Jumat, 03 Agustus 2012

La Grande Vadrouille: Perang yang Ditertawakan

Tugas utama sebuah film komedi adalah membuat penonton tertawa. Dari ukuran sederhana ini, La Grande Vadrouille (1966) bisa dikatakan cukup berhasil. Sepanjang film, para penonton tak hentinya tertawa pada adegan-adegan yang mampu mengaduk ketegangan dengan humor. Film yang disutradarai oleh Gerard Oury ini dirilis di Amerika dengan judul Don't Look Now - We're Being Shot At! menjadi salah satu film sukses Prancis yang mampu menjaring jutaan penonton. Saya sendiri baru menonton film ini Kamis kemarin di IFI-LIP Yogyakarta. Selalu terlambat untuk sebuah film bagus seperti ini. 


Sampai film selesai, masih berdenging lagu adegan pembuka film dimana tiga orang tentara Inggris hampir jatuh dari pesawat mereka setelah melaksanakan sebuah misi. Siulan lagu Tea For Two dan gaya Sir Reginald, pemimpin mereka yang terus saja menata kumis besarnya sudah cukup membuat penonton tertawa. Film ini berlatar musim panas tahun 1941 ketika Jerman menduduki Prancis. Tiga orang tentara Inggris itu akhirnya mendarat dengan parasut di tempat berbeda dan berjanji untuk bertemu di sebuah pemandian Turki.

Sir Reginald atau Si Kumis Besar jatuh di tengah kolam sebuah kebun binantang bersama seekor anjing air. Ia kemudian ditolong oleh penjaga kebun binatang tersebut. Peter Cunningham jatuh ketika seorang tukang cat sedang mengolesi dinding dengan kuas, cat pun tumpah mengenai salah satu jenderal Nazi-Jerman sampai seluruh tubuhnya berwarna putih. Sepasukan tentara kemudian menembaki Augustin Bouvet Si Tukang Cat dari bawah. Mereka akhirnya bisa melarikan diri. Satu lagi, Alan MacIntosh jatuh di gedung Opera Nasional Paris yang akhirnya menyeret Sang Konduktor untuk terlibat dalam misi penyelamatan tiga tentara Inggris tersebut sampai ke zona bebas.

Bahan-bahan lelucon dalam film ini sebagian besar adalah olok-olok terhadap tentara Jerman. Bahkan, seseorang yang berperan sebagai Mephisto dalam Opera Prancis mampu membuat sekelompok pasukan Jerman sekali lagi berlumuran bubuk putih disekujur tubuhnya dengan meledakkan lambang Nazi di gedung Opera. Para tentara Jerman digambarkan sedikit bodoh karena selalu bisa dikelabuhi oleh tiga orang tentara Inggris dan para pejuang resisten serta simpatisan yang membantu mereka. Dalam adegan kejar-kejaran misalnya, tentara Jerman berjatuhan hanya karena dilempari labu. Mereka tak bisa mengejar karena seluruh ban mobilnya ditusuki pisau dan mengacaukan semua anggota pasukan. Mereka menembak jatuh pesawat sendiri hanya karena si penembak bermata juling. Lelucon lain bisa ditebak. Penonton tertawa, kamar hotel bernomor 6 dan 9 yang tertukar dan menyebakan Sang Konduktor dan Tukang Cat tidur bersama tentara Jerman tanpa sadar, suara dengkuran yang bisa dikendalikan dengan siulan, dan sebagainya.

Efek humor dalam film ini sangat terbantu dengan kekuatan para pemeran dengan wajah komikal mereka. Tak hanya bisa dibaca sebagai film, lelucon-lelucon dihadirkan sebagai komentar atas perbedaan kelas di Prancis pada saat itu. Seorang tukang cat dan seorang konduktor musik menjadi pilihan untuk merepresentasikan perbedaan tersebut. Sepanjang perjalanan misi penyelamatan, Sang Konduktor selalu menggerutu. Orang kaya selalu meminta kepada si miskin yang walaupun dengan menggerutu pula, selalu menuruti permintaannya. Sang Konduktor minta bertukar sepatu dengan Si Tukang Cat, lalu bertukar sepeda, bahkan meminta Si Tukang Cat untuk memanggulnya ketika melewati sebuah dinding batu di pegunungan karena tak ingin merasa terganggu ketika berjalan di medan yang sulit.

Membuat orang menangis mungkin lebih mudah daripada membuat orang tertawa dan La Grande Vadrouille mampu melakukan tugas kedua. Susah rasanya kalau mencari bandingannya dengan film Indonesia. Salah satu film yang teringat mungkin hanya Naga Bonar (1986). Satire dalam perang dihadirkan lewat sosok Naga Bonar yang mengangkat dirinya sendiri sebagai jenderal. Tak banyak film komedi Indonesia bisa dibilang baik. Kadang film-film itu hanya sekadar melucu atau sedikit ngeres. Dulu, kita punya Nya Abbas Akup yang kata JB Kristanto selalu mengulas masalah-masalah sosial dalam bentuk banyolan. Sekarang, mungkin beberapa film bisa di-genre-kan sebagai komedi tapi tetap tak ada yang terasa menggigit.

Lucu yang wajar. Rasanya narasi itu yang membuat La Grande Vadrouille terasa seperti komedi yang tak dibuat-buat. Masa pendudukan Nazi-Jerman barangkali memang menimbulkan luka bagi sebagian masyarakat Prancis. Generasi Perang Dunia II mungkin tak banyak tersisa. Tapi dengan film, ingatan tetap bisa dihidupkan sampai sekarang. Sebuah mitos diciptakan, tentang orang-orang yang diam-diam melawan pendudukan Jerman dan bagimana mereka bisa saling bekerja sama mengantarkan tiga tentara Inggris sampai ke zona bebas.

Film komedi menjadi mampu, barangkai sekadar mengurangi getir pasca pendudukan Jerman di Prancis. Film ini mencoba mengobati, sebuah ingatan pahit dengan sesuatu yang bisa ditertawakan bersama. Dengan memadu shot indah yang merekam kemegahan gedung Opera, sebuah rumah sakit gereja sampai pemandangan-pemandangan desa dan pegunungan, film ini menjadi komedi yang mencampurkan berbagai rasa. Diselingi romantisme Tukang Cat yang jatuh cinta tapi harus menunggu hingga perang usai dan seorang suster yang senang mendapat ciuman dari dua tentara Inggris dan berucap, “thanks Lord,” di akhir adegan, saya pun bersiul lagi, tea for two and two for tea....

Kamar Kost, 3 Agustus 2012

1 komentar:

  1. Film ini pernah saya 3x tonton pada tahun 70an di kota cirebon,lucu sekali apalagi yang matanya jereng lagi nembak pesawat dan sekarang sedang mencari dvd yang ada terjemahan bahasa indonesianya ada gak ya

    BalasHapus