Rabu, 06 Juni 2012

Mendengar Tubuh

Di sebuah vagina peziarah-peziarah kecil terbujur hancur sebelum sempat kauberi nama (Di Sebuah Vagina – Joko Pinurbo).

Sejak semalam suatu spesies manusia sudah menutup mata dan mulai melihat dengan telinga. Beberapa kilas ingatan membawa masa lalu kembali menampilkan surau kampung dan ramainya anak-anak mengaji di sore hari. Kata Pak Ustadz dulu, nanti ketika hari penimbangan amal tiba, bagian-bagian tubuh manusia akan bicara sendiri tentang dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Katanya lagi, mulut akan dikunci, manusia tak bisa berkata-kata, lalu tangan, kaki, akan memberikan kesaksiannya.

Kesenyapan datang. Dari sinilah visualisasi muncul mengiringi segala jenis ingatan. seperti biasa, pikiran spesies manusia akan menampilkan berbagai imajinasi, terpenggal, terpotong, terbagi dan tak pernah utuh. Selintas tentu adalah tentang tangan-tangan yang bicara sendiri. Tubuh berbicara. Sejauh apakah spesies manusia bisa membayangkan tentang hal ini? Tubuh spesies manusia bisa bicara. Tubuh mengoceh dan meracau tentang segala jenis kejahatan yang pernah dilakukan terhadapnya. Membela diri ketika dipersalahkan pikiran, akal atau bahkan jiwa yang sering dianggap lebih tinggi derajatnya.

Seperti kanak-kanak yang selalu terganggu ketika menemukan cara baru untuk memperlakukan sesuatu, spesies manusia kebingungan bagaimana mengatasi segala jenis ocehan tubuh ini. Demikian juga dengan indera, tiba-tiba saja mereka saling bertukar nama dan fungsi. Melihat dengan telinga, mencium dengan mata, dan sebagainya, dan sebagainya. Sejak kapan lutut bisa merangkak sampai ke pinggul. Untung saja pantat masih di tempat dan tidak ikut berlari hingga ke pipi. Tubuh meleleh. Spesies manusia mencair di tengah malam dan terkunci.

Dengan susah payah spesies manusia mencoba memahami bahasa gambar di kembara pikiran sendiri. Tiba-tiba senyap. Tubuh seperti menampilkan film bisu yang hanya menyajikan gambar-gambar dan gerak. Keinginan untuk mendengar yang tak terdengar tiba-tiba muncul. Dialog-dialog tak diperlukan di sini. Tubuh ini senyap dan bicara dengan cara mereka sendiri. Suara-suara tak lagi memiliki peran dalam permainan citraan tubuh yang bergerak sembari bicara dengan kesenyapan.

Mendengar dengan mata, spesies manusia kembali pada kesenyapan tubuh. Di sinilah spesies manusia mencari isapan jempol yang pada umumnya akan dianggap kenyataan. Seberapa banyak dusta yang bisa menyelimuti kebenaran perkataan ketika tubuh bisa bicara. Di sini, dengan sebaik-baiknya tentu spesies manusia menghindari uraian para filsuf tentang tubuh dan hasrat. Tak lain tak bukan memang karena keterbatasan spesies manusia, sama sekali tak mengeri apa yang mereka bicarakan. Pernahkan mereka mendengarkan tubuh mereka sendiri? Mungkin.

Sudah sejak lama spesies manusia ingin berhenti berpikir dan melakukan sesuatu, semacam refleksi diri atas pengalaman tentang tubuh sendiri. Tentu spesies manusia tak pernah berani. Hanya soal bahwa spesies manusia memang pengecut bodoh yang ketakutan mendengar tubuhnya bisa bicara, menyuruh melawan raja pikiran-pikiran.

Sepertinya memang tak pernah ada suatu tulisan yang bicara tentang tubuh sendiri dengan sepenuhnya jujur. Kalaupun dibuatkan sebuah sandiwara tentang tubuh bicara, kemungkinan akan merusak banyak orang lebih dari sekadar roman karena begitu nyata dapat dilihat itu kebohongannya, atau mungkin tak pernah ada orang yang akan benar-benar bisa jujur, berani menelanjangi tubuh sendiri. Orang boleh belajar dari Marquis de Sade, bahkan katanya, istilah sadis pun diambil dari namanya, dimana etika baginya adalah soal pembalikan-pembalikan. Entah spesies manusia ini mengigau tentang apa. Barangkali memang sedang gagap menampung kata-kata dari tubuh sendiri.

Sajak “Tubuh Pinjaman”, Joko Pinurbo mengingatkan, Tubuh/yang mulai akrab/dengan saya ini/sebenarnya mayat yang saya pinjam …. Bagaimana spesies manusia bisa kembali mendengarkan tubuh dengan keadaan seperti ini. Tubuh semakin sibuk memberontak. Selama inilah ia ditutupi, kotor sampai selalu harus dibasuh dengan tata cara wudlu paling tidak lima kali sehari. Matamu tak boleh melihat tubuh di balik berlapis-lapis baju yang juga telah rigid ditentutan cara memakainya, menutupi tubuh yang diiklim tropis begini sering merasa kepanasan. Lha, tapi bagi sebagian mereka, menutupi tubuh dengan lapisan-lapisan kain itu bisa menyejukkan, menghindarkan dari pandangan nyalang mata yang tidak semestinya. Entahlah.

Spesies manusia kembali bertanya pada dirinya, sejauh mana definisi tentang penguasaan atas tubuh sendiri? Tubuh pun kenapa harus dikuasai? Sejauh mana ia bisa dibiarkan bebas bicara dan bergerak semaunya? Mendengar kesenyapan tubuh. Banyak hal tetap tak bisa terdengar dari tubuh yang bicara. Maka, spesies manusia mulai sadar bahwa perlahan-lahan imajinya harus benar-benar ditambahkan efek suara.

Mulailah spesies manusia kembali bereksperimen. Hanya ada suara. Bukan kata, dialog atau percakapan. Jemari bergesek, jemari ditekuk satu demi satu. Jemari tengah diacungkan dan dengan sendirinya bicara sebagaimana manusia bisa mengumpat hanya dengan mengacungkan jari tengahnya itu. Tubuh menjadi simbol. Ibu jari dan jari tengah bergesekan, maka terciptalah suara ketukan khas dari keduanya. Begitulah spesies manusia mulai mencoba ragam cara dan mengolah jemarinya. Cukup sampai di sini!

Tetap ada keganjilan. Tubuh bukan bicara atas kehendaknya sendiri tapi dipaksa bicara. Mesin yang dikendalikan. Spesies manusia mulai melanjutkan eksperimennya kembali. Betapa terkejut ia ketika mendengar tubuhnya bicara atas kesadarannya sebagai tubuh. mungkin dengan mengeliminasi sedapatnya kekuasaan yang memenjarakan. Gila. Spesies manusia bahkan tak kuasa untuk menuliskan apa yang dikatakan tubuhnya. Ini lebih menyeramkan dari skizofrenia yang diderita Artaud, seniman Perancis ini mengalami paranoia ketika tak lagi mampu membedakan mana fantasi yang nyata dan tidak tentang tubuhnya, tubuh orang-orang disekitarnya, bahkan tubuh orang-orang yang dianggap paling suci sedunia.

Meracau lagi. Tubuh dibiarkan lapar setelah sedikit diisi hal berbeda setiap hari. Sehari hanya sarapan kopi. Sehari berikutnya diisi roti. Seharinya lagi benar-benar dibiarkan kosong. Sampai malam baru kembali memenuhi kebutuhan untuk mengisi perut dan membiarkan lambung bekerja menggiling makanan. Ternyata sensasi lapar dari hari ke hari ini berbeda. Lapar itu urusan macam apa sebenarnya? Perutkah? Pikirankah? Keduanyakah? Tak usah di jawab. Tak penting juga.

Spesies manusia benar-benar tak bisa melanjutkan kembara pikirannya. Ia harus kembali membunuh, bahkan membantai imaji-imaji, kembali memutilasinya menjadi potongan, mencacahnya hingga bagian-bagian paling kecil yang tak bisa dibagi lagi. Meng-amin-i rezim represi paling keji. Imaji menjadi atom, menjadi materi dan memberinya semacam tubuh. Sedang tubuh sendiri masih menjadi kesenyapan tak pernah didengarkan.

Demikianlah, di bagian akhir ini akan kukatakan. Taraf dependensi sudah harus dikurangi. Apakah aku mulai mengganggumu? Hanya karena aku tak ingin tubuhku tetap di situ. Bukan tubuh yang dipersalahkan. Mungkin hanya kenaturalan hasrat yang masih belum bisa kuterima dengan pikiran. Hasrat, keinginan untuk tetap di situ. Melipati baju-bajumu. Membaca punggung dan kaos sobek-sobek itu sambil merenungi kematian Jeff Buckley, “the boy with thorn in his side...behind the hatred there lies...a murderous desire for love.....”

Pas Ustadz datang lagi, dengan suara bergetarnya, “Alyauma nakhtimu ‘alaa afwahihim, wa tukallimuna aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun,” dan melanjutkan perkataannya dengan menerjemahkan ayat tadi, “Pada hari ini Kami akan tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan. Baca Surah Yasin ayat 65 ya,” begitulah Pak Ustadz berpesan untuk kami yang ngaji sore itu. Bagaimana dulu suatu spesies manusia kecil bisa mengerti imaji tentang tubuh mereka yang bicara sendiri, setelah mati?

Dan saat ini, spesies manusia merasa tenang dengan pesannya Pak Ustadz dulu itu. Mulut kita akan dikunci. Jadi, tak pernah ada yang bersaksi tentang bagaimana persilatan lidah kita dimulai. Lain kali akan saya catatkan sebenarnya apa yang dibicarakan tubuh ketika diberi ruang untuk bicara.


Kamar Kost, 20 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar