Sabtu, 05 November 2011

Membaca Panggung: Meraba ‘Diri’ Para Pecinta Korea

Aku berpikir di mana aku tidak ada, karena itu aku ada dimana aku tidak berpikir. Apa karena yang berpikir menggantikan aku lalu aku menjadi yang lain?
(Jacques Lacan)


Rasanya tak cukup waktu untuk melihat lebih dalam. Dua hari berada dalam kerumunan para pecinta Korea di Korean Day UGM, 1-2 November 2011 memang belum bisa mengatakan apa-apa. Setidaknya, ada sesuatu yang menjadi lebih jelas dan mungkin bisa menjelaskan tesis seorang teman tentang hegemoni simbolik dari beberapa icon yang diidentifikasikan sebagai bagian dari budaya Korea. Penting untuk memperjelas bahwa istilah Korea yang dipakai merujuk pada sub budaya pop tertentu seperti cover dance competition yang menjadi salah satu bagian acara. Cover dance adalah istilah yang digunakan untuk tarian yang meniru gaya boyband dan girlband Korea sebagaimana aslinya.

Kesempatan dua hari ini menempatkan saya dalam sebuah kolektifitas yang memiliki kesamaan nilai, ketertarikan, pemaknaan dan bersimpul pada satu idol figure yang sama. Dalam ruang gedung Purna Budaya tersebut, segala bentuk simbol saling berseliweran, berkelindan, tumpang tindih, berpotongan, bergesekan satu dengan yang lain. Kolektifitas membuat individu berada dalam sebuah struktur yang mau tidak mau akan ikut mempengaruhi tindakan. Saya sudah membuktikan, sebagai orang yang hanya tahu permukaan, tidak terjun terlalu dalam, dengan sedikit sensitifitas dan kepekaan, ternyata bisa ikut pula merasakan.

Kolektifitas yang dibungkus dengan hegemoni simbolik ini mampu membangun semacam ‘ruh’ yang menggerakkan individu-individu di dalamnya. Setiap individu mungkin telah menyaksikan tarian, lagu, atau video klip artis korea pujaannya itu ratusan kali. Tetapi, ketika berada dalam kolektifitas, satu lagu diperdengarkan dengan suara keras, musik menghentak dan tarian gadis-gadis ayu bergaya harajuku itu muncul, serentak sepertu ada gemuruh yang ingin meledak, lalu menjadi teriak, bersama-sama dengan sangat kompaknya. Teori kejangkitan barangkali bisa berlaku di sini. Saya bisa merasakan ‘sesuatu’ itu meski saya tak pernah lulus mata kuliah ‘Sujunisme’—istilah untuk pendalaman pengetahuan tentang salah satu boyband Korea bertajuk Super Junior—yang diberikan seorang teman. Perasaan ini sangat riil tetapi tidak dapat dikuantifikasi dan dilokalisasi. Ia bisa menjadi semacam ‘bukan sesuatu’ dalam hal ini.

Perasaan ini juga bisa dijelaskan dengan apa yang sebut Carl Gustav Jung sebagai bawah sadar kolektif. Bawah sadar bisa menjadi semacam lumbung yang menyimpan banyak kekuatan, simbol dan kearifan. Bawah sadar bisa menjadi sesuatu yang positif karena mampu memberikan energi yang bekerja demi harmoni setiap individu-individu. Diri sebagai sebuah pengalaman kolektif tidak hanya sebatas pada prokreasi tetapi kembali pada masing-masing individu ketika mereka mencobai banyak peran, berhadapan dengan orang dalam situasi yang berbeda-beda sampai menemukan siapakah “aku” yang riil. Hanya dengan luapan teriakan kolektif, orang-orang bisa menumpahkan segala sesuatu yang pada awalnya tertimbun, menyalurkan energi mereka dan menjaga kembali keseimbangan.

Hari kedua, ada sesuatu yang lain terlihat. Momentum hari sebelumnya ternyata tak bisa terulang. ‘Ruh’ kolektifitas tak dapat dirasakan lagi. Beberapa hal menarik justru muncul di sini. Acara dibuka dengan tarian tiga orang laki-laki yang gerak tubuhnya bisa jadi lebih lentur dari seorang perempuan. Mereka dengan fasih menirukan tarian SNSD—salah satu girlband Korea—lengkap dengan ekspresi dan gesture khas “kemayu”-nya.

Di atas panggung, mereka menampilkan apa yang diistilahkan Erving Goffman sebagai wilayah muka. Mereka tertarik dengan kostum, gaya rambut, aksesoris yang dipakai dan tentu saja sangat dipengaruhi Korea. Saya pun menduga, wilayah belakang mereka kemungkinan tak akan jauh berbeda. Mereka tidak akan dengan mudah menanggalkan peran mereka di atas panggung dalam kehidupan sehari-hari, apapun bentuknya. Makna simbol ditentukan tidak melalui proses yang soliter tetapi menitik beratkan pada interaksi. Banyak bentuk simbol masih dikenakan dan melekat meski dalam ranah-ranah privat dan mewarnai pula interaksi sosial mereka.

Simbol dalam bentuk icon-icon Korea yang telah memenuhi benak mereka menjadi semacam sentrum eksistensi dimana keberadaan mereka akan selalu dilekati oleh berbagai produk budaya tersebut. Idol figure menjadi semacam ideal ego dalam istilah Lacan yang dibentuk oleh tatanan simbolis yang lebih luas. Ketika mereka tampil sebagai artis idolanya dengan meniru semua gerakan, meraka seakan ingin bercermin dan melihat bayangan mereka sebagai orang lain. Meskipun demikian, berbagai penampilan dan simbol tersebut menunjukkan sintesis dimana individu diandaikan sebagai subyek yang aktif sekaligus sebagian dibentuk oleh berbagai proses hegemoni simbol dan makna yang berlangsung dinamis dan sangat cepat di luarnya.

Proses pendefinisian diri menjadi sangat beragam. Tatanan simbol dan makna yang belum menyelesaikan pertarungannya ikut membentuk identitas dan mendefinisikan diri seseorang. Berbagai proses ini barangkali menjejalkan riwayat panjang yang tidak mudah dimengerti orang. Ketika mengidentifikasi ‘diri’ sebagai bias Super Junior misalnya, ada banyak orang tidak bisa memahami pola interaksi simbol yang terjadi dalam kepalanya. Mereka tidak akan mengerti atau tidak bisa merasakan ‘ruh’ macam apa yang menancap kuat dalam otak karena memang berada dalam ranah ego yang berbeda.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana orang bisa memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam arus kesadarannya sendiri? Jawaban yang mungkin adalah menciptakan ruang-ruang intersubyektifitas. Hubungan dialektis yang diciptakan menjadi salah satu peluang dimana wacana, simbol, dan pemaknaan bisa diperebutkan dalam posisi setara.



Kamar Kost, 2 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar