Semoga tak bosan dengan ini roman picisan Bedjo dan Cempluk
Pertemuan ini bisa dikatakan rahasia, tentu saja Si Mboknya Cempluk sudah merasa aman ketika tahu Kang Bedjo sekarang sudah jauh dari anaknya. Tapi anak-anak ini selalu lebih pintar. Cinta memberikan logika lebih pada mereka. Dengan segala cara, mereka masih saja bertemu di balik punggung Si Mboknya.
Akhirnya cempluk bisa ketemu lagi sama orang yang dicintainya. Sempat Cempluk menunggu Kang Bedjonya di rumah dan tak datang-datang. Sempat juga Kang Bedjo gantian menunggu Cempluk yang tak datang-datang karena kesibukan. Setelah sekian lama saling menunggu, waktu begitu terasa lama meski cuma beberapa minggu. Akhirnya mereka bisa kembali bertemu. Segala cerita tumpah sudah. Apapun dan tentang semua hal dimuntahkan lewat kata, tak habis-habis. Tak sudah-sudah.
Kang Bedjo bercerita sempat pulang dengan membawa uang satu setengah juta. Tapi tangannya serasa tak bisa bertahan lama memegang uang. Habis sudah dipakai untuk memoles motor kesangannya, Honda Plethuk tahun tujuh lima. Kang Bedjo tetap seperti dulu. Seperti ketika Cempluk pertama kali bertemu. Kang Bedjonya tak pernah berubah oleh waktu. Kota yang terkenal mahir mengubah orang pun tak sanggup mengubahnya. Kang Bedjo tetap menjadi Kang Bedjo. Dengan pikirannya yang sederhana, dengan usahanya untuk menjadi kaya, dengan segala tekad untuk membuktikan kepada Si Mboknya Cempluk bahwa ia akan menjadi orang sukses tak seperti yang dibayangkan. Sekang Kang Bedjo sudah bisa pegang hp nokia tipe N-Gage. Bisa dikatakan kemajuan karena bukan lagi tipe jadul 3315 yang biasa dipakainya untuk berjualan pulsa.
Cempluk kembali menggambar cerita perpisahannya di Terminal Kertonegoro ketika Kang Bedjonya mau berangkat ke Jakarta. Kang Bedjo keren sekali. Pakai topi hitam dan jaket abu-abu yang dibelikan Cempluk dulu. Cempluk menemaninya sampai bus itu tiba. Sempat mereka minum dari botol yang sama, duduk berdua. Sampai adegan Cempluk menjabat tangan kekasihnya sampai bus yang membawa Kang Bedjo berangkat. Tas putih masih menggantung di punggung, Cempluk tetap menatapnya. Kang Bedjo duduk dibangku nomor lima. Tak kelihatan lagi. Bus itu merangkak perlahan meniti halaman terminal yang bergelombang. Tubuh Kang Bedjo barangkali ikut berguncang-guncang. Karena jalan bergelombang, karena mengharap seratus ribu pertemuan tanpa perpisahan. Cempluk membalikan badannya, berjalan dengan menunduk. Seorang pria tiba-tiba melontar kata, “Mbak, duite ilang yo? Kok ndingkluk trus.” Tak hirau, Cempluk tetap saja menunduk sampai meleleh di jalanan, sambil memacu kencang sepedamotornya untuk pulang.
Dan sekarang dipertemuan mereka, Kang Bedjo bisa cerita. Soal nikmatnya secangkir kopi seharga enam puluh ribu rupiah. Soal saudara-saudaranya yang kaya raya itu, jadi dokter, jadi kontraktor yang sedang membangun sebuah apartemen, juga cerita soal dirinya yang bangga jadi mandor proyek nan bisa perintah-perintah para kuli bangunan. Kang Bedjo jadi sering dapat traktiran makanan-makanan berkelas, bahkan terasa asing di lidah karena terlalu terbiasa dengan sambal trasi bikinan Cempluk. Terdengar lucu mendengar ceritanya, Kang Bedjo pun tak bisa menyebut dengan benar nama makanan-makanan itu. Tapi sayang, tetap saja ia harus jadi babu. Malah disuruh menjaga anak saudaranya yang masih kecil dan sangat nakal itu. Tiap hari sibuk ngepel dan nyapu, kadang juga setrika. Karena sudah jadi sarjana, bedanya Kang Bedjo tak lagi disuruh untuk cuci baju.
Ealah..Kang...Kang...dimana-mana nasibmu belum berubah juga. Seperti biasa, semangkuk mie ayam selalu menemani obrolan Cempluk dan Kang Bedjo. Ini pun masih Cempuk yang harus membayar semuanya. Besok Cempluk sudah harus kembali ke Jogja. Padahal, obrolannya dengan Kang Bedjo baru dimulai. Kadang cukup mata yang berbicara. Kadang kedua tangan saling menggemgam. Kadang pun cukup dengan diam. Masih kangen. Tapi ya bagaimana lagi. Semoga segera bisa ketemu kembali. Salam dari Cempluk.
Aku hanya menambahkan feed Anda ke favorit saya. Saya sangat menikmati membaca posting Anda.
BalasHapus