Rabu, 29 Agustus 2012

Move On: Bergerak atau Hampir Tergelincir


Sekelompok anak berdandan rock and roll bergerombol dengan bergantian menenggak isi botol berwarna hijau. “Lambeku sempal karena kecelakaan kemarin,” kata seorang dalam gerombolan itu setelah mengeluh karena diberhentikan dari pekerjaan. Perempuan dengan rambut dipangkas habis separuh sisi kepalanya itu juga ikut mengeluh karena diusir dari tempatnya berjualan. Tentu saja ia diusir karena berjualan jilbab di Pasar Kembang. Penonton tertawa dengan dialog khas mereka.  

Hari ini adalah hari kedua Festival Teater Yogyakarta 2012. Sebuah pertunjukan bertajuk Move On mencoba hadir dengan mengusung kolaborasi musik rock and roll dan teater. Adegan pembuka dalam paragraf di atas lumayan menarik. Saya jadi berharap banyak untuk menyaksikan bagaimana kehidupan jalanan dihadirkan kembali dalam panggung. Konsep teater ini cukup layak untuk diapresiasi. Sebuah bentuk teater modern ingin ditampilkan melalui penggunaan musik digital yang diusung oleh Technoshit. Pergumulan antara pemain dan pemusik dalam satu panggung pada bagian awal memang memikat, diselingi lirik-lirik khas perlawanan. Mereka menginginkan pahlawan baru, bukan pahlawan asu.

Sebagai penonton, sepertinya kali ini saya benar-benar terkena efek alienasi Brecht. Tidak seperti biasanya dimana saya bisa larut dalam pertunjukkan, kali ini saya seperti berada di luar dan menjadi pengamat yang baik. Cerita dimulai ketika seseorang berambut gondrong dari kelompok pemain yang saya ceritakan di awal mulai resah dengan hidupnya. Ia merasa harus berubah dan menyadari hidup seenaknya, mabuk-mabukkan sampai merampok bukanlah solusi.

“Kita harus bisa menggariskan hidup kita sendiri,” begitu kira-kira dialog yang diucapkan. Temannya menimpali, “halah, nggarisi dalan kae po? Oret-oret tembok,” pemain lain tertawa. Penonton lagi-lagi ikut tertawa. Satu lagi pemain perempuan muncul. Ia menyeret kekecewaan yang disimbolkan dengan kotak plastik, keluarga dan institusi berbagar besi macam sekolah. Pesan dalam adegan ini sampai dengan baik. Pemain perempuan itu kemudian diinisiasi menjadi anggota kelompok tersebut dengan melepas rok panjang dan menggunduli satu sisi kepalanya. Setelah adegan ini, saya hanya bisa menggerutu dan menggumam sendiri, sok ribut berkomentar dalam hati.

Ketertarikan saya untuk menyaksikan kehidupan jalanan ternyata hanya berhenti pada tawa kedua. Narasi selanjutnya seperti terjebak pada kisah besar yang diungkapkan dengan sedikit kacau. Muncul seorang perempuan yang kebetulan berbaju kuning, duduk dikursi dan ditarik dengan leher seorang laki-laki yang lebih mirip anjing daripada manusia. Perempuan berbaju kuning itu diikuti oleh anak buahnya, perempuan-perempuan muda berbaju seksi. Pakaian memang menjadi satu hal yang selalu dikontraskan dari kehidupan jalanan dan peradaban lain yang dalam pertunjukan ini ditujukan bagi para kapitalis. Dimulailah perang antara anak-anak jalanan ini dengan kapitalisme. Kisah ini sangat jelas didengungkan melalui iringan serta lirik lagu yang dibawakan. Para pemain menari-nari, sedikit break dance dan gerakan tarian modern lainnya. Kaki saya bergerak sendiri.

Dari adegan ini ke belakang, departemen narasi mulai kacau. Saya tidak suka tiba-tiba ada tokoh sentral yang dihadirkan. Konon kata pembawa acara di awal, cerita ini tidak untuk mengkultuskan seseorang yang dianggap berjasa memberi jalan bagi seniman-seniman terpinggirkan. Kalimat pembawa acara tersebut seperti menegaskan hal sebaliknya. Tokoh ini seperti malaikat penolong yang kemudian ikut bertempur, bergabung dengan kelompok rock and roll. Mereka kalah. Perempuan yang kebetulan berbaju kuning, dengan logatnya yang sok Inggris mulai mencela bahwa kelompom rock and roll tidak bisa berbuat apa-apa. Dimulailah sebuah cerita klise. Mohon maaf kalau saya muak.

Kehadiran tokoh bak malaikat itu mengacaukan sudut pandang cerita. Semula, kelompok rock and roll sudah dengan baik bercerita tentang diri mereka sendiri, apa adanya, dengan segala dialog khas dimana mungkin panggung dan kehidupan sebenarnya tak jauh berbeda. Tokoh bak malaikat itu kemudian membalik sudut pandang ketika ia berusaha untuk membangkitkan semangat kelompok rock and roll yang kalah perang dengan kelompok perempuan berbaju kuning. Mereka yang terbaring lemah tak berdaya mulai ditolong untuk kembali berdiri. Dialog dan ajakan untuk bersemangat dan berkarya diucapkan berulang kali sampai telinga saya gatal.

Kalau soal struktur cerita, mungkin saya termasuk orang konvensional yang menyukai model cerita-cerita tragedi dimana klimaks dan anti-klimaksnya divisualisasikan dengan jelas. Kalaupun model cerita narasi, setidaknya saya selalu berharap pada akhir cerita. Tapi kembali saya sangat dikecewakan dengan akhir cerita teater ini. Bagaimana mungkin tiba-tiba kelompok rock and roll bisa menari bersama anak buah perempuan berbaju kuning yang cantik-cantik itu? Adegan terakhir justru membuat saya sesak. Bagaimana mungkin tokoh bak malaikat lalu berjabat tangan dengan perempuan berbaju kuning? Apa-apaan ini? Para pemain menari-nari, lampu mati, dan pertunjukan ini ditepuki.

Saya tidak tahu apa pesan dalam adegan terakhir. Setiap sutradara secara sadar maupun tidak telah memilih cerita, pemain dan bagaimana sebuah naskah diterjemahkan dalam pertunjukan. Entah apakah memang perlawanan mereka patah lalu menyerah atau memang harus berkawan agar terus bisa makan dengan semangat dan karya mereka yang baru dibangkitkan itu. Karya yang membuat tokoh bak malaikat dan perempuan berbaju kuning bisa berpelukan mesra. Entahlah. Semoga ini menjadi ironi yang memang disengaja.

Ada semacam kegembiraan ketika saya bisa ngomong ngawur di sini. Barangkali memang sebuah kelaziman sengaja tidak ditampilkan untuk memancing kritik dari para penontonnya. Sebuah pertunjukan yang baik pun bukan selamanya yang paling mirip dengan kehidupan sebenarnya. Seorang pemain pun tidak serta-merta harus membunuh tokoh yang diperankannya. Inilah yang membuat sedikit kegembiraan saya muncul selain beberapa kekecewaan ketika menyaksikan pertunjukan ini. Besok nonton lagi yuk!

Kamar Kost, 28 Agustus, 23:36 WIB. 

4 komentar:

  1. aku juga nonton kemarin. tapi kalo aku pribadi sih, ya sah-sah aja, kan teater, bukan drama. ehehhee.. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. yups, mungkin memang dalam teater semua bisa jadi sah. dan tulisan ini sangat subyektif, penilaian saya sendiri saya dasarkan pada kenyamanan sebagai seorang penonton. toh saya juga bukan orang yang ngerti soal teater.hehehe...

      Hapus