Sekian hari
membusuk di Ngawi, saya merasa punya hutang untuk menulis. Suatu hari Momosuke*
menelepon saya dan mengungkapkan kegelisahaannya tentang ekspresi budaya kelas
pekerja di Indonesia pasca Orba. Adakah? Sekian banyak pertanyaan ia lontarkan
dan saya pun gagap menjawabnya. Sebenarnya saya tak hendak menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Bagi saya, terlalu banyak hal yang harus diurai.
Produk budaya dengan kriteria seperti apakah yang bisa mengekpresikan kelas
pekerja?
Pasca Orba,
sepertinya kita kesulitan mencari sosok seperti Pram dalam sastra atau semacam
Iwan Fals dalam musik. Kesulitan untuk menemukan memang bukan berarti tidak
ada. Bisa saja karena kita yang tidak banyak tahu. Mungkin saat ini kita hanya
bisa menemukan beberapa karya bernuansa kelas ketika sosok besar sudah sangat
sulit bisa disebut merepresentasikan kelas pekerja yang tentu juga dilihat
lewat karyanya. Sebut saja beberapa band indie yang sudah disebutkan Momosuke
dalam tulisannya** itu. Melancholic Bitch misalnya, apakah Joni dan Susi itu
kelas pekerja? Seandainya bisa dijawab ‘iya’, tentu banyak pertanyaan lain yang
mengikuti. Pesan seperti apakah yang disampaikan lagu-lagu semacam itu?
Ketika bicara tawaran
band-band indie lewat lagu dan musik mereka, mungkin bisa dikaitkan dengan musik
alternatif untuk memenuhi kebutuhan kuping-kuping yang merasa sakit mendengar
Wali atau Armada di televisi. Musik alternatif dengan demikian juga tidak bisa
serta merta disebut ekspresi budaya kelas pekerja. Persoalan lain muncul dalam
perbincangan kami. Kalaupun ada produk-produk budaya kelas yang muncul, seringkali
berjarak dengan kuping yang bisa dijangkaunya. Efek Rumah Kaca itu didengar
siapa? Jangan-jangan sebagian besar hanya anak kuliahan yang merasa tidak keren
kalau tidak mendengar band indie, atau sekelompok hipster yang sudah bangga
ketika bisa menikmati produk diluar mainstream budaya tetapi tidak sadar bahwa
mereka juga sudah menjadi mainstream pada satu titik. Semakin banyak ditemukan ambiguitas di sini. Mungkin masih perlu juga diklarifikasi kembali mana lagu perlawanan (melawan apa atau siapa), mana yang mengandung anasir kelas, hal hal tersebut bisa diidentifikasi lewat apanya, dan sebagainya.
Dalam percakapan
kami, muncul lagu Pak Bos yang dicover
oleh Qupit Nosstress. Liriknya kira-kira berisi keluhan seorang pekerja yang
minta bosnya untuk menaikkan gaji. Sambatan
soal dia yang sering ngutang di warung, kas bon di kantor, memang terasa sangat
khas kelas pekerja. Apakah lagu semacam itukah yang kemudian disebut sebagai
ekspresi kelas pekerja? Lagu itu berbahasa Bali dengan gaya lirik tanpa basa
basi. Soal bahasa ini pula yang memancing kegelisahan lain. Kebusukan saya di
kota kecil macam Ngawi membuat saya ingin mencari—meski hanya asal tulis dan
serampangan—siapa tahu bisa ketemu produk budaya yang mengekspresikan kelas
pekerja seperti yang dipertanyakan Si Momosuke.
Ketemu Apa di Ngawi?
Kota saya sangat
sepi. Penduduk kampung saya sudah mulai menutup pintu sejak jam delapan malam.
Sebagian besar dari mereka adalah petani, beberapa punya tanah dan sebagian
besar lain hanya buruh. Orang kaya di kota lebih banyak di dominasi oleh
pejabat, pegawai negeri, mungkin beberapa pedagang. Di kampung saya itu,
sebagian petani yang bisa membangun rumah adalah mereka yang punya anak jadi
TKI. Tulisan ini benar-benar cuma ngawur,
banyak sekali asumsi yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Tapi
saya benar-benar ingin menemukan sesuatu dari kampung halaman yang sunyi.
Mengumpat dan Mengkritik Lewat Musik
Kalau lagu Pak
Bos berisi keluhan, maka lagu yang saya temukan mungkin bernada sama namun
ditambah pisuhan atau umpatan yang
tak banyak bisa kita jumpai dalam lagu-lagu berbahasa Jawa. “Hush, gak pareng misuh. Dosa!,” kata Si
Mbok. Mengumpat itu dianggap dosa. Pisuhan
adalah kata-kata terlarang demikian juga misuh
yang merupakan tindakan tidak terpuji dalam interaksi dengan konteks budaya
Jawa. Pisuhan orang Ngawi yang
mataram sudah tentu akan berbeda dengan ekspresi pisuhan orang-orang daerah tapal kuda, meskipun sama-sama terletak
Jawa Timur. Dan misuh pun ternyata
tidak gampang karena di dalamnya terdapat intonasi tertentu yang membuat sebuah
kata bisa menjadi semacam pelepasan ketika diucapkan.
Zaman Orba, orang akan dicap tidak sopan, tidak santun
karena misuh. Maka tidak berlebihan
kalau saya sedikit girang menemukan lagu semacam ini bisa muncul di Ngawi. Saya
pertama kali mendengarnya dari siaran radio lokal yang diputar Si Mbok sambil
menyetrika baju di kamar depan. Ketika mendengarnya pun Si Mbok berkomentar, “lagu cap opo kuwi. Kok isine misuh.”
Lagu berjudul Kudu Misuh itu dilantunkan oleh Dhalang Poer.
Orang ini mulai dikenal ketika mencipta dan menyanyikan Langit Mendhung Kutho Ngawi. Berbeda dengan lagu-lagu campursari
yang biasanya bicara tentang asmara, Dhalang Poer mengungkapkan penderitaan nasib
wong cilik yang dikutuk selalu
menemui jalan buntu dalam hidupnya. Lagu itu mengumpati nasib, diri sendiri,
mengumpat keadaan, aparat. Gaya liriknya bercerita, mengisahkan seseorang
dengan hidupnya.
Coba to gagasen lelakonku iki
Ora
ono senenge susah sing tak temoni
Ngolah
ngalih gaweyan kabeh ra nate ngunduh
Dino
dino isine mung kudu misuh….embuh
Cobo nggarap sawah tinggalane wong tuwaku
Gumunku
saben tandur rego rabukke dhuwur
Bareng
tibo panen rego gabahe medhun
Kabeh
modal utangan ora biso kesahur…ajur
Sawah
tak dol murah aku nyicil angkudes
Lagi nyopir seminggu rego bensine ngenthes
Tarip
tak undakke penumpang nggrundel ae
Kerep
telat oli, rusak ring sak metale…oh kere
Montor ngangkrak neng bengkel ra biso ogel ogel
Rasane
uripku mung kari thengel thengel
Nyepi
nang kuburan golek tembusan togel
Nomer
ngeblong terus aku tambah dhedhel dhuwel…oh gathel
Kabeh
dalan wis buntu aku nekat mbandhar dhadhu
Durung
ono sing udhu keamanan wis njaluk sangu
Ana
oknum tentara ana oknum polisi
Bukaan wingi wingi wis kerep tak amplopi
Bareng
prei ra nyangoni aku diseret nyang bui
Diganjar
telung sasi….
Misuh
sak jrone ati…..jancuk
Kira-kira lagu itu bercerita tentang orang
yang tak pernah sukses dengan pekerjaannya. Jadi petani, rugi karena harga
pupuk tinggi dan harga gabah rendah saat panen. Sawahnya dijual demi membeli mobil
angkutan desa namun kembali merugi karena harga bensin naik, tak ada biaya
untuk perbaikan dan akhirnya rusak. Ketika semua jalan telah buntu, si aku
mencoba keberuntungannya lewat togel, tak pernah tembus juga. Menjadi bandar
dadu pun dilakoni dan akhirnya diseret aparat ke bui karena tak bisa kasih
setoran.
Ternyata Dhalang Poer cukup produktif mencipta
lagu. Ketika mencari lagu Kudu Misuh
lewat youtube, muncul pula lagu-lagu lain
bernada sama. Satu
lagu lagi berjudul Karnawi, menceritakan
kisah bocah pengamen dan penjual koran. Ibunya buruh, bapaknya tukang becak.
Sudah enam bulan tak bayar SPP, Karnawi sering dihukum gurunya di depan kelas. Lagu lain berjudul
Buron bercerita tentang anak desa
yang harus pergi ke kota karena tak ada pekerjaan dan biaya sekolah. Di kota,
ia pun jadi pengangguran, ikut teman dan akhirnya menjadi gali. Akhir kisahnya
tragis. “Ning terminal maca Koran karo turon/ Aku kaget
potretku disilang buron/ Diuber buser aku ndelik ning nglangon/ Bubar
kelon, kecekel mergo keturon//.
Tiga
lagu tersebut menceritakan kisah orang-orang bernasib malang. Lagu-lagu Dhalang
Poer ditulis menggunakan bahasa Jawa ngoko,
tingkatan bahasa yang paling rendah dalam struktur bahasa Jawa. Zaman dulu
pernah ada sebuah gerakan untuk menghapuskan krama inggil atas nama kesetaraan sebelum bahasa Indonesia
digunakan secara meluas di Jawa. Ngoko
mengandung muatan yang sesuai bagi ekpresi-ekpresi wong cilik. Dalam lagu-lagu dia atas, bahasa yang dipakai sangat
mudah dimengerti bahkan oleh orang seperti saya yang tak pandai berbahasa Jawa.
Lagu-lagu lain
banyak berisi kritik seperti cerita tentang aparat yang sengaja membakar pasar
dan kritik-kritik terhadap para anggota dewan yang terhormat. Dalam lagu Sidangmu dudu Sidangku, Dhalang
Poer menyebut wakil rakyat dengan sapaan kowe
dalam bahasa ngoko, bukan panjenengan
dalam krama meski sama-sama berarti kamu.
Opo lali jaman pemilu
Kowe janji arep mikir aku
Nanging bareng
wis oleh bangku, rakyat njerit kowe ora krungu
He, opo bisu…lho malah turu….lho malah nesu…huszz
saru
(Sing perlu dipikir, lengo pye amrih mudun,
listrik pye amprih murah, pendidikan murah…ora kok gaji diundakke, rapat dewe
di dog dewe…eh…konkonane sopo?...angel, angel…)
Musik campursari terdiri dari irama-irama sederhana yang gampang masuk
telinga siapa saja. Nada memungkinan intonasi pisuhan menjadi lunak, bisa dibilang masih halus, berbeda ketika
saya mendengar Momosuke yang lama di Surabaya itu misuh. Wow, mahir dan mantap sekali kedengarannya. Penggunakan ngoko dalam lagu Dhalang Poer terasa
sangat berbeda ketika saya menemukan karya sastra berbahasa Jawa dari seorang penulis
kelahiran Ngawi? Budaya kelas seperti apa yang tampak?
Ekspresi Wong
Cilik dalam Sastra
Ngawi punya orang
besar seperti Umar Kayam. Phd dari Cornell jeh.
Siapa yang tak kenal novel Para Priyayi
dan Jalan Menikung. Buku-buku itu
saya baca ketika masih SMA dimana pada waktu itu saya belum begitu mengenal
terminologi kelas meski sekarang juga hanya sekadar tahu. Saya pun hanya bisa menikmati
membaca novel itu tanpa mengapresiasinya lebih jauh. Tidak banyak yang bisa
saya ingat dari jalan cerita novel Pak Kayam. Saya justru mengingat wajahnya
karena peran beliau sebagai Soekarno dalam film G30 S/PKI yang hampir setiap
tahun saya tonton sejak SD. Bapak saya yang memberi tahu kalau bintang film itu
berasal dari Ngawi.
Pak Kayam mungkin
hanya menghabiskan sedikit waktu di kota kelahirannya. Namun dari Para Priyayi orang bisa mengira bahwa
Wanagalih yang digambarkan terletak di tempat dimana Bengawan Solo dan Kali
Madiun bertemu kemungkinan adalah Ngawi. Bagi saya yang mulai mengingat-ingat
lagi, novel Pak Kayam lebih terasa seperti kritik priyayi untuk priyayi dan
terkesan sangat ‘jawa sekali’. Saya ingat tokoh anak penjual tempe yang kemudian
diangkat anak oleh juragannya. Bisa saja hal itu dibaca sebagai perjuangan
kelas, barangkali. Si anak pungut miskin akhirnya sukses dan bisa hidup di luar
negeri. Pak Kayam tidak banyak menyajikan konflik melainkan kontradiksi akibat
perbedaan status sosial. Wong cilik
dalam novel ini bisa berkelakukan labih priyayi daripada priyayi yang
sebenarnya. Kepriyayian tidak hanya bisa didapat lewat keturunan melainkan dari
akumulasi pengalaman dan perjuangan si tokoh tersebut.
Lalu, apa yang
kita temukan di Ngawi paska Orde Baru? Dekade 2000-an—kalau dilihat dari
terbitan karyanya—Ngawi akan menautkan saya pada nama Herlinatiens sebagai
penulis yang lahir di kota itu. Saya tak begitu mengakrabi karya perempuan yang
menulis Garis Tepi Seorang Lesbian
yang katanya best seller. Demikian
juga dengan karya-karyanya yang lain. Sepertinya ia besar di Yogyakarta dan tentu saja ia tak
menulis tentang Ngawi. Tahun 2005, terbit bukunya berjudul Malam untuk Soe Hok Gie, berkisah tentang seorang perempuan fiksi yang
sangat digandrungi Gie, Soekarno, bahkan juga menarik hati Letkol Untung. Saya
tak bisa banyak berkomentar soal pembauran antara fakta dan fiksi dalam novel
ini. Ia juga menulis novel berjudul Koella,
Bersamamu dan Terluka di tahun 2006. Novel itu bercerita tentang seorang
gadis yang di PKI-kan karena ayahnya dituduh PKI juga. Penderitaan batin si
tokoh utama muncul karena cintanya pada seorang taruna. Untuk penulis maupun
karyanya, kali ini saya sangat ragu menyebutnya sebagai ekspresi dan produk
budaya kelas pekerja.
Orang-orang Ngawi
mungkin lebih cenderung romantis daripada progresif. Watak kota dan sosiologis
masyarakatnya tidak bisa mendukung banyak untuk perubahan di kota kecil itu.
Sejak saya lahir sampai sudah seperempat abad usia, demonstrasi yang terjadi di
Ngawi bisa dihitung dengan jari. Orang-orangnya seakan adem ayem tata titi tentrem kertaraharja gemah ripah loh jinawi
meski nasib mereka tetap begitu-begitu saja.
Kemudian saya
menemukan kumpulan cerpen Daniel Tito di rak buku rumah yang berantakan, masih
tersampul plastik. Mungkin Bapak yang membelinya. Kumpulan cerpen itu berbahasa
Jawa dan pernah dimuat dalam majalah Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Dua majalah
itu menjadi bacaannya para priyayi Ngawi. Entah kenapa kalau bersinggungan
dengan Bahasa Jawa, saya lebih nyaman menggunakan istilah wong cilik daripada kelas pekerja.
Beberapa cerpen
Daniel Tito yang bercerita tentang kehidupan wong cilik dinarasikan secara realis. Dalam cerpen BMW 318i sosok priyayi digambarkan
sebagai juragan dan wong cilik
bekerja menjadi sopirnya. Si Sopir mau pulang kampung dan juragan yang baik
hati meminjaminya mobil paling mewah yang ia punyai. Bukan merasa senang, si
sopir merasa sangat kuatir terhadap barang pinjaman itu. Sampai kampungnya yang
terleak di tengah hutan jati, dengan jalan yang hanya bisa dilalui satu arah
kendaraan beroda empat, ia malah tak bisa tidur, memagari mobil pinjaman
juragan agar tak diganggu anak-anak kecil, sampai menungguinya di malam hari.
Alam pikiran si sopir menjelaskan sesuatu. Bahwa wong cilik selamanya harus tunduk, menerima perintah, dan menjaga
kepercayaan si juragan yang baik hati.
Dalam Bahasa
Jawa, dengan segala tingkatan dan anak pinaknya, saya yang membaca cerita itu
akan lebih mudah mengenali ungkapan-ungkapan yang digunakan wong cilik terhadap ndaranya. Mungkin sekarang memang jarang bisa dijumpai, tapi
relasi-relasi macam itu saya yakin masih ada. Wong cilik menggunakan krama
inggil, si ndara bicara dengan ngoko. Sastra Jawa masih ada dan
tingakatan bahasa di dalamnya menjadi semacam hantu bergentayangan tetapi
terlihat nyata sampai sekarang.
Cerita pendek
yang memakai bahasa Jawa memberi kesan adanya jarak dengan penggunaan bahasa
Jawa sehari-hari. Ketika membacanya, saya sendiri merasa pusing karena asing
dengan kosa kata yang dipakai meski maknanya bisa diraba. Sama halnya dengan
lagu dan cerita pendek, saya pernah menyaksikan pertunjukan teater di kota
kecil ini, naskahnya juga ditulis menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Petani di Atas Panggung
Satu-satunya
kelompok teater yang saya tahu dan masih hidup di Ngawi adalah teater Magnit.
Memang baru dua kali saya menonton pertunjukan mereka. Sungguh! Saya sangat
menghargai usaha mereka menampilkan cerita. Dalam pertunjukan Geger Wong Ngoyak Wewe, digambarkan
sebuah keluarga petani yang kehilangan anaknya. Latar pangung dibuat realis
dengan tokoh-tokoh yang juga realis. Pemainnya anak-anak SMA yang tentu baru
belajar teater sehingga bisa dimaklumi apabila sisi keaktoran masih sangat
kurang.
Pertunjukan kedua
yang saya saksikan berkisah tentang mitos terjadinya Sendhang Tawun di kota
Ngawi. Daerah yang kekeringan dan usaha para petani untuk mencari sumber air
baru menggambarkan betapa susahnya kehidupan mereka. Saya menandai ekspresi
yang selalu muncul dalam dua naskah yang ditulis oleh teater Magnit sendiri. Mereka
selalu menggunakan adegan kolosal dengan banyak pemain di atas panggung. Adegan
tertentu diiringi dengan suara sorak yang diteriakkan bersama-sama dan
berulang-ulang. Kebersamaan warga kampung untuk mencari warganya yang hilang,
atau kerja petani yang diiringi sebuah lagu sederhana dan diteriakkan bersama.
Kebetulan
ungkapan seperti itu saya temukan juga dalam salah satu film Akira Kurosawa
berjudul Seven Samurai. Adegan
menanam pagi dilakukan oleh para perempuan dengan koreografi mengikuti irama
musik dan dendang para lelaki. Para perempuan itu berdiri berjajar, membungkuk
dan mundur kebelakang secara bersamaan sambil membenamkan tunas-tunas padi
dalam tanah berair.
Dari sekian
banyak temuan di atas, wong cilik
mengekspresikan hidupnya dengan berbagai cara dan media. Lewat musik, sastra,
teater, berisi keluhan, umpatan, relasinya dengan priyayi, bahkan
ekspresi-ekpresi subtil para petani berupa sorak sorai dengan semangat
kolektifitas mereka. Kali ini saya hanya mencatat temuan-temuan kecil yang
kemudian dikomentari sekenanya. Bisa saja kalau ini dikembangkan menjadi
tulisan serius dengan perspektif yang jelas. Tapi dasar saya penulis pemalas,
jadi ya begini saja. Saya sendiri ragu apakah yang saya tuliskan ini sesuai
dengan yang dibayangkan Momosuke. Apakah ekspresi-ekspresi budaya kelas
tersebut akan berhenti hanya ketika karya telah sampai ke publik? Selanjutnya
apa? Mari kita tanya Momosuke.
* Momosuke (bukan nama sebenarnya) adalah seorang teman
kuliah seangkatan yang suka baca komik, suka juga dengan segala hal berbau abang-abangan.
**Saya sempat
mamaksa Momosuke untuk menuliskan isi kepalanya lalu dia mengirimkan dua
halaman yang—mohon maaf karena tak bisa saya sertakan di sini.
Kamar Kost, 22
Agustus 2013