“Para pembaca Tempo: Hallo???? Hallo???.... Bangun belum???”* Entah kenapa tiba-tiba saya mengingat kembali kalimat ini. Sebuah kalimat penutup dalam salah satu esai Ben Anderson di atas
seperti sindiran yang menghujam. Meskipun Ben bicara tentang hal yang berbeda
dan silakan dibaca sendiri, setidaknya sengatan tulisannya membuahkan
pertanyaan berat. Seberapa jauh kita mengenal Indonesia ketika manusia-manusia
seperti saya ini otomatis telah menjadi Indonesia. Berapa orang dari kita mengenal
pahlawan-pahlawan negeri, selain yang wajahnya dikurung dalam pigura dan
dipajang di dinding-dinding kelas kita.
Barangkali
ada ribuan kisah epik yang muncul di negeri ini. Kisah-kisah para pemimpin
pemberontakan rakyat seperti Dipati Ukur di Priangan, Kyai Hasan Maulani di Kuningan atau Kyai
Wasid dan Jaro Kajuruan, juga K.H Achmad Chatib di Banten. Dan Cirebon memiliki Ki Bagus Rangin yang memimpin pertempuran
melawan Hindia Belanda pada Februari 1806.
Di hutan yang sunyi, Rangin dan Ciliwidara menyusun strategi. |
Kisah
Ki Bagus Rangin menggambarkan pemberontakan akibat kelaparan dan kemiskinan
yang diderita oleh rakyat Cirebon. Cerita yang kental dengan aroma sejarah dan
semangat berjuang dari rakyat tersebut diangkat menjadi sebuah pementasan teater
berjudul Rangin. Teater Kerikil
dengan sutradara pertunjukan Kedung Darma Romansha berhasil menyuguhkan sesuatu
yang segar untuk dinikmati di hari keempat Festival Teater Jogja.
Pertunjukan
ini dibuka dengan lantunan tembang yang menarasikan cerita. Efek tembang selalu
menimbukan kesan mistis dan ketika hal ini dimunculkan di awal, maka pentas
malam ini berhasil menyergap saya untuk tidak mengalihkan mata dari panggung. Konsep
latar panggungnya sangat sederhana. Teater ini berani bertaruh pada efek cahaya
dan kemampuan para aktor untuk mengelola ruang panggung yang kosong.
Rangin menjadi menarik
setelah saya tahu bahwa aktor yang bermain merupakan aktor multiperan. Seorang pemain
didaulat untuk memainkan lebih dari satu tokoh, bahkan dengan karakter yang
berlawanan. Hal ini sekaligus memancing penonton untuk benar-benar
memperhatikan siapa sedang berperan sebagai siapa, untuk tidak membilang bahwa
konsep ini juga sedikit membuat bingung. Pertaruhan teater model ini terletak
pada kemampuan pemain dalam memerankan tokoh-tokoh yang berbeda. Sebagai teater
yang juga mengandalkan keaktoran, Rangin
sepertinya belum mampu memikat hati saya.
Permaian bayangan dalam Rangin |
Pertaruhan
terhadap efek pencahayaan bukan tanpa resiko. Beberapa kali lampu sering terasa
telat padam sehingga ketika satu pemain yang sama kemudian beralih menjadi
tokoh yang berbeda, bahkan menjadi narator, perpindahan ini terasa masih kurang
halus. Kejanggalan lain juga sangat menggangu ketika pemain yang sudah
diceritakan mati, bangkit meninggalkan panggung di depan mata penonton. Mungkin
akan lebih nyaman kalau saat itu layar panggung ditutup sejenak atau lampu
dipadamkan.
Melihat
pertunjukan ini rasanya seperti memutar kembali pengalaman menonton sandiwara
tradisional, macam kethoprak kalau di Jawa. Cirebon barangkali punya tradisi
maupun bentuk sandiwara tradisionalnya yang khas, yang tentu saja kerap
mengusung kisah-kisah dalam babad dan cerita rakyat lain. Cerita epik Ki Bagus Rangin
ini juga muncul dalam lakon wayang Babad Bantarjati.
Keunikan
Cirebon sebagai daerah yang bukan Jawa dan bukan Sunda menjadikan keseniannya
mampu melukis pada kanvasnya sendiri. Pertunjukan ini mencoba untuk menampakkan
warna lokal Cirebon dengan paduan tari topeng Indramayu. Saya mengenali gerakan
tarian yang dibawakan ketika sosok pahlawan perempuan dalam tokoh Ciliwidara
sedang bertempur dengan salah satu petinggi pribumi yang justru bekerjasama
dengan Belanda untuk mengalahkan Ki Bagus Rangin.
Adegan
pertempuran dikemas menarik dengan koreografi pencak silat yang dihadirkan. Permainan
bayangan digunakan untuk menampilkan gerakan-gerakan silat di balik layar putih
yang menutupi latar panggung bagian belakang. Saya sendiri tertarik pada adegan
ketika Ki Bagus Rangin berorasi untuk membangkitkan semangat pemberontakan
dihadapan rakyat banyak yang ditampilkan dengan permainan bayangan di belakang
layar. Satu lagi adegan yang saya suka, ketika Ciliwidara bercakap dan
bertarung melawan salah satu pejabat pribumi yang digambarkan dengan sedikit
absurd.
Ki
Bagus Rangin pada kenyataannya telah kalah dan menerima hukuman penggal dari
Belanda. Namun, Rangin tidak mati dalam pertunjukkan ini. Ketika bagian atas
panggung menurunkan semacam jaring sebagai gambaran penangkapan Rangin, ia
berhasil lolos dan tiba-tiba menghilang. Sebuah tipuan yang diketahui semua
orang digunakan dalam adegan ini. Rangin melepas ikat pinggang dan iket
dikepalanya. Sekelompok prajurit datang dan ketika jaring tersebut dibuka,
tokoh Rangin membaur dengan prajurit dan dikabarkan hilang. Pertunjukan ditutup
dengan munculnya seorang laki-laki yang membawakan sebuah tari. Sebuah akhir
yang kurang menggigit. Ketika tari usai, penonton seakan tak percaya bahwa
pertunjukan juga telah usai.
Rangin
ternyata tak pernah mati. Cerita dalam teater ini dari awal sampai akhir tak
pernah sekalipun membunuh tokoh-tokohnya. Narasi cerita juga tak membunuh
Rangin dan membiarkannya menghilang dengan kesaktiannya. Barangkali Rangin
masih hidup dalam tubuh halusnya. Ia diam-diam menonton pertunjukkan. Rangin
memenuhi ruang sambil melihat wajah-wajah penonton yang melihat dirinya
diperankan oleh seorang aktor. Rangin tampak geleng-geleng kepala, “Jadi, tak
banyak dari kalian yang mengenal saya, ya?.”
Akhir
kata, saya tak akan berkoar-koar di sini soal semangat pemberontakan yang
dikobarkan tokoh-tokoh rakyat zaman dulu. Setidaknya melalui teater ini saya
merasa diberi tahu dan diingatkan bahwa pengetahuan tentang masa lalu menyimpan
begitu banyak hal yang seakan bergerak mendekat tetapi jauh. Tokoh-tokoh
seperti Rangin adalah mereka yang tertidur dan meminta untuk dihidupkan
kembali, setidaknya bisa menyegarkan ingatan yang semakin busuk oleh tumpukan
berita koran dan siaran-siaran televisi. Saya seperti sengaja melupa atau
dipaksa lupa, bahkan tak ingin menoleh sejenak atau dipaksa untuk tak menoleh. Mungkin
juga karena kita, eh, bukan... setidaknya saya sudah otomatis Indonesia dan
sedang nyenyak tertidur di reruntuh ruang kelas.
*Kalimat
ini ada dalam esai Ben Anderson berjudul Indonesia
Statistik: Surat Buat Para Pembaca. Bagi yang mau tahu banyak soal Ben
Anderson dan karyanya bisa menghubungi teman sebelah.
Kamar
Kost, 31 Agustus, 23:35 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar