Selasa, 17 Juli 2012

Mencari Lagi Tiga Hari


Dulu, ketika perempuan itu masih senang menulis fiksi, ceritanya begitu saja kadang mampir terjadi tanpa disadari. Perempuan itu sudah pernah mendapati tiga hari. Tiga hari yang membuka pintu goanya. Kali ini ada lain tiga hari lagi. Begitu saja tiba-tiba datang menjemputnya.

1
Lagi-lagi perempuan itu mengutuki dirinya sendiri. Malam ini ia berada di antara orang-orang yang bicara tentang film. Angin menerbangkannya sampai di meja kotak dengan kursi-kursi mengelilingi. Asap rokok masih mencekik. Perempuan itu merasa bodoh di antara mereka yang bicara tentang teknik montase, formalisme, neo-realisme, keterkaitan antara kemunculan teori dengan sejarah dan politik, dan entah apalagi. Perbincangan terus dilanjutkan, perempuan itu seperti tersesat di tengah orang-orang di persimpangan kiri jalan, tidak lagi di persimpangan malah. Orang-orang yang berdiri di pinggir paling kiri jalan.

Akan seperti apakah ketika sebuah teori diterapkan dalam film? Orang-orang itu masih saja mencari format untuk kelanjutan kelas menulis film yang kelihatannya lebih berat dari kuliah satu semester. Perempuan itu tetap merasa tak mengerti apapun. Itu yang membuatnya tak pernah nyaman. Sebuah ruang baru begitu saja terbuka dan perempuan itu sama sekali tak mengenali wilayah yang akan dijelajahinya. Kompas dan peta pun ia tak punya.

Perempuan itu sebentar merasa perlu untuk ikut tertawa ketika salah satu dari orang-orang itu baru saja menemukan istilah untuk menerjemahkan class struggle dalam bahasa Indonesia yang bisa jadi sama artinya dengan tarung derajat. Lucu, bukan? Tentu tidak lucu jika dituliskan macam begini. Seperti halnya film, perempuan itu merasakan semacam inferiority complex. Posisi film tak banyak dilihat orang ketika dibandingkan dengan produk budaya atau media lain seperti sastra, misalnya.

Acara berikutnya adalah ritual pencarian nama. Lama sekali. Sekian banyak kepala tak satu pun yang bisa memunculkan sebuah nama. Perbincangan semakin sampai kemana-mana. Sampai mencari singkatan dan akronim gaya Orba. Perempuan itu benar-benar ingin segera pulang sementara perbincangan tak pernah menemukan ujung. Dua orang lagi datang, temannya teman sebelah. Semakin entah. Perempuan itu hanya tak terbiasa dengan suasana dan orang-orang baru seperti itu. Sesak dan ingin pulang.

Pulang dan tertidur dengan sedikit rasa takut. Melihatmu menghilang ditelan gelap. Sepagi para kecoa lelap di tengah muntahnya sendiri. Hoaks...

2
Untuk pertama kalinya perempuan itu menonton sebuah film bersama teman sebelah. Sebuah film berjudul Lewat Djam Malam diputar kembali setelah berhasil direstorasi. Sudah banyak yang menuliskan review dan resensinya, sementara perempuan itu tidak cukup punya nyali untuk sekadar menuliskan kesannya sendiri. Memang sebaikanya kita tak membaca banyak soal tulisan orang tentang film yang akan ditonton karena mungkin bisa mengacaukan persepsi kita terhadap film itu sendiri.

Membaca beberapa tulisan tentang hal yang sama itu menyenangkan. Maka resensi, review, kritik film atau apapun namanya terlihat menjadi semacam rekaman pengalaman penulis; pengalaman membaca, menonton film, sikap terhadap sesuatu, dan ideologi pun kadang bermain di situ. Menulis tentang film bisa jadi sangat sederhana, tapi bisa jadi pula sangat tak mudah dicerna pembaca.

Dari sebuah film bagus macam Lewat Djam Malam, perempuan itu bisa tahu bahwa menulis tentang film, seberapa pun wah dan hebat bahasanya, sebenarnya hanya berputar pada hal yang itu-itu saja. Mulai dari yang paling sederhana, orang bisa membicarakan film dari perwatakan tokohnya, alur, setting-nya, sampai hubungan film dan sutradaranya. Maka film pun bisa menjadi perpanjangan pemikiran dari sang sutradara atau kekuatan cerita dalam sekenario mampu dibaca sebagai bentuk kritik terhadap situasi pada zamannya.

Orang yang membahas film kadang tidak hanya melihat satu film saja. Mereka lalu membanding-bandingkannya dengan film lain. Orang lalu merajutnya dengan konteks sosial politik yang sedang terjadi. Keseluruhan isi tulisan tentang film sebenarnya hanya merupakan kait. Bagaimana orang menjalin kaitan antara satu hal dengan hal lainnya kemudian disusun dengan bentuk dan pola pemikirannya. Sederhana tapi juga tidak sesedehana itu. Potongan gambar dirangkai dengan narasi, dikait dengan konteks dibumbui sekian kutipan, bahan bacaan, dan jadilah.  

Tulisan tentang film lalu dikaitkan dengan situasi politik dan sejarah. Dalam konteks ini, menulis film bisa menjadi suatu kegiatan yang sangat politis. Sebuah dialog pengalaman penulis yang tak habis-habis bisa dituangkan ketika membahas sebuah film. Di sini, membahas film menjadi persoalan tafsir, apapun itu rasanya sahih asal masih relevan.

Lewat Djam Malam bagi perempuan itu, dengan segala ukuran subyektif yang digunakannya dinilai sebagai sebuah film yang bagus. Film ini bisa menjadi cermin pada massanya dan tetap relevan disaksikan dalam konteks dan wilayah pemikiran apapun. Bagi para pembahas film, mungkin film yang bagus adalah film yang mampu bicara sendiri dengan segala keutuhannya. Ketika film mampu menyentuh hal paling dasar dalam diri manusia, maka perempuan itu akan menyukainya. Begitulah perempuan itu hanya mampu mengeja sebuah film dengan sangat terpatah-patah.

3
Ada lirik lagu yang meracuni ingatan di tiga harinya yang pertama. Konon katanya lagu-lagu itu akan dibawakan dalam sebuah acara ketika penampil liriknya baru pulang dari Amerika.

Perempuan itu hanya mengenali sisi malam yang sunyi. Bukan malam yang hingar dengan dentam suara-suara. Apa yang bisa dikaisnya dari mimpi yang diciptakannya sendiri. Lirik-lirik itu membuncah bersamaan dalam satu hari. Tangannya mengait kuat pada tangan lain yang membawanya lari di tengah anak-anak muda berkaos hitam penggemar kelompok musik dengan lagu yang terdengar seperti grunt and growl. Suara yang keluar dari pangkal tenggorokan ketika otot-otot leher menegang. Punggung-punggung berhias gambar-gambar seram dengan sekian banyak tulisan,  “metal sak modare”.

Sebuah lagu pembuka didengungkan. Perempuan itu tenggelam di belakang. Mimpinya meracau. Sekian montase kajadian melintas. Dingin merayapi kulit ketika perempuan itu masih ternganga dengan gaun tak kedap cuaca. Imajinasinya utuh menggapai-gapai kerumunan. Sebentar, tak ada seorang pun yang mau mencubit pipi perempuan itu sampai membangunkannya dari mimpi. Hari-harinya tak pernah cerah. Tubuhnya telah terpetakan. Mati dalam kematian lainnya.

Mimpinya terjatuh kembali dalam distopia. Tapi tak pernah ada kereta mau menjemputnya. Perempuan itu pejam memepatkan semesta meski tak pernah sampai pada semestanya sendiri. Tak ada yang mampu membaca, bahkan mengeja setiap jejak luka, berceceran di jalanan. Cintanya hanya nyata di televeisi saja, lain itu mimpi. Kata-kata begitu saja dipinjaminya untuk menuliskan segala bentuk asing yang baru saja dikenali.

Sudah entah berapa kali penampil lirik itu mengganti kacamata. Suara-suara muncul dan tenggelam. Perempuan itu teriak. Teriakan pertama sejak sekian lama sekantung keraguan menggunung dan disimpan dalam hatinya.

Lirik berikutnya. Di luar kisah sedihmu. Di luar sesak napasmu. Di luar yang kau buru. Di luar igau mimpi burukmu. Bernapas di celah waktu dan ruang yang mencekikmu. Bernapas di celah waktu dan ruang yang mencekikmu, karena kita adalah batu.  Setiap awal musim kita siapkan. Segelas rasa sakit dan kehilangan. Setiap awal musim kita siapkan. Semangkuk rasa perih dengan kebencian (Melancholic Bitch – Kita Adalah Batu).

Masih lirik dari lagu yang sama. “Kita kan terjaga selamanya...”. Mata perempuan itu masih belum pejam. Sampai kokok ayam kesekian. Sampai pagi memarahinya di tengah kusut sprei dan sisa kertas tisu yang berserakan. “Kita kan terjaga selamanya...”. Sudah itu lelap. Sudah itu mati. Sudah itu dibakarnya sebait puisi.

Tiga harinya ternyata tak berakhir. Perempuan itu masih memiliki ‘kita’ meskipun samar. Mungkin hanya ada luka tanpa melahirkan sekawanan apapun.

Di sebuah warung kopi yang berniat untuk menyelamatkan anak bangsa dari bahaya kekurangan kopi, perempuan itu mencoba menghilang di tengah kerumunan. Orang-orang menghabiskan waktu dengan gelas-gelas kopi, bermain kartu, memaku mata pada layar laptop, membolak-balik halaman koran, mengobrol entah. Hanya ada dengungan. Seperti sekawanan tawon sedang membangun sarang.

Sekian lebar punggung menampilkan tulisan dan kutipan-kutipan, “Membesarkan diri sendiri bukan dengan mengecilkan orang lain” (Gus Dur). Sedang perempuan itu masih terus saja mengecilkan dirinya sendiri dan membesarkan orang lain. Sekian lebar punggung lagi menampilkan Bung Tomo dengan telunjuk mengacung, lengkap dengan kutipan “Merdeka Sejak dalam Pikiran”. Sementara perempuan itu sibuk membangun pagar-pagar memasung pikirannya sendiri. Pikirannya menjadi negara, para tentara merasukinya.   

Dimana lagi perempuan itu akan menemukan tiga hari? Apakah masih ada tiga hari lagi setelah Melbi? Dan apakah masih benar-benar ada kita setelah Melbi?

Kamar Kost, 16 Juli 2012

1 komentar:

  1. Iseng2 nyari tulisan melbi dan saya kesasar sama tulisan luar biasa ini. Keep writing !

    BalasHapus