Sekelompok anak berdandan rock and roll bergerombol dengan
bergantian menenggak isi botol berwarna hijau. “Lambeku sempal karena kecelakaan kemarin,” kata seorang dalam gerombolan
itu setelah mengeluh karena diberhentikan dari pekerjaan. Perempuan dengan
rambut dipangkas habis separuh sisi kepalanya itu juga ikut mengeluh karena
diusir dari tempatnya berjualan. Tentu saja ia diusir karena berjualan jilbab
di Pasar Kembang. Penonton tertawa dengan dialog khas mereka.
Hari ini adalah hari kedua Festival
Teater Yogyakarta 2012. Sebuah pertunjukan bertajuk Move On mencoba hadir dengan mengusung kolaborasi musik rock and roll dan teater. Adegan pembuka
dalam paragraf di atas lumayan menarik. Saya jadi berharap banyak untuk
menyaksikan bagaimana kehidupan jalanan dihadirkan kembali dalam panggung. Konsep
teater ini cukup layak untuk diapresiasi. Sebuah bentuk teater modern ingin
ditampilkan melalui penggunaan musik digital yang diusung oleh Technoshit. Pergumulan
antara pemain dan pemusik dalam satu panggung pada bagian awal memang memikat,
diselingi lirik-lirik khas perlawanan. Mereka menginginkan pahlawan baru, bukan
pahlawan asu.
Sebagai penonton, sepertinya kali
ini saya benar-benar terkena efek alienasi Brecht. Tidak seperti biasanya
dimana saya bisa larut dalam pertunjukkan, kali ini saya seperti berada di luar
dan menjadi pengamat yang baik. Cerita dimulai ketika seseorang berambut
gondrong dari kelompok pemain yang saya ceritakan di awal mulai resah dengan
hidupnya. Ia merasa harus berubah dan menyadari hidup seenaknya, mabuk-mabukkan
sampai merampok bukanlah solusi.
“Kita harus bisa menggariskan hidup
kita sendiri,” begitu kira-kira dialog yang diucapkan. Temannya menimpali, “halah, nggarisi dalan kae po? Oret-oret
tembok,” pemain lain tertawa. Penonton lagi-lagi ikut tertawa. Satu lagi
pemain perempuan muncul. Ia menyeret kekecewaan yang disimbolkan dengan kotak
plastik, keluarga dan institusi berbagar besi macam sekolah. Pesan dalam adegan
ini sampai dengan baik. Pemain perempuan itu kemudian diinisiasi menjadi
anggota kelompok tersebut dengan melepas rok panjang dan menggunduli satu sisi
kepalanya. Setelah adegan ini, saya hanya bisa menggerutu dan menggumam
sendiri, sok ribut berkomentar dalam
hati.
Ketertarikan saya untuk menyaksikan
kehidupan jalanan ternyata hanya berhenti pada tawa kedua. Narasi selanjutnya
seperti terjebak pada kisah besar yang diungkapkan dengan sedikit kacau. Muncul
seorang perempuan yang kebetulan berbaju kuning, duduk dikursi dan ditarik dengan
leher seorang laki-laki yang lebih mirip anjing daripada manusia. Perempuan berbaju
kuning itu diikuti oleh anak buahnya, perempuan-perempuan muda berbaju seksi. Pakaian
memang menjadi satu hal yang selalu dikontraskan dari kehidupan jalanan dan
peradaban lain yang dalam pertunjukan ini ditujukan bagi para kapitalis. Dimulailah
perang antara anak-anak jalanan ini dengan kapitalisme. Kisah ini sangat jelas
didengungkan melalui iringan serta lirik lagu yang dibawakan. Para pemain
menari-nari, sedikit break dance dan
gerakan tarian modern lainnya. Kaki saya bergerak sendiri.
Dari adegan ini ke belakang,
departemen narasi mulai kacau. Saya tidak suka tiba-tiba ada tokoh sentral yang
dihadirkan. Konon kata pembawa acara di awal, cerita ini tidak untuk
mengkultuskan seseorang yang dianggap berjasa memberi jalan bagi
seniman-seniman terpinggirkan. Kalimat pembawa acara tersebut seperti
menegaskan hal sebaliknya. Tokoh ini seperti malaikat penolong yang kemudian
ikut bertempur, bergabung dengan kelompok rock
and roll. Mereka kalah. Perempuan yang kebetulan berbaju kuning, dengan
logatnya yang sok Inggris mulai
mencela bahwa kelompom rock and roll
tidak bisa berbuat apa-apa. Dimulailah sebuah cerita klise. Mohon maaf kalau
saya muak.
Kehadiran tokoh bak malaikat itu
mengacaukan sudut pandang cerita. Semula, kelompok rock and roll sudah dengan baik bercerita tentang diri mereka
sendiri, apa adanya, dengan segala dialog khas dimana mungkin panggung dan
kehidupan sebenarnya tak jauh berbeda. Tokoh bak malaikat itu kemudian membalik
sudut pandang ketika ia berusaha untuk membangkitkan semangat kelompok rock and roll yang kalah perang dengan
kelompok perempuan berbaju kuning. Mereka yang terbaring lemah tak berdaya
mulai ditolong untuk kembali berdiri. Dialog dan ajakan untuk bersemangat dan
berkarya diucapkan berulang kali sampai telinga saya gatal.
Kalau soal struktur cerita, mungkin
saya termasuk orang konvensional yang menyukai model cerita-cerita tragedi
dimana klimaks dan anti-klimaksnya divisualisasikan dengan jelas. Kalaupun
model cerita narasi, setidaknya saya selalu berharap pada akhir cerita. Tapi kembali
saya sangat dikecewakan dengan akhir cerita teater ini. Bagaimana mungkin tiba-tiba
kelompok rock and roll bisa menari
bersama anak buah perempuan berbaju kuning yang cantik-cantik itu? Adegan
terakhir justru membuat saya sesak. Bagaimana mungkin tokoh bak malaikat lalu
berjabat tangan dengan perempuan berbaju kuning? Apa-apaan ini? Para pemain menari-nari,
lampu mati, dan pertunjukan ini ditepuki.
Saya tidak tahu apa pesan dalam
adegan terakhir. Setiap sutradara secara sadar maupun tidak telah memilih cerita,
pemain dan bagaimana sebuah naskah diterjemahkan dalam pertunjukan. Entah apakah
memang perlawanan mereka patah lalu menyerah atau memang harus berkawan agar terus
bisa makan dengan semangat dan karya mereka yang baru dibangkitkan itu. Karya
yang membuat tokoh bak malaikat dan perempuan berbaju kuning bisa berpelukan
mesra. Entahlah. Semoga ini menjadi ironi yang memang disengaja.
Ada semacam kegembiraan ketika saya
bisa ngomong ngawur di sini. Barangkali
memang sebuah kelaziman sengaja tidak ditampilkan untuk memancing kritik dari
para penontonnya. Sebuah pertunjukan yang baik pun bukan selamanya yang paling
mirip dengan kehidupan sebenarnya. Seorang pemain pun tidak serta-merta harus
membunuh tokoh yang diperankannya. Inilah yang membuat sedikit kegembiraan saya
muncul selain beberapa kekecewaan ketika menyaksikan pertunjukan ini. Besok
nonton lagi yuk!
Kamar Kost, 28 Agustus, 23:36 WIB.
mantaps...
BalasHapusaku juga nonton kemarin. tapi kalo aku pribadi sih, ya sah-sah aja, kan teater, bukan drama. ehehhee.. :))
BalasHapusyups, mungkin memang dalam teater semua bisa jadi sah. dan tulisan ini sangat subyektif, penilaian saya sendiri saya dasarkan pada kenyamanan sebagai seorang penonton. toh saya juga bukan orang yang ngerti soal teater.hehehe...
Hapusnamanya juga sosial liberal :p
BalasHapus