Ruang Seminar MAP, 18 Juni 2012
Sudah lewat jam sembilan, ruangan masih sepi sementara dalam poster publikasi, acara akan dimulai jam setengah sembilan. Sudah saya tinggal ke perpustakaan untuk meminjam buku, kembali sekitar pukul sepuluh dan ternyata belum juga dimulai. Panitia maju untuk memberitahukan agar peserta bersabar menunggu karena pembicara sedang dalam perjalanan setelah melayani wawancara. Seperti biasa, saya duduk paling belakang sambil mencatat-catat dan mendengarkan. Jadilah ini tulisan. Seperti biasa, sedikit ngawur dan tak bisa dipertanggungjawabkan.
Sebuah diskusi bertajuk “Politicising and Comodifying Public Sphere: The Political Economy of Media in Indonesia” digelar bersama Dr. Yanuar Nugroho. Sebelumnya saya hanya pernah mendengar namanya sebelum akhirnya tertarik melirik biografinya setelah diskusi pagi ini. Laki-laki yang sudah delapan tahun di Manchester ini sedang berpikir-pikir untuk pulang ke Indonesia. Ia adalah lulusan ITB, sedang sibuk dengan teknologi nano dan memikirkan jalan keluar dari nuklir untuk Jerman. Sekadar menyempatkan waktu berada di tengah kita, ia bicara tentang media sebagai salah satu bentuk teknologi yang bisa menyambungkannya kembali dengan Indonesia.
Agenda risetnya, hasil kerjasama dengan beberapa lembaga riset dan donor ini merupakan bentuk penelitian bertahap terkait dengan pemetaan industri media di Indonesia, pemetaan kebijakan tentang media, media dan kelompok-kelompok minoritas serta tantangan ke depan dan prospek media di Indonesia. Gagasan ekonomi politik media menjadi penting di sini karena kotak-kotak disiplin ilmu saat ini justru semakin membatasi, bukan membantu dalam menjelaskan realitas.
Gagasan ekonomi politik tersebut akan memperantarai bagaimana kita memahami peran media dalam masyarakat. Media dalam bahasa latin bersifat jamak yang berasal dari kata medium, memperantai locus publicus dan bonum commune. Media menghubungkan fakta-fakta dalam individu dan melihat mungkin atau tidaknya orang bisa hidup bersama. Berbicara tentang peran media, kita tidak bisa menganggap yang seharusnya itu sudah menjadi yang senyatanya, sebagaimana kita tidak bisa menghidupi ilusi bahwa yang seharusnya ada sudah mengada. Ini bukan kata saya. Ini kata Pak Yanuar yang kira-kira dalam penyampaian materinya sempat diulang sekitar tiga kali.
Bagian awal paparannya sedikit menyinggung tentang filsafat dan teori-teori media. Bayangkan bagaimana pidato-pidato para pejabat di Indonesia itu didengungkan. Tujuh puluh persen kalau dicermati merupakan kalimat-kalimat tak penting dan tiga puluh persen sisanya adalah campuran tak jelas antara data, mimpi dan obsesi. Dalam banyak ruang, media—apapun bentuknya—memang menjadi sebuah arena kontestasi. Menguasai media semakin mirip dengan mengontrol publik dalam wacana, kepentingan, bahkan selera.
Bentuk media baik itu fisik maupun non-fisik tidak hanya digunakan sebagai ruang tetapi juga sebagai arena untuk engage. Media mampu merekayasa consent (istilah ini menggambarkan sesuatu yang melebihi kesadaran). Media dalam konteks ini menjadi manufacture consent, bahkan bisa menjadi alat propaganda. Pak Yanuar lalu mulai menyebutkan nama-nama, dari Chomsky, Habermas, Bagdikian.
Studi-studi awal tentang media mulai dilacak sejak Lipmann (1922) yang mengatakan bahwa media adalah bagian dari persuasi dan persuasion has become a self – conscious art and a regular organ of popular government. Studi selanjutnya banyak dilakukan oleh Hill dan Sen (2000, 2010), Arsenault dan Castells (2008) – On The Industry. Ironisnya, tak banyak orang Indonesia yang menulis tentang media. Sebagian justru ditulis oleh orang luar negeri. Padahal, media adalah ruang kosong sekaligus penuh kesemrawutan di dalamnya yang selalu akan menarik untuk dipotret. Maka, Pak Yanuar secara tegas mengajak kita untuk mulai mengisi ruang kosong dalam kajian ilmiah tentang media ini.
Bukankah negara ini selalu asyik untuk dituliskan, di mana semua anomali bisa ditemukan di negera ini. Di mana semua teori bisa tidak berlaku di negeri ini.
Media adalah satu di antara banyak hal yang paling mempengaruhi orang banyak dengan level analisis sangat tinggi. Media bisa dibicarakan dalam ragam disiplin ilmu; ekonomi, politik, psikologi, budaya, dan sebagainya, dan sebagainya. Politik misalnya, sebuah data hasil riset desertasi yang baru diujikan kemarin Jum’at menyebutkan bahwa tujuh dari kelompok besar media sudah dibayari Fox untuk mendukung isu pemilu satu putaran.
Hal yang dibicarakan kemudian adalah soal konglomerasi media, profit driven, business oriented. Semntara itu, kebijakan pemerintah hanya mengatur terkait isi dan infrastruktur. Tidak ada kebijakan yang mengatur tentang kepemilikan. Soal kepemilikan ini justru diatur melalui undang-undang PT, kepemilikan saham.
Bagaimana dengan audience Indonesia? Di tengah hiruk pikuk media, misalnya televisi yang di ruang kuliah selalu dihujat kemana-mana itu, soal sinetron, soal iklan-iklannya, soal infotainment-infotainment-nya, audience Indonesia mengalami pergeseran dari citizens menjadi consumers. Ada penjaga yang tereduksi secara dramatis seperti tidak berdayanya TVRI dan RRI sebagai media publik. Di negara beradab dan waras manapun di dunia ini, yang dominan pasti selalu penyiaran publik. Dengan demikian, hal yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan revitaliasi TVRI dan RRI. Hanya dengan begitu gagasan Habermas masih sedikit punya akar. Ah, rasanya susah juga. Kalaupun direvitalisasi, seperti apa bentuknya? Belum lagi soal kutukan rating yang semakin mendangkalkan publik negeri ini.
Perbincangan: Gloomy on Medius
Seorang mahasiswa dari Kajian Media dan Budaya bertanya, “mengapa perspektif yang dipakai dalam penelitian lebih merujuk pada dimensi citizenship? Kenapa tidak membahas soal pekerja medianya, misalnya dengan perspektif yang lebih Marxian? (Lha, Chomsky itu darimana?) Pekerja media saat ini sudah ada yang mendanai untuk melakukan riset sendiri. Jadi, mari kita tunggu saja hasilnya.
Sementara itu, riset media di Indonesia tidak banyak yang menggunakan perspektif citizens right. Media menjadi instrumen kekuasaan. Seorang pemilik media yang diwawancara Pak Yanuar bercerita kalau dulu setengah mati ia mau ketemu menteri. Tapi sekarang setelah punya media, menteri yang mau ketemu dengannya. Kuasa dimana-mana tak pernah termanifes dalam ruang kosong. Kuasa selalu punya salurannya seperti discourse, interest and taste.
Pertanyaannya lain datang terkait dengan what do they share in common? Kelompok-kelompok media besar ini saling bertarung tetapi sekaligus menjaga agar tidak ada yang mati dalam pertarungan. Keberadaan yang satu akan tetap menguntungkan yang lain. Mungkin para pebisnis bisa lebih memahami logika ini.
Kembali pada peran publik. Apa yang bisa dilakukan ketika publik hanya menjadi konsumen? Sebagai konsumen pun, kita bisa berpolitik dengan membeli atau tidak. Sebuah situs bahkan selalu menampilkan indeks untuk barang-barang yang diboikot dengan berbagai alasan. Meskipun demikian, exercise right sebagai citizens harus tetap menjadi payung bersama daripada exercise right sebagai konsumen. Publik interest guardian dibutuhkan dalam hal ini. Media publik menjadi bagian penting untuk mengawal hak-hak warga negara dalam gencarnya arus media. Ketika selera kita diarahkan oleh media, imperatifnya adalah bagaimana kita bisa mendidik media agar mempunyai selera yang lebih beradab.
Perbincangan kemudian mulai merambah pada kehadiran new social media yang selalu menjadi harapan. Beberapa waktu lalu seorang Rubini memotret mobil menteri yang menggunakan jalur busway. Kasus ini menjadi semacam harapan bahwa ruang-ruang baru dalam new social media bisa dikembangkan sebagai media kritik, bahkan berpengaruh terhadap proses demokratisasi. Ah, saya mulai tidak suka kalau sudah menyangkut-nyangkut soal demokrasi. Hehe...#mdrcct juga dibahas sebagai salah satu cara menarik di twitter ketika orang-orang semakin muak dengan pemerintah dan segala hal yang terjadi di negeri ini. Namun, seringkali aktivitas-aktivitas ruang maya itu juga hanya berkelindan di ruang maya, jarang sekali bisa benar-benar mewujud. Harga yang harus dibayar dengan gegap gempitanya media adalah kedangkalan.
Ada lagi penanya, yang ini sepertinya temannya teman sebelah. Sayang teman sebelah tidak bisa datang karena bangun kesiangan, semalaman mengerjakan tugas. Wah, rajin sekali tampaknya. Temannya teman sebelah dari Ethnohistory ini bertanya, “What need to be done?” dalam kaitannya antara citizen dan konsumen. Dimanakah pemerintah berada?
Seorang Ibu yang bangga karena bisa sekolah master ikut bertanya. Ia menggunakan perspektif kultural dalam mengungkap mengapa orang tertarik dengan industri media di Indonesia. Kultur masyarakat kita sendiri adalah suka nggosip. Kalau ada aturan agama yang tidak memperbolehkan untuk membicarakan saudara, maka mari kita membicarakan orang lain. Ibu ini sempat pula mengeluh bagaimana ia sering ditanya anaknya tentang siapakah selebriti yang menikah atau bercerai hari ini? Kita di sini menghujat-hujan siaran televisi, tapi di rumah anaknya sedang dipangku pembantu sambil bermain dan menyaksikan infotainment.
Satu orang lagi bicara tentang media dan kelas menengah Indonesia. Kelas menengah pun di Indonesia sampai saat ini masih konservatif. Referensi kelas menengah di Indonesia tidak merujuk pada kelas menengah dalam revolusi Perancis tetapi kelas menengah hasil pendefinisian bank dunia dengan indikator tingkat penghasilan. Buntu.
Ada semacam proyeksi, kekhawatiran, dan sepenggal optimisme murung. Kultur apakah yang sebenarnya sedang muncul saat ini?
Kalau kita menengok ke gedung sebelah, ada new economy yang sedang berkembang saat ini. Sumberdaya ekonomi tidak hanya bersifat fisik tetapi juga non-fisik. New economy memperluas gagasan soal resources. Knowledge menjadi salah satu industrial resources penting saat ini. Orang yang tidak memiliki pengetahuan akan berada di tataran kelas terbawah. Kalau dulu ada mekanisasi yang menandai revolusi industri, saat ini komputer dan teknologi informasi menjadi simbol utama dalam revolusi industri kedua.
Ketika sumberdaya fisik bisa dikodifikasi, dikapsulasi, dibuat modulnya, maka pengetahuan memiliki derajat tacitness-nya. Sebagaimana satu resep masakan yang bisa menghasilkan seribu rasa berbeda hanya karena ada point: tambahkan garam secukupnya. Tacit knowledge tersebut sulit untuk dikodifikasi. Pak Yanuar lalu curhat. Kalau di luar negeri, lingkup keilmuwan justru diharapkan tidak linear agar ia bisa tahu seluas mungkin rentang pengetahuan. Beda dengan di negeri ini, kalau tidak linear malah tidak laku. Buntu.
Indonesia saat ini sedang menghadapi kultur baru tersebut. Komputerisasi dan digitalisasi tidak membuat orang Indonesia semakin pintar tetapi justru semakin dangkal. Pemerintah di mana? Pemerintah tidak berada di mana-mana. Pemerintah sendiri tidak memiliki keadaran tentang munculnya kultur baru ini. Pemerintah tetap berada di tempat menjaga kekuasaannya. Menjaga kuasa dengan kerajaan-kerajaan kementrian yang berdiri sendiri-sendiri di sekitarnya.
Serat optik palapa saja tidak segera dirampungkan pembangunannya. Ngomong seng (meminjam istilah teman sebelah untuk menyebut omong kosong). Kalau mau maju kok justru menggunakan jaringan wireless. Pemerintah tak berpikir juga soal pemerataan. Dari dulu juga begitu. Banyak orang di Papua itu punya televisi tapi tak bisa menangkap siaran. Ada lagi yang televisinya hanya bisa menyala dua jam sehari dan itu digunakan untuk menonton sinetron.
New social media mungkin sedikit bisa memberi harapan. Sebut seperti gerakan ‘Jaring Merapi’ atau ‘Akademi Berbagai’ di twitter. Kasus ‘Jaring Merapi’ ini unik juga. Bayangkan dalam setengah jam, orang bisa memobilisasi 6000 nasi bungkus melalui twitter. Yesus saja dalam salah satu cerita di Alkitab hanya bisa memberi makan sebanyak 5000 orang (Yohanes 6:1-14). Hehehe...ini cuma guyonan dalam diskusi tadi.
Saat ini juga banyak muncul radio komunitas. Tetapi, sebagian hanya bersifat ad-hoc. Biasanya radio komunitas ini muncul dari LSM. Kalaupun dikembangkan, isu-isu lain muncul. Ketika radio komunitas mendapat dana dari iklan, apakah masih bisa disebut radio komunitas? dan anehnya, semua kasus itu muncul dalam ketidaksengajaan, bukan karena design. Buntu.
Penanya terakhir. Kegelisahan muncul karena ketika kita keluar dari ruang seminar ini, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Di sini kita bisa menggebu-gebu bicara tapi di rumah anak-anak kita tetap ditontoni sinetron. Semua yang diwacanakan akan demikian cepat menguap begitu saja. Kembali pada pertanyaan, “What sould to be done?”
Pak Yanuar kemudian banyak membuka isu-isu metodologis yang belum dikembangkan di Indonesia. Ini sudah zaman digitalisasi dan sistem informasi tapi base line data saja Indonesia tidak punya, yang ada hanya perkiraan-perkiraan. Inggris butuh waktu sekitar delapan tahun untuk proses digitalisasi, tetapi menteri kita yang suka berpantun itu aneh-aneh cuma butuh setahun untuk digitalisasi. Ngomong seng. Media adalah new avenues dan kita butuh akademisi yang kreatif.
Saat ini bukan zamannya lagi menggunakan survey. Cara berpikir kita kenapa masih so yesterday? Padahal, ada satu situs yang menyediakan layanan bagaimana kita bisa melibatkan publik untuk memberikan data. Model-model seperti geo-tagging, misalnya. Terkait dengan pelayanan publik, kita bisa langsung memetakan bagian mana yang kurang melalui komplain publik, bahkan bisa lewat sms. Publik bisa mengontrol dan sekaligus penyedia layanan bisa merasa terawasi. Masih banyak lagi. Kita diskusi lain waktu. Acara selesai, ditutup dengan seremonial pemberian kenang-kenangan.
“Jadi kesimpulannya? Ratna mau nulis tesis tentang apa?”
“Kecoa menggeram dikepala. Sebelum tenggat di hari minggu. Sesamar duka diselisip bibirmu. Karam. Menua di emperan buku berserakan,” jawab Ratna.
Kamar Kost, 21:17 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar