Rabu, 06 Juni 2012

Kepada Kata yang Dibunuh Sebelum Diucapkan

Bangunlah sejenak. Ikat tirai dan biarkan ia menutupi matahari sebentar lagi. Jendela membuka terlalu lebar dan terang. Ada panas yang sejuk mengalir di sini. Meski kita telah jelmakan waktu menjadi degub jantung sendiri. Berderap semakin cepat. Matahari meninggi adalah alir darah. Gelombang panas yang mencuat sampai ke ubun-ubun. Aku baru saja mandi keringatmu pagi ini.

Buka matamu dan lihatlah. Kita telah menjadi sepasang kecoa raksasa seperti dalam novel “Metamorphosis” Kafka. Aku tak bisa memperlakukan ini sebagai hal yang asyik-asyik saja. Sesuatu yang bisa dibawa enak dan santai saja. Ada batas. Ambang yang ditentukan oleh entah. Aku sudah berusaha membunuh, bahkan tak pernah membawa mayat tuhan di antara kita. Sudah dari sekian puluh tahun lalu tuhan bosan bergelantungan di ujung-ujung jilbabku. Sampai dimana kita akan membawa tubuh sebagai kecoa raksasa seperti dalam novel Kafka?

Persoalan ini tak akan tuntas meski kita tak pernah menganggap fantasi metamorfosa hanya sekadar ilmu serangga. Kita masih bergulingan di atas kasur sebagai kecoa raksasa. Dengan nyaman bergulingan di antara distopia dan sebuah tempat yang lebih mengerikan bernama limbo. Kita membangun dinding-dinding yang sedikit demi sedikit akan kita panjat juga, atau bahkan suatu saat kita menjadi gelap dan begitu saja merobohkannya.

Aku lupa. Seharusnya aku tidak menyebut kita, tapi aku. Hanya ada satu kecoa raksasa dan bukan sepasang. Fantasiku tentang ‘kita’ mungkin sedikit berlebihan. Hanya di atas kasur inilah ada kita, kita bisa mengada. Ah, hari ini hanya sepintas roman picisan dan lembaran stensilan yang dikarang untuk memberitahumu. Lisan atau kata-kata selalu tertatih merangkum segala jenis jamak yang berhamburan tak bisa disebutkan. Maaf atas kecurangan-kecuranganku.

Siang ini, Zarathustra tiba-tiba datang padaku setelah kuselesaikan empat rakaat sholat dhuhur di kamar sempit ini, "Who among you can laugh and be elevated at the same time?”. Bagaimana aku menjawab ketika aku masih tak bisa menertawakan diri sendiri dengan airmata. Aku masih sibuk membatin rapalan dzikir ketika Zarathustra mulai bosan karena ia hanya mendapati aku terdiam. Aku tersenyum padanya sebelum akhirnya dia pergi tanpa sepatah kata. Beberapa langkah, Zarathustra menoleh dan berpamitan ingin meneruskan khotbahnya di Pasar Kranggan.

Perempuanmu ini, bolehkah aku menyebutnya begitu? Perempuanmu ini. Wanita dalam bahasa Herakletian diartikan sebagai alam dengan sifatnya yang suka menyembunyikan diri. Dan begitulah aku sembunyi. Sembunyi dalam kaosmu yang meski sudah dicuci tetap berbau keringat itu. Aku sembunyi dalam setiap tanda. Kadang bisa kau cium jejaknya. Aku tak pernah meragukan kepandaianmu membaca tanda dari jejak-jejaknya. Sudah berapa kali kau khatamkan Derrida? Tapi, aku tetap punya ceruk sendiri. Ndhusel, ngringkel di dalamnya tak mau diganggu.

Maaf kalau aku suka melompat-lompat begini. Sok nyebut nama dan istilah-istilah tak penting, bahkan tak kutahu juga apa makna sebenarnya. Kadang hanya tiba-tiba melintas begitu saja. Tubuhku masih kecoa raksasa. Hingga kesulitan bergerak persis seperti dalam novel Kafka. Antarkan aku pulang dan jangan menunggu sampai teman-temanmu di depan kamar itu menghentikan obrolan dan pergi. Biarkan aku pulang sebagai kecoa raksasa. Menunggu kematian berikutnya.

Mari kita bicara tentang en soi dan pour soi seperti dibilang Sartre. Ia sedang makan siang di warung makan khas Surabaya ketika menguliahiku tentang hal itu. Asal tahu saja, Sartre paling suka dengan menu rujak cingur dengan es teh manisnya. Jika pada en soi eksistensi manusia ada dengan sendirinya, maka pada pour soi manusia sanggup untuk meniadakan eksistensinya. Pertanyaannya, sampai kapan manusia sanggup untuk terus-menerus me-nidak? Persetan dengan pertanyaan Sartre.

Ah, aku ingin mengumpat bersamamu. “Jangkrik, Bos!”. Seterusnya kita mengumpati negara. Bukan negara tapi orang-orangnya. Bukan orang-orangnya tapi kita sendiri. Sumpek dengan bubrah dan kacaunya negeri ini. Buntu dengan pertanyaan, “Lalu kita mau jadi apa?”. “Anakku nanti akan kuberi nama Pramoedya,” begitu katamu. Dan mulailah kita mengarang nama-nama.

Matahari sudah meninggi. Sampai di manakah kita? Tahun-tahun ini terlalu cepat ketika waktu adalah detak jantung kita sendiri. Vertigo di kepalaku belum hilang, seperti halnya kegelisahan. Mari kita bawa santai saja. Seperti bubuk kopi yang tak bisa sepenuhnya larut. Sebagian mengendap. Sebagian melarut. Sebentar diaduk. Sebentar mengendap. Inilah mengapa kesenangan ini tak bisa dinikmati sepenuhnya. Aku. Kau. Masih di sini. Pada gelas kopi. Siapa mengendap. Siapa melarut. Siapa jadi kopi itu sendiri. Yang mana gelas. Yang mana sendok pengaduk. Memutar-mutar mencampurkan gula dan kopi. Sedikit saja manisnya. Manisnya selalu ada pada bibir kita. Kopi ini tetap pahit tapi berasa.

Beberapa waktu lagi akan senja. Menghitung saja denyut di nadi kita. Kau datang dari mana? Langkahmu terlalu pelan untuk kudengar. Lagu cinta dari ‘The Cure’ pelan membangunkanku. Sodakallahuladzim. Aku telah selesai mengaji dari Dhuhur sampai terdengar adzan Ashar berlalu. Segera kita kembali menziarahi makam para syeikh, dari Mas Marco sampai Tan, dari Aidit sampai Muso. Sesaji dari para Ibu sudah siap. Jangan lupa, aku masih kecoa, dari kecoa akan menjadi apa.


Sebelum Senja, 17 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar