Sekembalinya dari Bincang Sastra di
TBY malam ini, saya serasa berat melangkahkan kaki. Senyum Mbak Abidah el
Khalieqi masih terasa. Tentu saja ia tak mengenal saya, hanya tak sengaja kami
bertubrukan pandangan ketika ia akan pulang. Panggung terbuka yang cukup sepi
itu menjadi ruang untuk kembali mengingat. Dengan puisi, malam ini saya dicabik
sepi sekaligus ingin menghilang di balik tebing, atau sekalian menjadi pecah
berkeping-keping. Puisi-puisi ini mencipta sayatan, pisau yang membelah-belah
ingatan. Luka dan sakit yang dikuburkan itu kembali dikabarkan.
Malam ini Studio Pertunjukan Sastra
mendatangkan seorang penyair perempuan dari Aceh, Zubaidah Djohar. Judul kumpulan
puisinya adalah Pulang Melawan Lupa. Acara
dimulai dengan pembacaan beberapa puisi karya Mbak Zu yang bagi saya sendiri
sarat pesan untuk kembali mengingatkan pada luka-luka Aceh. Sejarah luka Aceh memang
terlalu panjang untuk sanggup saya tulisan. Sebagian puisi itu ditulis di Canberra meski hatinya selalu
terpaut pada tanah kelahirannya. Saya tak membeli buku kumpulan puisi Mbak Zu
sehingga tak bisa berkomentar banyak secara pribadi. Dan tulisan ini juga hanya
sisa ingatan tentang orang-orang yang telah lebih dulu membaca kumpulan puisi
itu.
Para pembaca puisi membawakan puisi
Mbak Zu dengan gaya khasnya masing-masing. Diselingi nukilan lagu Bungong Jeumpa, bait yang dilagukan
dengan gaya tutur khas Aceh, seorang pembaca puisi yang nervous sebelum mulai lalu menghisap-hisap rokok di celah jari, malam
ini menjadi hangat meski tak semua yang hadir benar-benar menikmati pembacaan
puisi. Sebagian mengobrol, sibuk memotret atau memenjara mata pada layar hp.
Hamdi Salad mengawali diskusi dengan
memposisikan dirinya sebagai seorang pengganggu, bukan kritikus sastra sehingga
yang dia bicarakan di sini hanyalah sekadar refleksi setelah membaca kumpulan
puisi. Mbak Zu adalah salah satu selain beberapa penyair perempuan Aceh lain. Alumni
Magister Kajian Gender UI ini sedang melanjutkan studinya di Australia yang
juga memboyong keluarganya ke sana. Hamdi lalu bercerita tentang puisi dari
salah satu teman Gibran yang kurang lebih berkisah tentang hidup di barat hanya
jasad saja, tapi ruh penyair itu tetap berada di timur. Sepertinya tak jauh
juga dengan Mbak Zu yang menuliskan puisi-puisi tentang Aceh di benua seberang.
Selain menulis puisi, Mbak Zu adalah
seorang aktivis perempuan. Dan karenanya tentu tak asing dengan sekumpulan
teori-teori gender dan feminisme. Feminis menempatkan tubuh perempuan sebagai
medan bagi karya sastra itu sendiri, sebut saja Monolog Vagina. Karya sastra ini menjadi medan bagi tubuh perempuan
untuk berkomunikasi kepada publik. Sebagai aktivis, tubuh perempuan menjadi
media untuk menyadarkan. Semoga saya tak salah mencatat karena tentu akan melibatkan
perdebatan sangat panjang soal feminis dan aktivis.
Kadang seorang penyair menjadi
seperti politikus tua yang kebingungan mencari pena. Padahal, pena itu diletakkannya
di atas telinga sendiri. Maka puisi adalah pengingat, sebuah alat melawan lupa.
Seperti kata Milan Kundera yang sudah terlalu sering dikutip dimana-mana itu, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah
perjuangan ingatan melawan lupa.” Politik ingatan sendiri sudah banyak
dibicarakan orang setelah PD II. Bahkan, Ranggawarsita dengan Serat Kalatidha-nya menjadi jalan untuk
melihat lagi. Soekarno punya ungkapan Jasmerah.
Soeharto punya sekian banyak rekaya sejarah, dan sebagainya. Kajian politik
ingatan ini memang banyak dibahas oleh orang-orang kiri. Kata Hamdi, “Kalau di
Jogja ini, kiri jalan terus. Kalau kanan masih kadang berhenti. Makanya, karena
kiri jalan terus jadi muter-muter. Orangnya juga jadi ikut muter-muter.”
Pasca tsunami Aceh, banyak sekali
karya sastra bermunculan yang membahas tentang Aceh. Namun, sebagian besar dari
karya tersebut justru ditulis oleh orang-orang dari luar Aceh. Banyak dari
karya itu yang juga melakukan kritik terhadap orang-orang yang masuk ke Aceh. Katanya
mereka itu melebihi Belanda, Orde Baru tanpa jiwa. Sedangkan puisi Mbak Zu
dapat dikatakan semacam otokritik. Ia memiliki perspektif berbeda ketika
memandang Aceh, tentu karena Mbak Zu adalah orang Aceh itu sendiri. Dalam puisinya
akan banyak dijumpai kata-kata seperti damai, lelaki itu, tentara-tentara,
penguasa dan sebagainya. Di beberapa sisi, Mbak Zu juga mengkritik orang Aceh
yang kadang hanya minum kopi dari pagi sampai pagi lagi.
Puisi Mbak Zu membangkitkan ingatan
tentang kehebatan perempuan-perempuan yang pernah berkuasa di Aceh. Meski saat
ini, perempuan menjadi kelompok paling rentan. Pada saat perang, konflik sampai
saat ini pun perempuan lebih sering menjadi korban. Ketika angka menyebutkan
sekian banyak perempuan meninggal, sekian banyak mengalami perkosaan dan
penindasan, ada bagian-bagian yang tak bisa diungkapan sekadar dalam lembar
laporan penelitian. Melalui puisi, Mbak Zu menambal ruang kosong ini untuk merekam
suara-suara yang tak bisa didengar.
Banyak aktivis maupun LSM yang ingin
membebaskan Aceh dari penindasan. Tapi apa yang akan dilakukan setelah damai? Hal
inilah yang jarang dipikirkan. Mbak Zu mengajak untuk pulang dengan maknanya
yang lain. Puisinya mengingatkan pada spiritualitas Aceh bahwa ada negeri lain
yang akan menjadi tempat pulang setelah kehidupan ini. Pulang pada kematian dan
kehidupan setelahnya.
Pembicara selanjutnya ingin melihat
puisi-puisi Mbak Zu dari perspektif jurnalistik. Sebagaimana berita atau segala
bentuk karya jurnalistik, hakikat puisi juga menjadi penyampai informasi kepada
publik. Dalam tataran fungsi inilah puisi tak jauh beda dari beberapa karya
jurnalistik. Ada banyak hal yang tak bisa disampaikan oleh berita. Ketika seseorang
tidak bisa mempersoalkan syariat Islam ketika Qanun diberlakukan lewat berita,
maka puisi bisa melakukannya. Itulah kenapa ada ungkapan ketika jurnalisme
dibungkan, sastra bicara. Beberapa puisi Mbak Zu juga mirip dengan feature. Puisi-puisi
itu bisa memotret dengan jelas derita seorang perempuan yang ditinggal mati
suami, perempuan-perempuan yang mengalami ketidakadilan, dan sebagainya.
Seperti sebuah foto, karya puisi
Mbak Zu mampu memotret dengan jelas. Kita diingatkan dengan pemenang Honorable Mention World Press Photo
tahun 2003 kategori Spot News karya
Tarmizi Harva. Foto ini menggambrakan seorang laki-laki yang tangannya terikat
pada sebatang pohon pinang. Laki-laki itu hanya mengenakan celana dalam
berwarna abu-abu pucat. Dari lehernya yang terikat kain putih usang itu, darah
kering mengalir ke punggung dan menjadikan rumput hijau di bawah kakinya menjadi
kemerahan. Seorang perempuan seperti terlihat mengusap pipinya sembari
membawakan sepasang pakaian. Seorang perempuan lagi berdiri dengan wajah sedih
sambil menggendong anaknya. Tak ada laki-laki lain di foto itu. Tak ada juga yang
berani melepaskan lelaki yang terikat dan hampir mati itu.
Bagi Mbak Zu sendiri, kumpulan puisi
ini menjadi kewajiban moral yang didedikasikan bagi para korban perang. Puisi ini
membuka ingatan bahwa jalan keadilan bagi perempuan korban perang harus diperjuangkan.
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah jalan untuk membangun
peradaban. Syariat Islam seharusnya tidak mengejar-ngejar tubuh perempuan untuk
ditertibkan tapi bagaimana memenuhi hak mereka sebagai perempuan. Puisi ini adalah seruan perdamaian, melawan
lupa, dan tak bermaksud mengungkit-ungkit sakit atau terpukau pada sejarah
kelam. Puisi-puisi ini adalah suara-suara menuntut keadilan yang ingin
dikabarkan kepada para penguasa atau siapapun mereka.
Mbak Zu lalu bercerita tentang Putri.
Gadis remaja asal Aceh ini bunuh diri karena malu setelah ditangkap polisi
syariat Islam atau Waliyatul Hisbah dan dituduh sebagai pelacur. Hanya karena
menonton organ tunggal dengan temannya, tuduhan dan hukum yang akan dibebankan
kepadanya menghantui Putri sampai ia nekad mengakhiri hidupnya. Mbak Zu hampir
tak bisa menahan air mata ketika menuturkan cerita ini. Jeda.
Perjuangan melalui puisi adalah
perjuangan untuk mengingat. Hamdi sendiri sambil bercanda di akhir acara, memperkenalkan
sebuah aliran kritik sastra baru yang diberinya nama kritik sastra gaib. Sebuah
karya sastra tidak hanya dikupas secara semantik bagian-bagian yang terlihat di
dalamnya. Tapi, bagaimana sastra di baca sebelum dan sesudah karya itu
dituliskan. Kritik sastra gaib menjadi cara untuk melihat sesuatu yang tak
kelihatan di balik sebuah karya, termasuk ingatan. sudah terlalu banyak kritik
sastra yang mengupas awalan me- dan akhiran –kan dalam sebuah novel yang bisa
dibahas sampai empat puluh halaman. Bagaimana sebuah puisi mampu menyentuh jiwa
seorang, menebar pengaruh dan pada akhirnya mampu menggali sebuah kesadaran tak
banyak menjadi pilihan bagi kritikus sastra kita. Dan Puisi Mbak Zu adalah puisi
yang merekan jejak-jejak ingatan untuk kemudian melawan.
Saya meninggalkan tempat duduk yang
berundak-undak itu. Di parkiran, seorang satpam sedang membaca Al Quran dengan
bersila, melipat kakinya di atas kursi. Puisi Mbak Zu seperti menebar energi
sekaligus teror bagi proses kreatif saya sendiri. Tentu tak bisa dibandingkan
karena setiap penyair punya jalannya masing-masing. Saya benar-benar tak akan
berani menerbitkan naskah dalam folder yang sudah tersusun rapi. Seberapa banyak
penyair menuliskan tentang hujan, sampai hujan telah habis dituliskan, sampai
kerontang. Saya tahu diri untuk tidak menambah sakit negeri ini dengan puisi
yang mungkin memang belum layak baca. Proses ini akan terus berlanjut. Tetap saya
akan hadir dalam diskusi puisi selanjutnya, memotret, mengamati dan mencatat di
pojokan.
Kamar Kost, 16 September 2012, 01:12
WIB