Rasanya lelah sakali. Punggung ini
seperti patah-patah. Meski begitu, aku merasa harus tetap menyelesaikan ini dan
tetap saja ada ribuan cerita yang tak terceritakan dan cukup disimpan. Sementara
itu, kita sendiri sama-sama tak pernah benar-benar mengerti bahwa sesuatu itu
bisa terasa sangat ajaib.
Sabtu malam itu, kau masih menggugat
empat orang penari perempuan yang harus melakukan sembah pada seorang penari
laki-laki. Tari klasik memang begitu. Sudah lumrah meski zaman sekarang banyak
orang yang suka ngomong femininisme-feminisme-an itu sering
mempermasalahkannya. Barangkali memang cuma soal sudut pandang saja. Aku sendiri
lebih memilih menikmatinya sebagai sebuah pertunjukan. Begitulah kira-kira
sampai aku tak pernah merasa kesal menonton seberapa pun jeleknya. Bukan karena
aku tak membela perempuan, hanya saja, aku ingin menikmatinya sebagai sebuah
hiburan malam minggu yang tak cukup menghibur.
Aku sendiri lebih tertarik pada
sosok maskulin penari laki-laki itu. Seberapa banyak orang membicarakan
perempuan di negeri ini, tapi berapa banyak yang melihatnya dari sisi
maskulinitas laki-laki yang dianggap normatif. Bahkan, negeri ini pun konon
katanya juga berjenis kelamin laki-laki. Entahlah, representasi patriarki dalam
tarian itu boleh kau gugat. Berapa puluh Pariyem harus mengungkapkan
pengakuannya sampai kekuasaan yang timpang menghilang dari dunia ini, dunia
Jawa tentunya. Aku setuju kalau pertunjukkan yang menggabungkan tubuh penari,
tubuh teater dan tubuh pantomim ini hanya berkesan di awal. Itu pun karena aku
merasa familiar dengan kidung tolak bala’ yang didendangkan. Cukup mencekam.
Sepertinya kau tak mengalihkan
pandanganmu pada salah satu penari modern dengan balutan lingerie pada tubuhnya. Tapi ibu-ibu yang membawa anaknya menonton
terlihat mulai beranjak meninggalkan tempat. Arena pertunjukan yang berada di
tengah permukiman penduduk memang memungkinkan siapa saja bisa menonton. Dan beberapa
penduduk lokal itu tampak lebih menikmati tarian Jawa nan patriarkis daripada
seni kreasi atau kontemporer yang tak bisa mereka mengerti. Bagaimana orang-orang
itu memaknai gerakan pantomim dari bangun pagi sampai peragaan permainan bayangan
yang sangat membosankan. Tidak. Aku tidak akan jauh membawa tulisan ini pada
perdebatan tentang seni untuk siapa. Masih banyak yang harus diceritakan.
Aha, sebelum malam itu, kita juga
pernah hampir saja membelah diri, memilih musik atau kata, antara malam di
Bentara Budaya atau Purna Budaya. Katamu, dari nama tempatnya saja sudah bisa
melihat model-model acara post-Orba dan Orba. Semua selalu ditarik ke
politik-politikkan, aku tidak suka. Sedang aku lebih senang mengalirkan musik,
meski aku tak mengerti dan akhirnya bosan.
Kau sendiri mengikuti mauku
menjenguk kata dengan mengorbankan keingintahuanmu pada proses kreatif seorang
gitaris terkenal dan karya-karya musik yang mempengaruhinya, sejak zaman Barok
sampai sekarang tentunya, dari gitar spanyol sampai afrika. Sepertinya memang
kamu yang lebih tahu. Kalau dibandingkan, aku lebih menikmati Jazz Mben Senen sebelum kita menempuh
jalan menuju rumahku yang tidak santai. Tema malam itu cukup menarik dengan
mengangkat soundtrack film Indonesia.
Menyambangi kata, juga hanya ada
kecewa. Mencari hiburan di acara-acara seperti ini sepertinya tak mudah lagi. Entah
kenapa acara apresiasi puisi seperti ini jadi terkesan sangat serius ketika di
bawa ke bangunan institusi pendidikan macam ini kampus tercinta. Pembicara itu membedah puisi
yang berbeda dengan tuturan cerita yang mirip. Dimana-mana ngomongnya sama saja
dengan kutipan-kutipan teori indah tentunya. Yang membuat kita cekikikan adalah
komentar salah satu peserta diskusi yang mengatai pembicara sebagai sastrawan salon.
Inilah satu-satunya hiburan di malam itu, juga segelas kopi yang lebih mirip
berasa air gula dan camilan gratis, sebelum kita pulang dalam gigil.
Cerita pada paragraf-paragraf itu
sama sekali tak pernah mengantarku pada kejadian ini, ketika kau meradang dan
tiba-tiba saja kesakitan. Aku tentu tak akan menceritakannya. Ini juga bukan
tentang sindiran kejumawaan manusia yang begitu saja menyerah pada invasi
bakteri dengan nama indah sekali, dari Chlamydia
sampai Klebsiella.
Ada sebuntal purnama. Bijih-bijihnya
jatuh pada jendela kaca. Menembus bangsal-bangsal tempat para pesakitan
menikmati rasa sakitnya. Baru beberapa waktu lalu aku menamatkan novel Pram, Bukan Pasar Malam. Sebuah cerita
mengharu biru dimana manusia memang selalu dilahirkan dan mati dalam keadaan
sendiri. Bukan seperti pasar malam, orang berbondong-bondong tiba, lalu
berbondong-bondong pergi.
Tiga hari ini telah kita tamatkan
pertengkaran-pertengkaran kecil, perbincangan tentang diskursus medis,
modernisme, masing-masing mengerami tanda, aku dan Milan Kundera, kau dan
Geertz, dan segala remeh temeh yang membuat selalu saja ada cerita sebelum
pembaringan menanti pagi berikutnya. Dan kesenangan kecilku adalah mengantarmu
diam-diam menyulut tembakau di lantai dasar.
Purnama masih menjatuhkan
bijih-bijih cahaya. Biar kunikmati matamu yang terpejam. Sakit adalah kelemahan
manusia yang paling bisa dilihat mata. Di bangsal-bangsal ini, makhluk-mkhluk
transparan buruk rupa selalu terjaga dengan kesakitannya masing-masing. Kau bisa
lihat juga bagaimana orang-orang kelelahan tidur seperti mati di bangku-bangku
kosong, di lantai, dan sebuah ruangan yang disediakan untuk bangsal-bangsal
yang tak bisa memuat para penunggu pesakitan.
Bangsalmu dipindahkan. Aku membenci
orang tua yang sakit. Terlalu menyedihkan. Suara-suara batuk seperti keluar
dari dasar bumi, berat. Bangsalmu demikian sumpek. Untung saja masih ada
sedikit angin jendela dan sebuntal purnama. Bangsalmu masih berbau campuran
obat dan pembersih lantai. Orang tua di depanmu sering menggeser-geser kelambu
untuk membangunkan penunggunya. Tak lama kemudian, denting pispot terdengar
bergesekan dengan besi pinggiran ranjang. Sebentar kemudian dengkur. Dengkuran paling
keras yang pernah kudengar. Mencoba lelap dengan tak begitu mempedulikan kelebat
makhluk-makhluk di luar jendela. Pagi datang. Langit biru dan magenta.
Jam setengah enam pagi, seorang perawat
membangunkan para pesakitan yang tak bisa tidur, datang dengan membawa pengukur
suhu dan kau mau saja disuruh mengempitnya di ketiakmu sampai benda itu
berbunyi. Kecut. Tanganmu kananmu masih dilingkari gelang plastik dengan barcode. Yang kiri masih menancap moncong senapan
dimana orang-orang itu bisa memasukkan obat pembunuh bakteri dengan nama indah
sekali. Dua kali sehari mereka menusukmu dengan besi tajam berlubang itu. Beberapa
jenis mesin pembunuh seperti Doxycycline,
Azithromycin, Trimethoprim-sulfamethoxazole, Ofloxacin, Ciprofloxacin meluncur melalui
pembuluh-pembuluh darah, vaskular atau vernakular. Yang terakhir itu bukankah istilah
dalam bahasa? Entahlah. Mirip.
Hari ini akhirnya kau pulang. Meninggalkan
manusia-manusia pesakitan lain yang harus kalah dengan sebongkah batu di
ginjalnya, kalah dengan sebutir peluru nyasar di lututnya, kalah dengan tumor
yang menggerogoti tubuhnya. Hari ini adalah kemenanganmu dalam upacara kematian
para bakteri dengan nama indah sekali itu. Cerita ini seperti terpatah-patah
dan tak tuntas. Begitulah. Aku terserap sampai lemas dalam tiga hari yang sudah
kau curi. Selamat atas kemenanganmu hari ini. Langit pagi ini biru dan magenta.
Akhirnya Kamar Kost, 4 Juli 2012
OugH...
BalasHapus