Tutup jendela! Hujan di luar terlalu indah untuk disaksikan. Hujan sedang menawarkan ketukan-ketukan yang dijelmakan menjadi orkestra, membias dalam nada-nada, yang tak hanya ada ada do, re, mi, fa, sol, la, si, dan do’. Sebuah tepukan berirama, slendro dan pelog, apa saja, megah dalam kata merangkai puisi, seperti ciuman yang dingin diterjemahkan menjadi angka. Angka-angka yang selalu menawarkan kesepakatan-kesepakatan bahwa yang dicari adalah persamaan dan kalaupun ada pertidaksamaan, itu hanya pengecualian. Di sinilah manusia goa ingin meremukkan kemandulan alamiahnya. Seharian hanya mendekam dalam goa sepi dan berpusing dengan kehadiran-kehadiran pikiran, begitu saja tak bisa dibedakan mana khayalan mana kenyataan.
Sebuah populasi ras manusia sedang terjangkit delusi. Inilah kisah tentang manusia goa yang hanya berteman dengan kerumunan-kerumunan. Siapa bisa menelurkan gumpalan kegelisahan jika zaman semakin ahli menciptakan kategori, kesamaan, standar, nilai, juga keharuman kentut yang selalu saja di cap sebagai ketidaksopanan berbau busuk. Sepanjang deretan pertokoan dan etelase, tersenyum-senyum sendiri membacai slogan di atas papan-papan iklan, nama-nama kios semakin aneh demi bisa memelihara jin pencetak uang. Di sepanjang keramaian jalan, manusia goa menemui kebingungan sebagian besar orang sedangkan ia justru mengetuk kebebasan dan keheningan di jalan kecilnya sendiri.
Manusia goa sedang mematung di sudut pusat perbelanjaan. Pakaian gembelnya itu ternyata tak cukup menarik perhatian orang. Ia bisa menikmati sekumpulan ras manusia yang cantik-cantik. Cukup cantik untuk menghiasi sepetak tanah air yang pahit. Di manakah lapar jiwa bisa dituntaskan jika makanan kesukaannya hanya kenangan, hanya masa lalu semakin menyusut menuju ketiadaan. Siapa bisa mengoceh soal sejarah dan kekuasaan. Tema ini tak cukup menarik untuk bisa dibeli daripada model tas, baju, dan sepatu terbaru. Manusia goa semakin cemas ketika tak ditemukananya sesuatu yang menarik dari kekososngan, kejemuan, dari hujan yang tak peduli. Kesunyian.
Dari sebuah lagu, manusia goa menemukan sebuah tempat bernama Distopia. Di sanalah banyak pertikaian ras manusia bisa dijumpai. Sebuah pertikaian yang bisa disebabkan oleh hal kecil saja, sama sekali remeh. Pertikaian bermula, hanya karena mereka memiliki terlalu banyak alasan untuk saling mencintai, sampai kebencian menjadi terlalu sengit. Ada kebaikan ada kejahatan, pemenang dan taklukan. Agama satu ini tak pernah mengenal ampun. Manusia goa memilih sembunyi, menghilang, tak berkata apa-apa di bawah hujan yang selalu tak peduli, terlalu lelah untuk memberi penafsiran.
Di kota bernama Distopia, kekuatan dan kekejaman adalah dewa-dewa kesepian. Penganut kepercayaan dikotomis kebaikan dan kejahatan menjadi semacam bayangan hitam dan putih, semakin mengabur bersama hujan tetapi semakin mengental di kegelapan malam. Sebuah ritual yang agak sulit tapi juga mampu menyederhanakan banyak hal. Kuil manakah akan dipilih, berdiri berdampingan, antara kejahatan dan kebutuhan.
Manusia goa takjub melihat sebatang tugu menjulang kekar dihadapannya. Sepenggal monumen di jejalan kerumunan, kokoh sekaligus gamang. Batu-batu yang ditumpuk untuk menandai sesuatu. Batu-batu yang seringkali ditolak haknya untuk menjadi abadi tapi karena itulah ia menjadi keabadian itu sendiri. Batu yang menyerahkan diri kepada manusia, kepada kehendak manusia untuk bertindak. Setumpuk batu tak bisa dihancurkan begitu saja. Dan tiba-tiba saja sekawanan massa menghancurkannya tanpa sisa. Menumbangkan batu. Pada batu, kekuasaan, kebodohan dan manusia sama-sama menjadi simbolis semata. Batu-batu menjadi saksi lalu lalang orang, manusia dengan wajah penuh debu dan lelehan keringat, sedikit asin dan hangat.
Siapa lagi sempat termenung memikirkan bahwa dunia selalu memiliki lebih dari satu hal untuk dikatakan. Ini menjadi sangat menarik dan kemudian begitu saja berubah membosankan. Manusia goa tak habis pikir bagaimana ras manusia bisa mengurung dirinya di sebuah kota aneh ini dengan kebosanan yang tertidur, bahkan begitu lelap lengkap dengan dengkur. Bagaimana mungkin mereka tidak menggabungkan diri dengan batu-batu, sampai tak bisa dibedakan lagi antara kota yang aneh dengan semesta yang membara, tanpa perasaan, menantang sejarah dan gejolaknya.
Dari sebuah kota yang sangat ribut dan sedikit gila ini, manusia goa sesak melihat ras manusia mulai menangis karena terlalu sering membunuh gairah dan keinginan sendiri, membunuh kesedihan dan kemenangannya sendiri. Sebuah kota yang gila, bahkan sanggup berjalan sambil tidur. Di kota ini pula ras manusia memperolah banyak sifat baik yang sementara, muncul bersumber dari titik jenuh tertentu. Mereka tak pernah mau memisahkan diri dari kebaikan-kebaikan kota dan berani berkata ‘ya’ pada Minotaur. Kebijaksanaan ini menjadi tua dan tumbuh subur sementara beban Atlas semakin ringan karena balsem gosok merk terbaru telah membuat pundaknya tak lagi pegal.
Para penakluk di kota ini sering sok melankolis, sedangkan manusia goa dan ras manusia serta kerumunan-kerumunan tidak pernah tahu apakah itu kejahatan. Mereka hanya tahu bahwa ini adalah kenyataan dan kembali pada kesepakatan-kesepakatan untuk membuat semua perbuatan bisa diterima atau tidak. Meskipun berkerumun di antara bising dan kegilaan kota, ras manusia dan manusia goa akan tetap dihadapkan pada kontradiksi-kontradiksi sampai mereka harus melakukan sesuatu dan menemukan cara untuk mendamaikan hal itu, atau paling tidak menguranginya.
Di kota ini, terlalu banyak orang salah memaknai antara tragedi dan keputusasaan. Tragedi adalah bagian dari sebuah sentakan yang indah terhadap penderitaan. Sebuah peradaban tak semudah ini akan mati, peradaban manusia goa, bahkan ketika dunia ini hancur sekalipun. Betapa di kota ini dewa-dewa sedang kehilangan sesuatu karena sudah sekian lama tak ada yang bangkit menentang mereka. Manusia goa hanya perlu memilih waktunya sendiri. Setiap orang memiliki semua kumpulan pengalaman, yang membuatnya akan berbuat atau tidak berbuat, tetapi tetap dengan kesadaran penuh tentang segala hal yang terlibat.
Catatan:
Tulisan ini terinspirasi oleh Camus dan lagu-lagu Melancholic Bitch. Igauan dan racauan dalam tulisan ini juga ditujukan sebagai pemberitahuan bahwa penulis masih bisa melahirkan tulisan lain selain tebaran kisah di buku harian yang akhir-akhir ini didominasi oleh satu tokoh saja, juga halaman belakang catatan kuliah yang lebih tebal dari catatan kuliah itu sendiri. Sebentar, biarkan saya menertawai penulis dan tulisannya ini. Hahaha, betapa tidak jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar