Rabu, 04 Juli 2012

Di Bangsal Kata, Musik, dan Tari


Rasanya lelah sakali. Punggung ini seperti patah-patah. Meski begitu, aku merasa harus tetap menyelesaikan ini dan tetap saja ada ribuan cerita yang tak terceritakan dan cukup disimpan. Sementara itu, kita sendiri sama-sama tak pernah benar-benar mengerti bahwa sesuatu itu bisa terasa sangat ajaib.  

Sabtu malam itu, kau masih menggugat empat orang penari perempuan yang harus melakukan sembah pada seorang penari laki-laki. Tari klasik memang begitu. Sudah lumrah meski zaman sekarang banyak orang yang suka ngomong femininisme-feminisme-an itu sering mempermasalahkannya. Barangkali memang cuma soal sudut pandang saja. Aku sendiri lebih memilih menikmatinya sebagai sebuah pertunjukan. Begitulah kira-kira sampai aku tak pernah merasa kesal menonton seberapa pun jeleknya. Bukan karena aku tak membela perempuan, hanya saja, aku ingin menikmatinya sebagai sebuah hiburan malam minggu yang tak cukup menghibur.

Aku sendiri lebih tertarik pada sosok maskulin penari laki-laki itu. Seberapa banyak orang membicarakan perempuan di negeri ini, tapi berapa banyak yang melihatnya dari sisi maskulinitas laki-laki yang dianggap normatif. Bahkan, negeri ini pun konon katanya juga berjenis kelamin laki-laki. Entahlah, representasi patriarki dalam tarian itu boleh kau gugat. Berapa puluh Pariyem harus mengungkapkan pengakuannya sampai kekuasaan yang timpang menghilang dari dunia ini, dunia Jawa tentunya. Aku setuju kalau pertunjukkan yang menggabungkan tubuh penari, tubuh teater dan tubuh pantomim ini hanya berkesan di awal. Itu pun karena aku merasa familiar dengan kidung tolak bala’ yang didendangkan. Cukup mencekam.

Sepertinya kau tak mengalihkan pandanganmu pada salah satu penari modern dengan balutan lingerie pada tubuhnya. Tapi ibu-ibu yang membawa anaknya menonton terlihat mulai beranjak meninggalkan tempat. Arena pertunjukan yang berada di tengah permukiman penduduk memang memungkinkan siapa saja bisa menonton. Dan beberapa penduduk lokal itu tampak lebih menikmati tarian Jawa nan patriarkis daripada seni kreasi atau kontemporer yang tak bisa mereka mengerti. Bagaimana orang-orang itu memaknai gerakan pantomim dari bangun pagi sampai peragaan permainan bayangan yang sangat membosankan. Tidak. Aku tidak akan jauh membawa tulisan ini pada perdebatan tentang seni untuk siapa. Masih banyak yang harus diceritakan.

Aha, sebelum malam itu, kita juga pernah hampir saja membelah diri, memilih musik atau kata, antara malam di Bentara Budaya atau Purna Budaya. Katamu, dari nama tempatnya saja sudah bisa melihat model-model acara post-Orba dan Orba. Semua selalu ditarik ke politik-politikkan, aku tidak suka. Sedang aku lebih senang mengalirkan musik, meski aku tak mengerti dan akhirnya bosan.

Kau sendiri mengikuti mauku menjenguk kata dengan mengorbankan keingintahuanmu pada proses kreatif seorang gitaris terkenal dan karya-karya musik yang mempengaruhinya, sejak zaman Barok sampai sekarang tentunya, dari gitar spanyol sampai afrika. Sepertinya memang kamu yang lebih tahu. Kalau dibandingkan, aku lebih menikmati Jazz Mben Senen sebelum kita menempuh jalan menuju rumahku yang tidak santai. Tema malam itu cukup menarik dengan mengangkat soundtrack film Indonesia.

Menyambangi kata, juga hanya ada kecewa. Mencari hiburan di acara-acara seperti ini sepertinya tak mudah lagi. Entah kenapa acara apresiasi puisi seperti ini jadi terkesan sangat serius ketika di bawa ke bangunan institusi pendidikan macam ini kampus tercinta. Pembicara itu membedah puisi yang berbeda dengan tuturan cerita yang mirip. Dimana-mana ngomongnya sama saja dengan kutipan-kutipan teori indah tentunya. Yang membuat kita cekikikan adalah komentar salah satu peserta diskusi yang mengatai pembicara sebagai sastrawan salon. Inilah satu-satunya hiburan di malam itu, juga segelas kopi yang lebih mirip berasa air gula dan camilan gratis, sebelum kita pulang dalam gigil.

Cerita pada paragraf-paragraf itu sama sekali tak pernah mengantarku pada kejadian ini, ketika kau meradang dan tiba-tiba saja kesakitan. Aku tentu tak akan menceritakannya. Ini juga bukan tentang sindiran kejumawaan manusia yang begitu saja menyerah pada invasi bakteri dengan nama indah sekali, dari Chlamydia sampai Klebsiella.

Ada sebuntal purnama. Bijih-bijihnya jatuh pada jendela kaca. Menembus bangsal-bangsal tempat para pesakitan menikmati rasa sakitnya. Baru beberapa waktu lalu aku menamatkan novel Pram, Bukan Pasar Malam. Sebuah cerita mengharu biru dimana manusia memang selalu dilahirkan dan mati dalam keadaan sendiri. Bukan seperti pasar malam, orang berbondong-bondong tiba, lalu berbondong-bondong pergi.

Tiga hari ini telah kita tamatkan pertengkaran-pertengkaran kecil, perbincangan tentang diskursus medis, modernisme, masing-masing mengerami tanda, aku dan Milan Kundera, kau dan Geertz, dan segala remeh temeh yang membuat selalu saja ada cerita sebelum pembaringan menanti pagi berikutnya. Dan kesenangan kecilku adalah mengantarmu diam-diam menyulut tembakau di lantai dasar.  

Purnama masih menjatuhkan bijih-bijih cahaya. Biar kunikmati matamu yang terpejam. Sakit adalah kelemahan manusia yang paling bisa dilihat mata. Di bangsal-bangsal ini, makhluk-mkhluk transparan buruk rupa selalu terjaga dengan kesakitannya masing-masing. Kau bisa lihat juga bagaimana orang-orang kelelahan tidur seperti mati di bangku-bangku kosong, di lantai, dan sebuah ruangan yang disediakan untuk bangsal-bangsal yang tak bisa memuat para penunggu pesakitan.

Bangsalmu dipindahkan. Aku membenci orang tua yang sakit. Terlalu menyedihkan. Suara-suara batuk seperti keluar dari dasar bumi, berat. Bangsalmu demikian sumpek. Untung saja masih ada sedikit angin jendela dan sebuntal purnama. Bangsalmu masih berbau campuran obat dan pembersih lantai. Orang tua di depanmu sering menggeser-geser kelambu untuk membangunkan penunggunya. Tak lama kemudian, denting pispot terdengar bergesekan dengan besi pinggiran ranjang. Sebentar kemudian dengkur. Dengkuran paling keras yang pernah kudengar. Mencoba lelap dengan tak begitu mempedulikan kelebat makhluk-makhluk di luar jendela. Pagi datang. Langit biru dan magenta.

Jam setengah enam pagi, seorang perawat membangunkan para pesakitan yang tak bisa tidur, datang dengan membawa pengukur suhu dan kau mau saja disuruh mengempitnya di ketiakmu sampai benda itu berbunyi. Kecut. Tanganmu kananmu masih dilingkari gelang plastik dengan barcode.  Yang kiri masih menancap moncong senapan dimana orang-orang itu bisa memasukkan obat pembunuh bakteri dengan nama indah sekali. Dua kali sehari mereka menusukmu dengan besi tajam berlubang itu. Beberapa jenis mesin pembunuh seperti Doxycycline, Azithromycin, Trimethoprim-sulfamethoxazole, Ofloxacin, Ciprofloxacin meluncur melalui pembuluh-pembuluh darah, vaskular atau vernakular. Yang terakhir itu bukankah istilah dalam bahasa? Entahlah. Mirip.  

Hari ini akhirnya kau pulang. Meninggalkan manusia-manusia pesakitan lain yang harus kalah dengan sebongkah batu di ginjalnya, kalah dengan sebutir peluru nyasar di lututnya, kalah dengan tumor yang menggerogoti tubuhnya. Hari ini adalah kemenanganmu dalam upacara kematian para bakteri dengan nama indah sekali itu. Cerita ini seperti terpatah-patah dan tak tuntas. Begitulah. Aku terserap sampai lemas dalam tiga hari yang sudah kau curi. Selamat atas kemenanganmu hari ini. Langit pagi ini biru dan magenta.  

Akhirnya Kamar Kost, 4 Juli 2012

1 komentar: