malam ini langkah kaki seperti dibawa untuk terpaku pada pertunjukan mereka. Niatnya awalnya adalah untuk mengenalkan seorang teman dengan dunia seni, biar otaknya itu bisa sedikit terisi dengan hal lain dan tidak terlalu banyak kesurupan ‘Super Junior’. Tetap saja ternyata. Imajinasi teman saya ketika berada di mana pun susah untuk dilepaskan dari semua bentuk hegemoni yang telah menguasai sebagian otaknya. Pikirannya tetap saja terpaku pada para Oppa di seberang laut sana. Saya tentu tidak akan cerita banyak soal teman saya ini. Tulisan ini akan lebih fokus melihat para tuna rungu yang tergabung dalam Deaf Art Community. Malam ini untuk kesekian kali—meskipun baru pertama kali saya menyaksikan—mereka merepresentasikan diri mereka melalui seni.
Seni tidak selalu dilihat indah dan sakral. Seni itu universal. Siapa saja bisa memaknainya dengan berbagai cara, termasuk bagaimana para tuna rungu ini berkesenian lewat cara mereka. Seni yang menurut saya lebih dasyat karena dilakukan oleh anak-anak ‘sempurna’ seperti mereka. Seni mereka rileks tapi menyentuh. Seni mereka biasa tapi luar biasa. Entahlah, kata-kata memang tak pernah puas bisa mengungkapkan sesuatu. Mereka telah mengajak saya berbalik menggunakan bahasa yang lebih purba daripada kata. Bahasa tubuh. Bahasa inilah yang mereka gunakan untuk merobek batas. Batas komunikasi antara deaf people dan hearing people.
Seorang laki-laki yang duduk di belakang saya kebetulan sedang bercerita tentang para tunarungu ini kepada teman di sebelahnya. Dan saya pun baik-baik pasang telinga. Laki-laki ini bercerita bagaimana ia pertama kali bergabung dengan Deaf Art Community. Ia banyak bicara tentang bagaimana anak-anak tuna rungu ini sejak kecil dipaksa untuk mengikuti gerak bibir kita, dipaksa mendengar dari ruang-ruang sunyi mereka. Sementara seberapa banyakkah dari kita yang bersedia mendengarkan mereka? Kita hanya bisa mengumpat, ‘budheg!’ ketika bertemu mereka di jalan, ketika teriakan atau klakson motor kita tak membuat mereka bergeming.
Karena mereka hanya hidup di dunia sunyi. Sementara orang-orang macam kita ini nyaman hidup dalam kebisingan. Dunia suara. Pada akhirnya, justru merekalah yang kemudian membiasakan diri dengan umpatan kita. Mereka membiasakan diri mendengar, bukan mendengar tapi membaca umpatan agar tak lagi sakit hati dan merasa tersinggung. Siapa yang membalik dunia jadi macam begini? Dan, ternyata saya salah menyebut. Tentu saya tak berhak menyebut ‘kita’ di sini. Mungkin lebih pas kalau saya menyindir diri saya sendiri.
Cerita awal Pak Broto, pendiri dan pendamping Deaf Art Community sedikit menyentak. Ternyata saya tak cukup punya kesadaran terhadap dunia lain di sekitar saya. Hal remeh tapi ternyata laten mengendap dalam diri bahwa tak mudah lagi untuk membiasakan diri berpijak pada bumi yang sama, berbagi matahari yang sama dengan mereka. Bumi telah dipenuhi sekat dan kotak. Sudah tak perlu dipertanyakan lagi wacana dominan yang mana yang mendiskriminasikan mereka. Bahkan, dalam dunia mereka paling kecil yaitu keluarga mereka sendiri. Jangan tanya lagi ketidakadilan apa yang mereka terima. Siapa yang tuli siapa yang mendengar. Siapa yang sempurna siapa yang kurang. Siapa yang normal siapa yang bukan. Sepele, apresiasi terhadap pertunjukan biasanya dilakukan dengan tepuk tangan. Tapi mereka tak bisa mendengar riuh tepukan. Saya hanya diminta untuk mengangkat tangan dan melambai sebagai tanda apresiasi. Itu pun tak mudah.
Pertunjukan mereka kali ini sekaligus menandai tujuh tahun berdirinya Deaf Art Community. Sebuah komunitas dimana kolektifitas bisa lebih menguatkan. Laki-laki di belakang saya kembali terdengar bercerita betapa mereka bisa sangat riuh ramai ketika bertemu teman-teman lain sesama tuna rungu. Sementara di dunia lain, mereka lebih sering mengunci mulut. Berdiam dalam kesunyian. Bahkan, di kelurga pun mereka tak bisa dengan bebas mencurahkan perasaan karena keterbatasan cara komunikasi. Seandainya kata bisa lebih dari sekadar lisan dan bisa dipahami semua orang tanpa terkecuali. Bayangkan, berapa orang yang bisa menggunakan bahasa isyarat dan hanya diantara mereka itulah para tuna rungu bisa saling bercakap.
“Aku Ingin Menjadi Kupu-Kupu” sebuah judul yang lahir dari pernyataan sederhana. “...Ulat itu seperti orang tuli, Pak. Orang jijik melihat kami (kaum tuli). Aku mau berfikir seperti kepompong dan suatu saat nanti akan berubah menjadi kupu-kupu yang semua orang akan senang dan tersenyum melihat kami..”, kata Arief Wicaksono (sutradara pertunjukan) kepada Broto Wijayanto. Cerita inilah yang kemudian diangkat dalam pertunjukan yang berdurasi sekitar satu jam.
Pertunjukan diawali dengan visualisasi puisi. Benar-benar tak biasa melihat puisi yang divisualisasikan dengan bahasa isyarat. Saya menyaksikannya malam itu. Laki-laki di belakang saya sedikit bisa menerjemahkan bahasa isyarat yang mereka tampilkan. Potongan-potongan puisi ini tampak sangat biasa. Tapi menjadi tak biasa ketika menyaksikan usaha mereka mendeklamasikannya di hadapan saya. Tekanan dan nada tidak lagi mengalir lewat suara. Puisi ini ditampilkan untuk dirasakan lewat gerakan, ekspresi dan hentakan kaki. “apa salah kami lahir di dunia/kami adalah anak-anak adam dan hawa/kami juga lahir dari buah cinta yang sama/sempurna adalah kata-kata yang menyakitkan/seperti menusuk dada kami/....../....../”
Puisi selesai dan sindiran Pak Broto seperti menyengat. Saya sendiri kurang bisa menikmati bahasa isyarat mereka. Sampai saya tak bisa masuk ke dunia dan jiwa puisi mereka. Pak Broto kemudian berkata, “gak usah terpaksa tepuk tangan begitu. Memahami mereka saja kita tidak bisa sementara seumur hidup mereka harus memahami kita.”
Inilah mimpi mereka. bisa pentas di gedung pertunjukan terbesar di Yogyakarta. Benar-benar bukan mimpi yang sederhana. Semua gerakan hip hop yang mengagumkan itu mereka ciptakan sendiri. Tampilan selanjutnya diiringi dengan musik beatbox. Musik inilah yang paling memungkinkan untuk bisa mengantarkan getaran sampai mampu mereka rasakan. Musik dialirkan masuk ke dalam jiwa dan tubuh mereka. Musik dalam tubuh mereka, detak jantung yang disesuaikan degan musik di luar. Itulah yang menggerakkan otot-otot dan mengantarkan impuls-impuls ke syaraf untuk membuat sinergi gerakan yang tidak mudah bagi tuna rungu.
Laki-laki di belakang saya kembali bercerita tentang kesulitannya mengajarkan tempo pada teman-teman tuna rungu. Salah satu dari mereka yang sudah menyelami musik meski lewat dunia sunyinya kemudian menjelaskan. Kami tak bisa diajari musik dengan mengenalkan tempo seperti orang normal. Kami hanya bisa merasakan getaran. Getaran yang bisa kami raba dan rasakan. Getaran yang menyusup ke dalam ruh dan mengaliri aliran darah kami. Satu musik yang kami kenal hanya debar jantung kami sendiri. Diri kami adalah musik itu sendiri. Ada musik dalam dunia sunyi.
Demikianlah. Saya telah cukup banyak menyaksikan pertunjukan dari panggung ke panggung. Dengan melihat mereka, sepertinya saya akan sedikit membalik ukuran penilaian yang biasa saya gunakan untuk melihat baik tidaknya sebuah pertunjukkan. Untuk mereka, pertunjukan terbaik bagi saya bukan lagi apa yang mereka pentaskan di atas panggung. Pertunjukkan mereka adalah belakang panggung yang penuh perjuangan. Itulah yang membuat mereka menjadi ‘superman’. Manusia-manusia penuh mimpi meski lahir dan tinggal dalam dunia sunyi. “i’m here represent my self like a superman.” Penggalan lagu hip hop tersebut mengiringi mereka ketika punggung anak-anak ini telah ditumbuhi sayap-sayap indah. Para tuli telah menjadi. Kupu-kupu paling indah di bumi.
Pertunjukan selesai dan saya diharuskan untuk menulis di atas selembar kertas. Apa mimpi saya sendiri setelah melihat pertunjukan tadi. Kertas-kertas itu akan dipajang pada pementasan berikutnya. Sudah jadi apa mereka dan sudah jadi apa mimpi saya pada saat itu. Pada akhirnya, saya tak berani menuliskan apa-apa. Saya malu dengan mereka, manusia-manusia ‘sempurna’ yang lahir dari rahim sunyi itu.
Kamar Kost, 29 Desember 2011