Sabtu, 01 September 2012

Menghidupkan Kembali ‘Rangin’ dalam Teater


“Para pembaca Tempo: Hallo???? Hallo???.... Bangun belum???”* Entah kenapa tiba-tiba saya mengingat kembali kalimat ini. Sebuah kalimat penutup dalam salah satu esai Ben Anderson di atas seperti sindiran yang menghujam. Meskipun Ben bicara tentang hal yang berbeda dan silakan dibaca sendiri, setidaknya sengatan tulisannya membuahkan pertanyaan berat. Seberapa jauh kita mengenal Indonesia ketika manusia-manusia seperti saya ini otomatis telah menjadi Indonesia. Berapa orang dari kita mengenal pahlawan-pahlawan negeri, selain yang wajahnya dikurung dalam pigura dan dipajang di dinding-dinding kelas kita.

Barangkali ada ribuan kisah epik yang muncul di negeri ini. Kisah-kisah para pemimpin pemberontakan rakyat seperti Dipati Ukur di Priangan, Kyai Hasan Maulani di Kuningan atau Kyai Wasid dan Jaro Kajuruan, juga K.H Achmad Chatib di Banten. Dan Cirebon memiliki Ki Bagus Rangin yang memimpin pertempuran melawan Hindia Belanda pada Februari 1806.

Di sebuah hutan yang sunyi, Rangin dan Ciliwidara sedang menyusun strategi.
Di hutan yang sunyi, Rangin dan Ciliwidara menyusun strategi. 
Kisah Ki Bagus Rangin menggambarkan pemberontakan akibat kelaparan dan kemiskinan yang diderita oleh rakyat Cirebon. Cerita yang kental dengan aroma sejarah dan semangat berjuang dari rakyat tersebut diangkat menjadi sebuah pementasan teater berjudul Rangin. Teater Kerikil dengan sutradara pertunjukan Kedung Darma Romansha berhasil menyuguhkan sesuatu yang segar untuk dinikmati di hari keempat Festival Teater Jogja.  

Pertunjukan ini dibuka dengan lantunan tembang yang menarasikan cerita. Efek tembang selalu menimbukan kesan mistis dan ketika hal ini dimunculkan di awal, maka pentas malam ini berhasil menyergap saya untuk tidak mengalihkan mata dari panggung. Konsep latar panggungnya sangat sederhana. Teater ini berani bertaruh pada efek cahaya dan kemampuan para aktor untuk mengelola ruang panggung yang kosong.

Rangin menjadi menarik setelah saya tahu bahwa aktor yang bermain merupakan aktor multiperan. Seorang pemain didaulat untuk memainkan lebih dari satu tokoh, bahkan dengan karakter yang berlawanan. Hal ini sekaligus memancing penonton untuk benar-benar memperhatikan siapa sedang berperan sebagai siapa, untuk tidak membilang bahwa konsep ini juga sedikit membuat bingung. Pertaruhan teater model ini terletak pada kemampuan pemain dalam memerankan tokoh-tokoh yang berbeda. Sebagai teater yang juga mengandalkan keaktoran, Rangin sepertinya belum mampu memikat hati saya.  

Permaian bayangan dalam Rangin
Pertaruhan terhadap efek pencahayaan bukan tanpa resiko. Beberapa kali lampu sering terasa telat padam sehingga ketika satu pemain yang sama kemudian beralih menjadi tokoh yang berbeda, bahkan menjadi narator, perpindahan ini terasa masih kurang halus. Kejanggalan lain juga sangat menggangu ketika pemain yang sudah diceritakan mati, bangkit meninggalkan panggung di depan mata penonton. Mungkin akan lebih nyaman kalau saat itu layar panggung ditutup sejenak atau lampu dipadamkan.

Melihat pertunjukan ini rasanya seperti memutar kembali pengalaman menonton sandiwara tradisional, macam kethoprak kalau di Jawa. Cirebon barangkali punya tradisi maupun bentuk sandiwara tradisionalnya yang khas, yang tentu saja kerap mengusung kisah-kisah dalam babad dan cerita rakyat lain. Cerita epik Ki Bagus Rangin ini juga muncul dalam lakon wayang Babad Bantarjati.

Keunikan Cirebon sebagai daerah yang bukan Jawa dan bukan Sunda menjadikan keseniannya mampu melukis pada kanvasnya sendiri. Pertunjukan ini mencoba untuk menampakkan warna lokal Cirebon dengan paduan tari topeng Indramayu. Saya mengenali gerakan tarian yang dibawakan ketika sosok pahlawan perempuan dalam tokoh Ciliwidara sedang bertempur dengan salah satu petinggi pribumi yang justru bekerjasama dengan Belanda untuk mengalahkan Ki Bagus Rangin.

Adegan pertempuran dikemas menarik dengan koreografi pencak silat yang dihadirkan. Permainan bayangan digunakan untuk menampilkan gerakan-gerakan silat di balik layar putih yang menutupi latar panggung bagian belakang. Saya sendiri tertarik pada adegan ketika Ki Bagus Rangin berorasi untuk membangkitkan semangat pemberontakan dihadapan rakyat banyak yang ditampilkan dengan permainan bayangan di belakang layar. Satu lagi adegan yang saya suka, ketika Ciliwidara bercakap dan bertarung melawan salah satu pejabat pribumi yang digambarkan dengan sedikit absurd.

Ki Bagus Rangin pada kenyataannya telah kalah dan menerima hukuman penggal dari Belanda. Namun, Rangin tidak mati dalam pertunjukkan ini. Ketika bagian atas panggung menurunkan semacam jaring sebagai gambaran penangkapan Rangin, ia berhasil lolos dan tiba-tiba menghilang. Sebuah tipuan yang diketahui semua orang digunakan dalam adegan ini. Rangin melepas ikat pinggang dan iket dikepalanya. Sekelompok prajurit datang dan ketika jaring tersebut dibuka, tokoh Rangin membaur dengan prajurit dan dikabarkan hilang. Pertunjukan ditutup dengan munculnya seorang laki-laki yang membawakan sebuah tari. Sebuah akhir yang kurang menggigit. Ketika tari usai, penonton seakan tak percaya bahwa pertunjukan juga telah usai.

Rangin ternyata tak pernah mati. Cerita dalam teater ini dari awal sampai akhir tak pernah sekalipun membunuh tokoh-tokohnya. Narasi cerita juga tak membunuh Rangin dan membiarkannya menghilang dengan kesaktiannya. Barangkali Rangin masih hidup dalam tubuh halusnya. Ia diam-diam menonton pertunjukkan. Rangin memenuhi ruang sambil melihat wajah-wajah penonton yang melihat dirinya diperankan oleh seorang aktor. Rangin tampak geleng-geleng kepala, “Jadi, tak banyak dari kalian yang mengenal saya, ya?.”

Akhir kata, saya tak akan berkoar-koar di sini soal semangat pemberontakan yang dikobarkan tokoh-tokoh rakyat zaman dulu. Setidaknya melalui teater ini saya merasa diberi tahu dan diingatkan bahwa pengetahuan tentang masa lalu menyimpan begitu banyak hal yang seakan bergerak mendekat tetapi jauh. Tokoh-tokoh seperti Rangin adalah mereka yang tertidur dan meminta untuk dihidupkan kembali, setidaknya bisa menyegarkan ingatan yang semakin busuk oleh tumpukan berita koran dan siaran-siaran televisi. Saya seperti sengaja melupa atau dipaksa lupa, bahkan tak ingin menoleh sejenak atau dipaksa untuk tak menoleh. Mungkin juga karena kita, eh, bukan... setidaknya saya sudah otomatis Indonesia dan sedang nyenyak tertidur di reruntuh ruang kelas.

*Kalimat ini ada dalam esai Ben Anderson berjudul Indonesia Statistik: Surat Buat Para Pembaca. Bagi yang mau tahu banyak soal Ben Anderson dan karyanya bisa menghubungi teman sebelah.

Kamar Kost, 31 Agustus, 23:35 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar