Kamis, 31 Mei 2012

Nosferatu

Inilah kerjaan saya setelah sepagi proposal tesis dikatai tidak politis. Sekali lagi penyakit expressive aphasia saya muncul sehingga tidak mampu menggabungkan dan mengungkapkan bahasa yang lebih bisa membuat orang lain mengerti. Seharusnya malam ini segera diperbaiki naskahnya, sedikit dipoles, diturunkan, atau ditarik-tarik supaya lebih politik. Menulis soal politik memang hanya tuntutan, bukan kegemaran, tapi masih mencoba untuk digemari. Kalau pun mau, semua-mua juga bisa menjadi politik. Ada kesenangan lain yang lebih menyenagkan. Meski begitu, hidup toh juga tidak bisa selalu mengalir mengikuti kesenangan-kesenangan. Dan kesenangan saya sebenarnya adalah menulis hal-hal tak penting macam begini.

Malam ini, tanpa teman sebelah, tanpa teman seperti Paijem atau Painem, saya berangkat sendirian ke Institute Francais Indonesia (IFI) untuk sekadar lari. Konon katanya, ada kelompok musik kontemporer yang akan mengiringi sebuah pemutaran film. Zone Libre, kelompok musik dari Prancis ini akan mengisi film bisu yang diproduksi pada tahun 1922 di Jerman berjudul “Nosferatu” karya sutradara Friedrich W. Murnau.

Ketika saya datang, IFI sudah ramai. Motor diparkir di bawah pohon dengan ongkos dua ribu rupiah saja. Acaranya sendiri gratis, sekalian bisa banyak mencuri dengar di tengah kerumunan, satu lagi kesenangan saya yang tidak perlu direportasekan hasilnya. Saya berdiri saja tanpa mengenal siapapun, menelusup di antara kerumunan, menunggu pintu dibuka. Tak lama, mungkin sekitar lima belas menit menunggu, menelusup lagi hingga bisa masuk di urutan pertama. Suatu keasyikan tersendiri bisa masuk pertama kali dan memilih tempat duduk. Seorang terasing akan sembunyi dan tempat paling tepat baginya adalah di pojokan. Pojokan itu punya arti ketika ada dua dinding saling bertemu dan kau bisa bersandar pada sudut pertemuan dinding-dinding itu.

Menunggu sebentar. Seorang laki-laki Prancis membuka acara dengan Bahasa Indonesia terbata-bata dan penggunaan kata penunjuk dan kata ganti yang salah semua. “Malam itu, kami akan menyaksikan....” ia lalu menjelaskan tentang film yang akan diputar. Pada akhirnya, laki-laki Prancis itu putus asa dalam menggunakan Bahasa Indonesia dan meneruskan seremonialnya dalam Bahasa Prancis. Kata-kata meluncur cepat begitu saja tapi tak bisa dimengerti. Penonton tertawa. Selamat menikmati.

Sebuah film bergenre horor, pelopor ekspresionis Jerman pada zamannya. Film ini bercerita tentang seorang laki-laki yang meninggalkan istrinya untuk menjual tanah kepada bangsawan vampir bernama Count Orlock. Cerita singkatnya, laki-laki itu harus menderita sakit setelah terkena gigitan vampir, meninggalkan jejak dua lubang berdekatan di tenggorokan. Laki-laki itu akhirnya kembali ke kota, begitu juga dengan si vampir. Tuan Vampir mengendarai kapal menuju kota. Betapa repotnya ia ketika harus selalu membawa peti mati kemana-mana. Semua awak kapal berikut kaptennya ditemukan tewas terhisap darahnya.

Ancaman Tuan Vampir sampai pada warga kota, demikian juga istri laki-laki itu, kalau tidak salah bernama Nina. Wabah vampir menyerang warga kota. Seorang ilmuan mencari analoginya dari tanaman pemakan serangga dan sebuah philus tumbuhan transparan yang begitu saja memangsa tanpa kelihatan. Saya juga baru tahu kalau film bisu dilengkapi dengan skrip sederhana tentang jalan cerita atau percakapan tokohnya, surat yang dituliskan, tampilan potongan berita koran, tulisan dalam buku. Bagi saya, entah kenapa ini membuat kesan eksotis dari sebuah film bisu.

Malam tiba, vampir masih mengancam kota. Di buku vampir dituliskan bahwa semua penderitaan dan wabah di kota akan hilang ketika vampir bisa menghisap darah perempuan berhati murni sampai lupa pulang ke dalam peti saat ayam jantan berkokok. Perempuan berhati murni itu adalah Nina. Demikianlah yang terjadi. Pertanyaannya, vampir itu kalahnya sama perempuan atau kokok ayam jantan? Nina pada akhirnya mati. Jadi, vampir itu sebenarnya kalahnya sama kokok ayam jantan. Begitu saja lenyap menjadi asap. Film hitam putih seperti ini tak bisa memastikan mana pagi mana malam. Yang membunuh vampir tetap suara kokok ayam jantan.

Beberapa permainan bayangan dalam film ini cukup mengesankan meski jauh dari kesan seram, bahkan dengan posisi duduk saya yang dipojokan. Keadaan mencekam yang saya rasakan justru berasal dari diri sendiri. Ada semacam tangan-tangan nosferatu berkuku panjang yang mencekik leher, memeluk dari belakang, meniupi belakang telinga atau hanya menyentuh pundak. Berlebihan memang tapi bukan karena efek dari film-film hantu indonesia milik saudagar kelontong yang cuma menjadikannya dagangan semata. Meski film bisu, Nosferatu seperti ratusan kali lebih bagus dari film-film hantu Indonesia saat ini.

Setelah bicara soal filmnya, saya akan sedikit mengungkap kesan soal Zone Libre, musik pengisinya. Dalam pamfletnya disebutkan bahwa cerita yang menakutkan dalam film ini akan disajikan dengan iringan musik mencekam oleh seorang musisi rock Prancis, Serge Teyssot-Gay (gitaris legendaris Noir Desir), dan iringan drum oleh Cyril Bilbeaud. Saya sama sekali tak mengenal musisi ini dan juga tak mencoba mencari referensi tentang mereka. Malam ini hanya ingin mendengar saja.

Musik dan film pada akhirnya seperti tidak bisa menyatu. Kehadiran saya dipojokan dipaksa untuk fokus pada dua hal bersamaan. Gambar bergerak pada film dan musik itu sendiri. Keduanya sebenarnya akan lebih asyik jika dinikmati secara terpisah. “Gitarnya suangar, Cuk!,” atau malah, “Wah, gak masuk, Bos!” membayangkan teman sebelah berkata seperti itu kalau ikut nonton. Memang cukup keren permainan efek dan suaranya. Drumnya juga begitu. Gerakan-gerakan kecil dari stik drum ternyata mampu menimbulkan macam-macam bunyi. Tapi, tetap saja tidak mencekam dan menawarkan ketakutan. Beberapa kali terlalu panjang mengisi adegan dengan komposisi berulang-ulang sampai telinga saya yang kurang beres ini kecapekan mendengarkan. Klimaksnya juga tidak sampai. Begitulah, kepanjangan nanti berkomentar, bisa dilempari sandal. Tidak ada kesatuan utuh, pengisian total antara film dan musik.

Laki-laki Prancis yang membuka acara tadi sempat bercerita kalau zaman dulu biasanya ada sebuah orkestra pengisi suara selama proyektor menyala. Kalau saya membayangkan, mungkin akan lebih memberi kesan mencekam dengan musik-musik megah dan kejutan-kejutan suara dari instrumen-instrumen orkestra. Jeng...jeng...(hahaha, apalagi ini). Lebih bisa merinding lagi kalau saya membayangkan alat-alat musik kreatif yang biasa dipakai dalam teater untuk menimbulkan kesan-kesan suara mistis. Lagi-lagi ini hanya soal kesan dan kebiasaan telinga saya dalam mendengar suara. Sepertinya lebih seru lagi kalau Sigur Ros atau Thom Yorke saja yang menjadi pengisi musik dalam filmnya.

Saya jadi ingin tahu bagaimana kedudukan suara dalam film sunyi macam begini. Saya tidak banyak tahu tentang sejarah visual, tapi setidaknya film bisu adalah capaian seni visual pada zamannya. Saya merekam begitu dramatiknya ekspresi-ekspresi wajah para pemain di setiap adegan. Mereka ketakutan, mereka tertawa, mereka saling tersenyum setelah berciuman meski dalam gerak gambar yang lebih cepat dari ukuran normal. Hal yang seharusnya menjadi rujukan serius bagi para pemain film saat ini. Ekspresi dalam film bisu sepertinya lebih berusaha untuk menyampaikan kata-kata secara lebih serius dalam bahasanya yang lain.

Tingkat ekpresi ini bisa jadi mengalami perubahan ketika mulai muncul film bicara dan musik-musik didalamnya. Musik dan adegan dalam film sebenarnya bisa saling menyatu, atau justru berdiri sendiri secara otonom. Ah, saya ini ngomong apa, mulai ngelantur. Tapi coba bayangkan suara detak jam dan sebuah adegan dimana seorang perempuan duduk bersimpuh, menunduk, kelihatan dari belakang, rambut terurai hingga ke pinggang, lampu temaram. Ketika detak jam dihilangkan, kesunyian akan lebih jelas terasa. Dalam suasana begini, bukankah kesunyian itu pada hakikatnya bisa didengarkan? Dhemit ora ndulit, setan ora doyan. Selamat malam.


Kamar Kost, 28 Mei 2012





Tidak ada komentar:

Posting Komentar