Kamis, 30 Agustus 2012

Api Yang Takkan Padam: Kuliah Sejarah dalam Teater


Seorang pemain dengan logat Minang muncul dari pojok depan panggung. Lampu sorot perlahan mengarah kepada pemain itu, yang berjalan pelan sambil sesekali memukul genderang yang diikat di perutnya. Topi kertas terbuat dari koran dikenakannya di kepala. Seperti seorang pengisah tambo, pemain itu bercerita awal mula perantauannya ke suatu kota bernama Yogyakarta.

Dikisahkan bahwa Jogja adalah kota yang terkenal dengan penduduknya yang ramah tamah. Kota ini berkenan menampung seluruh manusia dari pelosok tanah air yang ingin tinggal. Pengisah tambo masih terus melanjutkan cerita ketika ia mendapat petuah-petuah macam “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Ia terus berceloteh sampai adegannya berhenti dan pemain-pemain yang berdandan mirip prajurit keraton muncul dari dua sisi panggung.

Teater di malam ketiga Festival Teater Jogja 2012 ini bertajuk Api Yang Takkan Padam. Pertunjukkan dari Migrating Troop yang disutradarai oleh Citra Pratiwi tersebut ingin mengangkat kisah perjuangan Sultan Hamengkubuwono IX yang membuat kota ini menjadi istimewa sampai sekarang. Konsep yang digagas cukup menarik dengan menggabungkan narasi dan unsur audiovisual berupa rekaman suara maupun video-video dokumenter soal sejarah Jogja.

Seperti halnya sebuah tambo, teater ini lebih banyak menarasikan kembali sejarah. Bagian ini ditampilkan dengan sangat lugu dimana para aktor tampil bergantian untuk menceritakan kembali sejarah Jogja mulai dari perjanjian Giyanti, kisah Serangan Umum 1 Maret sampai nukilan-nukilan sejarah yang sering digunakan penguasa Orba untuk mengusai ingatan kolektif rakyat. Seperti halnya kuliah, penonton disuguhi narasi dengan visualisasi yang diputar lewat video yang memenuhi latar panggung bagian belakang. Sedikit membosankan.

Narasi selesai. Tiga pemain perempuan melantunkan tembang Hampir Malam di Jogja. Gelembung-gelembung udara muncul dari atas panggung dan pemain laki-laki membuat gerakan-gerakan tubuh yang terasa tidak mampu menyatu dan mengisi lagu. Tembang ini ternyata mengakhiri kebosanan karena dalam adegan-adegan berikutnya, penonton mampu diajak untuk tertawa lewat ulah si pengisah tambo dan pacarnya.

Dua orang pemain muncul dengan sepeda. Cinta yang tumbuh di Jogja membuat seorang pemuda Minang dan gadis yang di awal mengaku dari Jombang itu saling berkasih-kasihan. Acara saling merayu dan dialog-dialog serta lakuan yang digambarkan pemuda minang mampu memicu tawa penonton. Celana si pemuda yang melorot itu cukup menghibur.

Selanjutnya, satu lagi pasangan datang. Pria dengan rambut pirang maju ke depan dan berkata bahwa dia dulu tak bisa manari Jawa, tapi setelah berobat ke Klinik Tongseng akhirnya ia bisa menari striptis. Penonton kembali tertawa setelah pria itu tiba-tiba kesurupan dan ditolong oleh pemuda Minang. Satu lagi pasangan datang. Seorang pria buta bertongkat yang hanya bersarung dan bertelanjang dada. Seorang lagi perempuan bersyal merah. Tiga pasangan ini meramaikan pertunjukan dengan dialog-dialog mereka yang kocak dan segar.

Tidak banyak yang bisa dikatakan dari pertunjukan ini. Mungkin karena saya sendiri tidak terlalu terkesan, kecuali cukup terhibur dengan guyonan yang disuguhkan. Ruh dari pertunjukkan ini seakan menghilang. Saya juga tidak menyukai tata musik dari perangkat digital yang sudah diolah sebelumnya itu. Tapi hal yang saya suka dari sebuah teater adalah kelangkaannya. Sebuah teater hanya bisa disaksikan sekali, kini dan di sini sehingga atmosfir yang tercipta pada saat menonton menjadi hal yang tak dapat diulang. Kesan pun terbentuk dengan sangat spesifik, entah apakah saya kemudian akan terserap dalam narasi, keaktoran, atau aspek-aspek teknis lainnya.

Selain narasi sejarah dan dialog aktor yang coba ingin disatukan tetapi menjadi terkesan patah, kekurangan dari teater ini tampak dalam hal mengolah ruang. Teater memiliki banyak ruang mulai dari ruang dimana peristiwa itu berlangsung, ruang panggung, sampai ruang sosial. Kalaupun ingin menunjukkan keberagaman Jogja, hal ini juga tak tampak karena yang terlihat menonjol hanya warna lokal dari pemuda Minang. Pilihan untuk mengangkat sisi sejarah yang ingin diungkap menjadi benar-benar mirip kuliah. Banyak ruang yang sebenarnya bisa dieksplorasi lebih jauh terkait dengan pilihan ini. Suguhan narasi sejarah mungkin akan lebih nyaman dilihat dan didengar bila dituturkan lewat percakapan antar pemain meski sedikit sudah terselip melalui dialog pacar si pemuda Minang. Tampaknya lebih baik juga kalau dikemas secara teatrikal sebagaimana pengisah tambo di awal pertunjukkan.

Lewat teater yang menghibur ini, sejarah kembali digali dan diinformasikan kepada penontonnya. Salah satu sumber penutur sejarahnya kebetulan hadir. Di akhir pentas, KRT H. Djatiningrat SH. diminta naik ke atas panggung. Dari sinilah konon katanya generasi muda yang belum pernah bertemu Sultan Hamengkubuwono IX bisa mencecap kisah dan perjuangannya. Dari sinilah kita semua tahu bahwa tuturan sejarah ini dilihat dari puncak gunung yang mana.

Kamar Kost, 30 Agustus, 00:11 WIB.    








Tidak ada komentar:

Posting Komentar