Hai semua, apa kabar? Pembaca blog ini memang tidak banyak. Tapi
saya cukup senang punya pembaca setia yang mungkin hanya ada satu
atau dua orang saja. Kalau dilihat statistiknya, sejak tahun 2008 saya posting
tulisan, baru sekitar 36.000 orang yang pernah membuka blog ini, tentu saja
saya tidak masuk hitungan. Satu tulisan rata-rata bisa dibaca belasan hingga
ratusan orang. Tugas-tugas kuliah saya zaman dulu seringkali terlihat punya
lebih banyak pembaca daripada tulisan curhat nan geje. Ah, tapi angka-angka ini
tak begitu penting. Tulisan-tulisan saya juga tidak begitu penting isinya. Termasuk
juga yang ini.
Saya selalu punya alasan untuk tidak segera mengerjakan hal
yang seharusnya dikerjakan. Alasan yang dibuat-buat hingga membuat banyak orang
disekitar saya jadi sumpek melihat saya begini. Mungkin karena saya juga tak
segera berani untuk memcoba. Padahal ada banyak orang yang sedang menunggu. Saya
pun sudah menunggu sekian lama. Ah, tambah tidak jelas saja.
Baru saja saya ketemu Paijem, teman saya yang mungkin sudah
beberapa kali muncul dalam blog ini. Dia lagi galau. Dari hari ke
hari dia merasa tambah bodoh saja. Sama halnya dengan saya, dia juga sarjana Ilmu
Politik dan Pemerintahan. Sekarang dia kerja di spa setelah sebelumnya tak
betah jadi asisten manager sebuah perusahaan ritel. Seringkali saya mendengar
kegalauannya. Kalau masalah galau hatinya mungkin tidak akan saya ceritakan di
sini. Yang dia ceritakan tadi adalah kegalauan bahwa ilmu yang didapatnya
selama empat tahun kuliah seperti menguap tak berbekas. Seringkali dia terkejut
ketika mendengar bahasa atau istilah ilmiah, lalu beberapa detik kemudian baru
menyadari bahwa dulu dia jelas tahu dan mempelajari hal itu.
Paijem itu pinter lho (pujian ini bukan karena dia sudah
mentraktir saya makan bakso dan segelas es teh). IPK-nya lebih dari 3,5. Sejak SMP
hingga SMA juga dia sudah pinter. Kalau tak sengaja ketemu teman-teman sekolahnya,
yang sekarang rata-rata sudah sukses dan sudah kemana mana, Paijem kadang mikir
juga, nasib orang memang lain-lain, dulunya begini sekarang bisa begitu. Beberapa
waktu lalu dia mengirimi saya pesan pendek berbunyi begini: “Wanita jeruk
purut. Malam sunyi jadi selimut. Layar laptop sesungguhnya mulai bersungut. Capai
ia diajaknya begadang hingga larut. Wanita jeruk purut. Dalam dunianya dia
larut.” Hahaha... Si Paijem itu tentu sudah membaca tulisan saya yang gak mutu
tentang Pemuda Jeruk Keprok.
Malam ini Paijem bercerita tentang wawancaranya di sebuah
perguruan tinggi swasta untuk posisi peneliti. Betapa bolong pikirannya ketika
ditanyai apa kira-kira sambungan ilmu yang sudah pernah ia pelajari dengan
teologi. Bahkan Paijem sendiri tidak ingat menjawab apa. Mungkin dia bisa
menjelaskan kepada orang biasa seperti saya, tapi tidak dihadapan seorang romo
yang sudah tujuh tahun belajar tentang Islam di Mesir. Ia lalu ditanya tentang
skripsinya. Bolonglah lagi pikiranya, hampir dia tak ingat apa kesimpulan dari
skripsi kerennya tentang Muslim Tionghoa di Yogyakarta. Paijem ingin membaca
lagi, menulis lagi dan itu yang saya suka darinya.
Tak butuh banyak rencana, saya dan Paijem bisa menonton film
di LIP malam ini. Sebuah film berjudul The
Girl on the Train (2009) yang disutradarai oleh Andre Techine. Komentar Paijem
tentang film itu singkat saja, bahwa dia ndak
ngerti. Dan mungkin memang begitu. Film itu terlalu riuh berkisah tapi tidak
meletakkan fondasi yang kuat di dasar ceritanya. Ada banyak ide disampirkan dan
berseliweran namun terkesan tidak tuntas.
Film itu bercerita tentang seorang gadis pencari kerja. Ibunya
mendorongnya untuk menjadi sekretaris di sebuah firma hukum milik kawan
bapaknya. Si gadis tiba-tiba bertemu dengan seorang pemuda. Tak lama kemudian,
si pemuda mendekam di penjara karena berurusan dengan obat terlarang. Situasi
demikian membuat si gadis menciptakan kebohongan bahwa pada suatu hari ia
diserang oleh kelompok anti semit di kereta hanya karena ia membawa kartu nama
pengacara Yahudi kenalan bapaknya. Media membuat ulah gadis itu jadi berita
penting dan besar sampai-sampai presiden ikut berkomentar. Dampak dari ulah di
gadis ini tidak dikembangkan. Alur cerita justru berbelok ke arah lain. Penonton
jadi dibuat menunggu-nunggu kelanjutan cerita yang berakhir dengan datar saja. Si
gadis mengaku dan berkat bantuan si pengacara, ia mendapat keringanan dari
hukuman penjara dan denda akibat perbuatannya.
Karakter gadis yang menciptakan kebohongan publik itu tidak
dieksplorasi secara mendalam. Film ini tampaknya tak terlalu tertarik untuk menjelaskan
sesuatu dengan detail, padahal sisi psikologis tokoh utama sebenarnya sangat
menarik. Penonton kelelahan mencerna semua yang dimasukkan dalam cerita:
tentang keluarga si pengacara, seorang ibu yang mendorong terlalu keras kepada
anaknya untuk sebuah pekerjaan, isu anti semit, sebuah upacara bar mitzvah, hubungan
si gadis dan cucu laki-laki pengacara, semua terasa terlalu kompleks dan besar.
Saya belum melihat film Techine yang lain sehingga tak tahu juga seperti apa
kekhasan dan kecenderungan sutradara ini. Acara menonton diakhiri dengan
menggigit biskuit yang cuma nyangkut di sela gigi.
Setelah menonton film, saya melanjutkan percakapan dengan
paijem sambil makan bakso. Beberapa kali Paijem menghubungi kekasihnya yang
mungkin sudah akan pulang kerja. Tak ada yang mengangkat telepon di seberang
sana. Di layar hape Paijem tampak foto kekasihnya itu. Paijem berkata kalau dia
suka mengganti-ganti foto pacarnya itu sesuai dengan moodnya. Kami berbincang tentang hal-hal remeh, menggosipkan
orang-orang terdekat kami, soal hati, nasib, dan entah apalagi. Paijem mau
menikah sebentar lagi. Katanya lagi, susah nyari cincin karena jari pacarnya
lebih kecil dari jarinya yang njemblek-njemblek
itu. Model yang tak disukai terpaksa dibeli dan siap dijual lagi kalau ada
keperluan mendadak. Fiuh.
Sekian salam dan sapa saya, khususnya buat para pembaca
tercinta yang mungkin cuma satu atau dua orang saja.
Kamar Kost, 6 Maret 2014